CERPEN-CERPEN PUTU
WIJAYA
dipetik
dari beberapa laman sesawang
1."Bersiap
Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata"
(Buat GM)
AKU menunggu
setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum
berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa
dan memujikan dagangannya.
Ketika
hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan
menyapa.
“Mencari
bunga untuk apa Pak?”
Aku
menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau
mungkin kurang dari itu.
“Bunga
untuk ulang tahun.”
“Yang
harganya sekitar berapa Pak?”
“Harga
tak jadi soal.”
“Bagaimana
kalau ini?”
Ia
memberi isyarat supaya aku mengikuti.
“Itu?”
Ia
menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang
sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
“Itu
saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak
bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak
menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
“Ya,
ini yang aku cari.’
Dia
mengangguk senang.
“Mau
diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa
sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia
kelihatan bimbang.
“Berapa
duit.”
“Maaf
sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
“Tidak,
aku mau ini.”
“Bagaimana
kalau itu?”
Ia
menunjuk ke bunga lain.
“Tidak.
Ini!”
“Tapi
itu tak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena
dibuat bukan untuk dijual.”
Aku
ketawa.
“Sudah,
katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua
apa?”
“Dua
juta.”
Aku
melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin
indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi,
benar-benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku
padangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang
lain.
“Bagaimana
kalau itu?”
Aku
sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya.
Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di
atas meja berikut uang receh logam.
Dia
tercengang.
“Bapak
mau beli?”
“Ya.
Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang.
Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku
merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu.
Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”
Dia
berpikir. Setelah itu menyerah.
“Ya,
sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku
terpesona tak percaya.
“Bapak
perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
“Duapuluh
ribu cukup.”
“Rumah
Bapak di mana?”
“Cirendeu.”
“Cirendeu
kan jauh?”
“Memang,
tapi dilewati angkot.”
“Bapak
mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
“Habis,
naik apa lagi?”
“Tapi
angkot?”
“Apa
salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
“Bukan
begitu.”
“O,
kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
“Bapak
mau jalan kaki bawa bunga?”
“Ya,
hitung-hitung olahraga.”
Dia
menatap tajam.
“Bapak
bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku
tercengang.
“Kurang?”
“Tidak.
Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double
BB di BK PIM.”
Dia
tersenyum. Cantik sekali.
“Silakan.
Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
“Tidak.”
Dia
berpikir.
“Jadi,
bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan
pada seseorang.”
“Memang.
Untuk diberikan pada seseorang.”
“Yang
dicintai mestinya.”
“Ya.
Jelas!”
“Sebaiknya,
Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan.
Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku
terpesona lalu mengangguk.
“Setuju.
Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia
cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya
Bapak saja yang menulis.”
“Tidak.
Kamu.”
Ia
tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan
sajak. Aku menolak.
“Kamu
saja yang memilih.”
“Tapi,
saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya
yang bagus. Yang positip.”
“Cinta,
persahabatan, atau sayang?”
“Semuanya.”
Ia
tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu.
Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi
kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya
Goenawan Mohamad:
“Bersiap
kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku
terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama
26 tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku
tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan.
Cepat-cepat kuhapus.
“Saya
juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”
“Ya.
Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku
menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu
saja yang tanda tangan.”
“Kenapa
saya?”
“Kan
kamu yang tadi menulis.”
“Tapi
itu untuk Bapak.”
“Ya
memang.”
Ia
bingung.
“Kamu
tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
“Tapi,
saya menulis itu untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia
kembali bingung.
“Kamu
tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia
bengong.
“Aku
memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi,
bunga ini untuk Bapak?”
“Ya.”
“Bapak
membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya.
Apa salahnya?”
“Bapak
yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia
menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya
mereka yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
“Mereka
siapa?”
“Ya,
keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
“Mereka
terlalu sibuk.”
“Mengucapkan
selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi
itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat
untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku
ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga
itu.
“Terima
kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku
tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi
terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun
yang lain dari yang lain.
Tapi
sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
“Ini
uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari
tanganku, ”Bapak simpan saja.”
“Kenapa?
Kan sudah aku beli?”
Aku
raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
“Tidak
perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang.
Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia
menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
“Aku
pemilik toko ini.”
