CERPEN-CERPEN PUTU WIJAYA

dipetik dari beberapa laman sesawang

1."Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata"

 (Buat GM)

AKU menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.

Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.

“Mencari bunga untuk apa Pak?”

Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.

“Bunga untuk ulang tahun.”

“Yang harganya sekitar berapa Pak?”

“Harga tak jadi soal.”

“Bagaimana kalau ini?”

Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.

“Itu?”

Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.

“Itu saya sendiri yang merangkainya.”

Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.

“Ya, ini yang aku cari.’

Dia mengangguk senang.

“Mau diantar atau dibawa sendiri?”

“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”

Ia kelihatan bimbang.

“Berapa duit.”

“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”

“Tidak, aku mau ini.”

“Bagaimana kalau itu?”

Ia menunjuk ke bunga lain.

“Tidak. Ini!”

“Tapi itu tak dijual.”

“Kenapa?”

“Karena dibuat bukan untuk dijual.”

Aku ketawa.

“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.

“Dua.”

“Dua apa?”

“Dua juta.”

Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.

“Jadi, benar-benar tidak dijual?”

“Tidak.”

Aku padangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.

“Bagaimana kalau itu?”

Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.

Dia tercengang.

“Bapak mau beli?”

“Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.

“Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”

Aku terpesona tak percaya.

“Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”

“Duapuluh ribu cukup.”

“Rumah Bapak di mana?”

“Cirendeu.”

“Cirendeu kan jauh?”

“Memang, tapi dilewati angkot.”

“Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”

“Habis, naik apa lagi?”

“Tapi angkot?”

“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”

“Bukan begitu.”

“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”

“Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”

“Ya, hitung-hitung olahraga.”

Dia menatap tajam.

“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”

Aku tercengang.

“Kurang?”

“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”

Dia tersenyum. Cantik sekali.

“Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”

“Tidak.”

Dia berpikir.

“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”

“Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”

“Yang dicintai mestinya.”

“Ya. Jelas!”

“Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”

Aku terpesona lalu mengangguk.

“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”

Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.

“Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”

“Tidak. Kamu.”

Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.

“Kamu saja yang memilih.”

“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”

“Pokoknya yang bagus. Yang positip.”

“Cinta, persahabatan, atau sayang?”

“Semuanya.”

Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:

“Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”

Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.

“Bagus?”

Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.

“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”

“Ya?”

“Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”

Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.

“Kamu saja yang tanda tangan.”

“Kenapa saya?”

“Kan kamu yang tadi menulis.”

“Tapi itu untuk Bapak.”

“Ya memang.”

Ia bingung.

“Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”

“Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”

“Makanya!”

Ia kembali bingung.

“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”

Dia bengong.

“Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”

“Jadi, bunga ini untuk Bapak?”

“Ya.”

“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”

“Ya. Apa salahnya?”

“Bapak yang ulang tahun?”

“Ya.”

Dia menatapku tak percaya.

“Kenapa?”

“Mestinya mereka yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”

“Mereka siapa?”

“Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”

“Mereka terlalu sibuk.”

“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”

“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”

Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.

“Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”

Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.

Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.

“Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”

“Kenapa? Kan sudah aku beli?”

Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.

“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”

Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.

“Aku pemilik toko ini.”

Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. (*)

Jakarta, 30 Juni 2011

2."Keadilan"

ADA suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali. Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau plastik ala koktail bergantungan dengan pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat anak-anak selalu memburunya. Kadang-kadang tidak untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membeli es pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat sampai malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut alun-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir semua anak-anak yang sedang main layangan menolehkan kepalanya. Yang punya duit langsung lari sambil menggulung tali layangannya. Tak terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia sedang memper hatikan seorang juragan ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya, lalu merasakan ada uang di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah Pak Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah,” teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu itu.” Anak-anak tertawa lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es puter nampak ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es puter ke atas koktail itu. Pak Sersan langsung menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang minta diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat. Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya keras-keras. Tapi, akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan muncul sambil mengacungkan pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam. Anak-anak ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba menetralisir keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”
Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Bangsat ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es pudengnya keluar masuk kampung kita, anak-anak tidak akan punya kebiasaan beli es sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih teriak-teriak minta es, kalau terdengar kelenengannya lewat. Dan, dia tahu sekali itu. Minggat! Sebelum aku tembak kamu. Aku sudah banyak bunuh Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya. Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi sebelum Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat lalu berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu gelas kristal.”
Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan tangannya.
“Ayo bayar.”
Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan nyawa orang itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu melangkah, tapi orang itu tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak tapi tangannya terluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih tua. Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangkit lagi. Tapi rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu abad merdeka citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat berbeda-beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat. (*)

Catatan:
Cerpen ini diciptakan Putu Wijaya di tengah perawatan intensif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Cerita dituturkan Putu secara lisan, kemudian diketik salah seorang kerabatnya. Dia mengalami pendarahan otak yang mengakibatkan tangan dan kaki kirinya tak bisa digerakkan.

3."Protes"

Orang kaya di ujung jalan itu jadi bahan gunjingan. Masyarakat gelisah. Pasalnya, ia mau membangun gedung tiga puluh lantai.
Ia sudah membeli puluhan hektar rumah dan lahan penduduk di sekitarnya. Di samping apartemen, rencananya akan ada hotel, pusat perbelanjaan, lapangan parkir, pertokoan, kolam renang, bioskop, warnet, kelab malam, dan kafe musik.

“Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya, uang saya?” kata Baron sambil senyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif, kan?! Ini, kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Jadi karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga lahan akan melonjak. Semua akan diuntungkan! Kok aneh! Harusnya masyarakat berterima kasih dong pada niat baik ini! Kok malah kasak-kusuk! Bilang kita merusak lingkungan. Itu namanya fitnah! Coba renungkan, nilai dengan akal sehat! Semua ini, kan, ada aspek sosialnya! Berguna untuk kesejahteraan kita bersama! Tidak bertentangan dengan Pancasila. Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah. Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang, ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu, kan, watak pemalas. Karakter orang jajahan. Kita, kan, sudah 69 tahun merdeka. Kita harus membina karakter kita. Arti kemerdekaan adalah: sejak detik merdeka itu, nasib kita ke depan adalah tanggung jawab kita sendiri. Kalau kita mau hidup layak, harus bekerja. Kalau mau maju, harus membangun. Kalau mau membangun, buka mata, buka baju, buka sepatu, buka kepala batu, singsingkan celana, bergerak, gali, cangkul, tembus semua barikade, jangan tunggu perintah. Tidak ada yang akan memerintah kita lagi, apalagi menolong, setelah kita merdeka! Hidup kita milik kita dan adalah tanggung jawab kita. Karena tanggung jawab kita, semua mesti dilakukan sendiri. Hidup itu kumpulan masa lalu, masa kini, dan masa depan seperti yang ditulis penyair WS Rendra. Semuanya harus dipikirin dan dipikul sendiri! Itu baru namanya merdeka dalam artinya yang sejati! Betul tidak, Pak?!”
Amat yang sengaja diundang makan malam, untuk berembuk, hanya bisa mengangguk. Bukan membenarkan, juga bukan menyanggah. Ia baru sadar kedatangannya hanya untuk dijadikan tong sampah curhat Baron.
“Pak Amat, kan, tahu sendiri, saya ini orang yang sangat memikirkan kebersamaan. Di hunian kita ini, rasanya makin lama sudah semakin sumpek. Karena membangun hanya diartikan membuat bangunan. Akibatnya sawah, apalagi taman, tergerus, tidak ada ruang bebas untuk bernapas lagi. Hari Minggu, hari besar, hari raya, waktu kita duduk di rumah untuk beristirahat, rasanya sumpek. Di mana-mana gedung. Burung hidup dalam sangkar, kita dalam tembok! Tidak ada pemandangan, tempat pandangan kita lepas. Betul, tidak? Karena itu, perlu ada paru-paru buatan supaya hidup kita tetap berkualitas! Kan saya yang memelopori pendirian taman, alun-alun, sekolah, dan tempat rekreasi di lingkungan kita ini. Sebab tidak cukup hanya raga yang sehat, jiwa juga harus segar. Begitu strategi saya dalam bermasyarakat, tidak boleh hanya enak sendiri, kita juga harus, wajib, membuat orang lain bahagia. Dengan begitu kebahagiaan kita tidak akan berkurang oleh keirian orang lain, karena ketidakbahagiaan orang lain. Demokrasi ekonomi itu, kan, begitu. Itulah yang selalu saya pikirkan dan realisasikan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kok sekarang, kok saya dianggap tak punya tepo sliro dengan lingkungan. Ck-ck-ck! Coba renungkan, pembangunan yang sedang saya laksanakan ini, kan, bukan semata-mata membangun! Di baliknya ada visi dan misi! Apa itu? Tak lain dan tak bukan untuk mendorong kita semua, sekali lagi mendorong, kita semua, masyarakat semua, bukan hanya si Baron ini. Kita semua! Supaya kita semua bersama-sama serentak, take off, berkembang, maju, sejahtera, dan nyaman! Masak sudah 69 tahun merdeka kita masih makan tempe terus! Lihat Korea dong, tebar mata ke sekitar, simak Pondok Indah, Bumi Serpong Damai, Central Park. Mana ada lagi rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana. Kandang tikus itu bukan hunian orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis jadi masa lalu yang haram kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar ke atas! Itu baru layak buat rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-sala-bimabra-ca dabra, jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak Bung! Itulah hasil kemajuan. Itulah dialektika kemerdekaan yang seharusnya! Karena kemerdekaan membuat kita tidak puas hanya nrimo, hanya pasrah, tapi kita harus beringas, bergegas mengusai, tidak puas hanya nrimo apa vonis nasib. Maka wajib banting tulang, buru, rebut, rampas, buaskan ambisi! Itu sah! Kesenjangan sosial kalau disikapi dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka harus ambil risiko berontak! Iri, dendam, sirik, penting untuk membuat penasaran, lalu bangkit dan menang! Putar otak, cari jalan, kalau tidak ada, bikin. Segala cara halal dengan sendirinya, asal buntutnya berhasil. Walhasil, agama kita, ibaratnya sekarang, sukses! Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup udara pun mesti bayar! Maksud saya udara segar dalam kamar hotel bintang lima! Benar tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”
Amat mencoba untuk menjawab, sebab kalau diam-diam saja, sebagai tamu, terasa kurang sopan. Tapi sebelum mulutnya sempat terbuka, Baron sudah memotong.
“Ya, saya memang membangun karena punya uang Pak Amat. Tapi uang itu bukan jatuh dari surga. Bukan menang lotre. Bukan warisan, apalagi korupsi! Bukan dan bukan dan bukan lagi! Itu uang hasil kerja mati-matian. Kenapa? Karena saya ingin maju. Kenapa saya ingin maju, karena saya kerja keras! Itu lingkaran setan! Hidup harus diarahkan jadi lingkaran setan kemajuan! Kalau mau maju, harus kerja keras. Kalau kerja keras pasti maju! Kalau tidak begitu mana mungkin saya kaya? Tapi apa salahnya kaya? Apa orang berdosa kalau kaya? Tidak kan??? Tidak! Tapi sebenarnya saya tidak kaya, Pak Amat, orang-orang itu salah kaprah! Orang kaya itu, orang yang menaburkan uangnya, di mana-mana. Misalnya itu mereka yang bakar duit dengan merokok, main petasan, membagi-bagikan duitnya dengan dalih demi kemanusiaan dan kepedulian sosial, yang bikin orang tambah malas! Saya tidak, saya sangat cerewet mengawasi tiap sen yang keluar dari kantong, bahkan tiap sen yang masuk perut saya sendiri. Kalau bisa jangan satu sen pun ada duit saya yang keluar. Uang yang saya pakai membangun itu, bukan uang sendiri, itu utang semua! Utang! Paham?”
“Tidak.”
“Tidak usah paham! Saya juga tidak paham! Tapi itulah faktanya! Orang kaya itu tidak kelebihan duit! Yang kelebihan duit itu kere!? Tapi jangan salah! Masyarakat selalu keblinger! Mereka senang bermimpi! Saya bukan orang kaya Pak Amat. Tapi orang yang sangat kaya! Kaya utang! Apa saya kelebihan duit? Tidak! Duit saya tidak ada! Pembangunan ini kredit bank, jaminannya kepala saya, kepala anak-bini saya! Kalau saya salah perhitungan, kami semua akan hidup tanpa kepala! Tapi saya tidak takut. Yah sebenarnya takut juga. Tapi kalau kita memanjakan takut, kalau kita memanjakan takut, kita akan ditelan iblis. Saya tidak mau ditelan mentah-mentah. Saya yang harus menelan. Tuhan memberikan saya tangan, kaki, badan dan otak untuk bukan, bukan saja menelan, tapi mengunyah nasib dan iblis-iblis itu. Sehingga seperti kata pepatah: tiada batang akar pun berguna! Ya, sebenarnya saya takut juga, Pak Amat. Siapa yang bisa bebas dari rasa takut! Saya ini manusia biasa yang tak bebas dari takut, Pak Amat! Tapi tidak semua takut itu jelek. Ada takut yang membuat waspada, takut yang bikin mawas diri dan berani. Ada takut yang menyebabkan kita tidak takut. Takut yang membuat kita menyerang garang. Takut itu tidak semuanya takut. Takut itu penting. Asal kita tidak mabok, kapan harus takut, kapan pura-pura takut. Kapan takut untuk nekat. Yang saya haramkan satu: jangan jadi penakut! Karena itu pembangunan saya ini harus dilanjutkan. Oke, sekarang Pak Amat tahu, saya kelihatannya saja asosial, padahal saya sosialis. Amat sangat peduli sekali pada warga. Saya ingin semua kita di sini maju. Jangan, kalau ada orang punya duit, padahal itu karena dia banting tulang, lalu iri, sewot, sirik, menuduh orang itu kurang peka lingkungan. Itu yang terjadi sekarang. Makanya saya ngajak bangkit! Ayo Bung! Jangan baru bisa beli motor sudah merasa masuk surga. Baru bisa ketawa sudah merasa dicintai Yang kuasa. Tidak! Jangan! Banyak yang harus dicapai! Kita harus tamak! Semua orang wajib menyadari dirinya masih kere, di jambrut khatulistiwa ini! Bangun, marah! Jangan marah sama saya-marahi nasib! Jangan takut pada perubahan. Takutilah takut! Ambil risiko! Perubahan itu berkah, cabut uban, berhenti cari kutu! Aahhh, capek saya menghadapi orang-orang kecil yang kampungan!! Risih! Mau wine, Pak Amat?”
Amat pulang dengan kepala penuh sesak. Rasanya tak ada sisa ruang lagi di kepalanya untuk santai. Baron sudah berjejal-jejal di otaknya.
“Baigamana, Pak? Sudah?” tanya Bu Amat.
“Sudah.”
“Apa katanya?”
Amat bercerita mengulang seingatnya, apa yang sudah dikatakan Baron.
“Terus Bapak bilang apa?”
“Ya, tidak membantah.”
“Lho kok, tidak? Kan hajatnya ke situ mau menyampaikan protes warga?!”
“Begini, Bu, Baron itu, ibaratnya pohon. Kalau dipangkas nanti malah makin meranggas!”
“Tapi pesan warga sudah disampaikan, belum?”
Amat berpikir.
“Kok mikir? Sudah atau belum?”
“Ya. Tapi dengan cara lain.”
“Masudnya?”
“Ya begitu. Semua pertimbangannya, tak cerna, sebenarnya cukup masuk akal dan bisa dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun steak tenderloin daging sapi impor, buat orang yang sudah kenyang bisa bikin muntah. Tapi buat orang yang buka puasa, jangankan makanan steak tenderloin, teh manis pun seperti air surga!”
“Dan Baron mengerti?”
“Nah itu dia. Pengertian itu relatif. Ibaratnya siaran berita. Buat pesawat yang canggih pasti jelas, tapi buat pesawat butut, apalagi tambah cuaca buruk, yang kedengaran pasti hanya kresek-kresek!”
Bu Amat bingung.
“Maksudnya apa?”
“Ya, seperti black campaign, di masa pemilu, buat pendukung lawan, akan terasa fitnah keji, tapi buat pendukung yang bersangkutan, justru lelucon segar!”
Bu Amat mulai kesal.
“Pak Baronnya nyadar tidak?”
“Nah itu masalahnya.”
“Kok itu masalahnya? Masalah apaan?”
“ Ya itu, apa si Baron bisa ngerti tidak!”
“Ya pasti harusnya ngerti, Pak! Baron itu kan bukan orang bodoh. Katanya dia punya gelar doktor dari California, meskipun kabarnya itu beli. Apalagi sekarang sudah terpilih jadi wakil rakyat. Tapi apa tanggapannya pada protes kita? Masak tidak tahu, kalau apartemen, kompleks perbelanjaannya benar-benar berdiri, pasar tradisional kita akan mati. Ratusan orang akan kehilangan mata pencahariannya. Apalagi kalau warnet, cafe musik dan lain-lainnya jalan, pemuda-pemuda kita akan keranjingan nongkrong di situ ngerumpi, lihat video dan gambar-gambar porno. Hunian kita yang dipujikan asri dan tenteram ini akan ramai dan kumuh. Masak Baron tidak tahu itu? Kalau tidak tahu, percuma bernama Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak tahu!”
Amat berpikir. Hampir saja Bu Amat mendamprat lagi. Amat keburu menjawab:
“Mungkin saja dia tidak tahu, Bu. Seperti kata pepatah: Dalam lubuk bisa diduga, dalam ….
“Jangan petatah-petitih terus! Kalau dia tidak ngerti, pasti karena Bapak ngelantur ke sana-kemari menyampaikannya. Terlalu banyak pepatah akhirnya lupa apa yang harus disampaikan!”
“Kalau lupa sih, tidak. Hanya …”
“Hanya apa?”
“Dia mungkin berpura-pura tidak mengerti.”
“Tidak mungkin! Bapak belum ngomong pun, dia sudah tahu, bahwa kita, penduduk di sini semuanya menolak!”
“Tapi harus dinyatakan dengan tegas. Dengan surat resmi, misalnya yang kita tanda-tangani bersama!”
“Kalau betul begitu, kalau dia mau kita bikin surat resmi, sekarang pun bisa. Bapak bikin suratnya sekarang, nanti saya minta Pak Agus mengedarkan supaya semua warga tanda tangan! Kalau tidak mau dijitak. Coba apa saja yang sudah Bapak katakan kepada Pak Baron?”
“Semua.”
“Sudah dikatakan bawa kita semua hampir digusur dengan menawarkan tebusan ganti rugi satu meter tanah 15 juta. Tapi kita menolak mentah-mentah. Masak hunian kita mau dijadikan….”
“Dijadikan hotel dan apartemen!”
“Betul!”
“Mau dijadikan pusat perbelanjaan?”
“Betul. Sudah disampaikan juga bahwa kita warga bukan tidak bisa bikin rumah bertingkat, tapi karena menjaga perasaan banyak warga yang tidak mampu? Di samping itu di kompleks kita ini kan ada peninggalan sejarah, karena di sinilah dulu para gerilyawan di masa revolusi bertahan. Rumah-rumahnya tetap kita pelihara sekarang sebagai monumen.”
Amat berpikir lagi.
“Sudah belum? Sudah disampaikan juga bahwa hunian kita ini air sumurnya paling bersih dapat diminum langsung sementara air di hunian lain di sekitar sudah keruh dan asin? Sudah disampaikan ….”
“Kalau itu belum.”
“Tapi dasar keberatan dan protes-protes kita yang lain-lain, sudah kan?”
“Kembali lagi apa dia cukup peka atau tidak.”
“Salah. Pak Baron itu peka. Masalahnya bagaimana Bapak menyampaikannya!”
“Ya, itu dia!”
Bu Amat terkejut.
“Itu dia bagaimana? Bapak menyampaikannya bagaimana?”
“Seperti kata pepatah: diam itu emas.”
“Ah? Bagaimana?!”
“Dengan diam seribu bahasa.”
Malam hari, ketika keadaan tenang, Bu Amat pasang omong. Amat pun tahu apa yang mau dikatakan istrinya. Tapi ia sabar mendengarkan.
“Dengerin, Pak, jangan belum apa-apa sudah langsung membantah. Renungkan saja, apa yang saya katakan. Saya akan mengatakan satu kali saja. Paham?”
Amat mengangguk.
“Begini. Bagi orang besar, diam itu memang emas. Karena, orang besar itu, sudah banyak berbuat dan berkata. Meskipun ia diam, kata-kata dan perbuatan yang sudah pernah dibuatnya sudah menyampaikan tanggapannya. Orang sudah tahu apa yang tak diucapkannya. Itu bedanya dengan kita, orang kecil. Kita kalau diam berarti bego. Menyerah. Atau manut-manut saja. Mau ke kanan, boleh. Ke kiri, juga monggo. Diam itu ya, kosong melompong. Tidak ada yang tahu apa isi hati kita. Jangankan diam, kita ngomong sampai mulut robek dan perut gembung juga orang tidak mendengar apa mau kita sampaikan. Bapak sadar itu, kan?”
Amat mengangguk.
“Makanya, kalau nyadar kita ini orang kecil, ngomonglah. Keluarkan isi hati. Kalau tidak, pendapat orang lain akan diicantolkan kepada kita. Mau? Mau memikul pendapat cantolan yang bertentangan dengan pendapat Bapak? Tidak kan? Kalau tidak, kenapa diam? Apa susahnya ngomong? Atau Bapak takut? Takut apa? Takut itu perlu, kalau perlu. Kalau salah, boleh takut. Apa Bapak salah? Tidak kan?! Salah apa?! Apa salahnya bertanya, Bapak kan mewakili warga. Bapak dipercaya untuk menyampaikan isi hati mereka. Bapak penyambung lidah rakyat di lingkungan kita ini. Meskipun tidak dipilih seperti caleg-caleg itu dan tidak diangkat secara resmi. Bapak juga memang tidak disumpah untuk mewakili warga. Tapi begitu Bapak masuk rumah Pak Baron, semua orang Bapak wakili. Begitu Bapak keluar, mereka menuntut, apa hasilnya. Jadi kalau besok ada pertanyaan, hasilnya, apa yang harus saya jawab?”
Sebenarnya Amat bisa menjawab. Tapi ia memilih diam, karena tak ingin memotong curhat istrinya.
Karena lama tak ada jawaban, Bu Amat melanjutkan.
“Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Masak tidak. Puluhan tahun kita hidup bersama, saya dengar semua yang ada dalam hati kecilmu. Kamu bicara meskipun diam. Ngerti?”
Amat terkejut. Itu dia yang tidak ia pahami. Kalau istrinya saja mengerti isi hatinya, tanpa harus diucapkan, masak Baron yang doktor itu tidak. Jauh di sana dalam lubuk hati istrinya, terasa perih ketika ia bilang orang kecil diamnya tak bicara.
Setelah memijit kaki istrinya, sampai tertidur, Amat berbisik: “Orang kecil yang diam juga emas, Bu, kalau memang emas.”
Tanpa membuka mata, Bu Amat menjawab lirih: “Tetangga kasak-kusuk Bapak diangkat jadi kepala proyek dengan gaji 50 juta.” (*)

4."Boikot"

SEORANG warga memelihara hantu di rumahnya. Berita itu mula-mula menjadi bahan tertawaan. Tetapi ketika beberapa warga mulai datang untuk menengok hantu itu dan diam-diam minta pertolongan, masalahnya jadi berbeda.

Ada yang datang untuk minta kesembuhan. Ada yang ingin kaya. Ada yang minta naik pangkat. Minta jodoh. Anak-anak sekolah juga datang mau lulus ujian tanpa harus belajar. Ada juga koruptor-koruptor teri yang minta jangan sampai ulahnya ketahuan, tapi bukan untuk kapok, malahan mau meneruskan kariernya.
Tengah malam ada wakil rakyat, mau berdialog dengan hantu dan meminta supaya diberikan petunjuk bagaimana mengurus masyarakat agar jangan bergolak. Ia membaca berita dan desas-desus bahwa gerakan menumbangkan Mubarak di Mesir telah mengalir ke seluruh Timur Tengah. Gaddafi yang angker itu juga sudah dikepret. Ia takut teori domino akan menjalar ke arahnya.
Pemilik hantu menikmati kedatangan orang-orang itu. Ia mulai buka warung kecil. Kemudian juga menyediakan kamar bagi yang ingin menginap. Akhirnya ia mengenakan tiket masuk, bagi yang ingin berjumpa dengan peliharaannya. Kabar terakhir, ia memasang plakat di depan rumahnya, bahwa hantunya sudah beranak. Sekarang ia punya sembilan hantu. Masing-masing hantu punya keahlian sendiri-sendiri dan tarif ketemu juga sendiri-sendiri. Ketemu juga sendiri-sendiri.
“Ini kebodohan yang harus dibasmi!” kata Ami memanasi Amat supaya bertindak.
“Masak di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, masih ada orang yang memelihara hantu. Bapak harus bertindak. Ini penipuan!”
Bu Amat setuju.
“Ya, betul! Sebagai orang yang disegani karena dianggap orang tua di lingkungan kita ini Bapak jangan biarkan tetangga itu memelihara hantu. Kan ada Puskesmas, kalau sakit ya berobatnya ke situ. Jangan minta sama hantu. Lihat, sejak tetangga memelihara hantu, anak-anak tidak mau belajar lagi, padahal ujian sudah dekat! Mereka percaya hantu itu akan membantu mereka lulus!”
Amat hanya ketawa.
“Biarin saja. Kalau dilarang, nanti dikira kita iri. Dia kan banjir uang sejak memelihara hantu. Lihat rumahnya sekarang dibangun. Tiga lantai lagi!”
Memang betul, hantu itu membawa perbaikan ekonomi. Yang datang, tak hanya beli tiket, tapi juga membawa oleh-oleh. Kalau pulang meninggalkan amplop yang tentu saja akhirnya jatuh ke tangan pemilik rumah. Apalagi yang pernah meninggalkan amplop tebal, mengaku seluruh permintaannya terkabul.
“Jangan dikira hantu tidak mengerti duit,” kata tamu yang sudah berkali-kali datang, “kalau duit yang kita masukkan ke amplop itu kotor apalagi palsu, tahu sendiri akibatnya. Mesti duit baru dari bank. Kalau pakai dollar, serinya harus jelas!”
Pemilik hantu itu sendiri tidak punya komentar apa-apa. “Tiket ini gunanya untuk membatasi dan mengatur aliran pengunjung supaya tertib,” katanya memberikan argumentasi, “kami sama sekali tidak mengomersialkan hantu. Uang tiket itu kan untuk kebersihan. Adapun amplop-amplop yang ditinggal pengunjung itu, ya itu urusan pengunjung itu sendiri dengan hantu. Kami hanya menyiapkan tempat pertemuan. Silakan berdialog sendiri. Amplopnya karena ditinggal, ya kami tampung saja sebagai tanda persahabatan. Tidak seberapa kok!”
Dia bohong. Orang segera tahu berapa besar isi amplop-amplop itu, sejak di depan rumahnya mulai nangkring mobil Kijang Inova. Istrinya tidak pernah lagi jalan kaki keluar rumah. Ke tetangga pun ia diantar Inova.
“Supaya cepat. Habis kalau lama ditinggal nanti hantu-hantunya tidak ada yang ngurus. Sekarang sudah beranak lagi. Jumlahnya sudah 21.”
Sukses membuat tetangga juragan hantu itu, masuk ke dalam koran. Dengan nada sinis beberapa wartawan serentak mencerca ulah memelihara hantu itu sebagai tanda kebodohan masyarakat. Mereka mengundang petugas agar bertindak. Jangan sampai terlambat karena itu jelas-jelas menenggelamkan masyarakat ke dalam alam mimpi….
Tetapi serangan oleh koran itu malah membuat hantu-hantu yang dipelihara itu semakin terkenal. Orang-orang dari kota lain mulai berdatangan. Bahkan dari Bandung dan Jakarta. Juga tamu dari Kalimantan dan Sulawesi membanjir.
Masyarakat ikut menikmati kedatangan orang-orang itu. Tukang-tukang ojek, angkot dan warung-warung jadi panen. Beberapa penduduk ambil kesempatan menyediakan fasilitas parkir dan menginap bagi tamu-tamu.
Tapi para mahasiswa mulai bertindak. Dimotori oleh Ami dan kawan-kawannya, mereka menyelenggarakan gerakan antihantu. Beramai-ramai mereka mencoba menghalang-halangi pengunjung dengan memberikan keterangan bahwa semua itu isapan jempol. Tapi usaha itu gagal, yang datang tidak peduli.
“Bukan soal percaya-atau tidak pada hantu,” kata mereka, “kami hanya mencoba mencari jalan alternatif untuk membereskan persoalan-persoalan kami yang sudah tidak sanggup kami hadapi sendiri. Siapa tahu ini akan berhasil. Saudara-saudara mahasiswa tidak berhak melarang kami! Jangan pikir karena kalian mahasiswa, kalian yang paling benar! Kami juga warga negara!”
Para mahasiswa keki. Mereka tak bisa lagi menahan beberapa anggotanya menyerbu rumah hantu itu dengan lemparan batu. Tapi itu sama sekali tidak membuat rumah hantu itu ditutup. Malah tetangga itu menyediakan beberapa tukang pukul, menjamin kenyamanan para pengunjungnya.
“Ini negara merdeka dan tidak ada larangan untuk memelihara hantu!” protes pemilik hantu itu pada Amat. “Saya sudah difitnah! Suara-suara negatif dari mahasiswa dan koran-koran itu semuanya dimotivasi kebencian, kedengkian karena iri hati. Mereka cemburu. Apa salahnya kalau hantu-hantu itu mendatangkan rezeki buat kami? Apa bedanya usaha saya ini dengan usaha jasa yang lain. Coba lihat, ada yang sudah 10 kali datang ke mari. Itu kan jelas membuktikan, usaha saya ini membantu masyarakat!”
“Apa mereka pikir enak memelihara hantu? Sekarang kehidupan pribadi saya sudah terganggu karena setiap detik rumah penuh dengan tamu. Saya sudah hampir tidak bisa bernapas lagi karena ngurus tamu. Sementara hantu-hantu itu terus berkembangbiak cepat. Sekarang jumlahnya sudah 100. Saya sekeluarga sudah capek. Saya sudah mau berhenti. Tapi karena dicaci, dicerca, dipojokkan, saya jadi berbalik. Itu semua bukan kritik, itu fitnah! Kritik itu berisi pikiran sehat. Tapi mereka hanya mencaci-maki, menjelek-jelekkan , menghasut masyarakat, menggiring opini publik untuk membenci saya! Saya akan lawan fitnah itu! Rumah hantu ini akan saya lestarikan, biar hantunya terus berkembang sampai jutaan!”
Para mahasiswa yang memprotes tetangga yang memelihara hantu itu semakin garang. Setiap kali ada saja usaha mereka mengganggu yang mereka sebut “bisnis terkutuk” itu. Kadang-kadang sampai terjadi perkelahian antara mereka dan para tukang pukul yang berusaha melindungi para pengunjung yang ingin berdialog dengan hantu.
Penduduk menjadi resah karena kenyamanannya terganggu. Akhirnya mereka lapor pada Pak RW yang rumahnya bersebelahan tembok dengan tetangga pemilik hantu. Pak RW langsung bertindak. Rupanya ia juga sudah lama kesal.
“Memelihara hantu itu perbuatan yang terkutuk. Apalagi mencari nafkah, memperkaya diri, membeli mobil, membangun rumah loteng sehingga menutup pemandangan rumah tetangga, dari hasil menjual jasa bertemu dengan hantu, itu perbuatan kriminal. Kita harus memboikot perilaku asosial itu. Boikot!”
Pernyataan Pak RW terdengar oleh wartawan . Langsung dikibarkan di koran lokal. Masyarakat jadi ramai. Mereka ingin tahu apa yang dimaksudkan dengan boikot. Apakah itu berarti tetangga itu akan dikucilkan dari lingkungan. Atau diusir? Atau hanya sekadar digertak.
Dilalah seruan boikot itu membuat rumah yang memelihara hantu itu semakin ramai dikunjungi. Yang semula menganggap itu dagelan, karena penasaran akhirnya datang. Mereka beli tiket. Membawa oleh-oleh seperti yang lain. Dan setelah jumpa dengan hantu, meninggalkan amplop. Ada juga yang datang kembali, seperti ketagihan ketemu hantu.
Para mahasiswa pun meningkatkan kegiatannya. Mereka mendirikan posko dan gencar memberi informasi kepada para tamu. “Sudah waktunya dunia mistik, klenik dan semacamnya disikat habis. Manusia Indonesia harus hidup rasional, realistis dan bekerja kalau mau maju. Jangan meminta pertolongan hantu.”
Omzet rumah hantu itu melonjak. Tetangga pemilik hantu kebanjiran duit. Tukang pukulnya bertambah. Mereka sudah diperlengkapi dengan walkie-talkie dan pakai motor dalam menyambut dan mengamankan tamu-tamu yang mau diskusi dengan hantu.
“Sudahlah hentikan protes dan demo,” kata Bu Amat menasihati Ami. “Lihat hasilnya, malah hantunya semakin laris dan pemiliknya tambah kaya. Jangan-jangan nanti kalian dituduh kerja sama, menolong mengiklankan dagangan hantunya!”
Ami terkejut.
“Amit-amit, kami mau memberantas irasionalitas dari negeri ini, mana mungkin kami membantu orang yang memperdagangkan hantu?”
“Ibu mengerti. Tapi protes-protes kalian sudah membuat pengunjungnya tambah banyak. Nanti kalau ada wartawan dari Jakarta, kalian bisa dituduh sudah kongkalikong. Perjuangan kalian yang suci akan ternoda, Ami!”
Ami marah. Bersama kawan-kawannya dia mendesak Pak RW untuk mengambil tindakan. Pak RW lalu mengumpulkan warga dan sekali lagi menyerukan: boikot. Tak cukup hanya di lingkungan sendiri, para mahasiswa mengajak Pak RW menghadap yang berwenang.
Lalu tetangga yang memelihara hantu itu datang lagi ke Pak Amat, curhat.
“Pak Amat,” katanya panik, “maaf beribu maaf, saya tidak paham, mengapa saya dicaci-maki dan difitnah seperti ini? Boikot itu kan hukuman keras yang berat sekali. Itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan yang lebih mengherankan saya, kenapa Pak RW yang mengatakannya? Kalau Ami dan adik-adik mahasiswa itu, saya mengerti, karena itu merupakan aspirasi kaum muda yang kelebihan energi. Tapi seorang RW yang bertugas mengayomi warganya, kok sudah mengucapkan sanksi sosial yang sangat keji seperti itu. Boikot itu kan bukan main-main, Pak. Padahal hasil dari usaha memelihara hantu kan sudah saya sumbangkan, untuk memelihara jalan, kebersihan dan juga pendirian sekolah? Kenapa saya dihujat, Pak Amat?” Amat tak sanggup menjawab. Dia lama terdiam. Akhirnya hanya bisa menatap. Tetangga itu merasa tetapan itu memberinya angin.
“Betul, Pak Amat, saya punya catatan. Kalau dijumlahkan, sejak memelihara hantu, saya sudah menyumbang hampir Rp 50 juta kepada Pak RW untuk dimanfaatkan buat lingkungan kita. Itu semuanya saya dapat dari mereka yang berkunjung mau ngobrol dengan hantu. Tetapi kenapa saya dikutuk terus oleh pejabat yang saya hormati seperti Pak RW? Lho, Pak Amat tidak keberatan kan saya memelihara hantu? Ini kan wiraswasta yang tidak memberikan dampak polisi. Ya kan, Pak Amat? Setuju Pak Amat?”
Amat manggut-manggut. Sebenarnya tidak berarti membenarkan, hanya bermaksud menunjukkan ia paham jalan pikiran tetangganya itu. Tapi tetangga itu seperti dapat angin.
“Orang seperti Pak Amat ini, yang saya hargai objektivitas, kenetralannya yang tanpa pamrih, punya partisipasi besar pada perjuangan. Pak Amat saja tidak protes, kok Pak RW yang saya harapkan akan melindungi saya sebagai salah seorang warganya, kok ngomong boikot. Lho saya bukan orang yang supersensitif yang tidak bisa menerima kritik. Sama sekali tidak. Saya orangnya terbuka kok. Pak Amat lihat sendiri kan, itu bukan kritik, saya sudah jadi korban, itu cercaan, fitnah, saya dijelek-jelekkan. Kenapa? Karena saya dapat keuntungan? Tapi saya sudah menyumbang Rp 50 juta kan? Bagaimana pendapat Pak Amat? Apa saya harus menghentikan memelihara hantu? Ini kan sumber penghidupan saya sekarang? Sumber pemasukan buat lingklungan juga! Bagaimana Pak Amat?”
Amat menggeleng-geleng tak tahu harus menjawab bagaimana. Tapi tetangga yang punya usaha hantu itu menganggap gelengan itu sebagai dukungan.
“Ya hanya Pak Amat yang bisa saya ajak bicara. Hanya Pak Amat yang mendukung saya… Perkara tidak suka, boleh saja. Tapi kita kan sudah merdeka dan hidup di alam demokrasi. Boleh dong saya juga punya pendapat dan kebebasan berusaha. Kok diboikot? Tindakan saya bener kan Pak Amat.”
Amat mengangguk, tapi bukan membenarkan. Dia sudah mulai tahu bagaimana harus menanggapi. Dia menatap tetangga yang memelihara hantu itu dengan pandangan bahwa dia sudah mendengar semua keluhannya, tapi bukan berarti dia setuju. Mereka berpandang-pandangan. Ketika Amat mau membuka mulut, tiba-tiba tetangga itu meraih tangan Amat dan menjabatnya sangat erat.
“Terimakasih, Pak Amat. Pak Amatlah satu-satunya yang orang yang sudah memberikan kritik pada saya. Yang lainnya itu hanya fitnah orang yang iri karena tidak kebagian. Terima kasih!”
Tetangga itu cepat-cepat pergi. Tapi esoknya dia langsung menghentikan bisnis memelihara hantunya, sehingga lingkungan aman kembali. (*)
Jakarta, 26 Pebruari 2011

5."2011"

