Monolog
Tua karya Putu Wijaya
(Video di atas sekali dipersembahkan di atas pentas secara bebas dan skrip yang sedikit berbeza dengan yang saya salin di sini.)
Di depanku berdiri seseorang yang barangkali aku sudah kenal benar. Mungkin juga tidak. Aku tidak tahu siapa namanya. Perawakannya sederhana. Ia tidak membawa apa-apa. Matanya juga hanya dua, dengan sorot yang biasa. Bahkan ia tersenyum manis dan mengatakan:
Apa kabar?
Tapi aku cemas. Aku merasakan ada bahaya
dalam ketenangan sedang merambat perlahan-lahan hendak menjangkau leherku. Aku
merasa terpepet ke sudut dengan sopan dan kemudian pada akhirnya nanti dengan
lemah-lembut akan diminta untuk menyerah.
Aku tidak siap untuk menyerah. Karena aku
merasa masih perlu untuk menunjukkan, kalau diberi kesempatan lebih lama,
mungkin aku sanggup bekerja lebih baik, termasuk memperbaiki
kekeliruan-kekeliruanku di masa yang lalu. Sayangnya, waktu tidak bisa menunggu.
Orang itu bertambah dekat.
Akhirnya aku terpaksa mambela sebelum
diserang. Aku memanggil – ya Allah apa yang harus aku ambil? Di sana hanya ada
sebuah kursi. Kursi itu terpaksa aku angkat. Kemudian aku lemparkan kursi itu
ke arah orang itu. Kena. Tepat. Muka langsung terluka. Darah menetes dari
dahinya, masuk ke dalam matanya. Matanya itu terpejam, lalu darah tergelincir
ke atas pipi bercampur dengan air mata.
Tetapi langkahnya tetap diayunkan
menghampiriku.
Aku jadi panik. Aku berteriak minta
tolong. Panik aku gapai telepon untuk memanggil polisi. Tetapi ada orang bicara
terus di dalam telepon. Dengan dongkol telepon itu aku lemparkan ke mukanya.
Tepat mengenai hidung orang itu.
Hidung itu luka, darah menetes dari hidung
masuk ke dalam mulutnya. Mulut itu bergerak, lalu dia meludah, dahak yang
kental.
Aku mundur, merapat ke tembok. Dia mulai
mendesak. Aku beringsut ke sudut. Sekarang aku mencoba menendang, kemudian
memukul. Sesudah itu menggigit. Aku kalap. AKu ngamuk. Aku tak melihat apa-apa
lagi. Orang itu sudah terlalu dekat. Baunya terasa. Tubuhnya menyentuh. Aku
dilandanya.
Tidak!
Aku gepeng. Aku coba juga meronta, tapi
tak berdaya. Tak ada gunanya. Aku coba lagi berteriak, tapi suaraku juga sudah
habis. Tenagaku terkuras. Akhirnya orang itu masuk ke dalam tubuhku. Ia masuk
ke dalam jantung. Ia masuk ke dalam kepala. Ia masuk ke perut, mengalir ke
seluruh tubuhku. Ia menusuk ke dalam sanubariku. Ia menjalari sukmaku. Aku
menjerit dan melenting.
Ooo!
Comments
Post a Comment