Aku
terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. (*)
Jakarta, 30 Juni 2011
2."Keadilan"
ADA suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran
di Bali. Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan
es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau plastik ala koktail
bergantungan dengan pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat anak-anak selalu
memburunya. Kadang-kadang tidak untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak
Amat termasuk salah satu di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut
berebutan untuk membeli es pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat
sampai malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan
layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut
alun-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek minta es pudeng. Waktu
tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir semua anak-anak yang sedang main
layangan menolehkan kepalanya. Yang punya duit langsung lari sambil menggulung
tali layangannya. Tak terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia sedang memper hatikan
seorang juragan ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya,
lalu merasakan ada uang di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah Pak
Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu,
“Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah,” teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik
pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu
itu.” Anak-anak tertawa lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata
ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah….”
Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es puter nampak ketakutan, ingin
cepat-cepat menuangkan es puter ke atas koktail itu. Pak Sersan langsung
menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang minta
diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah
satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat. Tukang es
puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya keras-keras. Tapi,
akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan muncul sambil
mengacungkan pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam. Anak-anak
ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba menetralisir keadaan
sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta
didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”
Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Bangsat ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es pudengnya keluar masuk
kampung kita, anak-anak tidak akan punya kebiasaan beli es sampai sakit-sakit
seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih teriak-teriak minta es, kalau
terdengar kelenengannya lewat. Dan, dia tahu sekali itu. Minggat! Sebelum aku
tembak kamu. Aku sudah banyak bunuh Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa!
Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya.
Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat menunggu beberapa
lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi sebelum Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat lalu
berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu
gelas kristal.”
Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan tangannya.
“Ayo bayar.”
Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan nyawa orang
itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu melangkah, tapi orang itu
tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak
tapi tangannya terluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih tua.
Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangkit lagi. Tapi
rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk berhadapan dengan tuntutan
keadilan hanya gara-gara tukang es yang kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit
pun, Pak Amat menaruh uang sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu.
Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau
tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu abad
merdeka citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat berbeda-beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat. (*)
Catatan:
Cerpen ini diciptakan Putu Wijaya di tengah perawatan intensif di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Cerita dituturkan Putu secara
lisan, kemudian diketik salah seorang kerabatnya. Dia mengalami pendarahan otak
yang mengakibatkan tangan dan kaki kirinya tak bisa digerakkan.
3."Protes"
Orang
kaya di ujung jalan itu jadi bahan gunjingan. Masyarakat gelisah. Pasalnya, ia
mau membangun gedung tiga puluh lantai.
Ia sudah membeli puluhan hektar rumah dan lahan penduduk di sekitarnya. Di
samping apartemen, rencananya akan ada hotel, pusat perbelanjaan, lapangan
parkir, pertokoan, kolam renang, bioskop, warnet, kelab malam, dan kafe musik.
“Kenapa
mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya, uang saya?” kata Baron sambil
senyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif, kan?! Ini, kan, nanti bisa
memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Jadi karyawan, jadi satpam,
jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang bisa meningkatkan hunian kita
yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga lahan akan melonjak. Semua akan
diuntungkan! Kok aneh! Harusnya masyarakat berterima kasih dong pada niat baik
ini! Kok malah kasak-kusuk! Bilang kita merusak lingkungan. Itu namanya fitnah!
Coba renungkan, nilai dengan akal sehat! Semua ini, kan, ada aspek sosialnya!
Berguna untuk kesejahteraan kita bersama! Tidak bertentangan dengan Pancasila.
Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah. Negara yang sehat itu,
masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang, ikut serta membangun
tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu, kan, watak pemalas. Karakter
orang jajahan. Kita, kan, sudah 69 tahun merdeka. Kita harus membina karakter
kita. Arti kemerdekaan adalah: sejak detik merdeka itu, nasib kita ke depan
adalah tanggung jawab kita sendiri. Kalau kita mau hidup layak, harus bekerja.