“AKHIR tahun membawa banyak hal yang sama. Misalnya harapan bahwa tahun mendatang akan lebih baik. Tapi biasanya, setelah datang, ternyata juga sama. Tak ada perubahan. Kemajuan hanya harapan. Hanya perasaan-perasaan kita yang berubah. Barangkali memang di situ peluangnya.”
Aku terkejut. Aku menoleh kanan daan kiri. Siapa yang sudah mengatakan itu. Ternyata tidak ada orang. Itu pikiran-pikiranku sendiri setelah merenungi berbagai kejadian yang sudah lewat. Setelah puluhan tahun bergulir, tapi nasibku tidak bergerak. Aku merasa seperti dipaku ke atas dinding beton.
Dengan muka kuyu kutatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja yang kemarin. Foto-foto semuanya sama. Tak ada yang berubah. Barangkali hanya cicak dan tokek yang silih berganti karena mati. Lainnya seperti abadi. Sehingga timbul pertanyaan. Apakah tahun benar-benar berganti atau hanya berulang kembali.
Wajahku melusuh di meja makan. Istriku jadi khawatir.
“Pusing, Pak?”
Aku mengangguk.
“Mau dipijit?”
“Ini bukan masuk angin tapi pikiran kacau.”
Istriku manggut-manggut.
“Kalau begitu jalan-jalanlah keluar rumah, tenangkan pikiran.”
Aku setuju. Setelah ganti pakaian, aku keluar rumah. Tapi setelah sampai di jalan, aku bingung, tak tahu mau ke mana. Waktu itu muncul Pak Manuel yang hendak pergi ke gereja.
“Mau ke gereja, Pak Manuel?”
“Betul, Pak. Bapak sendiri  mau ke mana?”
Aku menjawab malu.
“Tidak ke mana-mana, mau makan angin saja, menghilangkan perasaan sumpek.”
“Kalau sumpek jangan makan angin, nanti tambah pusing.”
Aku ketawa.
“Saya cuma tak habis pikir, Pak Manuel, kok tidak ada yang berubah. Tiap tahun kita ingin ada perbaikan, tapi akhirnya selalu kecewa. Ternyata tidak ada masa depan. Kita seperti naik mobil yang bannya kejeblos. Tambah digas, roda muter makin kencang tapi tetap di situ-situ juga. Sama sekali tak bergerak. Hidup ini seperti macet. Ya kan, Pak Manuel?”
Manuel manggut-manggut.
“Begini, Pak, kalau Bapak sedang naik mobil yang kejeblos, sebenarnya Bapak tidak berjalan di tempat, tapi Bapak sedang masuk ke dalam tanah lebih dalam, sampai dapat pijakan yang cukup kuat untuk mendorong mobil keluar dari lumpur. Bapak mungkin terlambat, tapi bukan tidak ada gunanya. Sebab kalau tidak kejeblos lumpur, siapa tahu, mungkin, mobil Bapak yang ditabrak truk yang nyelonong hambruk karena keberatan muatannya itu. Bersyukurlah! Bapak sebenarnya sedang diselamatkan!”
Aku tersenyum, tapi jadi berpikir.
“Pak Manuel!”
Tapi Manuel tidak  menunggu. Lelaki yang aktif di gerejanya itu sudah sampai ke tikungan dan berbelok tanpa menoleh. Aku jadi merinding.
“Apa itu benar-benar Pak Manuel atau hanya pikiranku yang kacau?”
Cepat aku berbalik pulang, batal cari angin. Aku langsung menghampiri istriku yang sedang menata makan malam.
“Sudah makan angin, Pak?”
Nggak jadi….”
“Kenapa?”
Lantas kuceritakan pertemuanku dengan Pak Manuel.
“Pak Manuel?”
“Ya.”
“Bukannya Pak Manuel sudah kembali ke Flores tahun lalu?”
Aku terperanjat.
“Masak?”
“Ya, sudah kembali ke Flores. Kecuali kalau dia sudah datang lagi!”
Aku jadi penasaran. Cepat aku keluar rumah lagi, ngecek ke rumah Pak Manuel. Di depan rumahnya aku disapa.
“Bapak ke gereja, Pak.”
Aku menoleh. Itu Yozef anak bungsu Manuel.
“He, kamu sudah kembali? Katanya sudah pindah ke Flores.”
“Sudah kembali lagi, Pak.”
“Kapan?”
“Baru tadi.”
Aku bengong. Kutatap anak itu.
“Kamu sudah besar sekarang.”
“Ya, Pak. Saya mau cepat-cepat mau masuk tentara.”
“Ya? Kenapa?”
“Mau memperbaiki dunia!”
Aku bengong. Kembali kuplototi anak itu tajam. Sekarang aku yakin bahwa semua itu tidak nyata. Itu bagian dari pikiranku yang kacau.
“Setuju kan, Pak?!”
Aku menggeleng.
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Karena bukan senjata yang bisa mengubah dunia ini.”
“Terus apa?”
“Perasaan. Perasaan kita. Semua boleh tidak berubah. Semua boleh sama. Tapi kalau perasaan kita berubah, semua yang sama itu dengan sendirinya akan ikut berubah. Hanya perasaan kita yang mampu mengubah semuanya ini. Perasaan kita. Dan hanya kita sendiri. Bukan senjata!”
Yozef tak menjawab, aku cepat berbalik pulang. Sampai di rumah, baru aku merasa perasaanku menjadi terang. Tak perlu ada lampu. Kalau perasaan terang, segalanya akan terang.
Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran yang sama sekali berubah.
Sampai di dalam rumah, aku menoleh ke sekeliling. Dinding, meja, potret-potret di atas tembok tidak ada yang sama. Semuanya terasa baru. Lalu aku cium bau gorengan tempe yang masih mengebulkan asap di atas meja. Itu bukan tempe yang bertahun-tahun lalu aku kunyah, itu tempe baru. Dan ketika kemudian aku mengunyahnya satu, kurasakan kenikmatan yang belum pernah kukecap sebelumnya.
“Tak ada yang benar-benar sama. Semuanya berubah, kalau pikiran kita sehat. Tempe ini bukan tempe yang kemaren, tapi tempe baru yang belum pernah aku rasakan. Karena perasaanku mengubahnya. Nikmat sekali!” kataku sambil mencomot lagi dua potong tempe sekaligus.
Istriku memandang takjub.
“Dari tadi pagi Bapak diam-diam saja kalau diajak ngomong. Tiba-tiba saja sekarang ngoceh ngomong yang aneh-aneh. Salah! Itu bukan tempe. Itu kan krupuk udang, tahu!”
Aku terkejut. Kutatap baik-baik apa yang sedang aku makan. Memang itu bukan tempe, tapi kerupuk udang. Tapi itu tidak mengurangi kenikmatannya. Ya. Ternyata apa yang kupikirkan seharian di akhir tahun ini, terjawab. Yang terpenting dari segalanya adalah perasaan.
Lalu aku mengangguk.
“Betul! Tapi selama kita masih punya perasaan, hidup ini akan berubah!”
Istriku tak menjawab. Ia  menganggap tidak mendengar apa-apa.
Malam hari setelah semua orang tidur, kulihat seakan tahun 2010 sedang menanggalkan pakaian kerjanya untuk diserahkan pada 2011. Aku cepat bersimpuh dalam pikiranku lalu berdoa.
“Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan negeri ini? Apa yang harus kami lakukan untuk membuat negeri, bangsa dan rakyat yang usianya jalan 66 tahun ini dewasa. Percaya pada diri, mampu mempergunakan seluruh kekayaannya untuk kebahagiaan seluruh warga, serta dihormati oleh bangsa dan negara-negara lain, bukan karena takut, tapi karena cinta?”
“Aku tidak minta apa-apa kepada-Mu ya Tuhan, aku hanya mencari titik pandang, tempat aku mendengar kembali suaraku ini. Karena perhatian-Mu sudah lebih dari cukup. Adalah kami yang menjadi pangkal, sebab dan seluruh nasib kami ini. Adalah kami yang harus tidak hanya berpikir, merasa dan berharap tok, tetapi harus segera berbuat untuk memilkul dan mengubah segala yang kurang pantas ini, sampai terjadi apa yang kami mimpikan.”
“Tetapi apa sebenarnya yang kami mimpikan? Apakah mimpiku, harapanku sama dengan yang ditumbuhkan 220 juta batok kepala orang lain di sekitarku?”
Esoknya aku merencanakan akan bertanya pada siapa saja yang kutemui. Apa sebenarnya yang menjadi impian mereka. Jangan-jangan mimpi itu tidak sama, tapi berbeda, bahkan bertentangan. Dan itulah yang menjadi pangkal semua keruwetan  ini.
“Kalau Bapak tanya Ibu,” jawab istriku yang pertama kali kujadikan sasaran, “aku hanya ingin supaya kita semua selamat. Kurang lebih itu biasa, namanya juga hidup. Asal kita jangan hanya saling menyalahkan dan merasa lebih tahu padahal yang paling tahu itu adalah orang lain yang selalu kita tentang karena partainya lain.”
Aku tertawa. Aku heran sejak kapan istriku itu jadi suka politik. Kemudian kucecer anakku. Sebagaimana biasa anak muda, dia menjawab acuh, gagah, dan pongah.
“Sebenarnya semua ini adalah proses panjang dalam menyadarkan kita bahwa kita tidak lagi dijajah. Kita sudah merdeka. Tetapi di dalam kemerdekaan, kita belum siap untuk tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Bahkan kita kaget, karena apa yang kita miliki sebelum merdeka, ternyata kini sudah tidak ada. Misalnya tidak ada yang benar-benar mengurus kita. Semua orang berlomba mengurus dirinya sendiri. Kita sedang dalam belajar merdeka. Seperti kata professor Ben Anderson, bayak orang menganggap merdeka itu adalah saat untuk membagi kue warisan. Akibatnya yang terjadi sekarang setelah lepas dari penjajahan adalah bentrokan antara kita dengan kita, karena semua ingin  mendapat kue warisan yang lebih banyak. Harusnya bukan nafsu membagi warisan, tapi nafsu memberi yang dihidupkan. Seperti kata Kennedy, pertanyaannya bukan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tetapi apa yang bisa kamu berikan kepada negara!”
Jawaban itu mempesonaku. Aku lebih bersemangat lagi untuk mendengar pendapat orang lain. Tapi ketika mau melangkah ke tetangga, anakku mencegah.
“Jangan cuma mendengar pendapat orang. Pendapat Bapak sendiri bagaimana?”
Aku senyum.
“Pendapatku tidak penting.”
“Penting! Jangan nanti baru berendapat setelah mendengar pendapat orang lain. Itu namanya nyontek. Atau Bapak tidak punya pendapat? Mau seperti bunglon?”
Lho jangan sembarangan. Bapak punya pendapat.”
“Ya apa?!”
Aku jadi  mikir.
“Tapi pendapat pribadi Bapak yang sejujur-jujurnya!”
“Lho memang itu tujuannya bapak bertanya-tanya.”
“Jangan cuma bilang ingin ada persatuan, kesadaran kebangsaan, keadilan, kebenaran, keselarasan, kepemimpinan yang transparan, hukum yang hidup dan berjalan, peradilan yang berwibawa, demokrasi dan sebagainya dan sebagainya. Itu sudah klise. Sudah banyak dikatakan orang. Bahkan juga sudah diulang-ulang oleh para ahli-ahli. Saya mau tahu apa keinginan Bapak sejujurnya sebagai warga negara. Jangan takut. Tidak ada yang mendengar dan tidak akan dihukum kalau hanya mengatakan kejujuran. Tapi katakan atas nama sumpah!”
Aku terkejut.
“Kenapa pakai sumpah?”
“Harus! Sebab ini soal kejujuran. Sumpah! Bapak mau apa?”
Aku bengong.
“Jangan berpikir. Sebab kalau Bapak berpikir, artinya Bapak mau cari selamat saja. Katakan saja sejujurnya. Nggak ada orang lain di sini!”
Kemudian istriku muncul.
“Hanya ada Ibu. Tapi Ibu kan bukan orang lain. Katakan saja terus terang. Bapak inginnya apa? Bagaimana?”
Aku menoleh pada istriku.
“Anakmu ini sudah gila. Masak aku disuruh bersumpah untuk mengatakan aku ingin apa?”
Ternyata istriku mendukung anaknya.
Lho, Bapak kan sudah nanyain kami, kenapa mengelak kalau ditanyain? Ibu juga mau dengar apa jawaban Bapak.”
Aku terpaksa ketawa.
“Boleh ketawa. Tapi ini sumpah! Harus sejujurnya!”
“Apa, Pak?”
Aku menarik napas panjang.
“Aku ingin kita….”
“Ingat sumpah, Pak!”
Aku tertegun. Lalu bicara dengan hati-hati.
“Aku berharap negeri kita ini….”
“Awas, ini sumpah!”
Aku hampir saja marah, merasa dipermainkan. Aku ini kepala keluarga, kok didikte oleh anggota keluarga? Tapi tak ada senyum sinis yang biasa ngintip di sudut bibir anakku. Ia serius. Istriku juga sama. Aku jadi terdakwa.
Waktu itu muncul perasaan aneh. Seakan untuk pertama kalinya setelah setengah abad aku memandangi wajah anak dan istriku. Kulihat apa yang tak pernah kulihat. Entah bagaimana kudapatkan kacamata yang sama sekali lain. Lalu kutemukan apa yang tak pernah dan tak ingin kulihat. Apa yang selalu kulewati dan lupakan. Apa yang selalu kuhindari dan aku tunda.
Tiba-tiba saja aku menemukan uban terserak di kepala istriku. Kerutan di leher dan di sudut matanya. Wajahnya yang polos tapi tertikam. Di balik kepolosan itu tertekan berbagai keinginan yang tak terkabul. Alangkah rentan kulit pipi yang dulu merah itu. Kini ia kusut dan tak mampu lagi menutupi apa yang menjadi kekecewaan dan hasratnya yang tak terpenuhi.
Sementara anakku yang belum mandi, karena sedang membersihkan kamar-kamar, terasa kampungan. Jauh sekali dari wajah-wajah cantik di layar sinetron Indonesia. Berbeda dengan gadis-gadis generasi baru Indonesia yang sempurna gizi. Walau tubuhnya berisi dan semampai, tetapi tidak ada kebebasan dan keceriaan di matanya. Belum menikah, ia seperti sudah mendapat beban memikul dunia. Itu bukan generasi baru yang bebas, tetapi anak muda cacat yang digondeli berbagai kesulitan yang sebenarnya bukan tanggungannya.
Mendadak aku menjadi sedih dan kejeblos. Aku ingin menghapus semua itu. Membebaskan keluargaku dari ketaklukan pada nasib buruk. Menyulap rumahku yang berdebu, kumuh, yang bagaikan gudang kotor yang tak selayaknya bagi seorang warga negara di negara yang sudah merdeka dan kaya lagi.
Mendadak aku ingin memiliki rumah yang tak hanya tempat pulang, tapi sebuah istana bagi orang yang menang. Kenapa aku tidak ikut mengenyam keuntungan jalan raya dengan memacu mobil mewah di atasnya? Aku ingin tak hanya memandang hotel dan gemerlapan gaya hidup di real estate mewah, tapi juga ikut mengecap dan memilikinya. Aku tak mau hanya mengibarkan bendera tanda merdeka, tetapi ikut berkibar.
Sambil mengeruk isi dada, lalu aku merasa perutku mual. Karena tak berhasil menahannya lagi, lalu begitu saja aku muntah.
“Aku ingin menjadi konglomerat. Orang yang berkuasa dan ditakuti. Aku ingin menjadi wakil rakyat, semua dapat semua prioritasnya. Jangan hanya bintang film, artis, dan pelawak-pelawak itu saja yang menikmati gaji 40 jutaan sebulan. Aku ingin menjadi pejabat, bupati, walikota, gubernur, menteri, duta besar dan juga presiden. Aku ingin punya bukit, tambang, dan mega proyek. Aku ingin membahagiakan anak cucuku sampai tujuh turunan. Aku ingin sukses, unggul, berkuasa, dan lebih dalam segala hal dari orang lain yang kalah. Aku ingin lebih merdeka, lebih bebas, lebih nyaman, dan lebih berkuasa dari orang lain. Aku ingin bebas dari segala kesulitan dan beban batin karena aku sudah merdeka. Aku ingin, ingin apa saja yang belum kumiliki. Aku ingin segala yang tak ada….”
Tiba-tiba istriku menghapus air matanya. Tapi tetes yang berjatuhan di pipinya tidak terbendung. Ia pun mengisak. Anakku memalingkan mukanya seperti tak tega melihat itu. Lalu ia menjauh.
Sementara aku tak berhasil berhenti. Mulutku terus bicara.
“Aku ingin anak dan istriku tidak pernah lagi menangis dan selalu bangga kepadaku. Karena aku kepala rumah tangga yang sejati. Aku ingin menjadi pahlawan dalam hidup meraka yang tidak tergantikan. Dan karena aku tak mampu mendapatkan semua itu, maka aku ingin, memimpikan semua itu siang malam. Padahal apa yang kurang? Aku sudah berusaha sekuat tenagaku. Aku sudah berjuang, tidak pernah berhenti sedetik pun. Tapi ternyata yang kudapat tidak satu persen pun dari harapanku. Aku hanya lelaki manula yang penuh dengan harapan, keinginan, impian, yang lebat setiap detik, sehingga pohon kehidupanku semakin ringkih dan hampir hambruk, tak sanggup memikul. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya seekor cacing….”
“Sudah, Pak!”
“Maafkan aku, Bu.”
Kudekati istriku.
“Harusnya kamu kawin dengan laki-laki lain yang pasti akan memberikan semua itu, bukan dengan aku. Tapi kalau kamu tidak menikah dengan aku, aku akan brengsek. Nasibku akan konyol. Kalau tidak ada kamu yang menemaniku selama ini, mengingatkan akau agar tetap di jalan yang benar ini saja, barangkali sudah lama aku ada di penjara.”
“Sudahlah, Pak!”
Diam-diam aku ikut menghapus air mata sebelum sempat keluar. Waktu itu anakku menghampiri lagi.
“Bukan hanya Bapak, itu keinginan semua orang sekarang. Saya kira keinginan semua orang Indonesia. Entah kenapa kita bersama-sama menjadi orang yang tidak tahu diri. Semua kita. Tidak terkecuali siapa pun. Hanya ada yang mampu menutupi, ada yang tidak. Ada yang kelihatan gagah dan bijak, tapi sebenarnya dalam hatinya sama saja. Jadi Bapak tidak perlu lagi menanyakan kepada siapa pun apa harapan mereka. Kalau mau berdoa, berdoa saja, mudah-mudahan kita bisa melewati masa yang sulit ini.”
Aku menggeleng.
“Bapak tidak akan berdoa lagi. Sudah cukup. Yang perlu sekarang berbuat.”
Istriku menoleh dan berhenti menghapus air matanya.
“Ya, betul itu. Berbuat. Tapi tidak usah yang neko-neko seperti yang Bapak bilang tadi. Kalau mau, kalau masih kuat, ambil saja sapu bersihkan halaman di belakang. Cukup! Tidak perlu jadi pejabat atau konglomerat, memangnya gampang. Kalau toh ketiban rezeki nomplok, sebesar itu, belum tentu Bapak kuat, kalau mentalnya tidak siap.”
Sembari membuang seluruh kesedihannya istriku kembali ke dapur. Waktu itu anakku tersenyum lantas mengangguk ke arahku.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih?”
“Ya. Terima kasih telah mengembalikan Bapak saya sebagai suami Ibu saya dan Bapak saya.”
“Memangnya selama ini bukan?”
Ami mengangguk.
“Bukan! Sebagaimana umumnya semua orang lain. Kemaren-kemaren Bapak bukan diri Bapak yang sebenarnya.”
“O ya? Lalu kamu sendiri?”
“Saya juga begitu. Semua kita sama!”
Aku berpikir.
“Kalau itu betul, tapi berapa lama kita bisa teatap jadi diri kita?”
Anakku mengangkat pundaknya.
“Ya beberapa detik saja cukup. Karena sebagian besar sejarah kita adalah sejarah orang yang lupa.”
Aku tertegun. Mungkin hanya beberapa detik dalam hidup kita yang panjang ini, kita benar-benar mampu jadi diri kita. Tapi lumayan. Yang penting kebenaran itu masih mau datang. Walaupun barangkali tak pernah bisa kita miliki selamanya, karena hidup bergerak. Karena kita ditakdirkan harus terus mengejarnya. Terus saja mengejarnya. Dan tidak perlu mendapatkannya. Karena mengejar saja sudah cukup. Mengejar jauh lebih indah daripada mendapatkannya.
Kok senyum-senyum sendiri?” tanya istriku tiba-tiba.
Aku menoleh. (*)
Jakarta, 16 Desember 2010

6."Maaf"

PADA hari raya Idul Fitri muncul tamu yang tak dikenal di rumahku. Aku pura-pura saja akrab, lalu menerimanya dengan ramah tamah. Terjadi percakapan. Mula-mula sangat seret, sebab aku sangat berhati-hati jangan sampai kedokku terbuka. Di samping itu, diam-diam aku berusaha keras untuk membongkar seluruh kenangan. Setiap bongkah aku bolak-balik, mencoba menyibak, siapa kira-kira dia, tetapi sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang karena satu dan lain sebab aku lupakan? Orang yang keliru menyangka aku temannya? Penipu atau orang sakit jiwa?
Setengah jam pertama lewat, tetapi masih tetap gelap. Cangkir teh tamu itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi menawarkan apakah boleh menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan bahwa kalau itu sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya. Tetapi tamu itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak memberatkan.
Aku berseru memanggil Taksu, yang memang tidak ada di rumah. Tentu saja Taksu tidak keluar-keluar. Yang muncul adalah istriku yang sudah hendak jalan ke tetangga. Ia mengerti apa yang dimaksudkan suaminya, lalu mengangguk sopan, membawa cangkir masuk. Tetapi kemudian keluar dengan sebuah gelas penuh teh, mungkin supaya tidak perlu bolak-balik lagi. Aku membuang muka karena kecewa. Apa boleh buat sudah telanjur. Ternyata istriku juga menyodorkan setoples kacang sebelum kemudian pamit pergi ke tetangga.
Mau tak mau aku terpaksa memainkan kehadiran kacang itu. Ternyata dengan kacang kapri percakapan menjadi lebih renyah. Aku mulai mendapat informasi bahwa tamu itu sudah menjalani perjalanan yang panjang sebelum menemukan rumahku. Ia menyebut-nyebut kapal laut, kereta api, dan kemudian pesawat terbang. Aku lalu menduga orang itu datang dari Jakarta. Tidak ada kereta api yang sepanjang itu di pulau lain.
Lalu aku ingat pada beberapa kenalanku yang tinggal di Jakarta. Barangkali ini salah satu anggota keluarga Ikra atau Soegianto. Ia datang pasti karena mendapat rekomendasi dari mereka. Dengan harap-harap cemas aku menunggu kalau salah satu nama temanku itu melompat dari mulutnya. Tapi setengah jam lagi berlalu, itu tak terjadi. Tamu itu, setelah memuji kegurihan dan kerenyahan kacang yang katanya paling enak dari semua kacang yang pernah dicicipinya, ia malah banyak bertanya tentang kesehatan jasmaniku.
Apa aku sudah mulai punya keluhan asam urat atau darah tinggi. Mungkin diabet atau jan­tung berdebar-debar. Apa aku masih rajin olahraga orhiba. Belum punya pantangan makanan? Masih berani makan sate kambing dan duren? Bagaimana kalau kopi? Berapa kali minum kopi sehari? Dan merokok?
Ketika mendengar aku tidak merokok dengan penuh perhatian ia menanyakan bagaimana aku bisa menghindar dari rokok yang menjadi alat pergaulan itu. Apakah aku memang tidak merokok sejak awal, tetapi nampaknya itu mustahil, karena merokok sudah jadi identitas semua pemuda yang aktif. Jadi bagaimana caranya aku keluar dari cengkeraman rokok yang menjadi salah satu pembunuh kejam itu.
Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat yang berusaha untuk membebaskan dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan karena cengkeraman nikotin itu tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia tak sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Ia nampak menikmati ceritanya sendiri yang selalu gagal lagi, gagal lagi bercerai dengan rokok.
Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku tidak pernah merasa takut, karena sudah melakukan dosa? Bukan dosa yang dilakukan dengan sengaja tapi dosa-dosa yang tak diketahui, semacam kekhilafan atau kekurangtahuan.
Aku terkejut. Terpaksa lebih berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai curiga, sehingga berusaha agar lebih banyak mendengar daripada bicara. Tapi celakanya orang itu menganggap aku sangat tertarik dan tekun mendengar. Sambil tak henti-hentinya mengunyah kacang, ia menceritakan ada beberapa tingkat dosa yang biasa dilakukan oleh manusia tanpa disadari oleh pelakunya.
Pertama, katanya, dosa bagi yang membiarkan perbuatan berdosa dilakukan. Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam saja tidak berusaha menghalangi pencuri itu melakukan praktik jahanamnya merugikan orang lain, orang yang melihat itu berarti setuju dan ikut mencuri. Hukumannya sama saja.
Yang kedua, dosa yang tidak peduli terhadap orang-orang yang sudah melakukan dosa. Tidak pernah berusaha untuk memberikan teguran atau bimbingan agar orang yang berdosa itu sadar pada perbuatannya. Jangan-jangan pendosa itu melakukan dosanya karena tak tahu itu perbuatan dosa. Bagi yang tahu tapi membiarkan saja orang itu sesat, hukumannya sama. Orang itu berarti ikut membantu melakukan perbuatan dosa.
Dan, yang ketiga, dosa bagi yang tidak mau memaafkan mereka yang berdosa karena ingin menghukum agar pendosa itu kapok. Seorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sudah tertutup mata hatinya, sehingga ia tidak melihat perbuatan itu dosa. Jadi bagaimana mungkin dia akan insaf. Sementara itu, seseorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sadar perbuatannya itu tidak termaafkan. Jadi ia pasti malu datang untuk minta maaf karena ia sendiri sadar perbuatannya itu sulit dimaafkan.
Nah, kata tamu misterius itu, bagi yang tahu kondisi orang itu, dan membiarkannya tetap berada dalam kegelapan dosa, berarti yang bersangkutan juga berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa lebih berat, sebab orang yang tak mengetahui dan orang yang tak berdaya itu tindakannya tidak lagi terkendali, karena ia seperti orang yang tidak berkemampuan. Sebaliknya, orang yang berdaya yang tidak punya kesulitan bertindak untuk mencegah dosa itulah yang akan menanggung dosanya.
Sampai di situ, aku sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran. Kacang di toples tinggal separo. Sudah hampir tiga jam aku mendengar tamu yang tidak punya perasaan dan mungkin sinting itu, menyita waktuku. Padahal sudah dua kali aku sempat tertidur ketika ia menguraikan teori-teori tentang dosa, tetapi setiap kali aku terbangun, orang itu masih terus di situ. Makan kacang dan bicara.
Lalu aku putuskan hendak berdiri. Tapi dia lebih cepat bangkit dan menahan aku di tempat duduk. Tidak, katanya, sudah cukup kunjungan saya kali ini. Terima kasih atas penerimaan Pak Amat yang begitu baik, sekarang saya mau melanjutkan perjalanan lagi, katanya sambil menangkap tanganku. Aku tak sampai hati mengelakkan tangan, apalagi ketika orang itu mencium tanganku, lalu bergegas pergi.
Aku tetap duduk di kursi, tak sudi mengantarkan, untuk menunjukkan rasa kesal. Ketika istriku pulang, ia terkejut melihat suaminya bengong di kursi seperti ketika ia tinggalkan tiga jam yang lalu.
“Kenapa Pak? Kok dari tadi bengong melulu. Masak makan kacang sampai setengah toples, nanti bibirnya lumpangan lho. Mau minum lagi?”
Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar siapa yang tadi bertamu.
“Ayo, Bu, kita ke rumah Pak Bimantoro untuk mengucapkan selamat hari raya!”
Istriku tercengang.
Lho, bukannya dia musuh kita yang sudah memfitnah Bapak korupsi uang warga yang mau dipakai untuk membangun sekolah?”
“Betul. Dan sekarang sudah terbukti itu bohong! Dia pasti malu besar. Dia orang berpendidikan tinggi, pasti dia tidak akan berani minta maaf karena ia tahu fitnahnya yang kejam itu sukar dimaafkan. Kita ke sana saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
Aku cepat mengganti baju dan sandal.
“Ayo, Bu!”
Istriku tak membantah, hanya penasaran.
“Kenapa Bapak jadi berubah pikiran? Bukannya Bapak yang kemarin mati-matian menolak keras waktu diajak untuk silaturahmi maaf-maafan ke situ?”
“Ya. Tapi tadi aku kedatangan tamu. Dia bilang tolonglah orang yang tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa. Ayo, Bu!”
Istriku tambah heran.
“Tamu siapa? Memang tadi ada tamu?”
“Sudah, kok ngomong terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam.”
Dalam perjalanan, istriku terus bertanya-tanya. Apa yang sudah menyebabkan aku berbalik pikiran. Menurut dia, sudah betul apa yang aku putuskan. Menurut istriku, orang kaya itu adalah teroris yang berbuat seenak perutnya sendiri saja. Tanpa punya bukti dia dengan seenak perutnya main tuduh mengatakan aku sudah makan uang warga. Dan itu menyangkut nilai sampai setengah miliar. Padahal uang itu tidak hilang, tapi dipinjamkan oleh bendahara pada warga yang memerlukan atas persetujuan panitia pembangunan sekolah itu sendiri. Dan orang kaya itu termasuk anggotanya, tapi tidak pernah hadir dalam rapat. Belum apa-apa ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar. Maksudnya jelas, ingin menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih menjadi caleg. Akibatnya masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas kesalahannya itu ia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh warga yang berusaha memfitnah dia. Dia berkoar-koar lagi di mana-mana mengatakan sudah diacuhin warga.
“Sekarang bukannya minta maaf, dia malah bikin rumahnya open house, supaya kita semua rame-rame datang ke situ maaf-maafan, seakan-akan kita semua yang salah. Itu kan memutar balik soal. Ngapain kita meladeni orang yang sesoprenia?”
“Untuk menunjukkan bahwa kita berjiwa besar?”
“Ah itu namanya jiwa kecil. Seperti kita semua ngiler mau makan enak dan ambil bungkusan, paling juga dia dapat dari sponsor!”
“Bungkusan apa?”
“Aku baru datang dari rumah tetangga yang barusan ke sana. Tiap orang yang datang ke situ pulangnya dibawaain tas plastik berisi suvenir. Tahu apa isi tas itu? Barang-barang contoh rokok, sampo, sabun, ciki-ciki racun, dan paket mie baru yang pasti dia dapat dari sponsor!”
Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di depan rumahnya. Mau membatalkan tidak bisa karena penyambut tamu mempersilakan kami masuk. Silakan masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Ternyata di dalam rumah sepi. Mungkin tidak ada yang sudi datang. Hanya aku dan istriku. Mau balik langkah, sudah telanjur masuk. Terpaksa dilanjutkan. Muka istriku sudah mulai masam. Aku mencoba berjiwa besar.
“Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk saling memaafkan.”
“Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya mau dipanasin dulu?”
“Tidak usah, tidak usah.”
Istriku tidak mau makan. Tapi piring sudah diulurkan. Terpakasa aku terima. Makanan begitu berlimpahan, mewah dari catering kelas satu. Aku merasakannya sebagai semacam penghinaan kepada kemiskinan yang berserakan di mana-mana. Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam rumah itu, tidak dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Pelayan yang meladeni kami menghampiri.
“Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja. Kalau nanti ada yang mau dibawa pulang, pesan Ibu mangga, kotak plastiknya ada di atas meja itu. Atau perlu saya bantu.”
Aku tak menjawab, hanya senyum-senyum. Tapi istriku melabrak dengan sinis.
“Terima kasih. Tapi tuan rumahnya ke mana kok nggak nongol?”
Pelayan itu tersenyum.
“O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta maaf, keluar sebentar untuk bersilaturahmi karena sudah seharian di rumah. Tapi sebentar lagi beliau akan datang. Silakan menunggu sebentar.”
Sebentar apaan, ini sudah satu jam, bentak istriku. Ngapain kita kemari? Darahnya sudah mulai naik. Aku setuju, kunjungan dengan niat suci dan luhur itu ternyata sebuah kesalahan.
Kemudian ada dua tetangga yang memang punya reputasi tukang jilat muncul. Mereka heran melihat kami. Setelah basa-basi, mereka langsung mengganyang makanan. Kemudian membungkusnya, lebih banyak dari yang sudah mereka makan. Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan akan bersilaturahmi pada yang lain.
Istriku langsung mau ikutan. Aku berkeras menahan.
“Kedatangan kita kemari mau menunjukkan kepada dia bahwa meskipun kita sebenarnya yang pantas dimintai maaf, tapi kita sudah datang kemari karena dia sendiri tidak punya nyali untuk minta maaf. Ini sebuah pembelajaran moral kepada dia!”
Tapi setengah jam kemudian, ketika tuan rumah belum juga nongol, akhirnya kami pergi diam-diam. Begitu pelayannya menyelinap ke belakang, kami buru-buru kabur.
“Alhamdulillah!” kata istriku lega, seperti lepas dari tekanan batin, “meskipun di situ makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak mau masuk lagi. Ini penghinaan! Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia akan tambah sombong sekarang. Lihat, nggak ada orang yang datang ke situ, karena semua punya harga diri. Kita saja yang coba-coba datang karena jiwa kita yang besar, akhirnya dihina seperti ini!”
Aku tak menjawab, karena setuju. Tapi karena aku setuju, istriku justru tambah marah lagi. Sepanjang jalan dia terus marah.
“Orang kaya tidak pernah peduli apalagi mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada orang lain. Dia tidak akan mau melihat kesalahannya, karena matanya sudah penuh berisi tuduhan-tuduhan yang mengatakan kita yang salah. Tidak akan ada pikiran malu, apalagi mau minta maaf sama kita. Dia pikir dengan uangnya itu, semua bisa diatur. Dan memang bisa. Lihat itu penjilat-penjilatnya yang datang tadi. Mereka menyangka kita ini mau ikut-ikutan menjilat. Malu!”
Begitu sampai di teras rumah, aku tidak tahan lagi. Aku banting kantong plastik itu ke meja. Isinya terburai berserakan. Belum puas, aku tendangi lagi isinya. Mie, rokok, permen, dan ciki-ciki racun hancur berantakan. Salah satunya tertendang masuk ke pintu depan yang terbuka.
Tiba-tiba anakku Taksu muncul.
“Pak dari mana aja?”
“Bapak kamu baru saja membuktikan kekonyolannya!”
“O ya? Tumben!”
“Habis sudah aku dipermalukan.”
“Kenapa?”
“Bapak kamu mau menolong bangsat yang tidak berani datang minta maaf karena keder lantaran dosanya sudah kelewatan itu, eh nggak tahunya masuk perangkap dan dipermalukan habis. Rumahnya kosong!”
“Siapa?”
“Setan kaya yang….”
Taksu mengangkat tangan sambil memotong.
“Bapak sudah ditunggu tiga jam.”
“Ditunggu? Ngapainkan Bapak silahturahmi?”
Udah tak bilangin begitu, tapi di situnya ngotot mau nungguin!”
“Siapa sih?”
“Saya Pak.”
Tiba-tiba di depan pintu muncul orang kaya itu.
Darahku tersirap. Di belakangnya muncul istri dan kelima anaknya. Sekeluarga lengkap. Aku bengong. Sementara aku ke rumahnya dan menunggu sambil memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan menunggu dengan sabar hanya untuk minta maaf.
Orang kaya yang barusan aku maki-maki itu mendekat, langsung menjabat tanganku erat. Minta maaf atas segala kesalahannya dan memeluk. Istrinya menyusul. Lalu anak-anaknya satu per satu mencium tanganku dengan hormat, pasti sudah diberi instruksi orang tuanya.
Wajah istriku meledak gembira. Sumpah serapahnya kontan senyap. Apalagi kemudian para tetangga keluar dari rumahnya, menyaksikan silaturahmi itu dan sekalian ikut salam-salaman. Taksu diam-diam dengan gesit mengumpulkan suvenir yang berceceran di mana-mana itu lalu melenyapkannya ke belakang. Hari itu menjadi hari perdamaian yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh rasa benci dan permusuhan itu diselesaikan oleh hari raya. Bayangkan kalau hari yang begitu perkasanya menendang semua permusuhan yang setahun mapat, tak ada? Boleh jadi lebih banyak lagi baku hantam di dunia yang haus darah ini. Hari raya adalah mahakarya. Aku memejamkan mata dan bersyukur.
Waktu itu, tamu itu kembali. Ia menjatuhkan badannya di kursi sebelum sempat aku tegur.
“Aku tak bisa menemukan alamatnya,” katanya sembari memejamkan matanya yang lelah, “Mungkiin dia sudah pindah atau sudah tak ada. Bagaimana kalau aku nginap saja di sini?”
Begitu selesai ngomong dia sudah mendengkur pulas. Aku terkesima. Kutunggu beberapa saat, barangkali dia tersentak bangun dan tentu saja lebih baik pergi, karena sudah larut malam. Tapi dadanya turun naik teratur. Ia sudah jauh. Kucium rasa lelah yang kental meruap dari tubuhnya, tanda sudah menjelajah perjalanan maraton.
“Sudah larut, kendaraan yang terakhir akan berangkat,”bisikku.
Tapi ia sama sekali tak berkutik. Kemudian istriku keluar dari dalam rumah menegur.
“Tidur, Pak, sudah malam.”
“Ya, sebentar lagi.”
“Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
Dengan berat hati aku berdiri.
“Ayo!”
“Ya, ya! Tapi dia bagaimana?”
“Apa?”
“Nggak!”
Istriku tidak mau pergi sebelum aku benar-benar masuk. Setelah itu dia menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati aku berkata: meskipun kita tidur bersama setiap malam selama bertahun-tahun, tapi yang ini tidak akan kamu mengerti, Sayang.
Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.
“Aku kawin hanya dengan satu laki-laki!”
Aku terpaku. Siapa bilang perempuan tidak mengerti, hanya tidak semua yang mereka katakan. (*)
Jakarta, 27 Agustus 2010

7.”Merdeka"