Kalau mau maju, harus membangun. Kalau mau membangun, buka mata, buka baju,
buka sepatu, buka kepala batu, singsingkan celana, bergerak, gali, cangkul,
tembus semua barikade, jangan tunggu perintah. Tidak ada yang akan memerintah
kita lagi, apalagi menolong, setelah kita merdeka! Hidup kita milik kita dan
adalah tanggung jawab kita. Karena tanggung jawab kita, semua mesti dilakukan
sendiri. Hidup itu kumpulan masa lalu, masa kini, dan masa depan seperti yang
ditulis penyair WS Rendra. Semuanya harus dipikirin dan dipikul sendiri! Itu
baru namanya merdeka dalam artinya yang sejati! Betul tidak, Pak?!”
Amat yang sengaja diundang makan malam, untuk berembuk, hanya bisa mengangguk.
Bukan membenarkan, juga bukan menyanggah. Ia baru sadar kedatangannya hanya
untuk dijadikan tong sampah curhat Baron.
“Pak Amat, kan, tahu sendiri, saya ini orang yang sangat memikirkan kebersamaan.
Di hunian kita ini, rasanya makin lama sudah semakin sumpek. Karena membangun
hanya diartikan membuat bangunan. Akibatnya sawah, apalagi taman, tergerus,
tidak ada ruang bebas untuk bernapas lagi. Hari Minggu, hari besar, hari raya,
waktu kita duduk di rumah untuk beristirahat, rasanya sumpek. Di mana-mana
gedung. Burung hidup dalam sangkar, kita dalam tembok! Tidak ada pemandangan,
tempat pandangan kita lepas. Betul, tidak? Karena itu, perlu ada paru-paru
buatan supaya hidup kita tetap berkualitas! Kan saya yang memelopori pendirian
taman, alun-alun, sekolah, dan tempat rekreasi di lingkungan kita ini. Sebab
tidak cukup hanya raga yang sehat, jiwa juga harus segar. Begitu strategi saya
dalam bermasyarakat, tidak boleh hanya enak sendiri, kita juga harus, wajib,
membuat orang lain bahagia. Dengan begitu kebahagiaan kita tidak akan berkurang
oleh keirian orang lain, karena ketidakbahagiaan orang lain. Demokrasi ekonomi
itu, kan, begitu. Itulah yang selalu saya pikirkan dan realisasikan dalam hidup
bermasyarakat. Tapi kok sekarang, kok saya dianggap tak punya tepo sliro dengan
lingkungan. Ck-ck-ck! Coba renungkan, pembangunan yang sedang saya laksanakan
ini, kan, bukan semata-mata membangun! Di baliknya ada visi dan misi! Apa itu?
Tak lain dan tak bukan untuk mendorong kita semua, sekali lagi mendorong, kita
semua, masyarakat semua, bukan hanya si Baron ini. Kita semua! Supaya kita
semua bersama-sama serentak, take off, berkembang, maju, sejahtera,
dan nyaman! Masak sudah 69 tahun merdeka kita masih makan tempe terus! Lihat
Korea dong, tebar mata ke sekitar, simak Pondok Indah, Bumi Serpong Damai,
Central Park. Mana ada lagi rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana.
Kandang tikus itu bukan hunian orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis
jadi masa lalu yang haram kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar ke
atas! Itu baru layak buat rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-sala-bim, abra-ca
dabra, jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak Bung! Itulah hasil
kemajuan. Itulah dialektika kemerdekaan yang seharusnya! Karena kemerdekaan
membuat kita tidak puas hanya nrimo, hanya pasrah, tapi kita harus beringas,
bergegas mengusai, tidak puas hanya nrimo apa vonis nasib.
Maka wajib banting tulang, buru, rebut, rampas, buaskan ambisi! Itu sah!
Kesenjangan sosial kalau disikapi dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka
harus ambil risiko berontak! Iri, dendam, sirik, penting untuk membuat
penasaran, lalu bangkit dan menang! Putar otak, cari jalan, kalau tidak ada,
bikin. Segala cara halal dengan sendirinya, asal buntutnya berhasil. Walhasil,
agama kita, ibaratnya sekarang, sukses! Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup
udara pun mesti bayar! Maksud saya udara segar dalam kamar hotel bintang lima!
Benar tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”
Amat mencoba untuk menjawab, sebab kalau diam-diam saja, sebagai tamu, terasa
kurang sopan. Tapi sebelum mulutnya sempat terbuka, Baron sudah memotong.
“Ya, saya memang membangun karena punya uang Pak Amat. Tapi uang itu bukan
jatuh dari surga. Bukan menang lotre. Bukan warisan, apalagi korupsi! Bukan dan
bukan dan bukan lagi! Itu uang hasil kerja mati-matian. Kenapa? Karena saya
ingin maju. Kenapa saya ingin maju, karena saya kerja keras! Itu lingkaran
setan! Hidup harus diarahkan jadi lingkaran setan kemajuan! Kalau mau maju,
harus kerja keras. Kalau kerja keras pasti maju! Kalau tidak begitu mana
mungkin saya kaya? Tapi apa salahnya kaya? Apa orang berdosa kalau kaya? Tidak
kan??? Tidak! Tapi sebenarnya saya tidak kaya, Pak Amat, orang-orang itu salah
kaprah! Orang kaya itu, orang yang menaburkan uangnya, di mana-mana. Misalnya
itu mereka yang bakar duit dengan merokok, main petasan, membagi-bagikan
duitnya dengan dalih demi kemanusiaan dan kepedulian sosial, yang bikin orang
tambah malas! Saya tidak, saya sangat cerewet mengawasi tiap sen yang keluar
dari kantong, bahkan tiap sen yang masuk perut saya sendiri. Kalau bisa jangan
satu sen pun ada duit saya yang keluar. Uang yang saya pakai membangun itu,
bukan uang sendiri, itu utang semua! Utang! Paham?”
“Tidak.”
“Tidak usah paham! Saya juga tidak paham! Tapi itulah faktanya! Orang kaya itu
tidak kelebihan duit! Yang kelebihan duit itu kere!? Tapi jangan salah!
Masyarakat selalu keblinger! Mereka senang bermimpi! Saya bukan orang kaya Pak
Amat. Tapi orang yang sangat kaya! Kaya utang! Apa saya kelebihan duit? Tidak!
Duit saya tidak ada! Pembangunan ini kredit bank, jaminannya kepala saya,
kepala anak-bini saya! Kalau saya salah perhitungan, kami semua akan hidup
tanpa kepala! Tapi saya tidak takut. Yah sebenarnya takut juga. Tapi kalau kita
memanjakan takut, kalau kita memanjakan takut, kita akan ditelan iblis. Saya
tidak mau ditelan mentah-mentah. Saya yang harus menelan. Tuhan memberikan saya
tangan, kaki, badan dan otak untuk bukan, bukan saja menelan, tapi mengunyah
nasib dan iblis-iblis itu. Sehingga seperti kata pepatah: tiada batang akar pun
berguna! Ya, sebenarnya saya takut juga, Pak Amat. Siapa yang bisa bebas dari
rasa takut! Saya ini manusia biasa yang tak bebas dari takut, Pak Amat! Tapi
tidak semua takut itu jelek. Ada takut yang membuat waspada, takut yang bikin
mawas diri dan berani. Ada takut yang menyebabkan kita tidak takut. Takut yang
membuat kita menyerang garang. Takut itu tidak semuanya takut. Takut itu
penting. Asal kita tidak mabok, kapan harus takut, kapan pura-pura takut. Kapan
takut untuk nekat. Yang saya haramkan satu: jangan jadi penakut! Karena itu
pembangunan saya ini harus dilanjutkan. Oke, sekarang Pak Amat tahu, saya
kelihatannya saja asosial, padahal saya sosialis. Amat sangat peduli sekali
pada warga. Saya ingin semua kita di sini maju. Jangan, kalau ada orang punya
duit, padahal itu karena dia banting tulang, lalu iri, sewot, sirik, menuduh
orang itu kurang peka lingkungan. Itu yang terjadi sekarang. Makanya saya
ngajak bangkit! Ayo Bung! Jangan baru bisa beli motor sudah merasa masuk surga.
Baru bisa ketawa sudah merasa dicintai Yang kuasa. Tidak! Jangan! Banyak yang
harus dicapai! Kita harus tamak! Semua orang wajib menyadari dirinya masih
kere, di jambrut khatulistiwa ini! Bangun, marah! Jangan marah sama saya-marahi
nasib! Jangan takut pada perubahan. Takutilah takut! Ambil risiko! Perubahan
itu berkah, cabut uban, berhenti cari kutu! Aahhh, capek saya menghadapi
orang-orang kecil yang kampungan!! Risih! Mau wine, Pak Amat?”
Amat pulang dengan kepala penuh sesak. Rasanya tak ada sisa ruang lagi di
kepalanya untuk santai. Baron sudah berjejal-jejal di otaknya.