MENJELANG pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit, bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini.
Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak aku pedulikan lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh berhenti.
Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api, komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi.
Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel berbintang sembilan yang sensual.
“Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.
Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang menyengatkan listrik ribuan voltase itu.
“Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu sebentar aku ganggu?”
“Pesan apa?”
“Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang.”
“Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang sudah bertahun-tahun tidak sempat tidur.”
“Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya akan melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan kepingin menaiki tiang itu untuk mengibarkan bendera.”
“Betul, memang begitu.”
“Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas ditiup oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan debu-debu kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan sakit.”
“Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan berarti apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir. Begitu rona merah menebarkan api di langit, pertempuran yang tidak seimbang ini akan memusnahkan kami semua. Tapi tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus rela dikorbankan.”
“Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk mengalami apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk mati?”
“Untuk merdeka.”
“Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi, kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang lakukan.”
“Kenapa?”
“Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap jengkal tanah di seluruh tubuh kota. Jalan layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat melihat pagi dan senja merah, karena langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan. Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki dan sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah punya para konglomerat. Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin, ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai yang nenjadi selebriti karena teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas, tetapi tak pernah berpihak kepada kemanusiaan. Uang adalah dewa yang paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang dengan segala macam cara. Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku diminta menyampaikan ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan sempat meletus itu, karena senjata-senjata kuman sudah terlebih dahulu akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!”
Setan mengulurkan sebuah cek.
“Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi dengan satu syarat.”
“Aku harus meletakkan senjata? Tidak!”
“O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar janji seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian tembakkan. Karena itulah gunanya senjata itu diberikan. Tapi jangan menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di depan, tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri. Tembak semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut yang sudah membuat enam puluh lima tahun merdeka itu lebih neraka dari apa yang ada sekarang.”
Aku tercengang.
“Menembak ke dalam diriku sendiri?”
“Ke samping dan ke belakang juga.”
“Tapi, itu bunuh diri.”
“Bukan. Itu pembersihan rohani!”
“Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.”
“Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.”
Aku terkejut.
“Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan sedih.”
Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke pelukanku. Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman lengket itu membuat tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit sukma sehingga aku ringsek total.
Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke kantung bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku, sehingga dalam ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku terpanggang di dalam api setan. Aku melambung dilalap kenikmatan yang belum pernah kualami.
Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak apa yang dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan kehormatannya, apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa syarat.
Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu panjang dan seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan menyerah. Aku ingin berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.
Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun, aku terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran darah. Wajahnya begitu dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang menetes dari lubang peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu lemah, sehingga aku menempelkan telingaku untuk mendengar.
Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar, katanya, lalu langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah menjadi lautan mayat. Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku sendiri yang luput karena sudah bermimpi atau memang aku disisihkan supaya katut menang, karena setan sudah memilih.
Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah ditempelkan setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan datang, aku angkat senjata. Tapi mana senjataku. Tanganku kosong, senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi suaraku ditelan kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak bisa, tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta pertolongan.
Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak tiang. Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah merdeka. Rakyat bebas. Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi kegembiraan. Aku terlempar ke 65 tahun yang akan datang di tahun 2010. Terima kasih Tuhan!
Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung gundul. Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan. Bencana alam menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar, gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota dalam kubangan lumpur. Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan, korupsi, gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar setan tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak ada gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang berkuasa. Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak punya masa depan. Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang melihat kehidupan dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.
Setan tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku, Taksu, berdiri di depanku dan berbisik.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.
“Apa? Coba ulangi!”
Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata. Kalimat-kalimat itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk langsung ke hulu hatiku. Jantungku yang robek dijahitnya kembali. Sedang hulu hatiku yang tertutup dibukanya lebar-lebar agar udara yang segar berembus masuk mencuci pikiranku yang sumpek.
Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar dari pingsan. Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh dengan harapan. Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja merasukiku. Itu pemaknaan yang baru terhadap kemerdekaan yang membuat horison menjadi berbeda. Luas, tak terbatas, dan siap untuk ditempuh sekali lagi. Luar biasa!
Aku tatap anakku dengan kagum.
“Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia begitu?”
Taksu membuka HP.
“Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB.”
“Waduh, hebat sekali dia!”
“Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela.”
“Pemimpin Afrika Selatan itu?”
“Betul!”
“Wah, wah, wah! Hebat!”
“Yang hebat Nelson Mandela!”
“Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang hebat mengerti makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan yang luar biasa, dewasa, dan mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia sekarang yang hatinya penuh benci, dengki, marah, dan berangasan!”
Taksu ketawa mengejek.
“Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu setinggi langit. Buat aku sih biasa-biasa saja. Kuno! Kata-kata mutiara bisa dibuat seratus biji dalam satu menit, tetapi bukan itu yang kita perlukan. Kita memerlukan tindakan. Indonesia di usia 65 sudah inflasi kata-kata mutiara. Sekecil apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret dari kata-kata yang hanya akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang! Good-bye!”
Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson Mandela sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan lapang dada.
“Sekarang aku mengerti,” gumanku ketika istriku lewat mau ke dapur.
Seperti aku harapkan, dia berhenti.
“Mengerti apa?”
“Apa sejatinya makna kemerdekaan.”
“Apa?”
“Bebas.”
“Memang dari dulu begitu kanMasak baru tahu? Makanya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
“Dan apa sejatinya makna kebebasan?!”
“Apa?”
“Melupakan!”
Istriku terkejut.
“Melupakan? Masak?”
“Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya Nelson Mandela sudah membuktikan itu. Tak mungkin orang besar dari Afrika Selatan itu mampu bertahan disekap puluhan tahun di penjara, padahal usianya sudah uzur, sehingga ketika dibebaskan dia masih sehat jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai presiden pertama Afrika Selatan!”
Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Dewi, istriku, manggut-manggut.
“Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?”
“Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!”
Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita juga harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia berdiri paling depan kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi karena dia membuka makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak seperti kita sekarang di Indonesia ini yang sibuk membenci orang lain, meskipun memang pantas dibenci!”
Istriku termenung.
“Jadi Bapak setuju pada Mandela?”
Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya kita yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak kita, si Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang tadi membacakan pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku seperti mendapat pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya kata-kata, tetapi cukup bisa mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni. Pikiranku seperti dicuci bersih, plong sekarang oleh kebenaran yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak tempe-tahu atau ikan asin tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat lagi. Perasaanku jadi tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela. Batu pun rasanya sekarang enak!”
“Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.”
Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener, semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja, yang baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?”
“Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?”
“Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah dipuja-puja. Dia juga manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung, perlu, harus, wajib, dan mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik di Indonesia maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang merdeka, bebas, sehat, dan waras!”
Dewi menganguk-angguk.
“Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan kebebasan Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau tidak disosialisasikan! Ini ibadah!”
Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap dengan kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret dan arif-bijaksana itu.
Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku tularkan konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua orang. Yang menyenangkan, hampir semua, setelah diberi penjelasan, keplok tangan, sepakat menganggap Nelson Mandela sudah memasok rumusan penting untuk membuka citra baru tentang apa itu merdeka.
Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan dan beduk tanda buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu nyruput teh manis panas yang sudah dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung puasa. Perutku langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja makan aku terkejut.
Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.
Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah makan tempe-tahu dan ikan asin, masak aku mesti makan semuanya itu sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum? Mana pecel lelenya?”
Istriku cepat datang.
“Kenapa, Pak?”
“Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap hari. Mana pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku kan minta pecel lele?”
“Ya!”
“Mana?”
“Tapi?”
“Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan tempe-tahu dan ikan asin! Pecel lele!”
“Ya, Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang….”
“Pecel lele!”
“Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah plong, bersih, merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi enak!”
Aku tertegun.
“Aku bilang begitu?”
“Ya, Bapak bilang begitu!”
Aku terhenyak.
“Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu. Nggak ada masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja enak!”
Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu dan ikan asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang aku lahap tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat. Peluh berleleran dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.
“Bener nikmat?”
Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.
“Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita tunda, karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia motor baru. Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh tetangga-tetangga, karena memang sudah lama betul belum dikembalikan.”
“Tidak bisa!”
Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!”
“Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah ketemu tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu, setiap aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup masuk, seperti ada hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini aku jadi segan keluar rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan merdeka lagi, tadi aku datangi mereka dan bilang pada semuanya, ya sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja semua. Jadi, sekarang aku sudah bisa tenang lagi seperti kata Nelson Mandela.”
Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras batu. Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.
“Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaan. Tapi seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya hidup sesudah merdeka!”
Jakarta, 19 Agustus 2010

8."Bola"

AKU merayakan kemenangan Spanyol dengan membeli sebuah bola. Dengan bangga kuserahkan bola itu kepada anak-anak yang suka main bola merecoki jalanan sambil berpesan:
“Dulu Argentina, Italia, dan sekarang Spanyol, sempat kalah dalam pertandingan mereka yang pertama di Piala Dunia, tapi berkat ketangguhan dan perjuangan habis-habisan sebagai sebuah tim, akhirnya mereka menjadi juara dunia. Hebat kan?! Nah, ternyata dengan menonton sepak bola, kita tidak hanya menghibur diri, tetapi belajar meneguhkan mental. Coba apalagi yang dapat kalian pelajari dari begadang sebulan penuh nonton piala dunia, sampai pilek-pilek begitu?!”
Anak-anak itu bersorak, lalu rebutan menjabat tanganku. Mereka mengacungkan jempol dan memuji-muji. Ada yang langsung mengangkatku sebagai pembina, lalu menuntut supaya aku membelikan mereka seragam, karena mereka akan bertanding.
“Bapak paling hebat, Bapak satu-satunya yang memihak anak-anak muda. Mereka yang lain cuma bisa maki-maki mengumpat kami bandit, karena kami main bola di jalanan. Padahal kami kan main di pinggir jalan, nggak ada yang main di tengah jalan. Ya kalau mau supaya kami main di lapangan, bikinkan lapangan dong!”
Aku kecewa. Bukan itu yang aku harapkan. Ternyata petuahku tidak terlalu diperhatikan. Anak-anak itu lebih suka hadiahnya.
Sampai di rumah aku sambat.
“Sebagus apa pun pelajarannya, tapi kalau yang menerima otaknya batu, tidak akan ada gunanya. Mubazir semua! Payah!”
Istriku heran.
“Maksudnya?”
“Ya begitulah mereka itu. Diajak rembugannggak ada yang ngarti! Bagaimana bisa hebat kalau tidak pakai otak? Main bola itu kan bukan sekadar menyepak bola, tapi pakai taktik, strategi, pakai perhitungan. Memerlukan kecerdasan! Nggak cuma kekuatan. Ngawur! Lihat Spanyol!”
“Siapa mereka?”
“Anak-anak kampung yang suka main bola di jalanan itu!”
Istriku terkejut.
“Lho, sejak kapan Bapak bergaul sama anak-anak itu? Bukannya Bapak yang dulu memelopori kompleks supaya ngusir mereka supaya jangan main bola di jalanan?”
“Memang. Main bola kok di jalanan itu gila. Membahayakan diri dan mengganggu lalu-lintas. Itu namanya asosial. Main bola di lapangan dong. Itu ada tanah kosong di belakang rumah Pak Haji, kalau dibersihkan kan bisa dijadikan lapangan. Pak Haji yang punya tanah juga sudah menawarkan sendiri. Dia seneng kok tanahnya dipakai sebelum dibangun . Daripada jadi semak belukar dan sarang ular seperti sekarang ini?!”
Istriku manggut-manggut.
“Lho kamu kok manggut-manggut?”
“Habis Bapak sudah ketularan perilakunya pemain politik. Dulu marah-marah sama mereka, sekarang malah bergaul. Aneh!”
“Mereka harus mengerti apa arti kemenangan Spanyol. Jangan hanya menangnya saja dilihat. Ngapain kita ikut seneng-seneng padahal orang lain yang menang. Ya, karena kita mendapat pelajaran! Spanyol itu menang, bukan karena yang paling keras menendang bola, tapi karena taktiknya pas. Jadi main bola itu tidak hanya pakai kaki!”
“Pakai apa?”
“Otak!”
Istriku ketawa cekakakan. Tapi lalu pergi. Padahal aku sedang kepingin menerangkan panjang lebar pelajaran apa saja yang bisa ditarik dari Piala Dunia. Rasanya tidak ada yang mengerti apa sebenarnya makna main bola. Mereka pikir otak ditaruh di rumah kalau sudah beraksi di lapangan hijau.
“Kenapa perempuan ditakdirkan tidak suka nonton bola, Ami?” kataku menyalurkan rasa dongkolnya kepada cucuku.
Ami yang sedang baca buku menoleh.
“Kakek masih kesel ya, Argentina dan….”
“O tidak. Kakek sudah seneng, Spanyol menang. Mereka juga mempraktikkan sepak bola indah. Sepak bola itu seni, Ami. Banyak yang bisa kita pelajari dari sepak bola.”
“Misalnya?”
“Disiplin, bekerja sebagai sebuah tim, menahan emosi, mengatur strategi.”
“Dan main di jalanan, mengganggu lalulintas!”
“Nah itu dia! Itu sepakbola yang tidak pakai otak. Mereka hanya pakai kaki. Main bola hanya untuk kesenangan tok. Itu sepak bola hiburan. Sepak bola yang sebenarnya itu serius. Sepak bola itu adalah ilmu!”
“Ilmu menendang bola ngenain kepala, supaya Ami jatuh lagi dari motor?! Udah ah! Ami mau baca. Cukup satu orang saja yang gila bola dalam rumah. Satu bulan Ami susah tidur karena Kakek teriak-teriak di depan televisi seperti orang kesurupan!”
Aku tidak mau berantem dengan cucu. Lalu duduk menyepi di teras.
Waktu itu, tetangga lewat. Darahku berdesir, karena tetangga itu membawa sebuah bola. Entah kenapa ia yakin sekali, itu adalah bola yang sore tadi aku hadiahkan kepada anak-anak jalanan itu.
Aku pura-pura menyapa.
“Dari mana Pak, malam-malam?”
Tetangga menoleh dan tersenyum.
“Baru pulang kerja Pak. Tadi ribut dengan anak-anak itu.”
“Ada apa?”
“Mereka main bola lagi di jalanan. Padahal sudah beberapa kali bolanya ngenain kepala orang naik motor, sampai pengendaranya jatuh babak-belur. Putri Bapak juga pernah kena batunya kan?”
Aku mengangguk lemah.
“Betul!”
“Akhirnya bolanya saya rampas!”
“O ya? Kenapa?”
“Habis tadi giliran kepala saya jadi sasaran tadi! Motor saya masuk selokan, jadi terpaksa dibawa ke bengkel. Untung saya tidak apa-apa!” Aku tak berani lagi bertanya.
“Saya dengar dari mereka bolanya dari Bapak. Betul?”
Aku tak bisa mengelak.
“Ya, ya, saya kasih mereka bola, supaya mau bikin lapangan di tanah kosong itu dan berhenti mengganggu lalu-lintas di jalanan.”
Tetangga itu lalu menghampiri sambil mengulurkan bola.
“Hadiah Bapak tidak salah. Bapak pasti tidak berniat yang bukan-bukan dengan hadiah ini. Memang betul, masih lebih baik mereka main bola daripada kecanduan narkoba. Yang salah adalah kita yang tidak pernah menyediakan tempat bermain buat anak-anak itu, sehingga mereka main di jalanan. Tetapi masalahnya, main bola bukan lagi mengajarkan mereka menjunjung kejujuran, tapi suka akting meniru-niru pemain-pemian bola itu yang pinter memancing supaya dapat free-kick atau penalti. Masak terang-terangan, mereka tendang ke kepala saya, tapi mereka sumpah-sumpah bilang motor saya yang salah jalan. Ya saya memang melawan arus, sebab saya mau pulang, rumah saya kan memang di sini, mereka tahu itu. Lha mereka itu bilang saya ganggu mereka. Padahal mereka yang selama ini sudah ganggu kita. Jalan kan untuk motor, bukan buat main bola!”
Aku terpaksa manggut-manggut.
“Ini bolanya Pak, kalau mereka datang, pasti mereka akan datang, jangan katakan saya sudah kembalikan bolanya ke Bapak. Biar mereka bicara sama saya. Kalau mereka minta maaf dan menyadari kesalahannya, silakan bolanya kalau mau dikembalikan! Supaya jadi pelajaran!”
Dengan perasaan tak enak, aku terpaksa menerima bola itu. Dan betul saja, seperti yang diperkirakan tetangga, tengah malam, anak-anak itu muncul. Mukanya sedih.
“Pak, mohon maaf malam-malam mengganggu.”
“Ada apa?”
“Bola yang Bapak berikan pada kami itu, Pak!”
“Kenapa?”
“Pecah digilas stoom, Pak.”
Aku menghelas napas. Benar kata tetangga itu. Yang dipelajari anak-anak itu dari main bola adalah aktingnya. Sialan.
Setelah pikiranku tenang, aku terpaksa ikut berakting.
“Kalian semua tahu, apa sebabnya stoom yang mestinya hanya ngurus jalan-jalan rusak yang harus diaspal itu, kok ujug-ujug melindas bola baru kalian itu sampai pecah?”
Anak-anak itu heran. Mereka pandang-pandangan satu sama lain. Tak menyangka dapat pertanyaan seaneh itu.
“Tidak tahu kan?”
Anak-anak itu tersenyum.
“Tidak.”
“Nah! Bola kalian digilas sampai pecah, supaya kalian datang ke rumahku mengadu seperti sekarang ini, bukan hanya sekadar laporan bola baru yang aku hadiahkan kepada kalian itu sudah hancur. Tapi karena aku memang belum mendengar apa jawaban kalian, kenapa Spanyol menjadi juara dunia?
Semuanya nonton kan?”
“Nonton Pak.”
“Kalau begitu kalian pasti tahu bahwa Spanyol menang bukan karena dia yang paling pinter main bola. Siapa yang bisa meragukan kepintaran pemain-pemain Brasil dan Argentina? Kaki mereka sudah seperti tangan saja. Tapi main bola tidak hanya menendang bola. Main bola juga memerlukan jiwa seorang pemain bola yang bener. Tahu kalian, apa sebenarnya jiwa pemain bola yang sejati?”
“Memanfaatkan serangan balik, Pak!”
“Salah!”
“Kekompakkan, Pak!”
“Tidak cukup!”
“Mempergunakan kelengahan lawan!”
“Tidak hanya itu!”
“Kepercayaan diri, Pak!”
“Boleh tapi belum sempurna!”
“Kematangan juara, Pak!”
“Semua itu benar tapi bukan intinya! Intinya adalah inti dari apa yang dimaksudkan sebagai sport, sejak olahraga itu itu disebut sport. Intinya adalah sportivitas. Kejujuran! Spanyol menjadi juara karena dia yang paling tangguh di dalam membela kejujuran. Sepak bola adalah pendidikan untuk menjadikan manusia jujur. Mengerti?”
Anak-anak itu tertawa. Itulah yang aku tunggu-tunggu. Bagaikan Arjuna ketika membunuh Niwatakawaca, aku langsung membetot.
“Kalian boleh ketawa! Itu menunjukkan bahwa kalian lebih tidak tahu lagi apa sebenarnya sepak bola itu! Percuma main bola kalau tidak tahu apa sejatinya arti main bola. Lebih baik pulang sekarang, renungkan apa yang sudah aku katakan tadi. Nanti kalau sudah mengerti apa maknanya, boleh datang ke mari lagi, pintu rumahku selalu terbuka.”
Anak-anak itu terpesona.
“Maksud, Bapak?”
“Ya itu tadi. Cari inti apa yang aku katakan tadi. Main bola itu bukan hanya menendang bola, tapi mengasah pikiran dan juga perasaan. Tanpa itu, Spanyol tidak akan pernah jadi juara. Hanya mencoba memanfaatkan kelemahan dan kelemahan lawan, itu bukan sport, itu namanya judi. Untung-untungan. Main bola seperti itu, tidak ada gunanya untuk pembentukan karakter bangsa. Negara membiayai olahraga main bola dengan menyisihkan miliaran belanja negara yang berasal dari cucur-keringat rakyat, untuk apa, kalau bukan untuk membina negara dari dalam rohani rakyatnya. Pembangunan fisik saja akan membuat bangsa ini timpang, para pajabat korup dan hukum tidak bergigi!”
Tiba-tiba istriku keluar.
Aku menyangka dia muncul untuk menghidangkan minuman. Ternyata perempuan yang sudah 40 tahun menemaniku tidur setiap malam itu, keluar sambil membawa bola anak-anak muda yang dirampas tetangga itu.
Tanpa berkata sepatah pun, dia meletakkan bola itu di meja, kemudian pergi. Aku kontan mati langkah. Seluruh kecapku berantakan. Anak-anak itu bersorak. Mereka mengambil bola itu, lalu lari keluar tanpa bilang apa-apa lagi. Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi.
“Habis, aku bosan dengar Bapak ngasih kuliah sama anak-anak itu!” kata istriku kemudian di tempat tidur. “Kok bicara tentang kejujuran, kejujuran, kejujuran, padahal sendirinya tidak jujur! Sudah jelas anak-anak itu bohong, bagaimana mungkin bola dilindas stoom. Semua juga tahu, bola itu dirampas tetangga kita, karena menghantam kepalanya sampai dia jatuh dari motor, karena anak-anak itu main bola di jalanan. Kenapa tidak bilang terus-terang saja apa adanya. Jangan main bola di jalanan? Apa kebohongan mesti dilawan dengan kebohongan?!!”
Aku sebenarnya malas menjawab. Tapi mulutku bicara.
“Aku kan hanya mau mengajarkan agar anak-anak itu jangan berbohong!”
“Dengan berbohong?”
“Berbohong demi kebaikan itu perlu!”
“Bohong tetap saja bohong! Bohong itu tidak bisa dihubungkan dengan kebaikan.”
“Tapi itu kata-kata orang besar!”
“Betul! Tapi kalau yang mengatakannya orang besar, tidak apa, sah! Apa Bapak sudah merasa diri orang besar sehingga bohong itu jadi betul?!”
Mulutku tidak mau menjawab lagi. Istriku nampak sedang dalam keadaan yang tidak ingin dibantah.
“Ingat! Bapak bicara sama anak-anak jalanan. Kalau mau melarang mereka, pakai bohong-bohongan, mereka lebih pinter lagi. Betul tetangga kita itu! Kalau mau melarang main bola di jalanan, pakai tindakan tegas, ambil saja bolanya. Jangan pakai berunding ke sana-ke mari, anak-anak jalanan itu bukan tempat perundingan. Salah urus itu namanya!”
Aku memekakkan telingaku. Lalu duduk di teras rumah menyepi.
Pagi-pagi tetangga menghampiri.
“Pak, semalam anak-anak itu datang dan minta maaf. Silakan Bapak kalau mau memberikan bola itu lagi kepada mereka. Saya sudah merasa puas mereka sudah belajar mengakui kesalahannya. Namanya juga anak-anak muda. Kalau tidak nakal sedikit, bukan anak muda.“
Aku hanya menjawab dengan senyum. Dua atau tiga hari lagi, kepala tetangga itu akan kena bola lagi, yang sengaja ditendang oleh anak-anak itu. Kalau dia jatuh lagi dari motornya, bukan hanya bola itu yang direbutnya, anak-anak itu pasti akan dihajarnya.
Aku benar-benar kecewa.
“Tak ada yang benar-benar nonton bola piala dunia dan mengerti mengapa Spanyol menang,” kataku pada Ami. “Semua orang menganggap kemenangan adalah tanda kejagoan. Hanya aku yang tetap melihat olahraga bukan pertandingan kehebatan, tetapi arena pemeliharaan kejujuran yang sudah semakin punah di dunia ini karena digoreng politik dan dagang.”
Seperti biasa, Ami juga tidak peduli.
Untuk menjaga agar pikirannya tidak rusak, aku membuang jauh-jauh masalah bola. Aku tidak peduli lagi apakah anak-anak itu akan terus mengacau main bola di tengah jalan. Biarin saja berapa banyak lagi pengendara motor yang akan jatuh disodok bola. Peduli amat ada anak nanti yang mati ditabrak truk karena ngejar bola.
Tapi aneh, sore itu jalanan yang biasa ribut oleh pekik anak-anak setan itu jadi sunyi-senyap. Hanya suara motor satu dua. Tapi makin sore, suara kendaraan mulai ramai. Dan pada pukul 18.00 jalanan jadi riuh-rendah. Erangan mesin, knalpot dan pekik klakson riuh-rendah.
Rupanya melihat tidak ada lagi anak-anak main di jalanan, arus lalu-lintas yang selalu padat mulai mengambil jalan pintas, mengalir ke jalan depan rumahku. Udara pun kontan bau dan kotor. Kebisingan itu terus berkelanjutan makin marah sampai larut malam.
“Ya Tuhan, kalau begini, kita panggil anak-anak itu lagi, jangan main di tanah kosong milik Pak Haji, main di jalan raya saja!” kataku menghasut tetangga, “Mereka lebih paham dari kita, kenapa Spanyol menang!” (*)
Jakarta, 14 Juli 2010

9.Putu Wijaya"Rasa"

MEMANDANGI koran, melahap foto doktor termuda Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun, mataku tidak berkedip. “Cantik, badannya bagus, senyumnya mempesona,” gumanku memuji. “Kalau aku masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung melamar.”
Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, “Begitu ya? Bagaimana kalau ditolak?” Aku mengangguk.
“Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum di Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!”
Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari tanganku.
“Seorang wanita adalah sebuah cahaya,” kataku selanjutnya menggembungkan pujian, “Hanya cahaya yang bisa membuat negeri ini bangkit dari kegelapan. Begitulah arti kehadiran perempuan. Jadi bukan hanya memikirkan mobil, rumah mewah dan duit untuk berfoya-foya, tetapi membangun negeri. Mengembalikan kembali greget para pemimpin negara yang sudah bangkrut moralnya seperti sekarang. Jadi banggalah menjadi perempuan, Ami!”
Tak ada jawaban. Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar.
“Anakmu selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya.
“Habis Bapak sih tidak punya perasaan!”
“Tidak punya perasaan bagaimana?”
Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?”
“Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima kenyataan!”
“Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban. Karena istriku terus ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku muring-muring.
“Aneh! Aku tidak mengerti! Ini rumahku. Masak aku tidak boleh memuji kalau memang ada orang cantik yang pintar. Biasanya orang cantik kan bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang pintar, tapi jarang yang cantik. Karena kecantikan dan kepintaran seperti air dan minyak, sulit digabung. Itu fakta! Boleh tidak suka, tapi itulah realita!”
Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut esok paginya setelah Ami ternyata tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya terkunci. Berarti ia bolos ke kampus.
“Anakmu kenapa, Bu?”
“Pasti sakit!”
Aku tak percaya. Aku ketuk pintu kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa dia perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban. Ya, orang sakit atau hanya pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak akan mau menjawab kalau ditanya. Aku cepat pergi ke apotek dan membeli obat maag.
“Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku terpaksa singgah sambil curhat.
“Pak Iskan, situ juga punya anak gadis kan?”
“Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya dengar sudah hampir lulus sarjana?”
“Ya. Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya memuji perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!”
Tukang warung itu, ketawa.
Kok pakai memuji orang lain, putri Pak Amat kan cantik dan pintarnya bukan main?”
Aku tertegun.
“Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, Pak!”
Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya jantungku terpukul. Setelah beli tablet kunyah untuk maag, aku bergegas pulang. Ternyata pintu kamar Ami sudah terbuka. Hanya saja waktu aku masuk, kosong. Aku langsung ke dapur.
“Ami mana Bu?”
“Ke rumah temannya. Kenapa?”
Lho, bukannya sakit?”
“Katanya sudah baikan.”
Aku manggut-manggut. Aku taruh obat maag itu di atas meja belajar Ami. Koran berisi foto doktor termuda itu tergeletak di atas buku-buku Ami. Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang akan melihatnya. Langsung saja aku ungsikan, supaya jangan memicu persoalan lebih jauh.
Menjelang makan malam, ternyata Ami belum pulang. Aku mulai was-was.
Kok Ami belum pulang, Bu?”
“Ya kan belajar di rumah temannya!”
“Tapi ini sudah malam.”
“Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.”
“O ya? Menginap di ruman teman?”
“Memang.”
“Kenapa?”
Istriku membentak. “Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi tidak kaget. Tapi hanya Tuhan yang tahu, bagaimana perasaan seorang bapak kalau anak perawannya larut malam belum pulang.
“Sakit kok belajar di rumah teman. Mestinya temannya yang kemari. Aku susul saja ya?!”
“Jangan! Memang kenapa?!”
Masak anak gadis nginap di rumah teman?”
“Apa salahnya? Memangnya zaman Sitti Nurbaya? Ami itu bukan anak-anak lagi Pak. Dia sudah bisa mandiri. Biar saja belajar di situ supaya dapat nilai A plus, nanti kan bisa jadi doktor.”
Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah jelas sekarang, Ami ke rumah temannya untuk melarikan perasaannya yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi sebal, kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku tidak pernah lupa Ami bukan anak kecil lagi tapi perempuan dewasa. Kenapa aku selalu memperlakukannya sebagai anak-anak yang harus selalu dilindungi?
Tengah malam.
Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi menjemput. Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami menginap di rumah temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya istriku sudah tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai hati membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan tidur.
Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah Rani. Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat bapaknya datang.
“Ngapain ke mari Pak?”
“Mau jemput kamu.”
“Ami belum selesai belajar.”
“Tapi ibu kamu sakit!”
Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit itu bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak. Dan aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak.
Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.
“Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”
“Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.
“Bapak kok minta maaf sama aku?”
“Ya. Harus!”
“Kenapa?”
“Aku salah!”
“Apa salah Bapak?”
“Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan. Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari, burung di tangan dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
“Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.”
“Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.”
“Salah alamat bagaimana?”
“Bapak menyangka saya sudah tersinggung?”
“Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti hanya muak pada kelakuan Bapak yang kurang menghargai kamu. Bapakmu ini memang laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang tua untuk merangsang anaknya maju biasanya dengan cara membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang warung itu, sebaliknya daripada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya Bapak bangga pada kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!”
Ami tertawa.
“Salah alamat, Pak!”
“Salah alamat bagaimana?”
“Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”
“Ah?”
“Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”
Aku terpesona.
“Jadi ibu kamu?”
“Ya!”
Aku bengong.
“Ya sudah kalau begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus sampai pagi, supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi di situ. Biar Bapak pulang!”
“Tapi ibu?”
“Ibu kamu tidak tidak apa-apa. Bapakmu ini yang sakit!”
Ami tersenyum.
“Ayo Ami kita kembali ke rumah Rani.”
“Tidak usah!”
“Tapi kamu harus belajar supaya dapat A plus!”
“Ami sudah selesai ujian.”
“O ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?”
“Di suruh ibu!”
Aku terhenyak lagi.
“Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon. Kalau dijemput Bapak jangan mau!”
“O begitu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?”
“Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat pulang dan langsung pulang, jangan pakai singgah di warung Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah menunggu.”
Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti kukira, tapi dia menunggu di teras rumah.
“Bapak harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi Bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan perasaannya itu, karena dia terdidik untuk menyimpannya. Tidak seperti Ami dan perempuan-perempuan sekarang yang memang harus berani mengutarakan perasaan, karena zaman sudah berubah. Bapak pulang saja, sudah ditunggu.”
“Kamu?”
“Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya ketawa sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon. Perasaanku kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya tak ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah naik kelas.
“Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!”
Ami mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan Rani dan melambai.
“Besok saya nginap lagi semalam!”
“Jangan!”
“Itu perintah ibu!”
Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal aku. Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak ada lagi di teras. Mungkin dia tahu aku datang karena bunyi motor itu. Seperti anak muda yang baru kali pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku melangkah pulang. Kenapa begitu banyak rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru karena tak pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus ingin tahu dan mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa sendirian. Itu di situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku menunggu. Bagaimana aku tidak akan mencintainya. (*)
Jakarta, 9 Pebruari 2010

(buat sahabatku Iskan)

10."2010"

TAK terasa 2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi?
“Kalau boleh memilih, lebih baik para koruptor, manipulator tertidur pulas semuanya. Negara kita akan aman. Ketimbang banyaknya para dermawan yang rajin menyumbang bencana alam ataupun kemiskinan, yang akhirnya jadi dagelan, karena semua jatuhnya bukan ke tangan korban yang sebenarnya!” kata seorang tetangga.
Saya manggut-manggut.
“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir, segala bencana yang menimpa kita itu sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab saya, “Bayangkan, dengan adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para cendekiawan kita, para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata, jadi terlatih untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”
Tetangga itu ganti manggut-manggut.
“Memang dalam ilmu persilatan, pendekar-pendekar dari Shaolin itu berlatih dengan cara disiksa! Tapi bangsa ini kan bukan pendekar silat. Jangankan main silat, memainkan lidah saja tidak mampu karena tiap hari sudah kena tipu. Yang kita perlukan di tahun 2010 adalah kiamatnya kejahatan, matinya semua koruptor dan manipulator, termasuk pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri! Supaya rakyat banyak bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan terus dikubur!”
Tanpa peduli reaksi saya tetangga itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang dan menjual kembali obrolan itu di rumah.
“Jadi kita wajib mensyukuri juga segala rongrongan yang sudah terjadi, karena berkat itulah kita menjadi dewasa. Lihat saja, kalau tidak ada pencuri yang membobol rumah kita, kita tidak akan pasang terali besi, sehingga ketika tetangga-tetangga habis disikat oleh pencuri, satu-satunya yang selamat adalah rumah kita ini,” kata saya berpidato di depan siapa lagi kalau bukan istri.
Tapi seperti biasa, istri saya sama sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa mencari anak saya.
“Bagaimana pendapatmu, Ami?”
“Tentang apa?”
“Apa yang kamu harapkan akan terjadi di tahun 2010?”
“Hanya satu!”
“Apa?”
“Bapak beli mobil!”
Saya kecewa.
“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu juga sudah terperangkap pada kebutuhan materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu payah, Ami!”
Ami tertawa.
“Habis yang ditanya harapan.”
“Memang! Tapi jangan salah! Harapan itu bukan mimpi. Itu namanya ngelamun. Harapan itu keinginan keras untuk mewujudkan sesuatu yang ada hubungannya dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk kepentingan diri sendiri, thok!”
Saya hampir saja memberi kuliah panjang lebar, keburu istri saya muncul dari rumah tetangga.
“Bapak kok belum berangkat juga?”
“Ke mana?”
“Ya nengok tetangga yang diopname itu. Nanti dia keburu pulang!”
“Orang sudah mau pulang buat apa lagi ditengok?”
“Justru harus ditengok sebelum pulang. Itu yang disebut silahturahmi. Kalau terlambat, nanti didahului keluarganya yang sudah siap-siap mau jemput. Ayo cepetan ke situ, sebelum dia pulang. Dulu kan dia yang paling rajin nengok waktu Bapak sakit?! Cepet!”
Saya terpaksa buru-buru ganti pakaian, lalu keluar rumah.
“Naik apa?”
“Naik ojek saja. Nanti orangnya keburu pulang!”
Istri saya mengulurkan ongkos ojek.
“Cepet!”
Saya menyambut uang itu, lalu terbang. Tapi di mulut jalan yang biasanya ramai tukang ojek, sama sekali sepi. Setengah jam saya menunggu, tak satu pun hidung tukang ojek yang nongol. Karena tidak sabar, akhirnya saya naik angkot.
Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar berhenti, seperti anjing yang tiap beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan macet. Bahkan angkot sengaja masuk ke terminal dan antre di belakang angkot-angkot lain untuk menjaring penumpang yang dengan malasnya turun dari bus.
Hampir dua jam saya baru sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke kamar yang menurut istri saya dihuni tetangga kami, orangnya sudah pergi. Di tempat tidurnya sudah ada pasien lain.
“Baru saja pulang, Pak,” kata perawat.
Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang. Saya langsung ke rumah tetangga yang sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi. Kata yang jaga rumah, semua baru saja berangkat ke rumah sakit untuk menjemput. Amat membingungkan. Setelah dicek dengan teliti, ternyata kamar yang tadi saya masuki salah.
Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, saya terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan heran, perawat yang sama memberi keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”
Dengan amat sangat kesal saya keluar dari rumah sakit. Untuk mengobati hati saya yang luka, saya tidak segera pulang. Pulang juga tidak ada gunanya, hanya akan didamprat istri. Saya coba menenangkan otak dengan jalan-jalan ke mal. Meskipun dihina banyak orang bahwa mal-mal yang balapan –bahkan maksa-maksa– berdiri di semua kota sudah membunuh pasar tradisional, nyatanya pusat perbelanjaan itu menjadi hiburan buat rakyat jelata.
Tapi, tak disangka-sangka, ketika masuk restoran mau makan ayam goreng buatan Amerika, saya berpapasan dengan tetangga yang sakit itu. Ia kelihatan lebih sehat dari orang sehat. Saya tak habis pikir, orang sebugar itu kok masuk rumah sakit.
“Pak Amat mau ke mana?”
“Habis dari rumah sakit, mau nengok Anda. Tapi katanya baru saja pulang. Sudah sembuh ya?”
Dia tertawa.
“Belum.”
“Belum kok sudah gentayangan di mal?”
“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah sakit yang paling baik untuk cuci mata dan cuci otak di samping cuci kantong. Ya kan, Pak?”
Dia tertawa lagi dan mengguncang tangan saya.
“Jadi?”
“Saya mau pindah ke rumah sakit lain. Di situ tidak betah. Perawatnya judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah sakit, saya pingin makan burger. Sudah dua minggu ini makan daging busuk yang direndam air comberan. Mana ada makanan enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”
“O, begitu?”
“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya sekali, jadi harus dinikmati. Buat apa kita banting tulang cari uang melulu. Jadi kalau uangnya sudah didapat mesti dibanting balik supaya bisa kita cari lagi. Ya kan, Pak!”
Dia tertawa lagi. Waktu itu saya mulai yakin bahwa dia memang sakit.
“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”
“Ya. Mau pindah rumah sakit. Seminggu di situ saya mules-mules dan muntah terus habis makan.”
“Jadi sekarang mau ke rumah sakit mana?”
“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”
“Pulang?”
“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah makan burger. Terima kasih sudah nengok!”
Dia mengguncang tangan saya lalu pergi. Saya menatap takjub. Makanan cepat yang sering dikutuk sebagai sampah dan racun itu, ternyata sudah bikin dia sehat. Saya jadi merasa diri saya bego.
“Banyak sekali yang sudah berubah,” komentar hati kecil saya, “orang ke rumah sakit tidak karena sakit lagi, tapi karena mau istirahat dan dapat pelayanan yang manis dari para perawat yang sudah terlatih untuk memanjakan pasien. Rumah sakit sudah jadi bisnis rumah bersenang-senang.”
Langit sudah dimerahkan ketika saya kembali ke rumah. Istri saya tidak ada. Kata Ami sudah sejak tetangga itu pulang, ibunya ngerumpi di tetangga. Saya melanjutkan termangu-mangu dan ngobrol dengan perasaan saya.
Ami jadi penasaran.
“Bapak kenapa?”
“Kamu percaya tidak, Ami?”
“Apa?”
“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat untuk mendapat kemanjaan buat orang-orang yang berduit.”
“Memang.”
Saya tercengang.
“O ya, jadi kamu setuju?”
“Bukan setuju atau tidak. Faktanya memang begitu!”
“Tapi kamu setuju atau tidak?”
“Kenapa mesti setuju atau tidak? Saya tidak dalam posisi itu!”
Saya menatap anak saya. Lalu saya bertambah yakin bahwa dia memang makhluk lain yang datang dari planet lain. Bukan sejenis saya atau istri saya.
“Kok Bapak melotot begitu?”
“Kamu aneh!”
“Saya atau Bapak yang aneh?”
Kami saling memandang. Dan saya tahu kami memang sama-sama merasa aneh. Dan itu tidak ada kesepakatan. Saya selalu membiarkan perbedaan itu mengapung di antara kami yang menjadi pembelajaran kami setiap hari dalam banyak hal. Dari sana saya mulai banyak memahami berbagai hal.
Tidak seperti biasanya, saya mencoba berdamai.
“Kalau begitu, Bapak sekarang mengerti mengapa harapanmu pada tahun 2010 itu hanya mobil.”
“O begitu?”
“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan lagi kendaraan mewah, seperti waktu Bapak muda. Waktu muda Bapak menganggap mobil adalah kendaraan dewa-dewa. Siapa yang punya mobil berarti dewa. Mobil adalah status sosial. Tapi sekarang mobil hanya alat transportasi. Kelengkapan bekerja, seperti alas kaki atau sepeda yang sangat penting karena kecepatan adalah tuntutan masyarakat kota yang serba bergegas.”
Ami ketawa.
“Salah.”
“Salah?”
“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk mancing, supaya Bapak ingat kembali pada cita-cita Bapak yang sudah mulai luntur.”
“Cita-citaku yang sudah luntur?”
“Persis!”
“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah luntur!”
“O ya? Apa cita-cita Bapak yang tidak pernah luntur itu?”
Saya terkejut lalu segera mulai membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama. Ami kontan mengejar.
“Apa coba?”
Saya masih memilih-milih. Kemudian istri saya muncul. Rupanya ia sudah mendengarkan sejak tadi, lalu langsung menolong saya menjawab.
“Hidup harus diabdikan pada kepentingan bersama!”
Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya. Istri saya tersenyum. Dia kembali berhasil memberikan saya tamparan yang telak. Padahal, kendati memang saya yang melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya datang dari dia juga. Dialah yang sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah ini, terus mencari peluang untuk meningkatkan kenyamanan hidup dengan dalih masa depan yang lebih baik. Tak peduli itu bisa mengganggu kenyamanan orang lain.
“Bapak yang baru kembali dari rumah sakit itu memergoki Bapak tadi di mal makan ayam goreng Amerika ya?”
Saya tertawa.
“Bukan dia, aku yang memergoki dia makan burger. Orang sakit kok makan makanan sampah di mal!”
“Itu dia. Makanya dia masuk rumah sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”
Saya tidak meneruskan percakapan itu. Saya tidak perlu menang di dalam rumah. Yang penting istri tersenyum dan anak tertawa, itu kebahagiaan saya. Besoknya saya jumpai tetangga.
“Saya kira Bapak betul,” kata saya mencoba membuka percakapan yang tertunda sebelumnya.
Tetangga itu tercengang.
“Apanya yang betul?”
“Ya. Kita tidak perlu dermawan. Cukup asal para koruptor, manipulator dan pemimpin-pemimpin palsu itu tidur, negeri kita pasti akan aman.”
Tetangga itu memperhatikan saya dengan sinis.
“O, jadi itu sebabnya Bapak belum mengembalikan edaran sumbangan warga itu?”
“Ah? Edaran sumbangan apa?”
“Edaran sumbangan dari warga untuk diberikan kepada para satpam sebagai hadiah tahun baru atas pengabdian mereka 24 jam bertugas tiap hari itu?”
Saya tertegun.
“Ya Pak?”
Akhirnya saya terpaksa menjawab.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sebab itu akan mengajarkan mereka moral pengemis. Bukan etos kerja profesional. Mereka harus bangga sebagai petugas keamanan, sebab itu profesi mereka dan mereka profesional. Jangan hanya bekerja untuk menunggu kita mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan sebagai sumbangan. Itu pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan pekerjaannya yang berat berjaga 24 jam tiap hari. Buat mereka bangga pada pekerjaannya dan menjadi profesional!”
Tetangga saya hanya manggut-manggut. Nampak kagum. Dia pasti tidak ingat, yang dulu, pertama dan paling getol menolak kenaikan gaji satpam adalah saya. Karena saya lihat mereka semua pemalas. Kebanyakan tidur bahkan sering meninggalkan gardu jaganya kosong.
Sebelum tetangga itu sadar bagaimana caranya menjawab dengan telak, saya langsung ngacir untuk menutupi rasa malu. Ketika melintas di depan gardu satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada keenam satpam yang kebetulan sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50 ribuan. Supaya meredam api amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti masuk ke telinga mereka.
Sambil menunggu kehadiran 2010 saya selalu berpikir bahwa tak ada obat yang mujarab. Semua memerlukan proses. Banyak lubang yang akan terus bertambah, kalau yang kita sumbat hanya satu-satu. Mesti semuanya. Dan itu memerlukan waktu, sebab kita semua sekarang memandang dari kaca mata yang berbeda-beda.
“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang diramalkan suku Maya yang keseramannya sudah dibayangkan oleh film yang nyaris dilarang MUI itu, memerlukan kesabaran kita. Boleh banyak berharap, tetapi banyak khawatir juga perlu, supaya berimbang sehingga kita tetap awas,” komentar hati kecil saya.
Istri saya mendengar, lalu ngomel, seperti biasa.
“Sabar itu tidak berarti diam. Itu namanya malas. Sabar itu adalah tahan banting sembari terus mencari peluang untuk membuat istrimu selalu senyum, anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan para tetangga menyapa ramah!”
Anak saya juga nimbrung.
“2010 tak akan jadi datang, kalau kita hanya mau menerima separonya. Mesti diterima penuh. Total. Tidak berarti menerima itu setuju atau tidak setuju, tapi berani menghadapinya lalu menyelesaikannya secara jantan!”
Saya mencoba tertawa.
Di tahun 2010, apakah matahari masih akan terbit setiap hari di timur dan tenggelam di barat? Apakah malam tetap silih bergantian dengan siang? Adakah hal-hal yang baik masih saling berselipan dengan yang buruk? Akankah hidup kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado? Berbagai unsur tersaji, tinggal siapa dan bagaimana menyantapnya. Semuanya dikembalikan kepada manusia yang akan mengisinya.
Kepada setiap orang apa ada kesempatan menuliskan riwayat hidupnya. Bahwa menolak dan pasrah tidak berarti akan dituliskan, tetapi sudah merakit sendiri. Bahwa manusia selalu mendapatkan peranan dan menjalankan peranan. Bahkan kematian dan kemusnahan pun tidak memutuskan riwayatnya.
Kearifan lokal mengatakan ada itu tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010 sudah datang sebelum datang. Dan sudah pergi sebelum kita alami. Kita tak pernah tahu hanya peran pembantu yang tak mampu mengubah nasib. Kita adalah para penulis yang mencipta dan meletakkan sendiri bagaimana cerita akan berjalan atas kehendak-Nya.
Tiba-tiba HP saya ada SMS:
“Kecemasan itu perlu untuk membatalkan yang tidak kita kehendaki mungkin terjadi. Baik Djojobojo, Nostradamus atau suku Maya, mereka sudah memahaminya. Ramalan adalah sebuah kearifan lokal untuk membalikkan takdir menjadi nasib yang ditulis oleh manusia, tetapi semuanya juga atas kehendak-Nya.”
Siapa yang sudah mengirim pesan itu?
“Aku,” bisik 2010.
Saya pikir, tak ada kata akhir, selama kita masih mau berpikir. (*)
Jakarta, 16 Desember 09