“Baigamana, Pak? Sudah?” tanya Bu Amat.
“Sudah.”
“Apa katanya?”
Amat bercerita mengulang seingatnya, apa yang sudah dikatakan Baron.
“Terus Bapak bilang apa?”
“Ya, tidak membantah.”
“Lho kok, tidak? Kan hajatnya ke situ mau menyampaikan protes warga?!”
“Begini, Bu, Baron itu, ibaratnya pohon. Kalau dipangkas nanti malah makin
meranggas!”
“Tapi pesan warga sudah disampaikan, belum?”
Amat berpikir.
“Kok mikir? Sudah atau belum?”
“Ya. Tapi dengan cara lain.”
“Masudnya?”
“Ya begitu. Semua pertimbangannya, tak cerna, sebenarnya cukup masuk akal dan
bisa dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun steak tenderloin daging sapi
impor, buat orang yang sudah kenyang bisa bikin muntah. Tapi buat orang yang
buka puasa, jangankan makanan steak tenderloin, teh manis pun seperti air
surga!”
“Dan Baron mengerti?”
“Nah itu dia. Pengertian itu relatif. Ibaratnya siaran berita. Buat pesawat
yang canggih pasti jelas, tapi buat pesawat butut, apalagi tambah cuaca buruk,
yang kedengaran pasti hanya kresek-kresek!”
Bu Amat bingung.
“Maksudnya apa?”
“Ya, seperti black campaign, di masa pemilu, buat pendukung lawan,
akan terasa fitnah keji, tapi buat pendukung yang bersangkutan, justru lelucon
segar!”
Bu Amat mulai kesal.
“Pak Baronnya nyadar tidak?”
“Nah itu masalahnya.”
“Kok itu masalahnya? Masalah apaan?”
“ Ya itu, apa si Baron bisa ngerti tidak!”
“Ya pasti harusnya ngerti, Pak! Baron itu kan bukan orang bodoh. Katanya dia
punya gelar doktor dari California, meskipun kabarnya itu beli. Apalagi
sekarang sudah terpilih jadi wakil rakyat. Tapi apa tanggapannya pada protes
kita? Masak tidak tahu, kalau apartemen, kompleks perbelanjaannya benar-benar
berdiri, pasar tradisional kita akan mati. Ratusan orang akan kehilangan mata
pencahariannya. Apalagi kalau warnet, cafe musik dan lain-lainnya jalan,
pemuda-pemuda kita akan keranjingan nongkrong di situ ngerumpi, lihat video dan
gambar-gambar porno. Hunian kita yang dipujikan asri dan tenteram ini akan
ramai dan kumuh. Masak Baron tidak tahu itu? Kalau tidak tahu, percuma bernama
Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak tahu!”
Amat berpikir. Hampir saja Bu Amat mendamprat lagi. Amat keburu menjawab:
“Mungkin saja dia tidak tahu, Bu. Seperti kata pepatah: Dalam lubuk
bisa diduga, dalam ….”
“Jangan petatah-petitih terus! Kalau dia tidak ngerti, pasti karena Bapak
ngelantur ke sana-kemari menyampaikannya. Terlalu banyak pepatah akhirnya lupa
apa yang harus disampaikan!”
“Kalau lupa sih, tidak. Hanya …”
“Hanya apa?”
“Dia mungkin berpura-pura tidak mengerti.”
“Tidak mungkin! Bapak belum ngomong pun, dia sudah tahu, bahwa kita, penduduk
di sini semuanya menolak!”
“Tapi harus dinyatakan dengan tegas. Dengan surat resmi, misalnya yang kita
tanda-tangani bersama!”
“Kalau betul begitu, kalau dia mau kita bikin surat resmi, sekarang pun bisa.
Bapak bikin suratnya sekarang, nanti saya minta Pak Agus mengedarkan supaya
semua warga tanda tangan! Kalau tidak mau dijitak. Coba apa saja yang sudah
Bapak katakan kepada Pak Baron?”
“Semua.”
“Sudah dikatakan bawa kita semua hampir digusur dengan menawarkan tebusan ganti
rugi satu meter tanah 15 juta. Tapi kita menolak mentah-mentah. Masak hunian
kita mau dijadikan….”
“Dijadikan hotel dan apartemen!”