11."Kartini"

Subuh hari pintu rumah Amat digedor. Seorang tetangga muda muncul di depan pintu dengan muka berbinar-binar.

“Pak Amat, anak saya sudah lahir, selamat dan sehat.” Darah Amat yang tadinya sudah naik langsung surut.
“Bagus! Selamat! Anak pertama kan?!
“Betul Pak Amat. Tolong!”
“Tolong?”
“Kasih nama. Saya belum punya nama.”
Amat cepat berpikir. Hari Kartini baru saja lewat. Ia langsung menggapai.
“Beri nama Kartini!”
Bapak muda itu terpesona. Amat langusng cepat mengguncang tangannya.
“Tak usah nama yang muluk-mulul, apa artinya nama, biar anak itu sendiri uang mengubah namanya,. Siapa pun kamu sebut dia, kalau dia dididik dengan baik, dia akan jadi sejarah yang berguna bagi otang banyak. Selamat!”
Anak muda itu masih bengong, tapi Amat tidak memberinya kesempatan bertanya lagi, langusng menutupkan pintu lagi.
“Lagi asyik-asyiknya, ada saja yang ganggu. Masak subuh-subuh begini nanya minta nama segala, “kata Amat sembari masuk kamar menghampiri Bu Amat. “Kalau belum siap punya anak, kenapa bikin anak. Masak nama saja bingung, Nanti kalau beli susu, periksa dokter, pasti lebih bingung lagi. Sudah sampai di mana kita tadi, Bu?”
Bu ternyata sudah tidur pulas kembali. Amat kecewa berat.
Tapu besoknya Bu Amat malah marah-marah.
“Bapak keterlaluan!”
“Lho, bukannya Ibu yang keterlaluan! Baru ditinggal sebentar sudah ngorok lagi!”
“Masak ngasih nama anak orang Kartini.”
“Lho, memang kenapa? Ibu Raden Ajeng Kartini kan orang besar. Tokoh sejarah. Nama itu bukan soal sepele. Memberi nama anak harus dengan cita-cita, akan jadi apa anak itu kelak. Ibu Kartini kan sudah berjasa membangkitkan kaum perempuan di Indonesia supaya percaya diri. Dia itu hebat, Bu!”
“Memang. Tapi tidak semua orang yang namanya Kartini bisa seperti RA Kartini!”
“Makanya yang namanya usaha itu penting, jangan hanya bergantung dari nama tok. Itu namanya klenik. Nama sakti juga kalau pendidikannya tidak becus jadi sampah. Lihat itu anak tetangga kita namanya Gajah Mada, mau bapaknya supaya jadi orang besar, eh nyatanya cumakusir dokar.”
“Mendingan Gajah Mada. Jelas. Kok Kartini!”
“Lho tidak bisa dibandingkan begitu, Bu. Sebesar-besar Gajah Mada, orang Sunda benci sama dia. Sementara Kartini, walau pun hanya bangsawan Jawa, tapi perjuangannya sangat berarti untuk membebaskan kaum perempuan di seluruh Indonesia yang sampai sekarang nasibnya masih di bawah telapak kaki lelaki!”
“Betul! Tapi kalau anak laki diberi nama Kartini, itu namanya sudah sinting!”
Amat terkejut.
“Lho, jadi anaknya laki-laki?”
“Sejak 5 bulan lalu dokter sudah bilang lelaki. Kok kasih nama Kartini?”
Amat bengong. Ia cepat memakai sandal dan bergegas ke rumah tetangga itu. Anak muda itu sudah hampir hendak berangkat ke klinik bersalin membawa perlengkapan untuk istri dan anaknya.
“Terimakasih Pak Amat.”
Amat jadi salah tingkah. Dengan malu dia mengulurkan tangan minta maaf.
“Maaf, Bapak tidak tahu. Aku memberikan nama sembarangan. Jangan pakai nama itu!”
“Tidak apa Pak Amat. What is a name. Saya berterimakasih sekali Pak Amat tidak marah digedor subuh begitu. Namanya bagus.”
Amat bingung.
“Lho jangan ngasih nama anakmu Kartini!”
“Tapi Raden Ajeng Kartini kan pahlawan Pak Amat. Saya harap nanti anak saya akan berguna kepada bangsa seperti Kartini.”
“Jangan! Kenapa mesti kasih nama Kartini!”
“Itu kan pemberian dari Pak Amat?”
“Jabis aku kan tidak tahu,. asal nyeplos saja!.”
Anak muda itu tertawa.
“Nama Kartini itu bagus, Pak!”
“Jangan!”
Anak muda itu tertawa lagi lalu pergi..
“Aku kira dia tersingung dan menyindir. Masak aku kasih nama anak lakinya dengan nama perempuan,” curhat Amat malam hari di meja makan.
“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan,”kata Bu Amat, “anak itu sudah kaulan, apa pun nama yang diberikan oleh orang pada anaknya akan dia pakai. sebab sudah 11 tahun menikah belum punya anak.”
Amat terperanjat.
“Jadi dia serius akan memberi nama putranya Kartini?”
“Iya iyalah!”
Amat tak jadi makan. Ia merasa bersalah. Ia menunggu di depan rumah sampai larut malam. Ketika anak muda itu pulang dari klinik, ia langsung menyapa.
“Gus, Kartini tadi datang menemui Bapak.”
Anak muda itu terkejut.
“Siapa Pak?”
“Raden Ajeng Kartini.”
Anak muda itu tersenyum. Amat langsung mencecer.
“Boleh lanjutkan perjuanganku, bebaskan perempuan-perempuan Indonesia dari penindasan, kata RA Kartini. Merdekakan kaumku agar mendapat perlakuan setara dengan kaum lelaki. Tetapi tidak perlu menjadi lelaki. Hakekat perempuan tetap perempuan, lelaki tetap lelaki, karena itu laki perempuan akan bertemu untuk saling melengkapi. Kalau kamu menjadikan perempuan lelaki dan lelaki itu perempuan, kamu sudah menodai perjuanganku!”
Anak muda itu mengangguk
“Saya mengerti maksud Pak Amat.”
“Kalau begitu jangan kasih nama anakmu Kartini!”
“Tidak bisa Pak, sudah dicatatkan dalam akte kelahirannya.”
“Tapi kamu tidak boleh mengubah anak lelaki menjadi perempuan!”
“Anak saya perempuan Pak, bukan lelaki seperti yang diramalkan oleh Dokter.”

12."LAKI-LAKI SEJATI"

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.
Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***
Denpasar, akhir 2004

13."GURU"

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk.
"Betul Pak." Kami kaget.

"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!" 
Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab.
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.
"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati." 
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.
"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.
Saya bingung.
"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. 
Mataram, Jakarta, 22-10-01
Jakarta, 31-12-01

14."JENGGO"

Putra tunggal Pan Jenggo mau masuk ABRI. Pan Jenggo dengan bangga mengumumkan itu pada para tetangga. Ia sendiri mengaku pernah gagal masuk ABRI karena matanya jereng sebelah.
”Maka Jenggo sekarang harus jadi ’balas dendam’ saya!” kata Pan Jenggo.
Tetapi, istrinya sendiri tak setuju. Men Jenggo lebih sreg, Wayan Jenggo membantu jaga warungnya. Karena itulah sumber utama nafkah keluarga.
”Saya sendiri sudah kena rematik, susah untuk meneruskan ngurus warung. Sementara bapak kan seniman pengangguran yang merasa berdagang itu pekerjaan jahat. Ia memang suka perang, tapi sebatas nonton film. Sejatinya ia penakut. Itu sebabnya ia memaksa anaknya jadi pahlawan.”
Men Jenggo lantas konsultasi ke Bu RT. Meminta petunjuk bagaimana caranya supaya suaminya berhenti memaksa Jenggo memanggul senjata.
”Saya setuju dengan Bu RT, menjadi pahlawan itu bisa dengan banyak cara. Jaga warung sumber nafkah keluarga, misalnya. Atau jadi warga yang baik, tidak ikut-ikutan narkoba. Kenapa harus jauh-jauh mencari kepahlawanan kalau di depan mata saja sudah ada wadahnya?”
Bu RT langsung lapor suaminya.
”Saya heran, Pak, Jenggo itu kan orangnya lemah-lembut. Jangankan berperang, bunuh nyamuk pun ia tidak mau, kalau tidak terlalu perlu. Bagaimana bisa memanggul senjata, lihat, memanggul pacul kalau masyarakat lagi kerja bakti saja, ia sering diketawain, karena kelihatan kikuk!”
”Betul.”
”Kenapa Pan Jenggo mau anaknya jadi tentara?”
”Supaya Jenggo jadi laki-laki sejati!”
”Maksud Bapak?”
”Aduh, ibu masak tidak tahu, Jenggo itu kan banci!”
Bu RT tertegun.
”Jadi Pan Jenggo mau menterapi anaknya supaya jadi laki-laki normal dengan memaksanya memanggul senjata?”
”Betul! Tapi mana mungkin banci diterima jadi tentara!”
Bu RT menarik napas lega. Karena itu berarti Jenggo akan selamat dan bisa jaga warung ibunya. Tetapi, setelah berpikir, ia terkejut.
”Tapi, kalau Jenggo ditolak jadi tentara, apa itu tidak akan membuat Pan Jenggo kecewa dan Jenggo sendiri minder, Pak? Karena naga-naganya Nak Jenggo sendiri juga begitu bersemangat akan bisa panggul senjata?!”
”Ya, itulah!”
”Kalau begitu, cepat dong temui Pan Jenggo. Ajak ngomong, kasih masukan. Kasihan. Mereka kan keluarga baik-baik dan cs kita!”
Pak RT tak menjawab. Tapi esoknya ia menemui Pan Jenggo.
”Bagaimana? Jadi memasukkan Wayan jadi ABRI, Pak?”
Beda dari sebelum-sebelum
nya, Pan Jenggo menunduk sedih. Ia tak bisa berbohong kepada Pak RT.

”Kelihatannya, tidak mungkin, Pak RT.”
”Kenapa?”
”Pak kan tahu sendiri. Anak saya Wayan itu banci.”
Pak RT terkejut sekaligus trenyuh. Ia tak menduga sahabatnya itu akan ngeceplos begitu blakblakan. Ia hampir tak tahu harus bilang apa.
”Jadi batal?”
”Ya iyalah, daripada malu karena ditolak, lebih baik mundur teratur. Kecuali kalau nanti dapat koneksi.”
”O, jangan. Dimulai dengan yang tidak baik, hasilnya hanya akan remuk!”
Pan Jenggo termenung.
”Betul, hanya masalahnya Wayan sendiri juga sudah ngebet sekali jadi tentara, Pak RT.”
Pak RT heran, nyaris tak percaya.
”Masak? Jenggo sendiri yang ingin jadi tentara? Bukannya dulu Pak yang sudah mendesaknya?”
Pan Jenggo menghela napas panjang, lalu menatap.
”Mula-mula memang begitu, Pak RT. Saya ini kan lacur. Punya anak hanya satu, kok banci. Nanti siapa melanjutkan keturunan? Saya terpaksa cari second opinion ke balian. Dia nyuruh saya memasukkan Wayan jadi tentara, supaya jadi jantan. Istri saya yang pertama-tama menentang. Saya tidak peduli. Eh, lama-lama dia menyerah juga. Entah konsultasi dengan siapa, dia mendadak setuju dengan anjuran dukun. Dia izinkan saya memaksa anaknya jadi tentara, supaya jadi laki-laki sejati. Sudahlah sekarang terserah Bapak, saya pasrah, katanya. Mau diapain saja Wayan, yang penting Wayan tidak ngambul, lari dari rumah seperti Sobrat itu. Istri saya berbalik begitu mungkin karena melihat sekarang tidak ada kemungkinan Perang Dunia Ketiga akan meletus. Jadi tidak ada bahayanya anak kami jadi tentara. Asal nanti setelah jadi ABRI, Wayan harus ikut di barisan musik saja. Pegang alat kecret-kecret asal-asalan juga tidak apa-apa, yang penting bukan bedil. Tidak dibunuh dan tidak membunuh. Begitu, Pak.”
”Wah, ibu pintar juga, taktiknya!”
”Ya, saya jadi terharu juga. Baru ingat, bahwa daripada jadi pahlawan tapi mati, anak semata wayang lebih baik hidup, Pak RT. Meskipun nanti pangkatnya balok terus sampai tua, tidak naik-naik karena tidak pernah ikut berperang. Tapi kemudian kembali ada masaalah. Ada lagi yang bilangin saya, anak tunggal tidak diperkenankan masuk militer. Betul itu, Pak RT?”
”Saya kira itu masuk akal.”
”Nah, itu bikin masalah baru. Bagaimana kalau Wayan ketahuan anak tunggal? Terpaksa lagi saya putar otak, lalu memutuskan: sebelum ditolak, lebih baik mundur teratur daripada hancur-lebur. Tapi begitu saya mau mundur, istri saya marah, mendesak: Jenggo harus masuk militer!!”
Pak RT kaget
”Masak?”
”Ya!”
”Kenapa?”
”Katanya, anaknya sendiri yang menangis-nangis supaya diizinkan jadi tentara. Bahkan mengancam akan bunuh diri kalau dilarang.”
Pak RT tertegun. Ia tak berani melanjutkan percakapan. Merasa itu sebagai bagian dari misteri perempuan, ia mendesak istrinya bertanya-tanya kepada Men Jenggo.
”Apa betul, Wayan mengancam akan bunuh diri kalau dilarang masuk jadi tentara, Bu?”
Menurut Bu RT, betul.
”Sebenarnya saya juga mula-mula tak percaya juga, Pak. Baru setelah Men Jenggo menunjukkan surat ancaman yang ditulis Jenggo, saya percaya. Surat itu ditandatangani dengan cap jempol berdarah.”
Pak RT terperanjat.
”Cap jempol berdarah?”
”Ya.”
”Darah asli atau tinta merah atau darah ayam?”
”Katanya darah asli tangan Jenggo sendiri!”
”Katanya? Jadi surat ancaman itu, Ibu tidak lihat sendiri alias hanya omongan Men Jenggo.”
”Tapi kata Men Jenggo, sudah pasti itu darah Jenggo asli. Sekarang sebaiknya Bapak cepat bertindak. Orang begitu kan susah dikendalikan kalau sudah emosi. Cepat, Pak, jangan sampai terlambat, mereka kan warga kita.”
Akhirnya Pak RT langsung menemui Jenggo. Ia tak merasa mampu bicara dengan ibunya. Karena dengan Jenggo, ia bisa tembak langsung.
”Coba lihat jempolmu, Wayan.”
Jenggo menunjukkan jempol kanannya yang ditensoplas. Pak RT mengangguk.
”Jadi betul kamu mengancam mau bunuh diri kalau dilarang jadi tentara?”
Jenggo tak berani membantah.
”Betul, Pak.”
”Kenapa?”
”Saya ingin jadi pahlawan.”
Pak RT menahan tertawa.
”Pahlawan?”
Tiba-tiba suara Jenggo menanjak.
”Ya! Apa salahnya orang banci jadi pahlawan?!!”
Pak RT betul-betul kaget. Tak menyangka anak yang lembut itu bisa galak. Seakan kesabarannya telah habis. Hatinya yang tampak luluh membuat Pak RT sedih.
Protes Jenggo, lamat-lamat bagai salak anjing di kejauhan di malam sepi. Tak berdaya. Tak ada yang peduli. Tapi, itu justru menimbun simpati. Entah sudah berapa tebal marah, tangis, rasa terhina yang ditahan-tahannya.
Beberapa lama Pak RT membisu. Ia tak mampu menggoyang keharuannya. Sebab ia kenal Wayan sejak bayi. Anaknya lucu, manis, dan baik budi. Kini ia sudah mulai terluka oleh lingkungan yang tak bisa menerimanya.
Akhirnya Pak RT minta maaf.
”Maaf Wayan, bukan itu maksud, bapak. Tidak seorang pun berhak melarang siapa pun yang ingin menjadi pahlawan. Kalau itu memang cita-citamu, itu cita-cita yang luhur. Kejarlah, berjuanglah dengan seluruh jiwa-ragamu jadikan kenyataan. Berhasil atau gagal itu bukan masalah. Berjuang habis-habisan itulah makna kepahlawanan yang sesungguh-sungguhnya!”
Jenggo menundukkan kepalanya seperti terlalu berat. Bibirnya bergetar.
”Kenapa anak tunggal ditolak jadi tentara, Pak RT”
Pak RT tak bisa menjawab.
”Apalagi banci!!!?”
Suara Jenggo bergetar perih.
”Banci tidak mungkin jadi pahlawan, Pak RT! Orangtuaku sudah salah kaprah!”
Tiba-tiba Jenggo menarik belati yang disembunyikan di pinggangnya. Pak RT tersirap.
”Wayan, jangan!”
Terlambat. Jenggo sudah mengayunkan belati itu, menikam tangan kirinya. Trak! Mantap betul. Di balik tubuhnya yang lembut itu ternyata tersimpan tenaga lelaki sejati.
Pak RT menjerit dalam hati sambil memejamkan mata. Ia merasakan darah tumpah mengguyur meja.
Ketika Jenggo mengisak Pak RT memaksa matanya terbuka. Belati itu menembus meja, di antara telunjuk dan ibu jari Jenggo. Tidak ada darah.
Pak RT mengusap dada. Waktu Jenggo menarik kembali belati dari meja, seperti hendak mengulang menikam, Pak RT langsung memeluk.
”Jangan, jangan. Bapak mohon, jangan! Jangan!”
Jenggo bersikeras hendak mengulangi tikamannya. Pak RT akhirnya membentak.
”Jangan!!!!”
Suara keras dan tegas Pak RT membuat Jenggo senyap. Pak RT terus menyerang dengan beringas.
”Tidak ada orang berhak memaksa orang lain, anak kandungnya sendiri sekalipun, untuk jadi pahlawan! Siapa bilang kamu bukan pahlawan? Setiap orang adalah pahlawan untuk dirimu sendiri, tahu?!!”
Jenggo menangis.
”Tahu?!!”
Jenggo terisak-isak.
”Jenggo!! Kamu tak perlu jadi pahlawan! Kamu sudah pahlawan, ngerti?!!”
Jenggo mengangkat mukanya. Bibirnya gemetar. Sambil bercucuran air mata ia berbisik.
”Pak RT, tolong bilang pada orangtuaku, aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku tidak mau jadi pahlawan! Biar aku begini saja. Aku sudah cukup!!”
Jenggo menelungkup, seperti memasukkan tangisnya ke meja. Perlahan-lahan dan lembut, Pak RT mengambil belati di tangan Jenggo, lalu mengungsikannya keluar.
”Ada apa, Pak?” sapa Bu RT, menegur suaminya yang pulang membawa belati.
Pak RT tak menjawab. Ia menyimpan belati itu ke kotak berisi beberapa senjata tajam, yang sebelumnya ia lucuti dari beberapa pemuda yang lain.
Subuh esok harinya, ketika keluar rumah hendak menyiram kebun, Pan Jenggo muncul. Ia menyapa Pak RT dengan ramah.
”Pak RT, Wayan sudah bulat tekadnya sekarang. Ia bilang ia sudah meyakini mau jadi pahlawan. Tapi saya pikir-pikir lagi, bukan hanya dia, saya juga harus jadi pahlawan.”
Pan Jenggo mengulurkan tangan untuk bersalaman. Pak RT menyambut heran. Ia baru melihat Pan Jenggo memakai seragam Go-Jek ketika mendorong motornya ke jalan.
Subuh masih terlalu muda. Langit belum merah, banyak orang masih tidur. Tapi ada suara klatak-klitik di samping. Waktu Pak RT menoleh, tampak Jenggo mulai buka warung. Kehidupan rupanya sudah bergerak.

15."MOKSA"

Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. ***

16."Valentine"

Ami heboh membongkar-bongkar almari. Dia mencari baju yang berwarna pink. Setidak-tidaknya yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna itu menjadi tiket masuk. Warna lain akan ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari panitia yang berwarna pink. Tapi harganya selangit.
“Buat apa beli kaus oblong 200 ribu, kan pakainya juga hanya sekali,”kata Ami terus membongkar.
Bu Amat ikut membantu Ami mencari-cari, sampai-sampai terlambat menyiapkan makan malam. Amat langsung protes.
“Kenapa sih pakai ikut-ikutan valentin-valentinan. Itu kan bukan budaya kita!”
Ami dan ibunya tidak peduli.
“Mana makannya? Nanti maag-ku kumat!”
Bu Amat tak mendwengar. Ia terus membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi makin dia kesal, makin Ami dan Bu Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia salin pakaian, lalu keluar rumah.
“Ke mana Pak?”
“Mau ikut valentine!” kata Amat tanpa menoleh.
Amat ke tukang sate di tikungan. Dia mau makan enak. Tapi ternyata tidak jualan. Orangnya kelihatan mau berangkat kundangan. Dia tersenyum melihat Amat datang.
“Mau ke situ juga Pak Amat?”
“Ke situ ke mana? Mau cari makan ini. Kenapa tutup?”
“Kan hari besar pak Amat.”
“Ah sejak kapan tukang sate ikut-ikutan valentine?”
“Bukan. Saya mau ke tempat Yuk Lee, kan ada makan-makan. Pak Amat mau ke situ juga kan?”
“Lee?”
“Ya”
“Sejak kapan di situ diundang Yuk Lee?”
“Ya namanya juga silaturahmi Pak Amat. Tidak perlu undangan. Kalau kita tahu ya harus datang. Saya kan langganan tetap dia dulu waktu masih jualan kue. Ayo ikutan.”
“Ah, mau cari makan ni!”
“Makan di situ saja, pasti enak semua! Yuk Lee pasti seneng kalau Pak Amat datang. Ayo Pak!”
Tukang sate itu menstater motornya.
“Ya sudah, ikut sampai di alun-alun, nanti turun di situ, makan ketupat!”
Amat naik ke boncengan. Tapi kemudian tidak turun di alun-alun, sebab asyik ngobrol. Tahu-tahu sudah sampai ke rumah Lee.
“Lho kok jadi ke sini?” kata Amat kaget.
Tukang sate hanya nyengir. Amat hampir saja mau kabur, tapi Lee muncul. Dia berteriak menyapa tukang sate. Waktu melihat Amat dia langsung datang dan mengguncang tangan Amat.
“Terimakasih pak Amat, terimakasih sudah datang. Tumben ini. Mimpi apa saya Pak Amat mau datang? Kebetulan semua pada sedang makan ini. Ayo cepetan masuk, Pak Amat. Jangan di luar, ke dalam saja!”
Amat dan tukang sate dibawa masuk ke dalam rumah. Ternyata dalam rumah lebar dan mewah. Padahal darii luar kelihatan sederhana. Lee memang kaya-raya, tapi tidak pernah pamer menunjukkan kekayaannya. Dia mulai dari jualan kue. Tiap hari istri dan anak-anaknya keliling. Lama-lama meningkat. Dasar ulet, sekarang tokonya ada lima. Mobilnya banyak. Tapi hubungannya dengan orang-orang yang dulu menjadi langganan kuenya tetap baik.
“Terimakasih Pak Amat, sudah mau datang ke rumah kami,”kata istri Lee menyambut.
Amat kemudian diperkenalkan kepada ketujuh putra-putri Lee. Ada yanhg sekolah di Amerika. Ada yang di Australia. Ada yang di Singapura. Ada juga yang di Hong Kong. Yang paling besar di rumah membantu Lee.
Amat malu sekali, seakan-akan Lee tahu dia datang untuk cari makan. Mula-mula Amat hanya sekedar nyicip. Tapi setelah melihat tukang sate dan tamu-tamu lain makan dengan rakus, Amat jadi lupa daratan. Ia makan sekenyang-kenyangnya.
Banyak sekali tamu datang silih berganti. Lee tak sempat lagi ngobrol dengan Amat. Dan ketika pulang, tak sempat lagi pamitan, sebab tamu semakin malam semakin melimpah. Diam-diam Amat dan tukang sate itu meninggalkan rumah Lee.
“Heran sudah kaya raya begitu, tamu-tamunya semua kok kelas naik motor seperti kita. Nggak ada mobil-mobil mewah ya,”kata Amat.
Tukang sate ketawa.
“Yang naik mobil nggak akan mau datang Pak Amat.”
“Kenapa?”
“Pasti malu,”
“Lho kenapa? Kan silaturahmi?”
“Nanti dikira cari Ang Pao.”
“Ang Pao?”
“Ya. Kalau buat kita sih rezeki. Orang-orang pakai mobil itu mana mau dapat amplop begini,:kata tukang sate merogoh dari sakunya dan menyerahkan pada Amat, ”ini untuk Pak Amat!”
Amat terkejut menerima amplop itu.
“Untuk saya ini?”
“Ya untuk pak Amat.”
“Bukannya untu di situ saja.”
“Saya sudah dapat Pak Amat. Tadi istri Lee sengaja ngasih lewat saya, dia tahu pak Amat pasti tidak akan mau kalau dikasih langsung.”
Amat tertegun.
“Gimana? Apa untuk saya saja?”
Sekarang jelas. Banyak yang datang ke rumah Lee, karena mengejar ang pao. Amat jadi malu. Ia ingin sekali mengembalikan amplop itu. Tapi tak mungkin. Itu bisa jadi salah paham.
“Gimana pak Amat? Untuk saya saja?”
Hampuir saja Amat mau menyerahkan amplop itu. Tapi jari tangannya merasakan amplop itu tebal. Ia jadi merasa saying.
“Ini tradisi mereka ya?”
“Betul pak Amat. Setiap tahun saya selalu ke situ. Tahun lalu juga. Isinya lumayan. Bagaimana itu untuk saya saja?”
“Tapi ini tradisi mereka kan?”
“Betul pak Amat.”
“Bukan soal uangnya, tapi soal tradisi kan? Kita menghormati tradisi kan?”
“Betul.”
“Ya sudah. Demi silahturahmi, saya terima ini. Terimakasih sudah ngajak ke situ tadi.”
“Tapi amplopnya untuk saya kan?”
Amat menggeleng.
“Meskipun Lee tidak melihat, kalau amplop ini saya berikan situ, berarti saya tidak menghargai Lee. Itu tidak baik. Jadi saya terima saja untuk silahturahmi.”
Amat lalu mengulurkan tangan. Mereka bersalaman. Tukang sate nampak gembira.
“Yuk Lee pasti senang sekali Pak Amat menerima amplop itu. Tadinya istrinya sudah berpesan, kalau pak Amat tidak mau, ya buat saya saja. Apa buat saya saja Pak Amat?”
Amat ketawa. Tanpa menjawab lagi dia pulang. Rasanya tubuhnya berisi. Di kantungnya ada amplop yang menurut ketebalannya tidak akan kurang dari satu juta. Sambil bersiul-siul, Amat masuk ke dalam rumah.
Ami kelihatan nongkrong di depan televisi bersama Bu Amat.
“Lho tidak ikut valentine?”
“Nggak ada baju pink.”
“Beli saja!”
“Duitnya dari mana?”
Amat ketawa. Dia merogoh amplop dan menyerahkan pada Ami.
“Nih. Lebihnya untuk Ibu.”
Ami dan Bu Amat melirik amplop itu dengan heran. Amat langsung saja menembak.
“Kita ini masyarakat plural, jadi harus bisa hidup saling menghargai. Itu namanya silahturahmi,”kata Amat.
Ami diam saja.
“Coba kalau tadi ngomong begitu, Ami sudah berangkat,”kata Bu Amat, “Bapak ini selalu terlambat!”

17."Fokus"

”Kasus pembegalan yang diungkap tv, seperti mengembalikan kita ke zaman cerita-cerita yang sering digelar oleh teater rakyat,” kata seorang tetangga, membuka percakapan, di pertemuan rutin tahunan warga.
”Kita dibawa kembali ke masa ketika jalan-jalan yang sepi dan gelap, menjadi angker. Karena bromocorah gentayangan. Tidak ada polisi yang menjaga kenyamanan hidup warga. Adanya hanya prajurit untuk berperang demi membela negara,” sambut tetangga yang lain.
”Jadi keselamatan negara memang terjaga, tapi keamanan rakyat tidak!”
”Itu berarti kita sudah melangkah mundur,” sambut tetangga lain lagi.
”Dan ironisnya, itu terjadi di tepi Jakarta! Ibukota negara dan jendela ke mancanegara! Bagaimana nanti pandangan dunia kepada kita? Pasti minat untuk invest di Indonesia berkurang drastis! Yang sudah ada pun bisa kabur!”
”Betul! Banyak orang tidak ngeh, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Akan kemana kita dibawa oleh globalisasi?”
”Menurut paranormal, penasihat spiritual saya, yang baru pulang dari Afrika, dia bilang....”
”Pak Jenggot?”
”Betul.”
”Wah paranormal berbobot itu! Ngapain beliau ke Afrika?”
”Katanya akhir tahun lalu, yang namanya ’kebenaran’ ada di situ. Pak Jenggot mau mencegatnya, karena tidak ada skejulnya ke Jakarta. Jadi, Pak Jenggot mau mengkonfirmasikan praduganya pada tahun 2015 ini.”
”Sudah?”
”Belum sempat, karena ada satu dan lain hal yang memerlukan prioritas. Mendengar ada gesekan antara KPK dengan Polri, ia cepat-cepat pulang.”
”Terkait masalah prioritas, apa eksekusi terpidana mati yang dihimbau beberapa suara, agar diberikan grasi, tidak dianggap prioritas?”
”O, ya, itu juga sudah pasti termasuk dalam agendanya!”
”Betul! Tapi kita sudah kebanyakan prioritas. Saya heran juga, gunung meletus, banjir, pesawat jatuh, gesek-gesekan, semua prioritas. Apalagi yang akan menyusul besok, ya? Segalanya datang beruntun, sambung-menyambung. Baru selesai pemilu yang menegangkan, ada lagi, ada lagi yang lain. Yang untung tv dapat berita panas terus. Iklan mengucur, kita hancur!”
”O ya, maaf, rumah Pak Alit denger-denger kena banjir?! Itu juga prioritas buat kita, sebab bisa merembet ke rumah kita!”
”Jelas! Rumah saya kan juga sudah mulai digerayangi. Itu gara-gara sungai yang di belakang kita itu, ditutup, jadi airnya meluap ke kita.”
”Kita harus protes itu!”
”Siapa yang berani? Ada rumah jenderal di situ! Mau dikarungin apa?”
”Nanti dulu! Yang begal itu sebenarnya sudah ditangkap habis belum? Ada yang ditembak mati kan?!”
”Tembak mati saja kalau ketangkap, kata ibu dari anak yang mati ketika pembegalan itu. Muka ibu itu tenang tapi usulnya sadis!”
”Itu lumrah-lumrah saja. Kata orang, perempuan memang bisa lebih sadis dari lelaki!”
”Ya, itu perempuan yang Bapak kenal. Istri saya tidak!”
Semua ketawa berderai.
”Ah sama saja! Cuma ada yang kelihatan, ada yang tidak. Kata orang wanita kan sebuah buku yang tidak pernah habis dibaca!”
”Betul, tidak, Pak Amat?”
Amat tersenyum, lalu tertawa, tapi tidak menjawab. Malahan kemudian berdiri dan berjalan pulang. Meninggalkan pertemuan.
”Semua ngaco. Tidak ada yang bener,” gerutu Amat setelah sampai di rumah. ”Ngomong seenak perut saja. Asu tenan! Semua! Apa yang ada di perut, langsung disemburkan. Ngumpul-ngumpul memang lebih banyak negatifnya! Pembicaraan ngalor-ngidul tidak pernah fokus! Hanya tambah mengacaukan, mengapungkan persoalan. Itulah wajah kita sekarang!”
”Kita?” potong Bu Amat keluar dari kamar sambil menyodorkan lis sumbangan warga untuk perbaikan saluran air agar rumah Pak Alit bebas banjir.
Amat melirik lis itu sinis.
”Dia yang kebanjiran, karena bandel tidak mau meninggikan lantai rumahnya, kenapa kita yang ditodong menyumbang?”
”Karena banjir itu kalau dipelihara, bisa menular ke rumah kita. Ini bukan masalah Pak Alit saja, tapi upaya demi kepentingan kita!”
”Itu kata Pak Alit, kan!”
”Bukan! Itu keputusan rapat warga yang tidak mau Bapak hadiri!”
”Karena tahu hasilnya begini!”
”Salah! Kalau Bapak datang, hasilnya akan lain! Akan lain! Akan lain! Akan lain!!!”
Amat tercengang.
”Akan lain?”
”Ya! Karena, jangan salah! Mereka sebetulnya sangat segan, hormat, menghargai Bapak, yang terhitung paling senior di hunian kita ini! Mereka yakin apa yang Bapak katakan pasti adil, waras dan betul. Tadi, apa yang Bapak katakan, tadi?”
”Apa ya, di pertemuan tadi, semua orang ngomong, ngomong, ngomong terus, ngalor-ngidul, ngalor-ngidul, tidak ada fokus, sampai pertemuan selesai. Tidak ada keputusan mau apa komunitas kita ke depan ini. Habis waktu untuk menggunjingkan politik!!”
”Lho itu kan berarti semua orang mau memberikan masukan pada Bapak. Semua warga percaya Bapak akan memilihkan mereka fokus. Ada kan yang bertanya tadi bagaimana pendapat Bapak? Ada, tidak?”
”Ya, ada.”
”Nah itu, mereka pasti minta fokus! Mereka menunggu fokus dari Bapak! Itu tandanya Bapak punya wibawa pemimpin. Makanya awas, jangan suka membegal diri-sendiri. Jiwa kepemimpinanmu itu kelebihan, karunia dari Yang Maha Kuasa di atas situ! Harus dijunjung tinggi! Paham?”
Amat bengong.
Di kesempatan berikutnya, Amat hadir lagi dengan kiat baru.
Seperti sebelumnya, percakapan terlempar ke sana kemari. Dari soal turunnya harga bahan bakar, sampai fenomena ISIS.
Amat siap untuk memberikan fokus. Menjawab kalau ada pertanyaan. Agar pertemuan itu bermakna. Tidak hanya sekadar menguruk sumur yang tanpa dasar.
Lima jam Amat terpental-pental oleh berbagai usul, opini, curhat, kabar-kabur dan segala macam berita panas kutipan dari tv dan media massa lainnya.
Tengah malam Amat kembali ke rumah. Mukanya seperti penjudi yang terkuras habis. Wajah kuyu dan kuyup oleh kecewa.
”Bagaimana hasilnya, Pak,” tanya Bu Amat sambil memijit punggung suaminya. Amat menjawab kesal.
”Sama saja. Cuma buang-buang waktu. Ramai seperti pasar. Semua rebutan bicara. Tapi bukan mencari solusi buat hunian kita. Walhasil buntutnya nol!”
”Bapak sempat ngomong?”
”Ngomong apa? Tidak ada fokus!”
”Kenapa tidak difokuskan?!”
”Habis tidak ada yang nanya!”
Bu Amat ketawa.
”Lho bagaimana sih Bapak! Kalau melongo saja ngapain ikut rapat!? Jangan tunggu sampai ada yang nanya! Asal sudah ketemu celah, langsung saja diembat! Pasti mereka akan ikut. Jadi pemimpin itu, begitu! Harus di depan mengambil inisiatif. Belok kanan, belok kiri, melompat, kalau perlu mundur atau balik arah! Pemimpin tidak boleh nunggu kesempatan! Justru harus bikin kesempatan!”
Amat tak menjawab. Karena terlalu ngantuk. Ia tergelincir tidur.
Tapi dalam pertemuan warga berikutnya (karena belum juga ada keputusan), Amat mempraktekkan usulan istrinya.
Sebelum sempat warga lain buka mulut, Amat langsung ngoceh. Suaranya lantang dan jernih.
”Saudara-saudara, jangan lupa, kita harus cari solusi untuk melindungi anak-anak remaja kita dari ancaman narkoba dan pornografi lewat internet, sebelum nasi jadi bubur!”
Tak ada yang menjawab. Dengan semangat berapi-api, Amat terus menembaki kerawanan moral masa kini, membentangkan teorinya sendiri, bagaimana caranya bilang ”tidak”. Tapi peserta rapat tidak ada yang peduli. Mereka mulai ngobrol dengan teman-teman di sebelahnya. Akhirnya Amat terpaksa menghentikan ceramahnya.
Hanya satu jam, pertemuan bubar. Tahun-tahun sebelumnya, pertemuan pernah baru berakhir subuh, itu pun juga belum tentu berhasil membuat keputusan.
Amat yang terakhir meninggalkan ruangan. Ia merasa, itulah hari yang paling menyebalkan, sepanjang sejarah rapat rutin warga yang sudah 5 tahun jalan itu. Singkat, menyebalkan dan kosong-melompong.
Di rumah, Bu Amat terpaksa lembur memijit lagi. Bukan hanya pundak, tapi seluruh tubuh Amat. Sembari mengantuk ia menghibur.
”Sudahlah, Pak, tak apa, kebesaran seorang pemimpin, tidak hanya ditentukan oleh sukses dan keberhasilannya. Tetapi juga oleh segala kekalahan, kegagalan dan kekecewaannya! Karena itu, pikir yang matang-matang. Mau jadi pemimpin atau rakyat biasa saja?!”
”Ya sudah, jadi rakyat jelata saja.”
Namun demikian, Amat tidak kapok. Ketika diundang rapat lagi, ia datang dengan bersemangat.
Ia ikut rebutan buka mulut, dengan berbagai isyu panas dari tv dan media massa lain. Rapat jadi riuh dan galau. Tapi hangat, ceria dan berhasil menelorkan keputusan.
”Bagaimana, berhasil?” sambut Bu Amat menyapa suaminya yang pulang dengan wajah berseri-seri.
”Sip!”
”Apa keputusannya?”
”Terus menggelinding, mengalir seperti sungai.”
”Maksudnya?”
”Keputusannya singkat, padat dan tepat.”
”Apa?”
”Secara aklamasi rapat memutuskan: tidak perlu ada keputusan!"

18."Peradilan Rakyat"

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

19."Ayat-ayat Cinta"

Film Ayat-Ayat Cinta meledak.
“Film ini diramalkan bisa mencapai 7 juta penonton,”kata seorang pengamat. “jauh melangkahi prestasi film Indonesia lain, termasuk mengalahkan sukses Naga Bonar. Tapi angka itu masih terlalu kecil kalau diingat penduduk Indonesia sekarang yang katakanlah sudah 220 juta.”
“Jadi?”
“Jadi jumlah penontonnya belum perlu dirayakan. Yang perlu dirayakan adalah bahwa Ayat-Ayat Cinta sudah membuat orang yang tidak pernah menonton film jadi nonton film!”
“Bagaimana pula itu?”
“Lihat saja siapa penontonnya. Mereka bukan penonton yang biasa nonton film-film setan dan hantu itu. Mereka adalah lapisan penonton baru, orang-orang yang ingin menikmati pesan dan moralitas yang hendak disampaikanoleh film itu, walau pun banyak yang kecewa karena novelnya konon lebih asyik!”
“Begitu ya?”
“Begitulah komentar yang pernah aku dengar dari para wanita yang beberapa kali baca novel itu, tetapi jugta sudah beberapa kali menonton filmnya.”
“Memang apa yang baik dibaca, tidak selamanya baik ditonton. Apalagi banyak kendala dalam pembuatannya. Kendala waktu, biaya, lokasi, seperti yang diakui oleh pembuatnya.”
“Kemilau air sungai Nil yang begitu indah di buku tidak muncul. Kata-katanya yang indah, niknat, sejuk, tidak keluar dalam gambar.”
“Itu mungkin karena bukunya keluar duluan. Apa yang datang belakangan selalu terasa lebih jelek.”
“Tidak. Itu tidak betul. Meskipun bukunya keluar duluan, kalau lebih jelek akan tetap lebih jelek. Kau jangan mengecilkan kecerdasan penonton. Mereka cukup mampu untuk mengatakan bagus dan jelek. Para penonton kita sudah cerdas sekarang. Mereka sudah lebih kritis. Mereka ingin yang terbaik.”
“Kebanyakan film yang diambil dari buku tidak lebih bagus dari bukunya sendiri. Ya tidak?”
“Ya.”
“Nah, pendapat itu sendiri sudah mempengaruhi penonton. Semua orang akan langsung mengopy itu, meskipun jelas ia melihat sendiri filmnya lebih yahud.”
“Tapi gua bukan jenis itu.”
“Kalau begitu apa yang keberatanmu terhadap film Ayat-Ayat Cinta?”
“Tidak suka saja.”
“Karena kamu lebih senang membaca dan mengikuti khayalanmu sendiri? Itu sama dengan orang yang menikmati setan dan hantu lewat radio. Mereka lebih takut dibandingkan dengan menyaksikan film hantu dan setan. Membayangkan sendiri itu bisa tidak terbatas. Ah, itu kan masalah kejiwaan kamu sendiri, nggak bisa dipakai ukuran menilai.”
“Lho aku juga tidak suka novelnya!’
“Apa?”
“Biar berjuta-juta orang memuja, biar puluhan kali cetak ulang, tapi aku bilang novel itu tidak ada apa-apanya.”
“Gile lhu!”
“Gile apaa. Semua bilang itu novel hebat, makanya dibuat film. Coba kasih satu alasan saja kenapa elhu tidak suka novel Ayat-Ayat Cinta! Apa?”
“Karena gua tidak doyan!”
“Kenapa? Lhu jangan sok menentang arus!”
“Bukan sok. Memang nggak doyan aja. Bukan mau menentang arus. Apa salahnya nggak demen?”
Mereka berpandangan.
“Gua nggak ngerti! Okelah ada yang bilang filmnya tidak sebagus novelnya, tapi menurut gue, novelnya bagus dan filmnya juga bagus! Medianya lain, tak bisa dibandingkan!”
‘Terserah!”
“Lho jangan terserah, kita lagi diskusi ini!”
“Memang! Kita sedang diskusi!”
“Makanya kasih alasan dong! Kamu tidak bisa bilang tidak suka, tanpa alasan!”
“Kenapa tidak?”
“Ya itu dia yang namanya diskusi, elhu mesti beri alasan kalau elhu punya opini Jangan-jangan alasan elhu salah, gua bisa benerin sekarang! Itu baru diskusi.”
“Soal selera tidak bisa didiskusi kan.”
“Bukan soal selera! Lagu keroncong memang bukan lagu jazz, tapi kita bisa bandingkan mana di antaranya lebih baik menurut jenisnya. Mesti pakai otak dalam menilai!”
“Aku tidak menilai pakai otak tapi rasa!”
“Apalagi rasa!”
“Maksud lhu?”
“Perasaan lhu itu pasti ada sebab-sebabnya. Kalau tidak ada sebbnya, kamu tidak bakalan punya rasa. Orang bilang bir itu manis, karena dia sudah biasa minum. Bagi gua bir itu rasa kencing kuda. Jadi rasa tidak begitu saja ada, tetapi didorong kebiasaan. Nah elhu bilang film Ayat-Ayat cinta dan novelnya jelek, kenapa?”
Yang ditanya tidak menjawab.
“Jawab dong. Ntar lagi pintu biokop 4 dibuka, gua mau nonton Ayat-Ayat Cinta. Untuk kelima kalinya!”
“Kelima?”
“Yes! Bahkan besok untuk keenam kalinya, sebab aku diajak oleh bekas pacarku!”
“Gila! Bekas pacarmu? Mau rujuk?”
“Nggaklah. Doi juga ikutan. Kita ini kan generasi X yang tidak perlu musuhan sama mantan. Biasa-biasa saja. Tapi kenapa lhu nggak suka sama novel dan film Ayat-Ayat Cinta? Kasih satu alasan saja. Kalau tidak bisa satu, setengah okelah! Gua penasaran! Kenapa? Kapan lhu baca? Di mana lhu nonton?”
“Gua belum pernah baca dan belum pernah nonton!”
“Sialan! Lhu memang ‘indonesia’ banget!”

20."Gagasan"

POHON jambu bol yang ditanam Gun itu berusia 100 tahun. Pada ulang tahunnya, sahabat-sahabatnya datang berkunjung untuk menyatakan rasa syukur. Yang mengherankan Gun juga hadir.
Pohon jambu itu menegur.
"Lho, empat puluh tahun lalu, pada ulang tahunmu yang ke-60, kamu bilang kamu tak akan bisa hadir hari ini, ternyata kamu di sini sekarang."
Gun, waktu itu sudah memutih rambut dan jenggotnya, mengangguk lalu menjawab. Sebagaimana biasanya dingin, gagap dan muram.
"Aku juga heran. Ternyata aku sudah di sini. Tapi bukan untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Sebab menjadi tua bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan, karena kalau orang duduk saja menunggu dia juga akan menjadi tua dengan sendirinya."
Pohon jambu itu agak tersinggung.

"Siapa yang sudah menunggu? Aku tidak pernah duduk. Aku selalu berdiri, tumbuh dan melawan musim kemarau yang panjang. Melawan badai dan petir yang kurang ajar mau melalap apa saja, karena mereka tak pernah mengenal pengertian sahabat atau solidaritas. Mereka tak mendirikan partai atau bikin ideologi di mana aku bisa berlindung."
"Pernah ada yang memasang penangkal petir di tubuhku, tapi dia mati waktu memasangnya. Aku tidak mudah mencapai usia satu abad yang relatif singkat buat sebuah pohon. Aku juga masih harus melawan orang-orang yang mau menebang ketika usiaku masih sangat kecil, karena mereka memerlukan tanah tempatku berpijak ini untuk dijadikan pasar swalayan. Untung ada hantu yang waktu itu indekos di sini, dia marah lalu mencekik bangsat itu.
Sekarang orang itu sudah ikut jadi hantu. Untuk beberapa lama aku ditakuti karena dianggap angker."
"Sempat aku jadi selebriti dan dimuat di berbagai koran ditayangkan di setiap layar televisi karena aku dianggap punya kekuatan gaib. Media massa dan para intelektual itu memang tidak punya kerjaan, mereka tak pernah mencangkul di sawah, mereka menghabiskan waktunya untuk menganalisis pohon."
"Sebenarnya mereka memanfaatkanku. Aku yang capek mengadakan perlawanan, mereka yang menikmati hasilnya. Tapi buatku aku enak saja. Toh aku jadi primadona. Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang ajar dan meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk menjual alat untuk
memperbesar kemaluan."
''Masak di kepala selebriti ada papan reklame untuk memperbesar kemaluan. Aku menjadi bahan tertawa dan ejekan meskipun memang terkenal. Kamu boleh tidak percaya, tapi sampai sekarang papan itu masih melekat di kepalaku, tertutup oleh daundaun, karena rasa malu itu sudah menyatu dengan badanku."
"Nah, kamu mengerti sekarang, aku sudah bertahan hidup sambil terus menghirup rasa malu itu. Apa kamu bisa membayangkan seratus tahun dengan rasa malu setiap hari. Dan kau seenaknya mengatakan bahwa usia tua akan datang juga meskipun berpangku tangan. Siapa yang sudah berpangku tangan? Kamu?
Aku menderita luka di dalam batin selama seratus tahun, hanya untuk sebuah perayaan semacam ini, dan kamu tiba-tiba menyeruak dan kurang ajar mendemo aku, menuding bahwa aku sudah tua sambil duduk-duduk. Kurang ajar kamu Gunawan!"
Gunawan mengangguk.
"Terima kasih. Aku memang kurang ajar. Meskipun karena terpaksa."
Pohon itu tercengang.
"Kelihatannya kamu tidak mengerti apa yang aku bilang!"
"Buat apa aku mengerti," jawab Gunawan.
"Kalau begitu buat apa kamu datang ke mari?"
Gunawan melihat ke arah pohon yang rindang dan berbuah lebat itu.
"Itulah yang ingin aku ketahui, kenapa aku datang sekarang.
Bagaimana kamu bisa hidup seratus tahun dengan rasa malu itu."
"Kau bertanya?"
"Aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada diriku sendiri."
"Aku bisa membantu menjawab, supaya kamu tidak usah pulang dengan terheran-heran."
"Tapi aku tidak perlu jawabanmu. Aku perlu jawabanku sendiri."
Pohon jambu bol itu penasaran.
"Sombong betul kamu! Baik. Kalau begitu sekarang aku yang tanya.
Apa jawabanmu?"
Gunawan diam.
"Kenapa kamu diam. Atau kamu belum ketemu jawabanmu?"
"Tadi belum. Sekarang setelah kamu menuduhku tidak tahu apa jawabannya, aku sudah ketemu. Mungkin sudah ketemu."
"Apa?"
Gunawan melihat kepada pohon itu. Pohon yang 100 tahun lalu dimasukkannya ke dalam tanah dengan harapan akan berusia berabad-abad, sekarang baru satu abad kelihatannya sudah payah.
"Aku akan menjawab, tapi kamu berani bayar berapa?"
Pohon jambu bol itu terkejut.
"Berengsek, kalau kamu mau jualan bukan di sini tempatnya. Pergi ke kota, daerah Glodok atau ke Gedung MPR!"
Gunawan menjawab tenang.
"Aku baru saja dari sana."
"Kalau begitu ngapain kamu datang ke mari? Apa kamu tidak laku di situ?"
"Ya."
Pohon jambu bol itu tiba-tiba tertawa. Buahnya yang lebat berjatuhan ke tanah. Para tamu yang menjejali halaman, kontan berdiri dan berebutan mengambil jatuhan jambu. Gunawan iuga ikut mengambil. Sebenarnya bukan karena ia takut tidak kebagian, tapi karena jambu itu sudah menghantam kepalanya dan mengotori jenggotnya. Ia mengendus jambu itu, lalu membelahnya.
Nampak seekor ulat menggeliat-geliat di dalam jambu itu.
Gunawan mengacungkan jambu itu ke arah pohon.
"Setiap buah yang kamu hasilkan menjadi jambu yang dibawa oleh pertapa yang sudah dihina oleh Parikesit yang menyamar masuk istana sebagai pendeta. Di dalam setiap buah yang kamu produksi ini ada naga Taksaka yang akan membunuh generasi penerus Pandawa."
Pohon jambu bol itu berhenti tertawa.
"Aku tidak mengerti mitologi India. Aku tidak membaca Mahabharata."
"Itu salah kamu. Kamu pikir usia panjang saja cukup?"
"Ya dong. Buat sebuah pohon, usia panjang sudah cukup. Dengan usia panjang, tubuhku akan semakin kuat. Akar-akarku akan semakin menancap. Cabang-cabang dan daunku akan semakin lebat. Apa yang lebih baik dari usia panjang, pengalaman banyak. Dengan usia panjang aku melihat, mendengar dan mengalami lebih banyak. Aku bukan manusia, aku tidak harus berkarya seperti kamu. Satu-satunya tugasku adalah bikin anak, menyebarkan keturunan dan mempertahankan kekuasaan. Dan itu sudah kulakukan dengan catatan hebat sebagai penghancur konsep Keluarga Berencana yang sudah jadi idiologi dan status sosial itu!"
Gunawan nampak bersiap-siap hendak pergi.
"He mau ke mana kamu?"
"Aku mau pulang, sebab ternpatku bukan di sini. Aku punya anak dan istri. Aku juga punya cita-cita.
Lebih daripada itu, aku sudah mati. Manusia tidak ada gunanya hidup sampai seratus tahun. Pablo Picasso mati dalam usia 90 tahun."
"Jadi kamu sudah mati?"
"Gagasan-gagasanku tidak pemah mati."
"Maksudmu aku?"
Gunawan memandang pohon itu.
"Kau bukan gagasan."
"Sialan. Kamu pikir aku ini apa?"
"Kamu pohon. Pohon jambu bol yang berusia 100 tahun. Mungkin akan bisa sampai 200 tahun, kalau kamu hati-hati dan bemasib baik atau setidak-tidaknya dilupakan takdir. Tapi hampir pasti akan ada saja yang akan mengakhiri hidup kamu. Sebab kamu sudah menjadi terlalu besar. Kebesaran sulit dihindarkan dari banyak dosa."
"Tapi aku pohon yang sudah ditanam oleh tangan kamu sendiri, Gun!"
"Persis. Jadi jelas kamu hanya pohon, bukan gagasan. Mungkin sebentar lagi semua tamu-tamu yang datang ini akan mati karena dipatuk oleh naga Taksaka!"
"Kamu bohong!"
"Aku tidak bohong, tapi mungkin aku salah."
Gunawan kemudian melangkah pergi.
"He penyair, tunggu!"
Gunawan menoleh.
"Aku bukan penyair, sudah lama aku tidak menulis sajak."
"Oke siapa pun kamu, budayawan, politikus, pemikir, reformis, pejuang hak asasi manusia, pelopor demokrasi, CIA, nabi atau manusia hipokrit, kamu tidak berhak pergi begitu saja setelah bikin Catatan Pinggir!"
"Kamu harus ingat, aku telah mati. Tidak ada manusia yang bisa hidup produktif lewat usia 90. Aku bukan pohon seperti kamu!"
"Itu dia. Karena kamu bukan pohon, kamu bisa hidup meskipun sudah mati. Sekarang aku tahu, itu sebabnya kamu bisa datang ke mari.
Kamu ternyata bukan manusia!"
Gunawan tak menjawab. Seperti Johny Goedel dia mengulang pernyataan pohon itu. "Jadi aku bukan manusia?"
"Bukan."
"Lalu apa?"
"Apa?"
"Sebuah gagasan."

 21."Pendet"

“Ini bukan hanya masalah tari pendet. Bukan hanya masalah orang Bali. Ini harga diri kita sebagai bangsa. Kita tersinggung! Pulau direbut, hutan dicuri, TKI disiksa bahkan ada yang mati. Warisan budaya, tarian, bahkan masakan diklaim sebagai milik mereka. Ini sudah melanggar hukum. Satu kali oke, kedua kali masih oke, tapi kalau sudah berkali-kali namanya menantang. Kalau dibiarkan nanti jadi kebiasaan. Kita bisa dianggap bangsa kelas dua yang boleh diremehkan. Tidak! Kita harus marah! Apa mau mereka memanas-manaskan tungku yang sudah mendidih? Mentang-mentang kaya! Sakit hati karena pernah kita ganyang? Oke sekarang kita juga sakit hati. Dan berkali-kali! Kepala sudah beku karena coba dididingin-dinginkan. Kita tidak tahan lagi, kita harus ganyang!”.

“Sabar!” potong Amat menghentikan latihan pidato Ami, sebagai reaksi iklan parawisata Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian warisan budayanya.

“Sabar?”

“Tenang! Kita harus menyikapi semuanya dengan bijak.”

“Bapak masih mau bijak padahal sudah habis-habisan dibajak?”

“Ya, tapi coba lihat dari segi positipnya. Itu kan hanya iklan. Katanya yang buat bukan orang setempat tapi dibuatkan oleh apa itu namanya, Discovery Channel?”

“Siapa pun yang membuat, tapi itu kan dipakai sebagai promosi negara? Negara mesti bertanggungjawab. Kecuali kalau negara menganggap perbuatan mengklaim punya negara lain itu bukan kejahatan. Itu namanya negara pencuri!”

“Stttttt ! Tenang Ami. Jangan cepat darah tinggi! Coba lihat segi positipnya!”

“Dalam kriminalitas tidak ada yang positip!”

“Ada! Dengerin! Justru itu bagus. Karena turis yang dipikat untuk pergi ke sana, lama-lama akan tahu, tari pendet itu rumahnya bukan di situ, tapi di Bali. Kalau mau nonton pendet, jangan ke situ, tapi ke Bali. Nah, jadi itu kan iklan gratis buat kita? Promosinya dia yang bayar, manfatnya kita yang sikat!”

Ami melotot.

“Bapak sudah kena virus kapitalisme! Apa-apa selalu diukur dari kepentingan dagang. Persetan dengan keuntungan! Parawisata tidak berarti kita menjual kehormatan! Harga diri harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan! Bangsa yang tidak punya harga diri lagi, adalah bangsa budak? Bangsa kelas kambing! Ekonomi kita memang lagi berantakan, pamor kita juga sedang pudar, rakyat kita miskin hanya makan tempe dan tahu, tapi tidak berarti kita akan diam saja kalau diinjak. Sekarang baru tarian dan lagu, lama-lama kepala kita akan diambil. Kita sudah merebut kemerdekaan dengan revolusi berdarah, bukan dihadiahkan seperti mereka. Kita harus bertindak sebelum terlambat!!”

“Tapi tari pendet kan sudah lama kurang ditarikan lagi, Ami. Untuk menyambut tamu, sudah ada tari-tari baru yang diciptakan. Untung ada iklan itu yang membuat kita jadi ingat kembali tari pendet. Kita harus bisa mengambil hikmahnya. Kalau tidak ada klaim Malysia atas tari pendet itu, kita mungkin lama-lama sudah lupa!”

Ami bengong,. Ia melihat bapaknya seperti melihat hantu.. Hanya matanya yang memancarkan amarah yang sudah tidak tertahankan. Kemudian tanpa menjawab sepatah, pun, dia langsung pergi. Sampai malam, ia belum kembali. Hanya pesannya di atas secarik kertas muncul, diantar oleh temannya.

“Ami nginap di rumah teman!”

Bu Amat kontan melabrak suaminya.

“Ini gara-gara Bapak!”

“Gara-gara aku?”

“Ya! Bapak salah!”

“Salahku apa?”

“Bapak melarang Ami marah sama Malaysia!”

“Aku tidak melarang, tapi ..

“Tapi melarang!”

“Memang. Karena ngomongnya sudah tidak karuan. Boleh marah, tapi jangan sampai memaki-maki begitu!”

“Kenapa tidak. Kan sudah berapa kali kita dihina. Berapa TKW yang sudah babak belur bahkan mati. Masak diam saja. Betul, kata Ami, sekarang baru tari-tarian, kalau kita diam saja, nanti kepala kita akan diambil!”

“Jangan melebih-lebihkan begitu. Lagipula kita kan punya tetangga yang mantunya orang Malaysia. Kalau mereka dengar, anak kita marah-marah sama Malaysia, bisa-bisa mantunya tersinggung.”

“Memang itu maksud Ami! Makanya dia latihan pidato keras-keras di rumah. Biar mereka dengar hati kita panas!”

“Tapi nanti kita malah berantem dengan tetangga.”

“Biarin! Lebih baik berantem sekarang, daripada nanti kalau sudah dendamnya makin banyak!”

“Kalau begitu namanya tidak bijaksana.”

“Ngapaian bijak, kalau kita diinjak-injak. Bijak, sopan dan santun itu ada batasnya. Kalau tidak, sama juga dengan budak. Apa kita ini budak?”

Amat terdiam.

“Sana jemput Ami dan minta maaf!”

Karena Bu Amat begitu serius, Amat menyerah. Dengan menekan perasaan, dia pinjam sepeda tetangga dan menjemput Ami.

“Ami, Bapak disuruh minta maaf oleh Ibu kamu dan harap pulang. Tidak baik anak perawan sebesar kamu nginap di rumah orang.”

Ami mengangguk.

“Bapak tidap perlu minta maaf.”

“Bapak minta maaf dan pulanglah.”

“Tidak. Bapak tidak usah minta maaf. Umpama seorang presiden dalam sebuah negara, Bapak tidak boleh cepat marah kepada negara tetangga, meskipun jelas negara itu sudah mengekspor kejahatan ke tempat kita. Karena kalau presiden marah, bisa terjadi perang. Tapi harus ada yang marah, untuk mencegah jangan sampai kejahatan itu berubah menjadi kebiasaan. Itu sebabnya Ami marah. Meskipun Ami punya banyak teman-teman di Malaysia yang akan kaget karena Ami marah. Tapi kepentringan Ami tidak ada artinya dengan kepentingan negara. Jadi Ami harus marah. Bapak memang sudah sepantasnya bersikap bijak, karena tetangga kita mantunya Malaysia, jadi kita harus menghormatinya, karena kita adalah bangsa yang santun. Kita bukan bangsa penjahat!”

Amat tertegun.

“Jadi kamu mengerti, mengapa Bapak bersikap bijak?”

“Mengerti sekali. Bapak tidak boleh ikut marah. Nanti kita bisa berkelahi dengan tetangga. Cukup Ami saja yang marah! Ini masalah strategi!”

Amat manggut-manggut.

“Bagus. Kalau begitu kamu dewasa Ami. Bapak bangga sekali. Sekarang mari kita pulang.”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena Ami marah. Kalau Ami pulang, mantu tetangga kita, orang Malaysia itu akan tidak percaya bahwa kelakuan negaranya sudah membuat harga diri bangsa kita tersimnggung. Ini bukan hanya masalah tari pendet, bukan hanya masalah orang Bali, tapi harga diri bangsa Indonesia!”

“Tapi bagaimana kalau dia tidak peduli?”

“Itu dia! Memang mereka tidak pernah peduli! Mereka selalu menganggap persoalan kita adalah persoalan sepele. Itulah yang membuat Ami darah tinggi!”kata Ami sambil menutup pintu keras-keras.

Jakarta 23-8-09

22."Rendra"

“Kebudayaan Jawa adalah kebudayan kasur tua!” kata Rendra dengan tandas dalam sebuah diskusi di Yoga pada akhir tahun 60-an, kata seorang budayawan yang diwawancari di televisi itu.

“Banyak orang tersinggung dan kaget. Itu bukan saja terlalu berani tetapi juga kurangajar. Kebudayaan Jawa yang tinggi, berciri kontemplasi dan melahirkan monumen yang mencengangkan dunia seperti Borobudur, Prambananan, buku Nagara Kertagama, Arjuna Wiwaha dan sebagainya itu, bagaimana mungkin hanya sebuah kasur tua?”

“Burung merak dari Solo yang lahir pada 1935 itu kemudian dianggap sebagai orang gila yang besar mulut. Mentang-mentang baru pulang dari Amerika, tak seenak perutnya ia bisa menilai jawa yang begitu dihormati oleh semua orang.”

“Apakah itu yang kemudian menyebabkan Rendra, penyair Ballada Orang-Orang Tercinta itu kemudian diusir dari Yogya ke Jakarta? Tidak. Sama sekali tidak. Ia justru mengeluarkan seruan yang mengejek para seniman yang sudah ramai-ramai hijrah ke Jakarta, mengejar nama dan duit. Ia berseru, berjanji, mirip sebuah sumpah, ia akan terus bertahan di Yogya. Menampik budaya kota, hidup dekat dengan lingkunganserta alam. Dan hadir untuk menunjukkan eksistensi pedalaman.”

‘Tetapi kenapa bidan Bengkel Teater yang tersohor karena ciptaannya yang bernama teater mini-kata itu, tiba-tiba kemudian boyongan ke Jakarta. Ia menghuni sebuah kawasan luas di pinggiran kota Depok. Dalam sebuah wilayah lengkap dengan sawah serta kolam. Bahkan memiliki sebuah pemakaman keluarga yang juga terbuka bagi para seniman. Di situ terbaring maestro piñata artistik Rujito dan miskus yang melejit tiba-tiba menjadi sebuah legenda, si maniak kopi, Si tak gendong-gendong: Mbah Surip Karena ia mengambil tafsir baru.

Mempertahankan tradisi itu, bukan kulitnya, tapi isinya. Hidup di kota pun penting, asal jiwanya tetap jiwa yang alami. Bahkan itu perlu bagi orang kota yang sudah habis-habisan terkena polusi. Ia ke Jakarta untuk menyelamatkan Jakarta!”

“Mas Willy, begitu panggilan akrabnya, tidak kemudian menjadi manusia terkutuk yang dikeluarkan oleh orang yang merasa dirinya orang jawa. Ia bahkan mendapat kemulyaan di malam purnama yang indah, malam Jum’at, menjelang bulan Ramadhan. Dan kepergiannya dihadiri oleh ribuan orang yang mengalir memadati seluruh pelataran kawasan Bengkel Teater sehingga membuat jalanan pun macat.”

“Kenapa? Karena ternyata di balik kata-katanya yang pedas, yang membuat telinga merah, di balik apa yang dimaksudkannya dengan kebudayaan kasur tua, tersimpan niat yang mulia. Dia ingin membebaskan tradisi dari virus-virus jahat, yang dalam perjalanannya menembus zaman sudah dititipkan oleh kekuasaan dan tangan-tangan jahil. Ia ingin membebaskan tradisi dari asesoris dan muatan temporer yang membuat tradisi menjadi beban berat dan menyiksa bahkan melukai para pewaris. Ia ingin mencuci kembali tradisi, sehingga esensinya, rohnya
yang bernama kearifan lokal bersinar kembali dengan gemilang!”

“Si Burung Meraklah yang kemudian memberi tafsir baru terhadap apa yang disebut nrimo, pasrah, gotong-royong dan sebagainya yang sudah diselewengkan menjadi tempat menyembunyikan kemalasan alias didaur-ulang. Dengan memberikan tafsir baru, ia membuat seluruh kebijakan, ilmu hidup yang diturunkan oleh tradisi Jawa menjadi dinamis, alias tidak melempem. Ia membuat tradisi Jawa tidak lagi kolot, melempem, tetapi bernas, aktual dan menyelamatkan para pewarisnya dari benturan-benturan zaman.”

Amat terkejut. Ia memandang orang yang bicara di di layer kaca itu dengan mata tak berkedip. Tak sabar. Ia kemudian mencecer.

“Maksud Bapak, mas Willy sudah membuat kebudayaan jawa kembali pada kearifan lokalnya?”
“Persis!”
“Almarhum membuat kebudyaan jawa menjadi dinamis?”
“Betul Pak Amat.”
“Seperti desa-kala-patra bagi orang Bali?”
“Itu maksud saya! Seratus untuk pak Amat!”
Amat terpekik.
“Yes!”
Tak puas hanya memekik, Amt kemudian menggebrak meja.
“Betul! Makanya dia dinamakan Burung Merak!”
Bu Amat bergegas datang.

“Sabar Pak, sabar. Telat satu menit saja sudah main pukul meja!” kata Bu Amat meletakkan kopi yang dipesan suaminya. “Jangan suka marah, main drama seperti pemain-pemain sioentron itu. Yang wajar-wajar saja.”

Amat memegang tangan istrinya yang mau kembali ke dapur, sambil menunjuk ke televisi.

“Lihat Bu, begitu banyak orang datang dalam pemakaman mas Rendra. Dia itu pantas mendapat bintang Maha Putra!”

“Betul, dengan semua perbuatan, tindakan serta pemikirannya, Mas Willy adalah orang yang mengajarkan kepada kita untuk bersikap berani melawan, “kara wajah di televisi itu lagi.melanjutkan, “dia memberikan toladan untuk berani mengemukakan pendapat, bersikap kritis kepada penguasa yang sudha bertindak sewenang-wenang, karena tidak mengoyomi rakyat dan memikirkan kesejahteraan bangsa, tetapi menumpuk keuntungan untuk dirinya sendiri. Mas Rendra mengajak kita untuk berani berkata jujur. Ia seorang pahlawan!”

Bu Amat nyeletuk.

“Kalau dia memang pahlawan, kenapa tidak dimakamkan di makam pahlawan?”
“Makam Pahlawan? Dia tidak akan mau!”
“Kenapa?”
“Karena dia tidak mau terikat oleh kehormatan. Dia pasti lebih senang lepas-bebas di dalam masyarakat, sehingga bisa bergaul dengan semua orang.”

“Itu kan kata Bapak!”

Bu Amat kemudian ngeloyor kembali ke dapur. Amat tercengang.

“Ya itu kataku. Itu memang kataku. Aku berkata untuk almarhum, sebab dia sudah tidak mampu lagi berkata. Apa salahnya kita menafsirkan apa yang akan dikatakannya, setelah orangnya tidak ada? Apa salahnya akuyang akan mengatakan apa yang hendak dikatakan oleh Michael Jackson, Mbah Surip dan Mas Rendra. Kita harus mengungkapkan apa yang tidak bisa lagi dikatakannya. Betul tidak?’ tanya Amat kemudian kepada Ami ketika Ami kembali dari kampus.
Ami mengangguk acuh tak acuh.

“Itu namanya penafsiran, Pak.”

“Memang. Kita kan harus menafsirkan apa yang sudah dilakukan dan diperbuat oleh almarhum, karena almarhum sendiri sudah tidak sanggup berkata? Orang-orang yang berbicara di televisi itu semua begitu, ketika mengomentari Mbah Surip dan mas Willy. Kita harus memberikan tafsir! Masak tidak boleh?”

“Siapa yang melarang?”
“Ibumu!”
“Apa salah Ibu melarang?”
“Karena Bapakmu tidak mau ada orang berkata lain!” damprat Bu Amat yang muncul kembali sambil membawa pisang goreng.
“Katanya Mas Rendra yang meninggal itu seorang Empu yang mengajarkan murid-muridnya untuk memberi tafsir baru. Kenapa kalau Ibu memberi tafsir baru pada tafsirnya, dilarang?”
“Yes!” teriak Ami tiba-tiba.
“Itu artinya dia orang besar. Orang besar kalau meninggal selalu membuat kita yang ditinggalkannya berpikir. Bertengkar juga berpikir. Jadi Jacko, Mbah Surip dan Mas Rendra itu memang orang hebat. Titik. Ayo sekarang ganti channel tv-nya. Itu ada tembak-menembak dengan teroris yang diduga Nurdin Top! Bukan maunya orang besar saja yang harus diperhatikan, mauku juga!”

Jakarta 7 Agustus

23."BOM"

Giliran Amat menangis di depan televisi. Ia meratapi korban terorisme yang sudah meledakkan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Hotel, di Jakarta. Pagi 17 Juli yang tenang dan indah sejak berlangsungnya Pemilu 09 yang damai dan mendapat banyak pujian dari mancanegara, kontan buyar.

Pasar modal tertegun walau pun tak sampai guncang. Presiden SBY yang memberikan pidatonya pun sempat terdiam, bagai menahan kepedihan untuk tidak menangis, mengingat ekonomi yang sudah membaik dan kedamaian yang mulai tumbuh menjadi rontok. Bahkan klab sepakbola Manchester United yang direncanakan datang hari Sabtu dan menginap di hotel yang terkena bom, membatalkan laganya dengan PSSI All Star.

“Aku heran masih ada saja orang yang menginginkan negeri kita ini kacau,”kata Amat kepada para tetangga yang bergunjing di tepi jalan.”Aku heran ada orang yang tega membunuh manusia lain dengan tanpa peduli. Bukan hanya sembilan nyawa yang sudah jadi korban, seperti yang aku dengar di televisi, tetapi ribuan bahkan jutaan. Orang-orang itu punya anak, istri, keluarga, famili dan negara. Aku yang jauh dari Jakarta dan tidak kenal kepada korban, merasa ikut kehilangan, karena kematian itu berarti juga kematian perdamaian, ancaman langsung kepada nyawa kita!”

Para tetangga manggut-manggut. Seorang pemuda menjawab.

“Itulah politik, Pak Amat.”

“Politik?”

“Ya. Apa yang terjadi tidak bisa dilihat dari apa yang kejadian di depam mata kita saja, Pak Amat. Harus dihubungkan dengan sebab musababnya yang paling jauh dan tujuannya yang paling jauh. Dan mungkin sekali bagi orang yang kurang pengetahuan seperti kita, hubungan itu sama sekali tidak ada. Bukan karena tak ada, tapi karena kita sudah tidak mampu merasakan, karena tidak melihatnya.”

Amat terkejut.

“Maksudnya?”

“Ya sudah saya katakana tadi, ini politik.”

Amat penasaran. Dia mulai marah.

“Artinya apa kalau itu politik?”

“Tidak perlu ada artinya. Ini hanya untuk mengingatkan orang untuk kembali kepada apa yang sudah dilupakan!”

“Apa yang sudah dilupakan?”

“Keadilan dan kebenaran.”

“Keadilan siapa? Kebenaran siapa?”

“Keadilan dan kebenaran mereka yang dilupakan!”

“Dengan cara menempuh jalan yang tidak adil dan tidak benar?”

“Bukan jalannya yang harus dinilai, tapi tujuannya Pak Amat!”

“Itu namanya menghalalkan segala cara!”

“Itu kan kata Pak Amat.”

“Jadi Anda setuju hotel Marriot dan yang satu lagi itu di bom? Anda sutuju Bali dua kali dibom?”

Mata Amat berapi-api. Orang itu tidak menjawab. Dia buru-buru pergi.

“Teroris!” umpat Amat. “Anarkhis!”

Tangan Bu Amat lalu membelai pundak Amat.