“Betul!”
“Mau dijadikan pusat perbelanjaan?”
“Betul. Sudah disampaikan juga bahwa kita warga bukan tidak bisa bikin rumah
bertingkat, tapi karena menjaga perasaan banyak warga yang tidak mampu? Di
samping itu di kompleks kita ini kan ada peninggalan sejarah, karena di sinilah
dulu para gerilyawan di masa revolusi bertahan. Rumah-rumahnya tetap kita
pelihara sekarang sebagai monumen.”
Amat berpikir lagi.
“Sudah belum? Sudah disampaikan juga bahwa hunian kita ini air sumurnya paling
bersih dapat diminum langsung sementara air di hunian lain di sekitar sudah
keruh dan asin? Sudah disampaikan ….”
“Kalau itu belum.”
“Tapi dasar keberatan dan protes-protes kita yang lain-lain, sudah kan?”
“Kembali lagi apa dia cukup peka atau tidak.”
“Salah. Pak Baron itu peka. Masalahnya bagaimana Bapak menyampaikannya!”
“Ya, itu dia!”
Bu Amat terkejut.
“Itu dia bagaimana? Bapak menyampaikannya bagaimana?”
“Seperti kata pepatah: diam itu emas.”
“Ah? Bagaimana?!”
“Dengan diam seribu bahasa.”
Malam hari, ketika keadaan tenang, Bu Amat pasang omong. Amat pun tahu apa yang
mau dikatakan istrinya. Tapi ia sabar mendengarkan.
“Dengerin, Pak, jangan belum apa-apa sudah langsung membantah. Renungkan saja,
apa yang saya katakan. Saya akan mengatakan satu kali saja. Paham?”
Amat mengangguk.
“Begini. Bagi orang besar, diam itu memang emas. Karena, orang besar itu, sudah
banyak berbuat dan berkata. Meskipun ia diam, kata-kata dan perbuatan yang
sudah pernah dibuatnya sudah menyampaikan tanggapannya. Orang sudah tahu apa
yang tak diucapkannya. Itu bedanya dengan kita, orang kecil. Kita kalau diam
berarti bego. Menyerah. Atau manut-manut saja. Mau ke kanan, boleh. Ke kiri,
juga monggo. Diam itu ya, kosong melompong. Tidak ada yang tahu apa isi hati
kita. Jangankan diam, kita ngomong sampai mulut robek dan perut gembung juga
orang tidak mendengar apa mau kita sampaikan. Bapak sadar itu, kan?”
Amat mengangguk.
“Makanya, kalau nyadar kita ini orang kecil, ngomonglah. Keluarkan isi hati.
Kalau tidak, pendapat orang lain akan diicantolkan kepada kita. Mau? Mau
memikul pendapat cantolan yang bertentangan dengan pendapat Bapak? Tidak kan?
Kalau tidak, kenapa diam? Apa susahnya ngomong? Atau Bapak takut? Takut apa? Takut
itu perlu, kalau perlu. Kalau salah, boleh takut. Apa Bapak salah? Tidak kan?!
Salah apa?! Apa salahnya bertanya, Bapak kan mewakili warga. Bapak dipercaya
untuk menyampaikan isi hati mereka. Bapak penyambung lidah rakyat di lingkungan
kita ini. Meskipun tidak dipilih seperti caleg-caleg itu dan tidak diangkat
secara resmi. Bapak juga memang tidak disumpah untuk mewakili warga. Tapi
begitu Bapak masuk rumah Pak Baron, semua orang Bapak wakili. Begitu Bapak
keluar, mereka menuntut, apa hasilnya. Jadi kalau besok ada pertanyaan,
hasilnya, apa yang harus saya jawab?”
Sebenarnya Amat bisa menjawab. Tapi ia memilih diam, karena tak ingin memotong
curhat istrinya.
Karena lama tak ada jawaban, Bu Amat melanjutkan.
“Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Masak tidak. Puluhan tahun kita hidup
bersama, saya dengar semua yang ada dalam hati kecilmu. Kamu bicara meskipun
diam. Ngerti?”
Amat terkejut. Itu dia yang tidak ia pahami. Kalau istrinya saja mengerti isi
hatinya, tanpa harus diucapkan, masak Baron yang doktor itu tidak. Jauh di sana
dalam lubuk hati istrinya, terasa perih ketika ia bilang orang kecil diamnya
tak bicara.