“Sudah Pak, jangan terlalu dijiwai nanti bludreknya kumat!”

Amat menarik nafas panjang.

“Aku heran, kenapa orang bisa dicuci otaknya sampai segalanya menjadi terbalik-balik. Masak dia menyuruh kita melupakan bom yang membunuh orang ini, lalu melihat sebab awalnya yang tidak kita tahu, lalu memikirkan tujuan akhirnya yang kita juga tidak tahu. Jangan-jangan dia sendiri juga tidak tahu!”

“Ya namanya juga otaknya sudah dicuci!”

“Gudang dicuci memang bisa kosong. Pakaian dicuci pemutih juga bisa kehilangan warna. Tapi masak manusia yang sudah diisi oleh pendidikan, susila, budi pekerti bahkan agama, bisa dicuci? Sebersih-bersihnya dicuci pasti nuraninya masih ada! Kecuali memang orangnya sakit!”

“Ya itu dia. Makanya mereka milih-milih siapa yang harus dicuci. Tak semua otak bisa dicuci!”

“Tapi ternyata sekarang semua orang bisa dicuci oltaknya, Bu! Bukan hanya yang buta huruf saja, yang doktor pun bisa dicuci. Jadi kita memang sudah kehilangan nurani. Kita semua sudah memasuki zaman kaliyuga! Kita semua sudah edhan!”

Bu Amat menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memanggil Ami.

“Coba tenangkan bapakmu Ami, pikirannya sudah ngelantur lagi.”

Ami melirik bapaknya. Mata Amat masih terus tertancap ke layar kaca mengikuti laporn sekitar Bom Marriott 2. Kadang-kadang dia ngomong sendiri.

“Ayolah Ami, jangan biarkan bapakmu begitu!”

“Habis Ami harus ngapain?”

“Ya ajak bapakmu jangan melihat segala sesuatu dari buruknya saja, ambil segi baiknya.”

Ami terperanjat.

“Segi baiknya? Apa ada segi baiknya dari tindakan terorisme membom hotel dan membunuh orang yang tidak bersalah? Ibu kok jadi ikut-ikutan jadi korban cuci otak?!”

Sebaliknya dari menemani bapaknya, Ami lalu masuk ke kamar mandi dan men yanyikan lagu Slank dengan seenaknya

“Inikah demokrasi, setiap orang boleh berbuat seenak perut sendiri …. . .. “

Bu Amat tertegun.

Waktu Bom Bali yang pertama dia sangat terguncang. Takut, ngeri, merasa terancam dan berhari-hari tidak enak makan. Pada kejadian Bom Bali Kedua, ia memang masih tertekan, tapi segalanya kemudian menjadi biasa. Setelah itu, mendengar cerita bom dan terorisme di manap-mana, ia sama sekali tenang. Seakan-akan semuanya itu memang bagian dari asesoris kehidupan politik.

Ketika muncul berita Bom Marriot 2, ia sempat terdiam sebentar. Matanya menancap ke televisi. Tapi kemudian ia tidak merasakan apa-apa lagi, karena banyak hal lain yang masih harus diperhatikan. Kematian si Raja Pop Michael Jackson masih hangat. Banyak peristiwa aneh di sekitar Pemilu 09 yang menyangkut para caleg gagal, masih seru. Perhatiannya pada Bom Marriot 2 memang jadi kurang – untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada.

Ia tidak tahu mengapa ia menjadi seperti beku. Mungkin karena begitu banyak yang sudah terjadi sejak menjelang reformasi. Penculikan. Orang hilang. Bencana alam. Korupsi. Manusia makan mayat. Ibu membunuh anaknya. Anak dijual oleh ibunya. Teror dan bom di mana-mana.

Dulu, suami atau anaknya sakit saja ia sudah menangis. Mendengar orang menyanyikan Indonesia Raya di saat pengibaran bendera pada upacara peringatan 17 Agustus, ia bisa mengucurkan air mata.

“Hidup semakin keras, manusia menjadi semakin tabah. Kalau tidak begitu, kita semua akan kalah,”bisik Bu Amat menjawab pertanyaannya sendiri.

Tiba-tiba terdengar Amat mengumpat di depan televisi.

“Kurang ajar! Bangsat!!”

Sebuah pikiran mendadak menukik ke dalam kepala Bu Amat. Ia terkejut dan jadi gemetar. Benarkah ia menjadi lebih baik? Apa betul dengan menjadi lebih keras orang bertambah kuat? Apakah air mata, tangis dan haru itu tanda kelemahan? Benarkah berhenti menangis. membutakan mata kepada apa yang ada di sekeliling adalah kiat untuk hidup selamat.

Bu Amat terpesona. Ia cepat-cepat menilai kembali dirinya. Melihat di mana ia sedang berdiri. Lalu ia melihat dirinya di atas sebuah bukit. Di puncak bukit yang bergetar. Sebentar lagi ia akan melayang turun dan terhempas ke lembah yang hgelap di sana.

“Kurang ajar! Bangsat!” terdegar umpat Amat lebih keras.

Bu Amat tersentak.

“Aduh, jangan -jangan aku sendiri yang sudah kena cuci otak, karena menganggap semua bom-bom itu sudah biasa,”bisik Bu Amat dengan terkejut.”Jangan-jangan aku yang sudah dimatikan rasa oleh cuci otak itu!”

Perlahan-lahan Bu Amat mendekati suaminya yang masih terus melotot di depan televisi. Ia lupakan dulu curhat La Toya, kakak perempuan Michael Jackson yang merasa yakin adiknya mati dibunuh. Ia lupakan dulu Bom Bali 1 dan 2 yang menelan ratusan korban. Ia lupakan tsunami yang sudah melalap lebih dari seratus ribu manusia. Ia hanya memandang ke satu titik. Layar kaca. Bom Marriott 2.

Bu Amat melihat darah. Anggota badan manusia berserakan. Kepala, tangan, kaki, semua terpisah dari tubuhnya. Isi perut terburai. Memang bukan 200 atau seratus ribu, tapi hanya sembilan. Tapi itu darah dan isi perut yang sesungguhnya.

Ia merasa darah dan isi perutnya sendiri yang terburai. Kepala, tangan dan kakinya yang terputus dari badan. Begitu saja rasa ngeri, takut dan putus asa setrentak menggebrak dan mematahkan seluruh benteng pertahanan yang sudah membuatnya beku.

Tak kuasa lagi menahan diri, Bu Amat menjerit.

“Tolooooongggggggggggg!”

Jakarta 17 Juli 09

Menjelang jam 08, bom meledak di Hotel Marriott dan Ritz Carlton Hotel.

24."Pornography"

Jadi begitulah. RUU PORNOGRAPHY lolos di DPR. Banyak orang bersedih.Tetapi yang lain berpesta, seakan-akan segala kebejatan berhasildiberantas. Di rumah, anakku Ami nampak kesakitan. Ia bahkan tak maupergi ke kampus padahal ada tentamen.

Aku terpaksa menghibur.

“Beginilah resikonya hidup dalam alam demokrasi Ami. Yang menangadalah yang lebih banyak, meskipun belum tentu lebih bener. Jaditabahlah hadapi kenyataan.”

Ami mengangguk. Tapi wajahnya tambah berat.

“Sudah Ami, terima saja. Orang yang menang adalah orang yang beranimenerima kenyataan. Kalau kamu bisa menerima kenyataan kalah ini, kamubukan pihak yang kalah. Sedangkan orang yang menang suara, padahalbelum tentu mereka benar, apabila tak belajar dari yang kalah, kenapakamu dan teman-teman kamu begitu menentang RUU itu, mereka adalahorang yang kalah. Karena mereka hanya memikirkan kemenangan, bukanmemikirkan keselamatan negeri dan seluruh rakyatnya yang 220 juta jiwadengan panutan budaya yang berbeda-beda.”

Kepala Ami semakin berat. Bahkan matanya nampak berkaca-kaca. Lalu airmatanya jatuh berderai. Aku jadi cemas.

“Sudah Ami. Kalau begini caranya kamu menerima kekalahan, sebentarlagi bukan air mata kamu saja yang jatuh tetapi juga kepala kamu. Dankalau sampai kepala kamu biarkan jatuh, artinya kamu tidak hidup lagidengan otak tetapi rasa semata-mata. Perasaan itu baik, memang baik.Rasalah yeng menyelaraskan kita sehingga kita bisa membangun harmoni.Tetapi keselarasan itu sendiri perlu laras. Kalau tidak, rasa kamusendiri juga tidak laras.

Kamu memerlukan kepalamu untuk mengarahkan,mengerem, meredam perasaan agar jangan berkelebihan. Karena kehidupanini seperti gado-gado yang penuh dengan berbagai bumbu dengan rasayang berbeda-beda. Kamu harus mencampur dengan cermat dan menakarnyaawas. Kalau tidak hidupmu akan menjadi pedes, asin, pahit ataukemanisan. Manis itu memang enak, tapi kalau berlebihan akan membuatmuak. Sudah cukup! Seratus butir air mata sudah lebih dari cukup untukmeratapi kemenangan RUU Porno ini, jangan ditambah-tambah lagi!”

Tapi Ami justru menangis semakin pilu. Ia tersedu-sedu. Air matanyatidak lagi hanya menetes, tetapi menyembur. Seluruh pipinya banjir.Bukan hanya itu. Ingusnya ikut berleleran.

Aku panik. Aku menarik handuk yang membelit di kepala dan meletakkandi tangan Ami. Dengan handuk itu Ami mengusap air matanya. Tetapisemakin diusap, air mata itu semakin membanjir.

“Waduh, kalau begini caranya menghadapi kekalahan kamu akan semakinkalah dan mereka yang sudah menang akan semakin menang. Jadisebenarnya bukan kebenaran kamu di dalam menentang RUU itu yang kalah,tetapi kamu sendiri. Kamu sendiri sekarang yang membunuh sendirikebenaran yang kamu perjuangkan itu. Karena walau pun sekarangdinyatakan kalah, sesungguhnya kebenaran yang kamu perjuangkan tidaksalah.

Karena tanpa ada RUU Pornography pun sebenarnya kita sudah bisamemberantas pornography, asal saja kita mau bertindak dan aparatpelaksana yang bertugas untuk itu rajin, tegas, desiplin dan tidakangin-anginan atau kucing-kucingan melakukannya, karena Undang UndangHukum Pidana, Undang-Undang Popok Pers, Undang-Undang Penyiaran sudahmemberikan kita hak bahkan kewajiban untuk memberantas kecabulan yangditontonkan arau diperjualbelikan di ruang publik. Jadi Ami, kamusebenarnya tidak kalah, kamu hanya ditunda menang, tahu!”

Handuk kecil itu tak mampu lagi menahan kucuran airdari mata Ami. Iaterpaksa memerasnya seperti mengeringkan cucian. Aku terkejut.

“Aduh Ami, ternyata kamu tidak bisa diajak berunding. Kemenangan itutidak harus kelihatan. Kemenangan yang sebenarnya nampak sebagaikekalahan, sehingga orang yang sebenarnya kalah tidak akan marah,tetapi malah gembira dan merasa bahwa sebenarnya merekalah yang menangpadahal mereka itulah pecundangnya. Bayangkan! Bayangkan!”Ami menutup mukanya dengan handuk. Aku rengutkan handuk itu.

“Kamu ini sedang meratapi kekalahan atau sedang menikmati kekalahan?Ayo lihat kenyataan. Dengerin! Lihat! Bagaimana mau memberantaskecabulan kalau memberikan definisi saja gagap. Undang-undang iniseperti orang memberikan pisau tumpul kepada seorang anak yang disuruhmembersihkan lemak dari daging-dagingnya. Dia tidak akan mengiris, diaakan mencocok-cocok, lalu membanting, akhirnya dia tidak bisa mengiristetapi mencacah dan kemudian menggigit sampai daging itu remuk, karenamemang itulah tujuannya.

Hancur luluh jadi satu! Mono kultur! Kalaudaging itu sudah remuk akan mudah untuk digiling sebab dia memangbukannya mau mengiris daging tapi membuat bakso. Makanya jangandilawan sekarang nanti dia tambah buas. Bisa-bisa kamu yang dibakso.Biarkan saja, karena pisau itu sudah di tangannya. Baru kalau diagagal nanti, kita beritahu pisaunya yang salah. Lagi pula lemak yangdipisahkan itu bukan mau dibuang tetapi di tempatkan pada tempat yangsemestinya dan dibuat supaya berguna. Karena tidak semua kolesterolitu jahat. Mengerti?”

Ami mengangguk.

“Bagus, kalau kamu mulai mengerti sekarang, dengar. Di balik setiapkegagalan selalu ada janji. Dengan kekalahan ini kamu akan belajar,tidak cukup suara keras, tidak cukup mata melotot, tetapi dalamberjuang harus memakai taktik dan strategi. Mengalah juga adalahsebuah taktik dan sebuah strategi. Jadi terimalah kekalahan inisebagai awal kemenangan yang baru.”

Ami memandangku seperti bertanya.

“O caranya? Caranya bagaimana mengubah kekalahan dengan kemenangan?Gampang. Ikutlah rayakan kemenangan mereka ini dengan berteriak lebihkeras. Ganyang kecabulan! Seret wanita-wanita yang bergoyangmempertontonkan tubuhnya lempar ke penjara. Dera mereka yang menjualkecabulan. Masuki rumah penduduk semua, bongkar laci dan almari,bahkan singkap sprei dan kasurnya, jangan-jangan mereka menyimpanpornography.

Tak hanya itu. Selidiki apa isi kepala orang. Tidak hanyayang kelihatan di ruang publik, yang tersimpan dalam rumah pribadibahkan dalam ruang pikiran pun harus diusut. Kalau ada yang cabul,setidak-tidaknya kita anggap cabul, seret, denda milyardan danjebloskan ke penjara. Dan kalau ternyata orangnya adalah pemimpin,apalagi pemuka, hukumannya sepuluh kali lipat!”Ami tiba-tiba berhenti menangis.

“Jadi dengan kata lain, Ami sayang, kita kacaukan kemenangan merekaAmi. Seperti yang mereka usulkan. Sebagai anggota masyarakat kitaboleh ikut campur berpartisipasi memberantas kebaculan. Dan karenabatasan cabul kebetulan kabur, spiel dan flewksibel yang kita sebutkecabulan itu bukan saja ketelanjangan badan, juga ketelanjanganrohani.

Kalau ada orang berbuat semena-mena hanya untuk kepentinganpribadi, golongan dan kaumnya sendiri tanpa mempedulikan kebhinekaanseperti yang dipesankan oleh pita di kaki Burung Garuda Lambang negaraPanca Sila, maka orang itu adalah tokoh pornograpghy yang juga bisadiseret, didenda dan dihukum. Mari kita balikkan arah RUU Pornographyini bukan untuk menentang kebhinekaan tetapi merayakan kebhinekaan.Jadi kita dukung RUU Pornography!”

Tiba-tiba saja aku tertawa puas, seperti menemukan akhir yang indahdari pencarianku yang sudah begitu panjang. Ya Tuhan aku temukan sudutterang di dalam kegelapan ini. Kaum perempuan yangb selama ini sudahjadi korban dan bulan-bulanan mesti m encari sendiri jalan terangnya.Dan aku dapatkan sekarang! Aku habiskan semua semburan ketawaku.

Ajaib, mata Ami pun berhenti meneteskan air. Mukanya mulai berseri.Lalu dia mengangkat tangan mengajakku tos. Dengan gembira akumenyambut hangat kebangkitan anakku tepat pada peringatan 80 tahunSumpah pemuda dan 100 tahun kebangkitan nasional.

Terimakasih Mama, bisik Ami sembari kemudian memeluk dan menciumku.

“Terimakasih, Mama sudah membantu melewatkan sakit perut Ami karenadatang bulan.”

25."mmk"

SEORANG anak bertanya kepada neneknya:

"Nenek,... itu apa?"

Perempuan tua itu ternganga. Sebelum dia sempat membuka mulut, pertanyaan itu berkembang.

"Nenek punya... tidak?"

Orang tua itu kontan shock. Tetapi cucunya terus juga bertanya.

"Sekarang Nenek punya berapa ...?"

Karena tak kuat menahan kekurangajaran itu, nenek itu langsung pergi meninggalkan cucunya. Ia mengungsi ke rumah tetangga.

Ketika anak dan menantunya pulang, ia langsung melapor sambil menangis.

"Anakmu kurang ajar. Pengaruh film, televisi, pergaulan bebas, dan narkoba sudah membuat dia bejat. Ajari anakmu moral, jangan hanya dikasih duit! Mau jadi apa dia nanti kalau sudah besar? Setan?"

Menantu nenek, ibu anak itu langsung mencari anaknya. Tanpa bertanya lagi anak itu langsung diberinya hukuman.

"Kamu sudah kurang ajar kepada nenek, mulai sekarang duit uang makan kamu dikurangi, sampai moral kamu lebih baik. Kamu harus belajar menghormati orang tua. Orang tua itu adalah asal muasal dan cikal bakal kamu, kamu sama sekali tidak boleh membuat orang tua marah. Sekali lagi kamu kurang ajar, ibu kirim kamu ke desa! Tidak usah membela diri!"

Anak itu tidak berani menjawab. Tetapi ketika keadaan menjadi lebih tenang, dia menghampiri bapaknya, lalu kembali menanyakan

pertanyaan yang belum terjawab itu.

"Pak, -- itu apa?"

Bapak anak itu terkejut. Cangklong yang sedang diisapnya sampai terlepas. Tetapi ia mencoba tenang, lalu menjawab dengan taktis diplomatis:

"Rambut adalah mahkota semua manusia..... itu adalah mahkota wanita. Tempat dari mana kamu keluar dan ke mana nanti kamu akan masuk. Jadi ia mengandung pengertian sakral. Karena itu kamu tidak  boleh mengutak-atik. Kamu harus menghormatinya. Dan,berhenti menanyakan itu, karena itu tidak untuk dikupas tetapi dirasakan. Paham?!"

Anak itu tidak paham. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia mendekati ibunya yang sedang menerima tamu. Ibunya langsung mengangkat tangan.

"Tidak bisa!"

Anak itu tertegun.

"Aku tidak minta duit. Aku hanya mau tanya, apakah – ibu besar? Sebab, kalau tidak besar bagaimana nanti bisa keluar masuk? Kira-kira ukurannya berapa meter?"

Merah padam muka perempuan itu.  Sedangkan tamunya, ibu-ibu pejabat tak bisa menahan diri lalu tertawa sampai terkencing-kencing."

Anakmu sakit jiwa, karena kamu kurang perhatian. Kamu terlalu sibuk

bekerja dan menganggap mendidik anak itu hanya kewajiban perempuan. Ini dia akibatnya sekarang!"

kata ibu anak itu menyalahkan suaminya.

"Sekarang sebelum terlambat, lebih baik kamu bawa dia ke dokter jiwa.

Kalau tidak akan jadi apa anak ini! Akan jadi apa negeri ini kalau generasi mudanya sudah kurang ajar dan krisis moral?"

Bapak anak itu tidak setuju dengan istrinya. Ia mencoba untuk melakukan pendekatan lain. Ia membawa anak itu ke kebun binatang.

"Kamu bertanya apa itu mmk?"

bisiknya kepada anaknya.

"Nah, itu dia yang namanya mmk!"

Bapak anak itu menunjuk kepada binatang-binatang yang ada di depannya.

Ada kuda, badak, harimau, gajah, monyet."

"Itu yang namanya mmk. Mengerti?!"

Anak itu terdiam. Tetapi bukan karena mengerti. Ia bertambah bingung. Dalam perjalanan pulang ia kembali  bertanya.

"Apakah mmk itu manis sehingga sering dijilat-jilat?"

"Bangsat!"

teriak bapak anak itu di dalam hati.Ia membatalkan pulang, langsung membawa anaknya ke dokter jiwa.

"Dokter, anak saya ini sudah bejat. Tolongdiperiksa apakah dia sudah d apat gangguan jiwa. Sebabsegalanya sudah kami penuhi dengan  berkecukupan. Sandang, pangan, bahkan sekolah yang terbaik dan

termahal kami berikan. Mengapa dia jadi tumbuh seperti  setan begini?"

Dokter jiwa itu lalu memanggil anak itu masuk ke dalam kamar periksa.

Dua jam kemudian dia keluar.

"Bagaimana Dok?"

"Saya kira anak Bapak sehat walafiat."

"Maksud saya jiwa dan moralnya?!"

"Ya, bagus. Saya hanya ada nasihat kecil."

"Apa Dok?"

"Semua anak sampai usia tertentu seperti sebuah cermin. Dia merefleksikan dengan objektif apa yang ada di sekitarnya. Anak adalah pantulan langsung dari lingkungan dan orang tuanya. Jadi.... "

"Jadi apa Dok?"

"Anak itu masih punya ibu?"

"Ada di rumah, kenapa Dok?"

"O, bagus kalau begitu. Jadi sebaiknya, sebelum saya melanjutkan pemeriksaan kepada anak itu, saya anjurkan supaya Bapak dan Ibu saya periksa terlebih dahulu. Makin cepat makin baik, sebelum menginjak ke stadium berikutnya."

Kontan bapak anak itu pergi.

"Dokter gila!"

umpatnya sambil membawa anaknya pulang.

"Dasar mata duitan, anak gua yang bermasalah, gua yang mau dikobel-kobel. Kenapa bukan para elite politik yang sudah bikin kisruh negara ini saja yang mereka tuduh sebagai penyebab krisis moral anak ini. Gelo!"

Suhu politik memanas. Para elite politik berperang. Dolar melambung tinggi. Persoalan itu untuk sementara dibekukan. Tapi, beku tentu saja tidak berarti sudah berakhir. Pertanyaan itu masih terus berkecamuk di kepala anak itu.

Di sekolah, menjelang peringatan Hari Proklamasi ke-56, ketika guru sedang menceritakan tentang hakikat kemerdekaan, anak itu terus dikejar-kejar oleh pertanyaan tersebut.

"Kemerdekaan adalah sikap jiwa,"

kata ibu guru menerangkan kepada murid-muridnya.

"Bila kemerdekaan kita diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,

jangan dikira itu terjadi begitu saja. Cita-cita kemerdekaan sudah berlangsung puluhan tahun. Secara sporadis meledak di sana-sini yang dikategorikan sebagai pemberontakan oleh kolonial. Akhirnya mendapat

kesimpulan pada tahun 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan, akhirnya mulai mendapatkan perumusan pada 1928, pada saat ada ikrar Sumpah Pemuda. Jadi kemerdekaan itu anak-anak, bukan hanya sebuah teriakan kebebasan, tetapi sebuah proses penyadaran tentang kemandirian. Dengan merdeka berarti nasib kita terletak di tangan kita sendiri. Dengan merdeka pada 17 Agustus 1945, tidak berarti kita jadi langsung kaya raya dan bahagia. Dengan merdeka kita justru menjadi melihat kemiskinan dan keterbelakangan kita. Kita melihat tanggung jawab kita. Dengan merdeka kita terikat oleh berbagai aturan yang kita buat sendiri untuk membatasi kemerdekaan kita agar bisa hidup bersama-sama. Merdeka adalah mendisiplinkan diri kita sendiri supaya bisa bekerja dan bersaing. Kalau tidak ada batasan-batasan, negeri ini akan jadi rimba dan memberlakukan hukum rimba, siapa kuat dia yang kuasa. Siapa yang kuasa dia yang makan. Jadi, kemerdekaan bukanlah kesempatan untuk berbuat sewenang-wenang. Kemerdekaan adalah pengorbanan karena itu merupakan penyadaran kepada aturan-aturan dan ketidakbebasan, yang kita sepakati dengan rela."

Bu guru selesai. Ia memandang seluruh kelas.

"Ada yang belum jelas? Siapa yang mau bertanya?"

Anak itu langsung mengacungkan tangannya.

"Ya kamu. Apa yang belum jelas?"

"Saya mau tanya, Bu."

"Ya boleh. Menanyakan apa?"

"Mmk itu apa?"

Bu guru terhenyak. Seluruh kelas yang semula tidur tiba-tiba terbangun. Kemudian terdengar suara riuh rendah oleh  ketawa. Kelas berubah menjadi pasar.Bu guru mengetokngetokkan penghapus papan tulis ke mejanya dengan keras.

"Tenang!!!"

Anak-anak langsung mengunci mulutnya. Bu guru kemudian bertanya lagi.

"Apa?"

"Saya mau tanya, mmk itu apa??"

Mata bu guru yang cantik itu terbelalak. Seluruh kelas yangtadinya cekakakan, sekarang tiba-tiba tegang. Bu guru menghampiri anak yang bertanya itu. Ia memandang tepat ke arah matanya. Anak itu gugup lalu menundukkan mukanya.

"Ini pelajaran sejarah kemerdekaan dan kamu bertanya tentang...."

"Mmk."

Seluruh keras bertambah tegang.

Terdengar bisik-bisik. Bu guru cepat melayangkan matanya ke seluruh keras sambil melotot. Semua murid menunduk menyembunyikan dirinya. Tak seorang pun kelihatan mau hadir. Hanya anak itu yang masih mengangkat kepalanya.Bu guru menghampiri anak itu, lalu menatap tajam seperti menusuk jiwanya.

"Jadi itu yang buat kamu belum jelas?"

"Ya."

"Kamu bertanya karena kamu tidak tahu atau?"

"Karena saya bingung."

"Kamu bingung karena kamu ingin tahu?"

"Karena jawabannya tidak tegas sehingga tidak jelas."

Pensil ditangan bu guru jatuh ke lantai. Bu guru berjongkok. Seluruh

anak-anak di dalam kelas, berdiri, menjulurkan kepalanyadan melihat apa yang jatuh. Tiba-tiba bu guru berdiri lagi sambil mengangkat roknya. Dari pinggang sampai ke bawah  ia telanjang bulat.

"Mmk itu ini!"

katanya dengan tegas sambil menunjuk ke arah alat kelaminnya. Seluruh kelas meledak. Anak-anak perempuan menjerit dan menangis. Yang laki-laki meloncat, lari ketakutan keluar kelas. Sedangkan anak yang bertanya itu seperti disiram air panas. Seluruh tubuhnya tegang dan kemudian basah. Peristiwa itu dicatat sekolah sebagai huru-hara yang memalukan. Ibu guru yang cantik itu langsung dipanggil oleh Kepala Sekolah, lalu diskors. Para orang tua murid protes. Mereka menuntut supaya bu guru itu dipecat. Dan malammalam, rumah bu guru itu berantakan karena dilempari batu. Surat kaleng dan telepon gelap dengan ancaman mengerikan menghujani rumahnya. Akhirnya Bu Guru MMK itu dipecat. Tapi sebagian masyarakat, berdasarkan polling yang dilakukan oleh media massa, menganggap hukuman itu belum setimpal. Mereka menuntut supaya guru yang bejat itu hengkang dari permukiman mereka. Dan, ketika yang bersangkutan akhirnya boyongan pindah ke kota lain, karena tidak  mau mengganggu ketenteraman, di luar kota mobilnya dicegat. Dia dirampok, diperkosa, dan kemudian dicampakkan ke tepi jalan dalam keadaan tidak bernyawa. Di sebuah desa kecil yang terpencil dan sunyi, kini ia terbaring bisu, di bawah batu nisan yang tak bernama. Anak yang bertanya itu, bersimpuh sambil memegang sekuntum bunga. Di sampingnya, kedua orang tuanya berdiri menemani.

"Terima kasib Bu Guru. Karena keberanian dan kejujuranmu, sekarang anak kami tidak bertanya lagi. Tetapi alangkah mahalnya kebenaran, kalau hanya untuk menjelaskan satu kata saja, diperlukan sebuah nyawa."

26."Cantik"

Gubernur marah besar. Panitia pemilihan Ratu Kecantikan 2008 dipanggil. Mereka dicecer dengan berbagai pertanyaan. Mengapa dari 9 wanita tercantik pilihan masyarakat tidak seorang pun adalah putri daerah?

“Kalau begitu apa gunanya ada pemilihan Ratu Kebaya, Ratu Dangdut, Ratu Kaca Mata, Ratu Mercy, Kontes Mirip Bintang, Miss ini-itu yang setiap bulan diadakan di mall-mall sampai salon-salon kecantikan kagetan kayak jamur di musim hujan? Apa betul putri daerah kita tidak ada yang cantik. Berarti kebanyakan mereka semua akan jadi perawan tua, karena pria kuta lebih mengagumi putri-putri dari luar sana? Ini tragedi!”

“Tapi ini kan hanya kegiatan hura-hura yang informal Pak?”

“Memang! Tapi masak bintang-bintang Hollywood itu yang dibilang cantik. Itu kan karena kalian hanya lihat di film. Film itu sudah penuh dengan tipuan gambar. Baik kameranya, tata lampunya dan sudut pandangnya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga kerbau pun kalau dirancang seperti itu akan keliahatan aduhai. Coba kalau kalian lihat kenyataannya. Tulang-tulangnya yang besar, kakinya yang berbulu, kulitnya yang sepereti mayat dan bau kejunya yang mana tahan, kalian akan menyesal sudah sesat memilih idola. Realistis sedikit! Jangan terus bermimpi! Putri-putri daerah kita semuanya cantik. Hanya karena kalian lihat setiap hari saja, kecantikannya kalian lupakan. Seperti gajah yang tak nampak karena adanya di pelupuk mata. Kalian harus belajar menghargai milik sendiri!”

Panitia tidak berani menjawab. Gubernur sedang asyik dengan kemarahannya. Kalau dipotong bisa parah.

“Coba apa kreteria kalian menentukan kecantikan sampai bintang-bintang film yang doyan gonta-ganti pasangan itu dianggap yang paling cantik. Apa kecantikan wajah itu diukur dari panjang hidung atau keberaniannya memperlihatkan badan sehingga mengundang nafsu. Bagaimana dengan kecantikan kepribadian dan moral serta kecerdasan. Apa itu bukan bagian dari kreteria yang menetapkan seseorang itu cantik?”

“Kami tidak memberikan kreteria, Pak. Itu terserah mereka yang mengirimkan jawaban.”

“Jadi ngawur?”

“Bukan Pak. Kami hanya tidak memberikan batasan apa itu kecantikan. Karena ukuran kecantikan itu kan subyektif, jadi kami serahkan pada para pembaca saja.”

“Itu namanya tidak bertanggungjawab!”

Panitia bingung.

“Maksud Bapak, kami harus bertanggungjawab?”

“Ya dong! Sebagai warganegara yang baik, saudara harus bisa mempertanggungjawabkan kontes yang saudara adakan!”

“Kalau itu sudah, Pak. Kami sudah umumkan jumlah suara yang masuk. Urutannya jelas. Kami akan segera memilih pemenang di antara pemilih dengan cara memilih kartu pos mereka pada malam selamatan ulang tahun media kami.”

“Bagaimana kalau satu orang mengirim 1000 kartu pos?”

“Boleh saja, Pak, asal mereka menempel juga stiker yang ada di majalah kami.”

“Kalau begitu, bisa saja 9 perempuan tercantik itu bukan tercantik berdasarkan pilihan rakyat kita semua, tapi pilihan beberapa orang yang mau kirim kartu pos dan mampu membeli majalah Anda?”

“Memang begitu, Pak!”

“Umumkan dong!”

“Untuk apa Pak?”

“Ya itu tanggungjawab saudara sebagai penyelenggara!”

“Tidak perlu, Pak, sebab mereka sudah tahu.”

“Tidak bisa! Saudara harus mengumumkan bahwa 9 wanita tercantik ini bukan pilhan kita, tapi pilihan yang mengirim jawaban saja. Dan karena yang mengirim jawaban hanya beberapa ribu, tidak mencerminkan jutaan warga kita, berarti kemenangan mereka palsu. Mereka bukan 9 wanita tercantik.”

“Memang bukan, Pak!”

“Kalau begitu umumkan dong!”

Pertemuan selesai. Gubernur tak ada waktu lagi untuk berdebat, sebab harus terbang ke luar negeri menghadiri sebuah Festival yang diselenggarakan oleh negara sahabat. Para panitia segera berunding. Kemudian pihak perusahaan mendesak agar himbauan Gubernur dilaksanakan, karena menyangkut keselamatan majalah.

Setelah mempertimbangkan masak-masak, panitia mengambil jalan tengah. Keputusan pemenang dibatalkan, karena dianggap ada indikasi sudah terjadi kekisruhan akibat kurangnya kriteria. Pemilihan akan akan diulang. Sebagai kompensasi, hadiah yang rencananya diberikan kepada para pemilih, dilipatgandakan..

Ada protes, tetapi tidak terlalu berarti. Lomba pun dimulai kembali. Pilihan dibatasi sebatas orang-orang cantik di dalam negeri. Kriterianya pun dicantumkan dengan jelas. Bukan hanya kecantikan phisik yang terpakai, tetapi juga kecantikan kepribadian. Beberapa kreteria juga menggiring calon pemilih untuk memilih ratu-ratu hasil pemilihan berbagai kontes di daerah.

Hasilnya amat mengagetkan. Dari sembilan wanita tercantik di dalam negeri, ternyata lima di antaranya adalah wadam. Memang cantik tetapi sebenarnya lelaki Guberbur yang baru pulang dari luar negeri terkejut. Di bandara, ia sudah ngomel di depan para wartawan, karena merasa tidak puas.

Panitia kembali diundang berdialog.

“Kenapa saudara sampai membiarkan 5 wanita adam masuk ke dalam 9 wanita cantik di negeri ini?”

Panita ketawa.

“Jangan ketawa ini serius!’

“Peserta mungkin mulai sadar bahwa pemilihan yang kami lakukan adalah pemilihan main-main, Pak!”

“Tidak ini tidak main-main. Ini cerminan dari perasan mereka yang sejujurnya.”

“Kalau itu betul, Pak. Karena tidak formal dan tidak ada sanksi apa-apa, para pemilih itu mengungkapkan apa adanya. Saya kira karena kriterianya bukan hanya elemen phisik tetapi juga kepribadian, pilihan mreka kami anggap wajar, Pak. Mereka yang terpilih memang sangat professional.”

“Profesional apaan! Itu pilihan yang salah. Itu cerminan bahwa masyarakat kita sedang sakit!”

Panitia mengangguk.

“Kok memngangguk?”

“Saya kira itu ada benarnya, masyarakat kita sedang sakit!”

“Tidak! Masyarakat kita masyarakat yang sehat, bukan masyarakat yang sakit. Saudara yang sudah membuat mereka sakit. Saya minta keputusan ini dicabut. Tidak boleh ada wadam yang dipuji sebagai 9 wanita cantik. Ini salah kaprah!”

Panita bengong.

“Maksud Bapak kami harus mengulangi pemilihan ini sekali lagi?”

“Tidak usah! Tapi ganti pemenangnya dengan ini!”

Gubernut mengeluarkan secarik kertas dari kantungya.

“Cabut nama-nama itu dan gantikan dengan nama-nama ini! Kita bukan masyarakat yang sakit!”

27."SUAP"

Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya dimenangkan.

“Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”katanya memujikan, “keluarganya memang turun-temurun adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, tbc, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.”

Saya langsung pasang kuda-kuda.

“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”

“Tapi bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”

“Betul. Tapi meskipun membela kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan bagus, atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak akan bisa menang.”

Orang yang mau menyuap itu tersenyum.

“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?”

“Sama sekali tidak!”

“Ya!”

Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.

“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”

Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.

“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”

Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.

“Anda tidak percaya kepada kami?”

“Bukan begitu.”

“Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”

Saya tak menjawab.

“Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”

Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.

“Kita transparan saja.”

Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.

“Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.”

Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau pun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.

“Silakan.”

Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.

“Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelpon, saya hubungkan sekarang.”

Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.

“Hallo, hallo …… .”

Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.

“Ade, jangan!”

Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.

“Adeee jangan!”

Saya bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu.. Merasa dikejar anak saya berlari. menyelamatkan diri.

“Ade jangan!”

Anak saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya berkejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.

“Ade jangan itu punya Oom!”

Terlambat. Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima mau pun menolaknya.

Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak terjamah.

Pata tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, mplop itu harus ditemukan.

Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari gini, siapa yang tidak perlu uang?

Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.

“Bang! Tamunya mau pulang!”

Cemas, gemas dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.

“Eling Dik, eling,” kata seorang tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.

“Abang kenapa sih?” tanya istri saya galak dan penuh malu.

Saya tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.

Untuk menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.

Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.

Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak, karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili lagi.

Dan kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan naswibnya. Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.

“Sudah jangan kayak orang bego, cepetan madi dulu, bau!” bentak istri saya.

Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.

“Cepat mandinya, bungkusannya sudah ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor pintu.

Darah saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.

“Mana?”

Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya strap.

“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.

“Limapuluh ribu?” teriak istri saya memprotes.

Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.

“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang bener aja!”

“Tapi .. .”

“Ah sudah! Tidak mendidik!”

Saya tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong..

Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi tahan air. Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.

“Apa itu?” sodok istri saya ingin tahu.

Saya cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek hidup dalam kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.

Saya naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak, saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.

Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.

Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.

Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi. Kemiskinan terasa tidak begitu menggasak lagi, didekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.

Sayang sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang diterima baik, adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.

Pada bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.

Akhirnya setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.

“Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi sampai mati. Ini!”

Saya terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.

“Ayo dibuka saja!”

Istri saya tiba-tiba menunduk dan menangis.

“Lho kok malah nangis.”

“Abang jangan salah sangka begitu.”

“Salah sangka bagaimana?”

“Jangan menyangka yang tidak-tidak.”

“Yang tidak-tidak apa?”

“Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”

Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.

“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.”

Dia menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.

Saya menghela nafas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran yang nyaring melengking menusuk malam, membuat saya panas.

Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.

Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.

Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.

Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan mengganti. Itu kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam kiat dan keberanian.

Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancutkan. Motornya juga saya hajar.

“Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!”

Hampir saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya.

28."Pahlawan"

Seorang seniman mendapat penghargaan. Tetapi tidak seperti di masa-masa yang lalu, hanya berupa piagam dan uang seupil. Ia ditimpa doku yang lebih besar dari yang diterima Susy Susanti ketika menggondol emas untuk bulutangkis di Olimpiade Dunia. Lima milyar.

Rakyat terpesona. Tak menyangka seni bisa menelorkan rizki sehebat itu. Sudah cukup bukti dunia seni kering, banyak seniman mati sebagai kere. Menjadi seniman sudah dicap semacam kenekatan. Lebih dari 90 persen lamaran seniman ditolak oleh calon-mertuanya, kecuali ada komitmen mau banting stir cari pekerjaan lain yang lebih produktif.

Masyarakat seniman berguncang. Angin segar itu membuat profesi seniman naik daun. Tapi berbareng dengan itu hadir pula dengki. Mengapa baru sekarang terjadi? Dan mengapa jatuhnya kepada Dadu, yang langganan ngutang di warung tapi ogah bayar itu?”

“Apa tidak ada pilihan yang lebih baik? Masak pemalas begitu dikasi hadiah. Ntar juga habis dipakai minum dan nyabo. Itu kan tidak mendidik. Cari dong kandidat yang lebih layak. Masak di antara 220 juta jiwa ini tidak ada yang lebih keren?”

“Jurinya ada main!”