Setelah memijit kaki istrinya, sampai tertidur, Amat berbisik: “Orang kecil
yang diam juga emas, Bu, kalau memang emas.”
Tanpa membuka mata, Bu Amat menjawab lirih: “Tetangga kasak-kusuk Bapak
diangkat jadi kepala proyek dengan gaji 50 juta.” (*)
4."Boikot"
SEORANG warga
memelihara hantu di rumahnya. Berita itu mula-mula menjadi bahan tertawaan.
Tetapi ketika beberapa warga mulai datang untuk menengok hantu itu dan
diam-diam minta pertolongan, masalahnya jadi berbeda.
Ada
yang datang untuk minta kesembuhan. Ada yang ingin kaya. Ada yang minta naik
pangkat. Minta jodoh. Anak-anak sekolah juga datang mau lulus ujian tanpa harus
belajar. Ada juga koruptor-koruptor teri yang minta jangan sampai ulahnya
ketahuan, tapi bukan untuk kapok, malahan mau meneruskan kariernya.
Tengah malam ada wakil rakyat, mau berdialog dengan hantu dan meminta supaya
diberikan petunjuk bagaimana mengurus masyarakat agar jangan bergolak. Ia
membaca berita dan desas-desus bahwa gerakan menumbangkan Mubarak di Mesir
telah mengalir ke seluruh Timur Tengah. Gaddafi yang angker itu juga sudah
dikepret. Ia takut teori domino akan menjalar ke arahnya.
Pemilik hantu menikmati kedatangan orang-orang itu. Ia mulai buka warung kecil.
Kemudian juga menyediakan kamar bagi yang ingin menginap. Akhirnya ia
mengenakan tiket masuk, bagi yang ingin berjumpa dengan peliharaannya. Kabar
terakhir, ia memasang plakat di depan rumahnya, bahwa hantunya sudah beranak.
Sekarang ia punya sembilan hantu. Masing-masing hantu punya keahlian
sendiri-sendiri dan tarif ketemu juga sendiri-sendiri. Ketemu juga
sendiri-sendiri.
“Ini kebodohan yang harus dibasmi!” kata Ami memanasi Amat supaya bertindak.
“Masak di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, masih ada orang yang
memelihara hantu. Bapak harus bertindak. Ini penipuan!”
Bu Amat setuju.
“Ya, betul! Sebagai orang yang disegani karena dianggap orang tua di lingkungan
kita ini Bapak jangan biarkan tetangga itu memelihara hantu. Kan ada Puskesmas,
kalau sakit ya berobatnya ke situ. Jangan minta sama hantu. Lihat, sejak
tetangga memelihara hantu, anak-anak tidak mau belajar lagi, padahal ujian
sudah dekat! Mereka percaya hantu itu akan membantu mereka lulus!”
Amat hanya ketawa.
“Biarin saja. Kalau dilarang, nanti dikira kita iri. Dia kan banjir uang sejak
memelihara hantu. Lihat rumahnya sekarang dibangun. Tiga lantai lagi!”
Memang betul, hantu itu membawa perbaikan ekonomi. Yang datang, tak hanya beli
tiket, tapi juga membawa oleh-oleh. Kalau pulang meninggalkan amplop yang tentu
saja akhirnya jatuh ke tangan pemilik rumah. Apalagi yang pernah meninggalkan
amplop tebal, mengaku seluruh permintaannya terkabul.
“Jangan dikira hantu tidak mengerti duit,” kata tamu yang sudah berkali-kali
datang, “kalau duit yang kita masukkan ke amplop itu kotor apalagi palsu, tahu
sendiri akibatnya. Mesti duit baru dari bank. Kalau pakai dollar, serinya harus
jelas!”
Pemilik hantu itu sendiri tidak punya komentar apa-apa. “Tiket ini gunanya
untuk membatasi dan mengatur aliran pengunjung supaya tertib,” katanya
memberikan argumentasi, “kami sama sekali tidak mengomersialkan hantu. Uang
tiket itu kan untuk kebersihan. Adapun amplop-amplop yang ditinggal pengunjung
itu, ya itu urusan pengunjung itu sendiri dengan hantu. Kami hanya menyiapkan
tempat pertemuan. Silakan berdialog sendiri. Amplopnya karena ditinggal, ya
kami tampung saja sebagai tanda persahabatan. Tidak seberapa kok!”