Dadu tidak peduli. Dengan tenang-tenang saja, ia menyiapkan penampilannya yang layak pada malam penerimaan hadiah. Ia ngutang beli jas dan dasi. Langsung itu jadi bahan omongan.

“Sialan, dulu ngaku alergi sama hadiah dari pemerintah. Sekarang baru diuncal duit gede ngibrit tak peduli nasib rakyat! Dasar penjilat! Pengkhianat! Mata duitan!”

Dadu sama sekali tidak goyah oleh sindiran itu.. Ia malah menganggapnya sebagai publikasi gratis. Hadiah itu diterimanya dengan senyum lebar. Wajahnya terpampang di halaman depan koran. Kelihatan bangga dan yakin pantas menerima kehormatan. Suara-suara penentangnya menjadi bertambah lantang.

“Kita sudah dibeli semua! Tidak ada lagi yang punya harga diri! Banci!”

Di situ Dadu baru naik darah.

“Bangsat!” teriaknya mencak-mencak. “Sejak kapan mereka berhak mengkomando siapa aku ah? Sejak kapan aku harus jadi budak dan menyerah dicocok-hidung oleh setan-setan yang mau menjadikan aku pahlawan itu! Aku ini si Dadu, anak miskin yang tidak mampu beli celana dalam. Makan juga nembak melulu! Aku bukan pahlawan kemiskinan yang menentang kemapanan. Aku bukan tentara bayaran yang mau bertempur untuk memuaskan mereka yang mau mengadu aku dengan pemerintah! Aku milik diriku yang yang akan aku pertahankan sampai titik darah penghabisan. Aku tidak akan terpancing oleh segala hasutan, provokasi, gerpol dan teror itu. Aku lakukan apa yang aku yakin baik aku lakukan. Persetan sama kalian semua! Jangan ganggu kemerdekaanku anjing! Kalian binatang semua!”

Nyamuk pers senang sekali Dadu kalap. Mereka segera merubung untuk memancing Dadu mengumpat lebih liar. Kalau ada yang berkelahi berita akan laku keras. Untung pacar Dadu mengingatkan.

“Sabar Bang. Hadiah baru diterima, darah abang jangan naik. Kalau struk atau kena serangan jantung, lima milyar tidak ada gunanya.”

Dadu tertegun.

“Tapi aku marah. Kenapa aku dipancing jadi pahlawan. Kenapa bukan mereka saja yang menjadikan dirinya pahlawan. Aku berhak menikmati hadiah ini.”

“Memang.”

“Coba dia yang jadi aku. Tidak usah lima milyar, lima juta juga sudah akan menyembah!”

“Tidak usah ngomong begitu!”

“Kenapa?”

“Sebab itu yang memang mereka mau!”

“Jadi mereka senang kalau aku marah?”

“Persis!”

“Kalau begitu biar aku marah saja terus supaya mereka puas dan berhenti mengganggu kita!”

“Tak mungkin!”

“Mengapa tidak?”

“Sebab mereka menginginkan kamu menjadi seorang pahlawan!:

Dadu tercengang.

“Itu dia yang aku tentang!”

“Jangan. Itu jangan ditentang. Jadilah seorang pahlawan!”

“Aku tidak sudi!”

“Dengerin dulu! Mau denger tidak?!!”
Suara pacar Dadu mulai keras sehingga Dadu terpaksa diam. Tapi dia masih menggumam.

“Aku tidak mau jadi pahlawan kesiangan!”

“Tidak usah. Tapi jadilah pahlawan, dengan cara kamu!”

“Maksudmu?”

“Jadilah pahlawan tetapi tidak dengar cara seperti yang mereka mau. Jadilah pahlawan menurut cara kamu sendiri!”

“Memang itu yang aku lakukan!”

‘Tidak! Dengan marah kamu masih menjadi pahlawan dengan cara yang mereka mau!”

Dadu menyimak.

“Maksudmu bagaimana?”

“Terima penghargaan itu, karena itu sebuah pengakuan yang terhormat, tetapi kembalikan hadiahnya, karena lima milyar itu sudah membuat banyak orang merasa dirinya begitu miskin, sehingga mereka mengaum meminta kamu menolaknya!”

Dadu terdiam.

“Bagaimana?”

Dadu memejamkan matanya.

“Bagaimana?”

Dadu membuka mata dan menatap pacarnya sambil berkata lirih dan tenang.

“Ternyata kita berbeda.”

“Berbeda?”

“Ya. Aku mengingin penghargaan itu karena mereka sudah memberikannya. Dan aku juga menginginkan duit 5 milyar itu sebab aku memang berhak mendapatkannya! Aku sama sekali tidak tertarik menjadi pahlawan, sebab aku manusia biasa! Aku tetap akan menerima sebab aku berhak menjadi diriku!”

Mereka berpandangan. Tiba-tiba pacar Dadu memeluk erat sambil berbisik.

“Kamu benar-benar seorang pahlawan!”

29."Kebebasan"

Ada anak perempuan yang tiba-tiba mengurung dirinya. Dia sama sekali tidak mau keluar rumah. Bahkan di dalam rumah ia lebih banyak mendekam di kamar. Hal ini mencemaskan keluarga dan menimbulkan curiga tetangga.

“Kalau tidak bunting tetapi tidak ketahuan siapa lakinya, mungkin itu tanda-tanda mau gila,”analisa seorang tetangga.

Keluarga langsung mengadu kepada yang berwajib..

“Kami sudah difitnah, Pak. Kami bersumpah anak kami masih perawan. Dia siap membuktikan dengan pemeriksaan laboratorium. Tidak mungkin anak kami melakukan tindakan bejat. Jiwa-raganya sehat. Anak kami waras, bahkan IQ-nya tinggi sekali. Dia hanya memutuskan tidak mau keluar rumah lagi sebab dia mau merdeka.”

Petugas yang mencatat pengaduan itu bingung.

“Mau merdeka?”

“Ya.”

“Tapi kita sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945!”

“Itu kemerdekaan politik, Pak. Anak saya mau merdeka di dalam berekspressi.”

Petugas berhenti mencatat. Dia berpikir, lalu permisi ke belakang. Di belakang ia berunding dengan teman-temannya. Petugas lain, lebih senior, lalu muncul, menggantikan bertanya.

“Bapak tadi mengatakan bahwa kita belum merdeka?”

“Bukan begitu, Pak. Saya mengatakan bahwa anak saya tidak keluar rumah, karena dia ingin merdeka di dalam berekspresi.”

“Silakan. Kita kan sudah merdeka.”

“Tapi itu tidak akan bisa dilakukan di luar rumah, Pak, sebab akan dituduh mengganggu kebebasan orang lain. Kami bisa diswiping.”

Petugas itu berpikir. Akhirnya bertanya dengan curiga.

“Tergantung dari apa yang mau Bapak lakukan!”

“Berekspresi saja, Pak.”

“Ya apa itu?”

“Berbicara, berbuat, berpikir, bertingkah-laku, berpakaian, mengeluarkan pendapat dan sebagainya, Pak.”

“Silakan. Selama itu tidak mengganggu ketertiban dan hak-hak orang lain, Bapak bebas melakukannya. Bahkan mengganggu pun silakan, asal itu hanya terjadi di dalam pikiran Bapak saja.”

“Bukan saya, Pak. Anak saya. Saya melaporkan apa yang menimpa anak saya.”

“Di mana dia sekarang?”

“Di rumah, Pak.”

“Sakit?”

“Sama sekali tidak, Pak.”

“Kenapa tidak datang sendiri melapor ke mari?”

“Sebab dia konsisten dengan pendapatnya, Pak. Di luar rumah tidak bisa merdeka lagi berekspressi sekarang, karena akan dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Jadi dia sudah beberapa bulan ini berkurung rumah. Tapi itu pun tidak bisa, karena dia difitnah dikatakan bunting atau gila. Belakangan saya dengar ada yang menghasut, kalau gila harus dimasukkan ke Rumah Gila, kalau tidak akan mengganggu masyarakat.”

“Jadi ada pihak-pihak yang menekan Bapak supaya memasukkan anak Bapak ke Rumah Sakit Gila?”

“Arahnya pasti ke situ, Pak.”

“Konkritnya Bapak kemari mau mengadukan ……. ?”

“Fitnah, Pak!”

Petugas itu melihat ke mesin ketik. Setelah membaca ia mengeluarkan kertas dari ketikan itu sambil ngedumel.

“Kalau begitu ini salah. Jadi Bapak sudah ditekan oleh massa untuk mengirimkan anak bapak ke Rumah Sakit Gila!”

“Bukan, bukan begitu, Pak.”

Petugas tertegun.

“Jadi bagaimana?”

“Saya datang untuk meminta perlindungan. Berikanlah hak pada anak kami yang tidak ingin keluar rumah. Sebab dia ingin bebas mengekspresikan dirinya di dalam rumah. Dengan tidak keluar rumah, sebenarnya anak saya kan mau memelihara kebebasan orang lain di luar rumah? Mestinya mereka berterimakasih, tetapi kenapa anak saya malah difitnah?”

Petugas itu menarik nagas panjang. Mengeluarkan rokok. Setelah beberapa kali hisap, ia meletakkan rokoknya, lalu permisi, masuk ke kamar atasannya. Tak berapa lama kemudian, atasannya muncul. Masih muda dan cakap.

“Selamat pagi, Pak, ada persoalan apa?”

Senyum dan keramahan petugas yang rupanya orang nomor satu di pos meluluhkan. Bapak yang mengadu itu. Ia langsung berpikir, kalau ada pemuda semacam itu melamar putrinuya, dia akan menyerah tanpa syarat.

“Ada masalah apa?”

“Anak saya difitnah, Pak.”

“Difitnah bagaimana?”

“Difitnah bunting dan gila karena tidak keluar rumah, Pak.”

“Kenapa tiak keluar rumah?”

“Sebab dia merasa sekarang kemerdekaan sudah diartikan seenaknya oleh orang lain, sehingga kemerdekaan itu membuat orang lain tidak merdeka. Padahal kita kan sudah setengah abad merdeka, Pak. Anak saya merasa kebebasan berekspresinya terancam di luar rumah, jadi dia berkorban, tidak mau keluar rumah. Malah diserang oleh massa. Saya datang untuk mendapatkan perlindungan.”

Pejabat muda itu mengangguk.

“Putri Bapak itu seniman?”

Bapak yang mengadu itu mengeluarkan dompetnya, lalu menarik foto anak gadisnya.

“Anak saya ini, Pak.”

Semua tercengang melihat foto seorang gadis yang cantik dan sensual.

“Wah putri Bapak cantik sekali. Wajar masyarakat protes, kenapa orang secantik itu tidak mau keluar rumah lagi.”

Muka Bapak yang melapor itu tiba-tiba pucat. Ia lama terdiam. Kemudian dia seperti baru bangun tidur, buru-buru permisi dan membatalkan pengaduannya.

“Ternyata kita selalu bisa melihat segala sesuatu dari sudut yang lain. Itu sebenarnya makna kebebasan,”bisiknya dengan sungguh-sungguh pada putrinya.

30."Babi"

Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tangannlya selalu keseleo dan menulis kata “babi”. Ia jadi dongkol sekali. Ia ltelah mengunjungi seorang ahi ilmu jiwa, tetapi tidak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang ke depan seorang ulama, tetapi ia hanya diasihati seupaya beristirahat. Padahal, ia yakin benar bahwa mungkin sekali ia sedang berubah untuk menjadi gila.

            Akhirnya ia datang ke dokter bedah.

           “Dokter,” ujarnya dengan terharu, “saya sudah memutuskan luntuk berpisah dengan tangan ini. Ideologi kami tidak sama lagi. Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang. Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakannya. Saya minta dokter sudi memotong tangan ini.”

            Dokter itu  seorang yang penuh pengertian. Ia mendengarkan dengan tenang, seakan-akan ia sudah seringkali memotong tangan orang tanpa alasan-alasan medis. Ia hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan emotong yang kanan atau yang kiri. Pemilik tangan itu sendiri yakin bahwa tangan kanannyalah yang telah berontak, karena itulah  yang dipakai untuk menulis.

            “Jangan terburu nafsu,” kata dokter, “Kita jangan melupakan faktor-faktor sampingan. Kalau tangan Saudara ini memang telah nekat untuk menganut ideologi yang berbeda, tak akan mungkin ia bertindak dengan serampangan. Saya khawatir kalau ia hanya sekadar pancingan.”

            Penderita itu tercengang.

            “Maksud dokter?”

            “Maksud saya adalah bahwa, janganlah Anda begitu cepat untuk terpancing. Berpikirlah sejenak dan renungkan apa yang hendak Anda lakukan. Jangan berkata-kata lagi. Anda relaks saja dahulu. Saya akan berikan waaktu seperempat jam. Kemudian saya akan kembali. Sesudah itu, kita pastikan aoa yang akan kita lakukan. Ketahuilah. Tak ada yang sulit untuk dilakukan. Saya sudah memotong ribuan tangan orang. Saya berani melakukan itu semua. Saya Cuma tak kuat kalau pada akhirnya saya harus berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa yang saya katakan?”

            Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut.

            Selama seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah laku tangannya. Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus berpisah. Lalu dibukanya jam tangannya. Dibukanya cincinnya. Semua barang-barang itu dipindahkannya ke tangan kiri. Sesudah itu ia duduk dengan tenang.

            Waktu dokter datang, ia segera mengulurkan tangan kanannya. “Saya kira tak ada jalan lain harus dipotong dokter,” ujarnya. Dokter memandangi tangan itu dengan hati-hati.

            “Ada sesuatu yang lain pada tangan ini sekarang,” ujarnya.

            Penderita itu tertawa.

            “Tentu saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot.”

            “Kenapa?”

            “Kan tangan ini mau dipotong?”

            “Lalu di mana jam dan cincin itu?”

            Penderita itu mengulurkan tangan kirinya.

            “Di sini dong!”

            Dokter itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya. Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil alat untuk memotonya. Penderita itu tentu saja terkejut.

            “Dokter mau memotong tangan kiri saya?”

            “Ya.”

            “Kenapa?”

            Dokter meletakkan telunjuknya di mulut, “sst!”

            Penderita itu menggeleng.

            “Kenapa mesti sst?”

            “Sudahlah diam dulu, ini politik!”

            “Politik bagaimana?”

            Dokter mendekatkan mulutnya ke telinga penderita itu, lantas berbisik, “kelihatannya saja tangan kanan Saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri Saudara. Ini politik. Tangan kiri Saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. Sementara Saudara menulis ia menutup muka saudara, lalu menggosok tulisan itu menjadi, menjadi apa biasanya yang dia tulis?”

            “Babi.”

            “Ya babi.’

            “Tapi Dokter.”

            “Oke, mari kita coba sekarang!”

            Dokter itu kemudian mengambil kertas dan pulpen.

            “Sekarang coba tulis nama Anda.”

            Penderita itu menggeleng. Dokter menepuk-nepuk pundaknya.

            ‘Jangan takut, ini bukan eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga Saudara rela untuk menolong tanga kiri itu. Ayo coba!”

            Ia segera menggenggamkan pulpen itu di tangan kanan penderita.

            “Tulislah sekarang nama Anda!”

            Penderita itu menggeleng.

            “Kenapa?”

            “Nggak mau!”

            “Ayo coba dong, jangan seperti anak kecil!”

            Dokter itu membujuk-bujuk. Akhirnya orang itu mau juga menulis. Tapi ia kelihatan terpaksa sekali. Ia memejamkan matanya. Tangannya bergerak dengan lambat. Tetapi jari-jari tangan itu tampak kaku. Urat-uratnya keluar. Dokter itu memperhatikan dengan takjub. Ia seperti melihat sebuah pertempuran. Tetapi ia seorang yang sabar.

            Hampir sepuluh menit lamanya, baru tanga itu berhasil menulis : ANWAR. Dokter itu menarik nafas dengan lega sekali. Ia menoleh ke pasiennya, Orang itu tampak berkeringat. Seluruh mukanya basah. Matanya masih terpejam. Dokter itu segera mengambil sapu tangan. Ia mengusap muka pasiennya.

            Ia juga sempat mengambil air dan memberi minum penderita itu. Aneh sekali matanya masih tetap tertutup. Dokter kemudian menepuk-nepuk pundaknya.

            “sudah, sudah, semuanya sudah selesai. Sekarang buka matanya.”

            Penderita itu membuka matanya perlahan-lahan. Ia tampak lelah sekali. Dokter lalu mengambil kertas dan menunjukkan kepada orang itu. Ia tersenyum simpul.

            “Coba baca,” kata dokter dengan bangga.

            Pasien itu diam saja.

            Dokter segera menyalakan lampu, sehingga kertas itu jadi lebih terang.

            “Coba baca dong,” kata dokter dengan nada kemenangan.

            Pasien itu masih diam-diam saja.

            “Ayo baca!”

            Pasien itu tampak memusatkan pikirannya ke atas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek.

            “Babi!”

31."Surat dari Kartini"

Pulang dari menghadiri peringatan Hari Kartini, anak saya terkejut. Ada surat di atas meja. Bukan soal suratnya, tetapi siapa yang mengirimkannya.
“Mia, ada surat dari Raden Ajeng Kartini buat kamu!” teriak istri saya dari dapur.
Sambil berusaha mencopot gelungan yang memberati kepalanya, anak saya merobek amplop surat.
“Baca keras-keras, Ibu ingin dengar isinya,” teriak istri saya lagi lebih keras.
Belum berhasil menarik sanggul yang seperti raket pingpong di belakang kepalanya, anak saya membuka kebaya dan jarik yang membuatnya terbuntal seperti lemper.
“Ayo baca!”
Mia mulai membaca sambil menyelonjorkan kakinya yang pegel karena memakai hak tinggi.
“Cucuku …”
“Yang keras!”
“Cucuku, setiap tahun kamu sudah mengenakan sanggul raksasa warisanku yang membuat lehermu jadi salah urat, karena keberatan. Badan kamu juga tersiksa karena lima jam dibuntal seperti bantal guling.”
Anak saya tertawa.
“Jangan ketawa! Apa katanya?” teriak istri saya sambil nongol dari dapur.
Mia melanjutkan membaca.
“Pakaianku kamu tiru. Lagu pujian kamu nyanyikan keras-keras. Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Wahai Ibu kita Kartini, putri yang mulia, sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia.” 
“Jangan nyanyi! Baca saja?!”
Anak saya berhenti menyanyi.
“Dia bilang kita hanya memuja-muja pakaiannya tetapi lupa kepada perjuangannya.”
“Baca!”
“Cucuku, jangan hanya ulang tahunku yang dirayakan, tapi praktekkan, wujudkan semua cita-citaku yang sampai sekarang belum tercapai. Aku memperjuangkan emansipasi untuk kaum wanita, supaya kaum perempuan tidak lagi dibelenggu gerak-gerikmu dengan alasan menjaga kepribadian, padahal sebetulnya itu adalah siasat laki-laki untuk membuat kita bodoh!”
“Betul!” teriak anak saya memberi komentar.
“Terus baca!”
“Tapi setelah lebih dari seratus tahun, ternyata cita-citaku masih tetap hanya impian. Apa kamu kira perempuan Indonesia sudah mendapat kebebasan? Sudah mendapatkan hak-hak yang setara dengan pria? Tidak cucuku!”
“Betul!” puji Mia dengan bersemangat.
“Jangan kasih komentar, baca saja!”
Tak bisa menyembunyikan rasa senangnya, anak saya membaca dengan suara lebih keras.
“Jangan dikira kalau perempuan sudah boleh bersekolah sudah ada kebebasan. Belum. Jangan dikira kalau perempuan sudah bebas memilih jodoh, berarti sudah merdeka. Tidak! Jangan dikira karena kamu pakai celana panjang, sudah ada kesetaraan. Belum! Pakaian kamu beli mahal-mahal, tapi perut kamu umbar sampai udel kamu ke mana-mana berkeliaran. Itu pemborosan. Sekali bergaya satu minggu masuk angin…”
Anak saya berhenti membaca.
“Ayo, baca terus!”
Tapi anak saya tak mau meneruskan. Dia melipat surat itu dan mau melemparkannya ke meja. 
“Kenapa berhenti?”
Anak saya tidak menjawab. Istri saya keluar dari dapur. Mia melipat surat itu dan melemparkannya ke atas meja.
“Kok dilemparkan. Apa terusannya?”
“Tidak usah. Aku tahu siapa yang menulis surat itu!”
“Bukan soal siapa yang menulisnya, tapi apa isinya. Coba teruskan baca!”
Tapi Mia tidak mau meneruskan membaca. Mukanya kelihatan sebal. Ia merenggut-renggut sanggulnya yang tidak mau copot. Tetapi semakin ditarik, sanggul itu semakin membelit seperti jatuh cinta kepada kepalanya.
Istri saya meraih surat Kartini yang belum selesali dibaca itu. Lalu meneruskan membacanya.
“Kebebasan tidak berarti kebablasan,” baca istri saya dengan lantang. “Dengan kebebasan jangan dikira kamu bisa ongkang-ongkangan seenak perutmu. Bapak kamu kerja lembur, nyapu, ngepel, mencuci, membersihkan sepeda, dan nyemir sepatu kamu karena kamu tidak mau membantu! Itu bukan kebebasan tetapi kemalasan!”
“Sudah!” teriak anak saya sambil menutup telinga.
“Tapi ini betul Mia!”
“Kalau pun betul, tapi betul saja tidak cukup alasan untuk membuat aku mendengarnya!”
“Kenapa?”
“Sebab aku sudah tahu! Semua anak muda di mana-mana juga seperti itu! Itu biasa. Itu bukan kemalasan, tapi proses kami dalam mencari diri! Ibu harusnya mengerti sebab Ibu pernah muda! Jangan hanya bisa mencela! Aku tahu siapa yang menulis surat kaleng itu!”
Anak saya meraih surat itu dan mau merobeknya. Tapi istri saya cepat merebut.
“Jangan!”
“Ngapain mendengarkan caci-maki begitu?!”
Istri saya tertawa.
“Kamu gitu saja sudah tersinggung! Bukan hanya kamu, Ibu juga menerima surat dari Raden Ajeng Kartini.”
Anak saya yang sudah melangkah hendak ke kamar tertegun.
“Ibu? Ibu juga menerima surat dari Kartini?”
“Ya.” 
“Mana?”
Istri saya menggosokkan tangannya yang berminyak ke kain, lalu merogoh ke balik kutang. Ia mengeluarkan sebuah amplop. Berbahagialah orang yang menulis surat kepada perempuan yang masih rajin memakai baju kutang. Maksud saya berbahagialah surat itu.
Istri saya menunjukkan nama pengirim surat itu di amplop. Kemudian ia merobek dan mengeluarkan isinya. Dengan memberikan jarak, sebab ia tidak membawa kaca mata, ia mulai membaca.
“Anakku, di zaman kamu hidup sekarang ini, nasib perempuan tidak seperti di abad ke sembilan belas. Sekarang perempuan tidak lagi hanya berkutat di dapur, di sumur, dan di kasur menemani suaminya tidur. Sekarang perempuan sudah boleh mengejar karir. Ada yang jadi wartawan, sopir taksi, kondektur, satpam, polisi, tentara, dokter, insinyur, menteri, bahkan ada yang sudah bisa jadi presiden.”
Istri saya berhenti membaca dan menoleh pada anak saya.
“Benar, kan?”
“Benar saja tidak cukup, tapi berapa orang bisa jadi menteri, berapa orang bisa jadi presiden, dan apa betul suaminya tidak ikut-ikutan mempergunakan kekuasan dari belakang?”
Istri saya pura-pura tidak mendengar lalu membaca dengan suara lebih keras.
“Tapi, lihat itu Kepala Desa yang menyombongkan dia berhasil mengumpulkan sembilan orang istri di bawah satu atap rumahnya dengan semuanya merasa bahagia. Lihat itu TKW yang sudah dipuja-puja sebagai pahlawan pengumpul devisa, ternyata pulang dari mancanegara babak-belur seperti Nirmala Bonar. Lihat, ada perempuan dipotong tangannya oleh suaminya gara-gara cemburu buta! Di mana letak kesetaraan?” 
“Betul, kan?” kata istri saya kembali menoleh anaknya.
Mia tak menjawab. Mukanya sinis.
“Sekarang yang ramai bukan perjuangan kesetaraan tetapi kesesatan dan keblingeran mengartikan kebebasan. Dulu, laki-laki yang banyak meninggalkan perempuan, sekarang perempuan sudah bisa menceraikan suami. Ada ibu tega meninggalkan anak-anaknya, bukan untuk mengejar kesempatan, tapi mengejar lelaki lain yang kantungnya lebih tebal. Ada ibu menjual anaknya sendiri sebagai pelacur….”
Suara istri saya semakin lirih.
“Lho, kenapa dibaca dalam hati!” protes anak saya.
“Mata Ibu berair karena tidak pakai kaca mata.”
Anak saya meraih surat yang ada di tangan ibunya lalu membaca keras-keras.
“Ada perempuan yang tidak tahu berterima kasih, tidak bisa mensyukuri hidup, mengejek keterbatasan suaminya. Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain. Suaminya kurang aktiflah, kurang bisa melobbylah, kurang lihai merebut kesempatanlah, kurang memuaskan dalam….”
“Itu tidak usah dibaca!”
“Tapi ini betul, Bu!”
“Ya, tapi itu kan oknum!”
Anak saya mau meneruskan membaca, tapi istri saya merebut surat itu.
“Katanya harus dibaca, yang penting kan isinya!”
“Tidak semuanya harus dibaca, Ibu sudah tahu isinya!”
“Belum tentu. Mungkin Ibu tidak berani menerima kenyataan!”
Istri saya kesal. Tapi anaknya tidak takut. Itu bedanya anak muda dengan orang tua. Anak muda meskipun malas, tetapi jujur. Orang tua terlalu banyak pertimbangan dan penakut.
Istri saya langsung membuka kembali surat yang semula sudah dilipat dan langsung membacanya. Mungkin ia tidak mau dituduh anaknya suka berpura-pura.
“Perjuangan perempuan yang sebenarnya adalah perjuangan untuk mencapai persamaan yang benar-benar harmonis, jadi bukan membalikkan posisi. Dulu perempuan dipoligami, sekarang perempuan jangan mau main poliandri! Musuh perempuan bukan hanya kaum laki-laki, tetapi kaum perempuan yang salah kaprah!”
Istri saya menoleh.
“Kalau ini betul dan penting!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri!”
“Itu juga betul?”
“Nanti dulu, harus dilihat apa sambungannya!”
“Ya, sudah teruskan!”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri, sama dengan lelaki dan seperti juga manusia normal pada umumnya.”
Istri saya manggut-manggut.
“Kalau ini baru betul!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah dirinya sendiri ….”
“Itu sudah tadi.”
“Tapi ini diulangi sampai dua kali. Musuh perempuan adalah dirinya sendiri, karena perempuan memiliki kebiasaan untuk lebih peduli kepada perasaannya sendiri. Terutama para ibu.”
“Betul!”
“Jangan nyeletuk, ini belum selesai! Umumnya para ibu karena sangat khawatir pada keselamatan dan masa depan anak gadisnya, jadi bersikap over protektif alias kejam —ini harusnya bukan kejam tapi keras.” 
“Lho, surat orang kok dikoreksi?”
“…. sehingga gampang terjadi ketegangan, akibatnya sering bertengkar dengan anak perempuannya yang mulai besar dan juga suaminya dalam soal-soal kecil dan melupakan soal besar yang lebih penting dipikirkan!”
Anak saya tertawa.
“Diam!”
Mia mencoba menahan tertawanya tapi tidak bisa. Istri saya kesal dan memasukkan surat itu ke dalam amplop lalu membantingnya ke meja. 
“Ibu tahu apa tujuan surat ini!”
“Tapi kan belum selesai dibaca, bagaimana Ibu tahu?”
“Seorang Ibu tahu apa yang…” 
“Ibu belum tahu?!”
“Ya.”
“Jangan begitu, berilah kesempatan surat itu bicara.”
“Nggak!”
“Kalau Ibu tidak mau membaca, biar aku membacanya.”
“Nggak!”
“Dalam hati saja.”
“Aku tahu siapa yang menulis surat kaleng itu!”
Istri saya marah sekali, lalu berbalik hendak kembali ke dapur. Setelah ibunya pergi anak saya menggapai surat itu dan mulai membacanya dalam hati. Beberapa saat kemudian dia tersenyum lalu tertawa.
“Apa katanya!” teriak istri saya yang nongol kembali dari dapur sambil membawa pisau.
Anak saya menoleh.
“Ibu mau dengar?”
“Nggak!”
“Tapi ini betul!”
Mata istri saya membelalak. Dia menghampiri anaknya dengan kesal dan membentak.
“Apa yang betul?”
Anak saya tidak takut. Dia tidak pernah takut kalau merasa betul. Itu perbedan antara anak-anak di masa saya muda dibandingkan anak-anak sekarang. Mereka mungkin bukan kurang ajar, tetapi lebih berani memperjuangkan kebenaran yang memang selalu menakutkan orang tua.
Tak peduli ibunya marah, anak saya membaca dengan suara keras.
“Anakku, aku mengajarkan kaum perempuan bukan hanya menyadari hak-haknya tetapi juga kewajibannya. Berani tidak berarti kurang ajar. Bebas tidak berarti lepas. Kalau perempuan ingin dihormati dan dihargai, perempuan juga harus menghormati dan menghargai. Kalau pendapatan suami kurang jangan diejek, kalau suaminya sakit jangan dituduh malas, kalau suaminya perlu kemanjaan harus diladeni, kalau suami benar dan istri salah, istri harus mau dan berani mengaku salah lalu minta maaf.”
“Betul!” kata anak saya dengan spontan sambil melirik ibunya.
Istri saya terkejut dan sekarang benar-benar marah.
“Apa yang kamu bilang betul!?”
Mata istri saya yang sudah lelah bekerja seharian kelihatan membara. Anaknya, anak saya, anak kami, keder juga.
“Apa yang kamu bilang betul, ah? Ibu kamu ini tidak bisa menghargai bapak kamu?”
“Bukan!”
“Kalau begitu, kenapa betul?”
“Tapi….”
“Tapi apa!”
“Memang betul.”
“Betul apa!!!!!!”
“Betul dugaanku.”
“Dugaan apa! Jangan belat-belit! Dugaan apa? Ibumu tidak bisa mensyukuri? Ah?!!!!”
Anak saya menarik napas.
“Dugaanku betul, yang menulis surat ini pasti bapak.”
Istri saya menurunkan pisau yang secara tak sengaja terangkat karena emosinya memuncak.
“Kalau itu, memang betul!”
“Tidak salah lagi, surat kaleng ini ditulis oleh bapak!”
“Pasti!”
Ibu dan anak klop. Keduanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari-cari bapaknya. Waktu itu saya sedang ada di beranda membaca koran. Pikiran saya terjepit oleh kelakuan Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan yang sudah menjadi warga negara Amerika. Ia membantai 33 mahasiswa Institut Politeknik Virginia. Di antara korban ada Partahi Mamora Halomoan Lumbantotuan (35 tahun), mahasiswa Indonesia lulusan Unpar.
“Bapak curang!” teriak anak saya sambil menarik koran yang saya pakai menyembunyikan muka.
“Curang?”
“Ya! Apa Bapak pikir perempuan itu lemah? Perempuan itu emosional? Perempuan itu ringkih seperti barang pecah-belah. Bapak pikir kami tidak mampu menerima kritik? Itu tahayul lelaki!”
Anak saya dan istri saya seakan-akan hendak melumat saya.
“Siapa bilang kalian lemah?”
“Habis, ini! Kenapa harus menulis surat kaleng seperti ini?!” kata anak saya sambil menjulurkan kedua surat dari Kartini itu. “Kalau Bapak punya unek-unek kan bisa bicara blak-blakan kepada kami? Masak menulis surat kaleng! Ini namanya tidak kesatria. Katanya Bapak bekas pejuang!”
Saya mengamati kedua surat Kartini itu.
“Apa susahnya bicara terus-terang, kita kan serumah. Kita kan satu tim. Mengapa mesti pakai memukul lewat belakang begini? Ini tidak fair, Pak!”
Saya diam saja, sebab tidak ada gunanya menjawab karena keduanya mau menumpahkan unek-unek.
“Kami tidak pernah tidak menghargai Bapak. Bapak saja yang tidak bisa membaca bahasa kami. Kami selalu mengerti dan memperhatikan Bapak, menurut kemampuan kami tentunya. Jangan menuntut kami memanjakan Bapak seperti raja-raja, sebab kita kan orang miskin. Kita orang kebanyakan. Dan Bapak juga bukan raja, meskipun Bapak laki-laki! Kasihan Ibu disindir-sindir terus! Kasihan saya dong!”
Anak saya hampir menangis. Saya tak bisa lagi berdiam diri.
“Dengerin, bukan hanya kalian, Bapak juga sudah menerima surat dari Raden Ajeng Kartini,” kata saya sambil berdiri, lalu cepat pergi ke kamar.
Saya kembali dengan kacamata baca dan selembar kertas. Langsung saja saya geber dan baca di depan mereka.
“Ini surat Raden Ajeng Kartini kepada Bapak. Dengerin. Anakku, jangan terkejut menerima surat Ibu ini. Ibu terpaksa menulisnya karena Ibu melihat perjuangan menegakkan emansipasi bagi kaum perempuan sudah semakin membingungkan. Kalian, para lelaki selalu ketakutan dan menuduh, mengira kalau perempuan diberikan kesetaraan, keleluasaan, dan kebebasan, perempuan akan mijah dan menjadi kuda liar. Itu kecurigaan yang dibuat oleh ego lelaki yang takut kehilangan kekuasaan. Mengapa kalau ada perempuan sesat satu saja, seluruh kaum perempuan dicap ternoda. Sedangkan laki-laki, sudah jelas terkutuk, masih diangkat jadi pejabat! Itu tidak adil. Yang bejat itu kan oknum. Jangan salah! Kalau kaum perempuan mendapat haknya sekarang itu bukan karena kebaikan hati lelaki atau jasa lelaki. Bukan. Jangan sampai lelaki menyangka sudah menyedekahkan kebebasan pada kami. Tidak. Itu milik kami kok yang sudah lama diperkosa dan kalian kuasai. Malah kalian lelaki harus malu besar sebab baru mengembalikannya kepada kami sekarang. Kewajiban seorang lelaki, menemani perempuan sebagai mitra di dalam keluarga yang setara hak, kecerdasan, kesempatan, di samping juga kewajiban-kewajiban. Menghargai perempuan tidak perlu dengan memuja, karena perempuan bukan berhala seperti patung yang minta disembah. Perempuan memiliki hati dan perasaan yang memerlukan pengertian. Bukan materi, bukan kehormatan, bukan kebanggaan, bukan kemenangan, apalagi kekuasaan yang akan membahagiakan perempuan, tetapi kepercayaan yang diberikan dengan ikhlas. Kewajiban lelaki adalah mencari, menemukan, dan membuat pintu hati perempuan terbuka. Dan itu hanya bisa dengan cara menghargai! Tapi sorry, kebanyakan lelaki belum lulus itu. Kelas satu saja belum naik-naik sampai tua bangka seperti sekarang!”
“Betul!” potong istri saya sembari tertawa dan bertepuk tangan. “Baguslah kalau Raden Ajeng Kartini menulis begitu kepada Bapak, biar nyahok! Jadi sekarang Bapak mawas diri, mengerti, siapa dan di mana letak kesalahannya! Ya kan Mia?!”
“Memang betul. Masuk akal. Cukup logis, bagus, dan sampai maksudnya,” kata anak saya menambahkan. “Tetapi bagus dan betul saja tidak cukup. Misi yang baik jadi kurang nilainya kalau disampaikan dengan surat kaleng yang tidak jantan seperti ini. Maaf, Pak, tadi kami sudah keliru menuduh Bapak yang sudah menulisnya. Mungkin surat ini ditulis pacar Mia, atau siapa tahu Ibu Kartini sendiri. Siapa pun dia, kita hargai pikiran-pikirannya yang positif.”
Anak saya tertawa. Mukanya ceria. Istri saya juga. Apa yang lebih membahagiakan dari itu buat seorang lelaki? Keduanya kembali ke ruang dalam meninggalkan saya sendirian. Begitu mereka masuk ke pintu, saya cepat melipat kertas kosong yang saya baca tadi. ***

32."DOR"

SEBUAH BANGKU. BEBERAPA ORANG TUA DUDUK-DUDUK DIBANGKU ITU BERJEMUR SEPERTI MENUNGGU GILIRANNYA UNTUK MATI. KEDEKAT ORANG–ORANG ITU, MUNCUL SESEORANG MEMEGANG BUNTALAN PANJANG. IA MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG TUA ITU. ORANG-ORANG TUA ITU MENYISIHKAN SEDIKIT TEMPAT. ORANG ITU LALU DUDUK. IA MELETAKKAN DI PANGGKUANNYA BARANG YANG TERBALUT KORAN ITU. IA NAMPAK SAKIT-SAKITAN TAPI SEDANG BERSIAP UNTUK MELAKSANKAN TUGASNYA. KEMUDIAN IA MULAI BICARA KEPADA ORANG-ORANG TUA ITU, SEAKAN – AKAN ITU SUDAH SERING DILAKUKANNYA. ORANG –ORANG TUA ITU MULA-MULA ACUH TAK ACUH DAN DINGIN TETAPI LAMA-LAMA PENUH PERHATIAN MENDENGARKAN.

Seperti setiap orang miskin yang lain aku punya cita-cita. Seperti yang dianjurkan oleh Bung Karno, aku gantungkan cita-cita setinggi langit. Aku panggil dalam mimpi. Aku gunjingkan setiap kali. Kemudian aku kejar. Aku kejar sampai babak-belur, jatuh bangun, nafasku sering tercekik. Tapi apa lacur, tanganku tidak memegang apa-apa. Bahkan menyentunya pun tak sempat.

Seperti kebanyakan orang lemah yang lain, aku bingung ketika sampai dipinggir kali besar yang deras dan terjal, karena tak ada jembatan. Apa daya tidak ada alat penyeberangan. Sementara aku tak punya keberanian untuk meloncat untung-untungan karena tenagaku terbatas, aku tidak percaya aku mampu sebab aku tidak bisa berenang.

Seperti puluhan juta orang lain yang gagal, aku membuat keputusan yang tidak aku sukai. Aku angkat tangan dan melambai kepada cita-cita yang tak mampu aku wujudkan itu. Air mataku lepas dari kelopak sambung-menyambung seperti kerikil. Kakiku luka-luka. Di dalam bathinku ada borok yang membuat aku amat malu.

Seperti orang-orang kalah yang lain, aku berbalik. Pulang kembali kerumah tapi dirumah rasanya amat kosong, miskin dan hina. Setiap kali mata aku tutupkan, hatiku hancur. Hidup sudah berakhir, tapi aku mesti melanjutkannya. Dalam keadaan yang tak berdaya itu, aku jadi menyerah. Pasrah karena tidak ada lagi jalan lain. seperti sepotong pecahan kayu aku ikuti aliran sungai yang membawaku ke tepi laut.

Aku membunuh cita-citaku lalu menjadi satpam dalam pabrik-pabrik milik seorang bangsat besar. Gajiku besar. Setiap hari aku memakai pakaian seragam. Membawa tugas-tugas yang tidak boleh dipertanyakan. Melaksanakan seluruh kebijaksanaan yang sudah digariskan. Menjadi seekor anjing pengawal yang harus menggonggong apa saja yang merongrong. Dan memegang sebuah senjata, untuk mengamankan seeluruh tugas-tugas tersebut. Aku diperintahkan menembak, membunuh sungguh-sungguh bukan sekedar menakut-nakuti.

Ketika anakku lahir, cita-cita yang sudah aku kubur itu kembali lagi. Kata orang, anak menjadi perpanjangan usia kita. Dengan anak, kita memiliki sebuah galah, untuk menjangkau buah ranum. Dengan anak ditangan aku tumbuh lagi. Nyawaku ditarik untuk melindungi, membesarkannya dan menjadikannya manusia berguna. Cita-cita yang menggoda kembali itu tidak kubiarkan menjamahku. Aku persilahkan dia datang untuk anakku. Anak itu aku persiapkan baik-baik. Makanannya diatur. Pendidikannya diluruskan. Lingkungannya diperbaiki. Masa depannya dipersiapkan. Tidak sebagaimana orang tuaku dulu, yang tidak membantu mempersiapkanku mencapai cita-cita karena tidak mampu. Aku latih anakku, bukan saja untuk menggantunngkan cita-citanya lebih tinggi dari langit, teapi juga untuk meloncat, menerkam dan merebut cita-cita itu. Ia harus garang melompati sungai yang tak berhasil kusebrangi. Dia harus menjadi manusia yang sukses

Aku tuturkan kepadanya dongeng –dongeng kejayaan orang besar. Baaimana Hannibal menaklukkan pucak Alpen. Bagaimana gajah mada mempersatukan nusantara. Bagaimana Oom Lim Sioe Liong bisa berhasil menjadi orang kaya raya. Bagaimana pak habibie menjadi orang terkemuka dengan puluhan jabatan. Bagaimana pak Harmoko menjabat menteri penerangan sampai tiga kali sekaligus merangkap ketua umum Golkar.

Tapi tidak hanya itu. Aku juga berterus-terang menceritakan kegagalan-kegagalanku sendiri. Kenapa aku sampai tumbang, padahal cita-cita sudah tergantung begitu tinggi.

Setiap hari aku ajarkan kepadanya bahwa kerja, kerja, kerja adalah nomor satu. Bahwa belajar, belajar, belajar, juga nomor satu. Semua yang bagus-bagus nomor satu. Meskipun nasib juga nomor satu. Anak itu tidak boleh bernasib seperti aku, bapaknya. Dia harus menembus nasib. Dia harus melesat meninggalkan rumah kami yang kumuh dan hina. Dia harus menjadi seorang pahlawan.

Setiap malam kalau sudah sepi dan anak itu tidur pulas, aku dan istriku memandanginya dengan takjub. Memang benar, anak itu adalah harta karun. Ia telah membuat aku bersemangat lagi bekerja meskipun usia sudah menjadi manula. Dia seperti matahari di dalam rumah kami.

Barangkali sebenarnya anak itu tidak terlalu bodoh. Tidak terlalu ringkih, seperti aku, bapaknya. Ia mungkin hanya tidak sanggup untuk menanggung semua mimpi-mimpi yang terlalu besar itu untuk menjadi kenyataan. Karena ia sendiri memiliki mimpi. Dan mungkin sekali mimpinya itu amat berbeda bahkan bertentangan dengan mimpiku. Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah menanyakannya. Ia juga tidak pernah mengatakannya. Ia hanya memandang kepada aku, dengan mata kosong, acuh-tak acuh dan mungkin sekali benci atau jijik.

Ketika ia rontok dari sekolah, seharusnya aku mulai sadar bahwa ia bukan seorang pahlawan. Tetapi waktu itu, aku lebih banyak menyalahkan guru. Aku anggap bukan anak itu yang bodoh, tetapi gurunya yang malas. Sistem pendidikannya yang buruk sehingga sehingga membuat seorang jenius sudah mati kutu. Lalu aku datangi sekolah itu. Guru-gurunya aku sumpahi habis-habisan. Demi keselamatan anakku, aku cabut dia dari sekolah itu lalu aku didik sendiri di rumah.

Tetapi apa yang terjadi kemudian, payah. Jabatanku yang terus bertambah, tanggungjawabku yang makin njelimet, waktuku yang selalu habis dalam tugas, membuatku juga jadi orang yang tidak mampu. Meskipun aku bisa membebaskan anak itu dari sekolah, aku tidak berhasil mengisinya dengan pengetahuan. Aku terlalu sibuk. Akhirnya anak itu dididik oleh lingkungannya. Oleh kawan-kawanya sendiri.

Aku masih ingat sekali, seperti baru kemaren sore, pada suatu pagi, aku dijemput ke tempat pekerjaan oleh istriku. Ia menangis tersedu-sedu. Lalu melaporkan bahwa anak itu, sudah menjadi haram jadah. Ia berguru kepada bandit-bandit mantan penghuni penjara Nusa Kambangan. Ia menjadi bandit bandar obat terlarang. Tak segan-segan merampok, membunuh, dan memperkosa.

Aku langsung diam disarangnya. Aku menceritakan kepadanya bahwa tidak semua pekerjaan adalah pekerjaan, pekerjaan yang membawa keruntuhan moral, kebejatan akhlak, dan kematian orang lain, adalah kejahatan. Dan semua bentuk kejahatan bukanlah pekerjaan, tetapi dosa.

Anak itu hanya tertawa. Ia sudah sakit. Jiwanya sudah terganggu. Semakin diberi nasihat, ia semakin sesat.

Aku marah lagi kepada guru-guru. Kepada sekolah yang sudah tak berhasil mendidik anakku. Aku datangi sekolah itu dan menunjukan kepada semua orang, bahwa itulah akibat dari satu sistem pendidikan yang ngawur. Meskipun diam-diam didalam hati, aku membantah sendiri apa yang sudah aku katakan. Karena seandainya aku tidak memasukan anakku kesekolah itu, mungkin ia sudah lebih awal bejat.

Aku frustasi. Kini anakku bukan lagi harapan, tetapi hukuman. Aku sudah dikhianati oleh cita-citaku sendiri. Aku dimakan dari dalam sedikit demi sedikit. Aku tidak boleh membiarkan semua itu. Aku tidak boleh melepaskan cita-cita yang tiba-tiba menghampiri sendiri setelah lenyap. Aku tidak boleh membiarkan anak itu menjadi kecoa, karena aku bapaknya. Sebagai orang tua aku bertanggungjawab untuk menjadikannya pahlawan. Aku harus menjadi juru selamatnya.

Aku ingin kamu menjadi orang bukan binatang. Jadilah sekali ini saja seorang yang bisa kubanggakan dalam hidupku. Sesudah itu, terserah apa yang ingin kamu lakukan, karena hidupmu adalah milikmu. Aku tidak minta kamu kembali kesekolah. Aku tidak minta kamu pergi ke psikiater lagi. Aku tidak akan minta kamu menuruti semua kata pak guru. Aku hanya minta besok, kamu datang kedepan pabrik tempat untuk kerja. Berdiri didepan kantor bersama buruh-buruh yang lain. besok akan terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran, untuk menentang upah dibawah upah minimum yang selama ini sudah dipraktekan perusahaan.

Datanglah kesana. Ikutlah bersorak bersama orang-orang itu, untuk menuntut kebijaksanaan baru. Teriakan apa saja yang mereka teriakan, walaupun kamu tidak mengerti. Serukan keadialan bersama-sama mereka disitu, lebih keras dari mereka, walaupun kamu tidak tahu apa itu keadilan. Tunjukan kepada orang lain, bahwa kamu itu berguna. Kamu mampu menentang bapakmu. Sekali ini saja supaya aku bangga.

Esok paginya ia muncul bersama-sama orang-orang yang berdemonstrasi untuk menegakan hak-hak azasi itu. Sebenarnya bukan untuk memenuhi permintaanku, tetapi justru untuk menghinaku. Aku lihat dari jendela pabrik, ia berdiri didekat tukang rokok tersenyum dan tertawa-tawa. Ditangannya lintingan ganja yang berkali-kali disedotnya dengan nikmat. Aku yakin ia sudah dalam keadaan teler berat. Sementara disekitarnya para buruh pabrik yang sedang memperjuangkan hidup matinya dengan beringas mengangkat tangan dan menyerukan yel-yel yang memaki-maki kesewenang-wenangan perusahaan dan pemilik pabrik yang sudah menginjak-injak nasib mereka puluhan tahun. Dengan garang mereka menentang para petugas yang menghadang dengan senjata terhunus. Sekali-sekali anakku mengangkat tangan dan meneriakan kata-kata kotor.

TERDENGAR SORAK SORAI ORANG-ORANG YANG BERDEMONSTRASI. GEGAP GEMPITA DENGAN YEL-YEL YANG DAHSYAT.

LELAKI TUA ITU MENUNGGU SAMPAI KERAS BENAR. KEMUDIAN PERLAHAN-LAHAN IA MEMBUKA BUNGKUSAN YANG DIBAWANYA. TERNYATA SEBUAH SENAPAN. IA MEMASUKAN PELURU KEMUDIAN MEMANDANG. SKALI LAGI BERDOA.

Ya Tuhan, aku minta ampun kepadamu Tuhan. Aku lakukan semua ini untuk kebaikannya. Aku terima seluruh dosa-dosaku untuk semua ini. Tetapi izinkanlah aku menjadikan anak itu seorang pahlawan.

YEL ITU SEMAKIN GEGAP GEMPITA. KEMUDIAN IA MEMBIDIK. SETELAH TEPAT BENAR IA MELEPASKAN TEMBAKAN. DOR. MENDADAK SEMUANYA SEPI. IA MEMBUNGKUS SENJATANYA LAGI, LALU BERDIRI. SEMUA BENGONG MENATAPNYA. IA MENARIK NAFAS. SEBELUM PERGI, IA BERBISIK.

Tembakan itu luput, melempas membunuh tukang rokok. Karena itu aku tidak berhasil menjadi pahlawan seperti yang diharapkannya.

ORANG ITU PERGI. ORANG-ORANG TUA ITU MENOLEH SATU SAMA LAIN, SEPERTI MENCOCOKAN PERASAANNYA, TETAPI TIDAK MENGATAKAN APA-APA, KEMUDIAN MEREKA MEMPERHATIKAN ORANG ITU MENJAUH. DIANTARANYA ADA YANG MELAMBAI. ADA JUGA YANG MENANGIS, SEAKAN-AKAN BERCERITA TENTANG USAHANYA YANG GAGAL.

Jakarta, 17-7-1995    

33."dokter"

Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke rahim ibu? Virus influenza, HIV, flue burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.
Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun.
Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum infuslah yang sudah membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa ke mari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa ke mari nampaknya dia sudah tidak ada!”
“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
“Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter jangan ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah susah Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat bertindak!”
Saya disumpah untuk menjalankan praktek sesuai dengan ethik kedokteran. Tetapi di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menegak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
“Kalau pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat.”
“Terlambat bagaimana?!”
“Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya bersatu dengan darah. Di bawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke Puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini. Dokter tidak bertanggungjawab!”
“Dokter harus bertindak!”
“Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa ke mari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!”
“Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”
“Makanya kau harus berusaha terus Dokter!”
“Berusaha bagaimana lagi?”
“Panggil! Kejar sekarang!”
“Kejar ke mana?”
“Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasri bisa disusul!”
“Disusul?”
“Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”
Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
“Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!”
“Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau mantri?!”
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar Puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.
Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
“Bagaimana?”
“Tenang!”
“Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!”
“Saya sudah berusaha..”
“Dan hasilnya?”
“Lumayan.”
“Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?”
“Berhasil.”
Mereka tercengang.
“Jadi dia hidup lagi?”
“Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?”
“Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia ke mari!”
“Saya sudah mencoba.”
“Terus hasilnya?”
“Itu, ” kata saya menunjuk pada mayat.
Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
“Ayo!”
Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang sedang mereka lihat.
“Jadi dia hidup lagi?”
Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa..
“Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?”
“Dan mengapa bau?”
“Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur.”
“Tidur?”
“Ya.. Tidur untuk selamanya.”
“Apa?!!!!”
“Tapi dia meninggalkan pesan.”
“Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!”
Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang gaji itu.
“Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali, puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!”
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar dari Puskesmas untuk dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin mengatakan, bahwa saya sudah berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan itu dari kaca-mata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.
“Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke Puskesmas. Tidak melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kota sayalah yang paling benar.”
Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater saya.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke Puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah terlanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi, saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.
Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.
Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara itu kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke Puskesmas, minta agar saya mengobatinya.
Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi “orang bodoh” untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.
Pada suatu malam, muncul di Puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuhnya. Rombongan pengantarnya banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman Puskesmas
“Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas., “kata putra kepala suku, “Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa ke mari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!”
Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar Puskesmas dengan senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.
Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu akhir hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang bukan dukun yang sebenarnya.
Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya sudah berpura-pura jadi dukun, agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajurinya yang berang itu menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan kecewakan kami Dokter!
Saya tidak berani menjawab.
“Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu.
Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran . Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena kalah!”
“Saya paham itu.”
“Kalau begitu hidupkan lagi Bapa.”
“Saya sudah berusaha.”
“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!”
“Tapi .. “.
“Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?”
“Ya itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!”
“Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?”
“Apa?”
“Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang Dokter!”
“Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin.”
“Tapi kau Dokter kan?!”
“Betul.”
“Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa dibiarkan mati? Ayo Dokter!”
Saya tidak sanggup menjawab.
“Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?”
“Tidak.”
“Kalau begitu hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong Dokter!”
“Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas.”
Anak kepala suku itu kaget.
“Maksud Dokter Bapaku mati?”
Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencencang apa saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.
Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapa pun brengseknya. .
“Diam!!!!” teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi, itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
“Jangan tembak!!!”
Dengan gemetar saya tunjukkan tiang bendera itu.
Anak Kepala Suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalau entah darimana datangnya keberanian, saya berbisik.
“Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!”
Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun tegang. Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah.
Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.
“Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!” serunya.
Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita. Kemudian dengan khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan.
Sejak itu bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke Puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalau pun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi Puskesmas tidak pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun, saya hanya ingin mencintai saudara-saudara saya itu.

34.”Balikui”

Suara Pembaruan, Edisi 11/03/2002

Di hadapan sekitar tiga ratus mahasiswa di Hunter College, New York, Wayan harus bercerita tentang Bali. Claudia Orenstein, pengajar teater Asia di perguruan tinggi negeri itu, meminta Wayan tampil sekitar satu jam. "Boleh ngapain saja. Menari, menyanyi, menjelaskan sesuatu, membaca cerpen, yah apa sajalah, asal Bali," kata Claudia. Wayan jadi ngeper. Pertama bahasa Inggrisnya berantakan.

Membaca ia bolehlah, tetapi berbicara di depan orang-orang yang berbahasa Inggris, ia bisa mati kutu. Di samping itu, apa yang mesti diceritakannya tentang Bali. Dalam daftar buku wajib para mahasiswa tercantum buku yang sudah komplet menjelaskan Bali. Di antaranya buku Kaja-Kelod yang ditulis oleh Doktor I Made Bandem dan Doktor Fritz de Boer. Beberapa malam Wayan nyap-nyap. Ia mencoba membongkar-bongkar slide yang dibawanya. Itu bisa mengisi waktu sekitar seperempat jam. Kemudian mungkin ia akan memutar video pertunjukan sendratari Ramayana, kecak dance atau legong keraton.

Selanjutnya ia dapat menunjukkan beberapa gerakan tari Bali. Sisanya menjawab pertanyaan kalau ada. Tapi begitu berdiri di podium, melihat ratusan pasang mata menatapnya, ia jadi kelengar. Tidak hanya mata Amerika, juga ada mata Hong Kong, Jepang, Thailand, Filipina, bahkan terselip satu dua mata orang Indonesia. Rencana Wayan buyar. Semuanya berantakan.

"Saya minta maaf karena bahasa Inggris saya, bahasa hancur lebur. Tetapi barangkali karena itu saya terpilih berbicara di depan Anda semua. Karena paling tidak saya bisa menjadi tontonan konyol," kata Wayan membuka kelas

Para mahasiswa langsung tertawa berderai. Wayan terkejut. Ia tambah kecut hati, karena pengakuan jujurnya ditertawakan. "Waduh saya jadi grogi, maaf mungkin saya harus permisi ke belakang dulu," kata Wayan sambil menoleh kepada Claudia yang ikut duduk di deretan mahasiswa, menembakkan kamera untuk dokumentasi. Para mahasiswa tertawa lebih keras.

Wayan jadi bingung. Akhirnya ia nekat. "Tapi kalau saya ke belakang, saya takut Anda ikut semua. Jadi lebih baik saya tahan saja, mudah-mudahan saja tidak kebablasan di sini di depan Anda." Para mahasiswa semakin seru ketawa. "Maaf saya tidak melucu." Beberapa mahasiswa bertepuk tangan gembira. "Lho sungguh. Sebagai orang Bali, saya tidak pintar berbicara, apalagi dalam bahasa Inggris. Terus-terang, sebenarnya tak ada yang perlu saya bicarakan kepada Anda. Anda sudah tahu semuanya.

Coba apa yang tidak Anda ketahui? Tidak ada. Justru yang tidak saya ketahui, banyak sekali. Misalnya, lho kenapa Anda semua harus mendengarkan cerita orang yang tidak tahu seperti saya. Sebetulnya saya yang lebih pantas mendengarkan cerita Anda. Orang Bali yang harus banyak belajar dari orang Amerika." "Lihat saja dari kepala sampai ke kaki, saya sudah mencoba jadi orang Amerika. Saya memakai celana jins buatan Amerika. Sweater saya ini juga saya beli di loakan di sini. Dan tadi saya baru makan Burger King. Apalagi saya sekarang mencoba bicara dalam bahasa Inggris yang membuat saya sudah stres selama satu minggu. Tapi saya kok jadi tambah Balikui rasanya. Lucu kan?" Wayan tertawa, menyangka apa yang dikatakannya lucu.

Tapi tak ada mahasiswa yang ikut tertawa. Wayan jadi berkeringat. "Ya, terus terang saya sudah habis-habisan mencoba menjadi orang Amerika. Tetapi sudah dua bulan di sini, makan, berpakaian, berbicara dan hidup seperti orang New York, tetap saja saya tidak pernah bisa berhasil jadi orang Amerika. Ternyata sekali saya lahir sebagai orang Bali,

saya sudah dikutuk jadi orang Bali. Apa pun yang saya coba lakukan, berbohong atau menipu sekali pun, tetap saja masih bernapas, berjalan, berpikir, bekerja, tidur, pacaran, bahkan berak sekalipun, saya tetap berak orang Bali." Para mahasiswa tertawa. Wayan kembali heran.

"Jadi bukan pakaian, bukan makanan, bukan juga pikiran yang membuat saya menjadi orang Bali, tapi takdir. Dan saya tidak bisa memilih takdir. Saya dipilihkan. Saya pernah mencoba mengusut apa saja takdir saya itu yang menjadikan saya berbeda dengan Anda semua orang Amerika, termasuk juga Anda yang berasal dari belahan dunia yang lain. Tapi saya tidak berhasil menemukan jawabannya. Saya hanya punya contoh. Waktu saya mendarat pertama kali di Amerika, bahkan datang pertama kali di New York sini, selama satu minggu, bahkan sampai satu bulan saya sulit membedakan kalian satu sama lain.

Nampaknya kalian orang Amerika sama semua. Padahal rambut, tinggi, potongan badan, kelakuan, pakaian, nama serta usia dan watak kan lain-lain. Tapi sebaliknya juga terjadi pada turis Amerika yang datang ke Bali. Selama satu minggu atau sebulan, semua orang Bali buat mereka sama. Wayan semuanya.

Jadi kalau begitu, pertanyannya adalah: apa yang sama pada semua orang Bali?" Beberapa orang mahasiswa bergerak, siap menulis di atas catatannya. "Maaf jangan ditulis, jangan percaya pada saya, siapa tahu saya bohong atau menipu kalian," kata Wayan. Para mahasiswa tertawa cekakan.

Wayan kembali berkeringat. "Orang bilang, orang Bali itu balikui," lanjut Wayan, "artinya lugu, polos begitu. Dalam bahasa Inggrisnya apa ya? Apa ya Claudia?" Claudia mengucapkan satu kata. Tapi Wayan tak mendengarnya. Namun para mahasiswa mencatat. "Banyak orang mencoba belajar kesenian Bali, tari Bali, gamelan Bali dan sebagainya, dengan meniru pakaian, langkah, gerak dan agemnya," kata

Wayan menyambung, "tetapi meskipun secara matematika sudah persis, benar begitu, selalu saja hasilnya kaku. Belajar gamelan dan tari Jawa juga sama saja begitu. Tidak pernah pas. Kadang berlebih-lebihan, kadangkala kurang. Masalahnya, saya kira karena mereka mencoba mendekati dari bentuknya. Ya tidak akan pernah klop. Karena itu, mempelajari Bali, mengajarkan Bali, sebaliknya juga mempelajari Amerika dan mengajarkan Amerika, yang selama ini dimulai dari bentuknya saja, harus dihentikan. Takdirnyalah yang harus dipegang. Baru kalau itu dipahami, tanpa belajar pun Anda semua bisa menjadi penari Bali, dan tahu tentang Bali." Claudia memberi isyarat pada Wayan dengan menunjuk jam tangannya, tanda waktu sudah berlalu. Para mahasiswa berdiri siap-siap untuk pergi.

Wayan kontan berkeringat. "Lho, saya belum sempat lagi mulai, kok waktunya keburu habis? Ya sudah, maaf saja, sekian dulu," kata Wayan menyesal, sambil memandang Claudia seperti orang kalah perang. Para mahasiswa bertepuk tangan.

Jakarta, 17-5-02

35."Gagasan"

POHON jambu bol yang ditanam Gun itu berusia 100 tahun. Pada ulang tahunnya, sahabat-sahabatnya datang berkunjung untuk menyatakan rasa syukur. Yang mengherankan Gun juga hadir.
Pohon jambu itu menegur.
"Lho, empat puluh tahun lalu, pada ulang tahunmu yang ke-60, kamu bilang kamu tak akan bisa hadir hari ini, ternyata kamu di sini sekarang."
Gun, waktu itu sudah memutih rambut dan jenggotnya, mengangguk lalu menjawab. Sebagaimana biasanya dingin, gagap dan muram.
"Aku juga heran. Ternyata aku sudah di sini. Tapi bukan untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Sebab menjadi tua bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan, karena kalau orang duduk saja menunggu dia juga akan menjadi tua dengan sendirinya."
Pohon jambu itu agak tersinggung.
"Siapa yang sudah menunggu? Aku tidak pernah duduk. Aku selalu berdiri, tumbuh dan melawan musim kemarau yang panjang. Melawan badai dan petir yang kurang ajar mau melalap apa saja, karena mereka tak pernah mengenal pengertian
sahabat atau solidaritas. Mereka tak mendirikan partai atau bikin ideologi di mana aku bisa berlindung."
"Pernah ada yang memasang penangkal petir di tubuhku, tapi dia mati waktu memasangnya. Aku tidak mudah mencapai usia satu abad yang relatif singkat buat sebuah pohon. Aku juga masih harus melawan orang-orang yang mau menebang ketika usiaku masih sangat kecil, karena mereka memerlukan tanah tempatku berpijak ini untuk dijadikan pasar swalayan. Untung ada hantu yang waktu itu indekos di sini, dia marah lalu mencekik bangsat itu.
Sekarang orang itu sudah ikut jadi hantu. Untuk beberapa lama aku ditakuti karena dianggap angker."
"Sempat aku jadi selebriti dan dimuat di berbagai koran ditayangkan di setiap layar televisi karena aku dianggap punya kekuatan gaib. Media massa dan para intelektual itu memang tidak punya kerjaan, mereka tak pernah mencangkul di sawah, mereka menghabiskan waktunya untuk menganalisis pohon."
"Sebenarnya mereka memanfaatkanku. Aku yang capek mengadakan perlawanan, mereka yang menikmati hasilnya. Tapi buatku aku enak saja. Toh aku jadi primadona. Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang ajar dan meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk menjual alat untuk
memperbesar kemaluan."
''Masak di kepala selebriti ada papan reklame untuk memperbesar kemaluan. Aku menjadi bahan tertawa dan ejekan meskipun memang terkenal. Kamu boleh tidak percaya, tapi sampai sekarang papan itu masih melekat di kepalaku, tertutup oleh daundaun, karena rasa malu itu sudah menyatu dengan badanku."
"Nah, kamu mengerti sekarang, aku sudah bertahan hidup sambil terus menghirup rasa malu itu. Apa kamu bisa membayangkan seratus tahun dengan rasa malu setiap hari. Dan kau seenaknya mengatakan bahwa usia tua akan datang juga meskipun berpangku tangan. Siapa yang sudah berpangku tangan? Kamu?
Aku menderita luka di dalam batin selama seratus tahun, hanya untuk sebuah perayaan semacam ini, dan kamu tiba-tiba menyeruak dan kurang ajar mendemo aku, menuding bahwa aku sudah tua sambil duduk-duduk. Kurang ajar kamu Gunawan!"
Gunawan mengangguk.
"Terima kasih. Aku memang kurang ajar. Meskipun karena terpaksa."
Pohon itu tercengang.
"Kelihatannya kamu tidak mengerti apa yang aku bilang!"
"Buat apa aku mengerti," jawab Gunawan.
"Kalau begitu buat apa kamu datang ke mari?"
Gunawan melihat ke arah pohon yang rindang dan berbuah lebat itu.
"Itulah yang ingin aku ketahui, kenapa aku datang sekarang.
Bagaimana kamu bisa hidup seratus tahun dengan rasa malu itu."
"Kau bertanya?"
"Aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada diriku sendiri."
"Aku bisa membantu menjawab, supaya kamu tidak usah pulang dengan terheran-heran."
"Tapi aku tidak perlu jawabanmu. Aku perlu jawabanku sendiri."
Pohon jambu bol itu penasaran.
"Sombong betul kamu! Baik. Kalau begitu sekarang aku yang tanya.
Apa jawabanmu?"
Gunawan diam.
"Kenapa kamu diam. Atau kamu belum ketemu jawabanmu?"
"Tadi belum. Sekarang setelah kamu menuduhku tidak tahu apa jawabannya, aku sudah ketemu. Mungkin sudah ketemu."
"Apa?"
Gunawan melihat kepada pohon itu. Pohon yang 100 tahun lalu dimasukkannya ke dalam tanah dengan harapan akan berusia berabad-abad, sekarang baru satu abad kelihatannya sudah payah.
"Aku akan menjawab, tapi kamu berani bayar berapa?"
Pohon jambu bol itu terkejut.
"Berengsek, kalau kamu mau jualan bukan di sini tempatnya. Pergi ke kota, daerah Glodok atau ke Gedung MPR!"
Gunawan menjawab tenang.
"Aku baru saja dari sana."
"Kalau begitu ngapain kamu datang ke mari? Apa kamu tidak laku di situ?"
"Ya."
Pohon jambu bol itu tiba-tiba tertawa. Buahnya yang lebat berjatuhan ke tanah. Para tamu yang menjejali halaman, kontan berdiri dan berebutan mengambil jatuhan jambu. Gunawan iuga ikut mengambil. Sebenarnya bukan karena ia takut tidak kebagian, tapi karena jambu itu sudah menghantam kepalanya dan mengotori
jenggotnya. Ia mengendus jambu itu, lalu membelahnya.
Nampak seekor ulat menggeliat-geliat di dalam jambu itu.
Gunawan mengacungkan jambu itu ke arah pohon.
"Setiap buah yang kamu hasilkan menjadi jambu yang dibawa oleh pertapa yang sudah dihina oleh Parikesit yang menyamar masuk istana sebagai pendeta. Di dalam setiap buah yang kamu produksi ini ada naga Taksaka yang akan membunuh generasi penerus Pandawa."
Pohon jambu bol itu berhenti tertawa.
"Aku tidak mengerti mitologi India. Aku tidak membaca Mahabharata."
"Itu salah kamu. Kamu pikir usia panjang saja cukup?"
"Ya dong. Buat sebuah pohon, usia panjang sudah cukup. Dengan usia panjang, tubuhku akan semakin kuat. Akar-akarku akan semakin menancap. Cabang-cabang dan daunku akan semakin lebat. Apa yang lebih baik dari usia panjang, pengalaman banyak. Dengan usia panjang aku melihat, mendengar dan mengalami lebih banyak. Aku bukan manusia, aku tidak harus berkarya seperti kamu. Satu-satunya tugasku adalah bikin anak, menyebarkan keturunan dan mempertahankan kekuasaan. Dan itu sudah kulakukan dengan catatan hebat sebagai penghancur konsep Keluarga Berencana yang sudah jadi idiologi dan status sosial itu!"
Gunawan nampak bersiap-siap hendak pergi.
"He mau ke mana kamu?"
"Aku mau pulang, sebab ternpatku bukan di sini. Aku punya anak dan istri. Aku juga punya cita-cita. Lebih daripada itu, aku sudah mati. Manusia tidak ada gunanya hidup sampai seratus tahun. Pablo Picasso mati dalam usia 90 tahun."
"Jadi kamu sudah mati?"
"Gagasan-gagasanku tidak pemah mati."
"Maksudmu aku?"
Gunawan memandang pohon itu.
"Kau bukan gagasan."
"Sialan. Kamu pikir aku ini apa?"
"Kamu pohon. Pohon jambu bol yang berusia 100 tahun. Mungkin akan bisa sampai 200 tahun, kalau kamu hati-hati dan bemasib baik atau setidak-tidaknya dilupakan takdir. Tapi hampir pasti akan ada saja yang akan mengakhiri hidup kamu. Sebab kamu sudah menjadi terlalu besar. Kebesaran sulit dihindarkan dari banyak dosa."
"Tapi aku pohon yang sudah ditanam oleh tangan kamu sendiri, Gun!"
"Persis. Jadi jelas kamu hanya pohon, bukan gagasan. Mungkin sebentar lagi semua tamu-tamu yang datang ini akan mati karena dipatuk oleh naga Taksaka!"
"Kamu bohong!"
"Aku tidak bohong, tapi mungkin aku salah."
Gunawan kemudian melangkah pergi.
"He penyair, tunggu!"
Gunawan menoleh.
"Aku bukan penyair, sudah lama aku tidak menulis sajak."
"Oke siapa pun kamu, budayawan, politikus, pemikir, reformis, pejuang hak asasi manusia, pelopor demokrasi, CIA, nabi atau manusia hipokrit, kamu tidak berhak pergi begitu saja setelah bikin Catatan Pinggir!"
"Kamu harus ingat, aku telah mati. Tidak ada manusia yang bisa hidup produktif lewat usia 90. Aku bukan pohon seperti kamu!"
"Itu dia. Karena kamu bukan pohon, kamu bisa hidup meskipun sudah mati. Sekarang aku tahu, itu sebabnya kamu bisa datang ke mari. Kamu ternyata bukan manusia!"
Gunawan tak menjawab. Seperti Johny Goedel dia mengulang pernyataan pohon itu. "Jadi aku bukan manusia?"
"Bukan."
"Lalu apa?"
"Apa?"
"Sebuah gagasan."

36.”Pengusaha Idealis”

Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Putu Wijaya (Halaman 30-35)

Suara Karya, Edisi 09/21/2003

Seorang pengusaha muda Indonesia (mestinya dia menjadi anggota HIPMI) mencoba merebut peluang dengan gayanya yang sangat khas. Ia menemui seorang pengusaha asing yang konon ingin menanam modal besar-besaran di Indonesia. "Saya tahu saya ini nekad," kata pengusaha muda itu. "Saya tahu Anda akan mengatakan tak punya referensi tentang diri saya. Saya tahu Anda akan melemparkan proposal yang saya bawa ini ke keranjang sampah, sebelum Anda memeriksanya.

Saya tahu ini semuanya akan sia-sia. Sebab Anda sebelum datang ke Indonesia pasti sudah punya banyak pilihan. Ini semuanya, seperti biasanya, hanya sebuah sandiwara. Tapi tak apa. Tak ada salahnya untuk mencoba."

Taipan dari mancanegara itu tersenyum. Ia menjabat tangan sang pengusaha muda dengan hangat. "Anda terlalu curiga," jawabnya dengan ramah.

"Kecurigaan yang sangat tipikal seorang anak muda dinamis yang memiliki energi yang besar. Tapi apakah juga itu berarti potensi yang besar?"

Sang pengusaha muda tersenyum kecut karena merasa kena job. Tapi ia tidak kalah gesit. Ia langsung putar otak dan menjawab dengan kalimat-kaliamat yang tersusun baik. "Soal potensi, itu tergantung siapa dan bagaimana melihatnya. Seorang yang luar biasa seperti Anda -- saya yakin referensi yang saya baca tentang Anda seratus persen akurat -- tak akan menghabis-habiskan waktu Anda yang sedikit, untuk menerima seorang yang tidak potensial.

Kesempatan yang Anda berikan untuk bertemu ini, buat saya, sudah merupakan satu kehormatan besar.

Karena itu berarti bahwa potensi saya diperhitungkan. Tapi silakan koreksi saya kalau salah."

Taipan itu tertawa.

"Jangan terlalu yakin pada asumsi Anda, sebelum ada bukti-bukti konkrit. Saya selalu mencoba untuk realistik, menomorsatukan fakta dan data, karena pekerjaan saya adalah angka-angka.

Dunia yang kering di mana keterlibatan emosional sangat tidak diperlukan, sebab dapat menghancurkan semuanya. Itu motto saya.

Tapi jawaban Anda amat imfresif. Setidak-tidaknya saya bertambah yakin saya berhadapan dengan seseorang yang bisa saya ajak bicara. Itu sudah merupakan awal yang baik." Mereka masih berdiri berhadapan.

"Sekarang yang pertama sekali yang akan saya tanyakan," lanjut Taipan mancanegara itu, "berikan saya satu alasan yang bagus, mengapa saya harus mengorbankan waktu saya untuk Anda, sementara banyak sekali orang lain yang sekarang antre ingin menjadi partner saya."

Pengusaha muda itu mengangguk.

"Oke. Pertama sekali, tentu saja karena saya punya sebuah proposal yang bagus. Tapi itu memerlukan waktu untuk menjelaskannya.

Lagipula Anda pasti sudah punya sikap skeptik, karena sebuah proposal memang selalu penuh dengan bullshit.

Walhasil, proposal yang saya bawa ini, betapa pun kerennya, pasti tidak ada gunanya. Tapi ada satu hal lain, yang saya miliki, yang harus menjadi pertimbangan Anda.

Anda dan bukannya orang lain, meskipun secara finansial mereka lebih kuat. Anda lihat saja saya langsung. Terus terang, saya memang tidak memiliki sumber dana yang kuat, meskipun tidak berarti sama sekali tidak memiliki.

Tapi apa yang lebih potensial dari kejujuran? Saya kira Anda mengerti apa yang saya maksudkan. Dan saya tidak usah menjanjikannya, karena saya biasa melaksanakannya."

Taipan itu tersenyum mengerti. "Excellence," pujinya.

Sang pengusaha muda melanjutkan kenuturannya.

"Kedua. Saya masih muda, berjiwa progresif. Saya juga agrewsif dalam merebut peluang-peluang usaha. Dan saya memiliki idealisme yang tidak dimiliki pengusaha-pengusaha besar lain yang sudah mapan.

Mereka bekerja untuk menumpuk uang, untuk menjadi lebih kaya. Saya bekerja, dengan cita-cita untuk ikut membangun negeri saya agar makmur seperti negeri Anda, setidak-tidaknya memiliki GNP yang layak dalam satu dasawarsa berikut ini.

Saya kira itulah tipikal partner yang Anda butuhkan untuk investasi Anda yang amat berbahaya itu. Kenapa saya bilang berbahaya?

Karena terlalu besar dan bagus. Terlalu banyak musuh-musuh Anda, justru karena rencana investasi itu begitu menggairahkan. Siapa yang tak ingin merampok atau menggagalkan rencana Anda, karena ingin menggantikan posisi Anda?"

Taipan itu tertawa.

Tentu saja tertawa seorang taipan yang sulit ditebak. Lalu ia mengulurkan tangan.

"Veri good," ulangnya sekali lagi. "Performance Anda amat impresif. Saya punya kesan khusus untuk Anda.

Saya yakin Anda akan menjadi pengusaha hebat di masa yang akan datang. Saya merasa beruntung kalau masih sempat menyaksikannya."

Taipan itu mengulurkan tangannya. Sang pengusaha muda jadi grogi, belum sempat duduk, dia sudah diusir. Tetapi apa boleh buat, dia terpaksa menyambut.

"Anda seorang idealis sejati," kata sang Taipan sambil mengguncang tangan anak muda itu.

"Tapi kalau boleh saya beri nasehat sebagai orang yang lebih tua, lebih baik kaya dulu, baru menjadi idealis. Bukan idealis dulu. Karena idealis tidak akan pernah membuat Anda menjadi orang kaya. Selamat siang."

Pertemuan pun berakhir.

Sang pengusaha muda, suka atau tidak suka, keki atau tidak keki, terpaksa ngacir.

Calon-calon partner lain yang lebih mapan dengan penampilan yang lebih profesional dan backing finansial yang lebih solid, satu persatu masuk, menjajakan proposalnya dengan kiat masing-masing.

Sang pengusaha muda pulang kandang. Ia merasa sudah gagal total. Tapi secara tak disengaja, ia bertemu kembali dengan Taipan itu di sebuah pesta (mestinya pesta yang diselenggarakan oleh HIPMI).

"Hallo idealis," tegur Taipan itu terlebih dulu.

Sang pengusaha muda sempat grogi, tapi cepat ambil posisi. "Saya sudah berhenti jadi idealis, setelah bertemu dengan Anda beberapa hari lalu," jawabnya kemudian tanpa ditanya. Taipan itu tetawa.

"O ya? How come?"

Pengusaha muda utu tersenyum. "Karena saya ingin menjadi idealis." Taipan itu mengernyitkan alisnya. "O ya?"

"Sure!"

Taipan itu mengangguk-angguk. Ia nampak sangat terkesan. "Oke fine. Saya belum mendapatkan seorang partner yang cocok. Bagaimana kalau Anda besok datang ke office saya? Bisa?"

Mestinya pengusaha muda itu menjawab ya. Karena pucuk dicinta ulam tiba.

Tapi ternyata dia menjawab lain."Maaf," kata pengusaha muda itu sambil tersenyum ramah.

"Saya kira tidak ada gunanya menjadi partner kalau kita sudah tidak sepaham dalam filosofi dasar kita."

Taipan mencanegara itu tercengang. Ia -- sekedar mengingatkan: diantre seabrek pengusaha kakap yang melamar jadi partnernya -- membelalakkan mata. Semua juga tahu, kalau seorang taipan berekspresi seperti itu, artinya fatal.

Tapi apa yang terjadi? Taipan itu kemudian memilih anak muda itu menjadi partnernya.

Kenapa?

Kalau seorang anggota HIPMI seperti Anda tidak tahu jawabnya, kebangetan sekali. ***

Comments