Dia bohong. Orang segera tahu berapa besar isi amplop-amplop itu, sejak di
depan rumahnya mulai nangkring mobil Kijang Inova. Istrinya tidak pernah lagi
jalan kaki keluar rumah. Ke tetangga pun ia diantar Inova.
“Supaya cepat. Habis kalau lama ditinggal nanti hantu-hantunya tidak ada yang
ngurus. Sekarang sudah beranak lagi. Jumlahnya sudah 21.”
Sukses membuat tetangga juragan hantu itu, masuk ke dalam koran. Dengan nada
sinis beberapa wartawan serentak mencerca ulah memelihara hantu itu sebagai
tanda kebodohan masyarakat. Mereka mengundang petugas agar bertindak. Jangan
sampai terlambat karena itu jelas-jelas menenggelamkan masyarakat ke dalam alam
mimpi….
Tetapi serangan oleh koran itu malah membuat hantu-hantu yang dipelihara itu
semakin terkenal. Orang-orang dari kota lain mulai berdatangan. Bahkan dari
Bandung dan Jakarta. Juga tamu dari Kalimantan dan Sulawesi membanjir.
Masyarakat ikut menikmati kedatangan orang-orang itu. Tukang-tukang ojek,
angkot dan warung-warung jadi panen. Beberapa penduduk ambil kesempatan
menyediakan fasilitas parkir dan menginap bagi tamu-tamu.
Tapi para mahasiswa mulai bertindak. Dimotori oleh Ami dan kawan-kawannya,
mereka menyelenggarakan gerakan antihantu. Beramai-ramai mereka mencoba
menghalang-halangi pengunjung dengan memberikan keterangan bahwa semua itu
isapan jempol. Tapi usaha itu gagal, yang datang tidak peduli.
“Bukan soal percaya-atau tidak pada hantu,” kata mereka, “kami hanya mencoba
mencari jalan alternatif untuk membereskan persoalan-persoalan kami yang sudah
tidak sanggup kami hadapi sendiri. Siapa tahu ini akan berhasil.
Saudara-saudara mahasiswa tidak berhak melarang kami! Jangan pikir karena
kalian mahasiswa, kalian yang paling benar! Kami juga warga negara!”
Para mahasiswa keki. Mereka tak bisa lagi menahan beberapa anggotanya menyerbu
rumah hantu itu dengan lemparan batu. Tapi itu sama sekali tidak membuat rumah
hantu itu ditutup. Malah tetangga itu menyediakan beberapa tukang pukul,
menjamin kenyamanan para pengunjungnya.
“Ini negara merdeka dan tidak ada larangan untuk memelihara hantu!” protes
pemilik hantu itu pada Amat. “Saya sudah difitnah! Suara-suara negatif dari
mahasiswa dan koran-koran itu semuanya dimotivasi kebencian, kedengkian karena
iri hati. Mereka cemburu. Apa salahnya kalau hantu-hantu itu mendatangkan
rezeki buat kami? Apa bedanya usaha saya ini dengan usaha jasa yang lain. Coba
lihat, ada yang sudah 10 kali datang ke mari. Itu kan jelas membuktikan, usaha
saya ini membantu masyarakat!”
“Apa mereka pikir enak memelihara hantu? Sekarang kehidupan pribadi saya sudah
terganggu karena setiap detik rumah penuh dengan tamu. Saya sudah hampir tidak
bisa bernapas lagi karena ngurus tamu. Sementara hantu-hantu itu terus
berkembangbiak cepat. Sekarang jumlahnya sudah 100. Saya sekeluarga sudah
capek. Saya sudah mau berhenti. Tapi karena dicaci, dicerca, dipojokkan, saya
jadi berbalik. Itu semua bukan kritik, itu fitnah! Kritik itu berisi pikiran
sehat. Tapi mereka hanya mencaci-maki, menjelek-jelekkan , menghasut
masyarakat, menggiring opini publik untuk membenci saya! Saya akan lawan fitnah
itu! Rumah hantu ini akan saya lestarikan, biar hantunya terus berkembang
sampai jutaan!”
Para mahasiswa yang memprotes tetangga yang memelihara hantu itu semakin
garang. Setiap kali ada saja usaha mereka mengganggu yang mereka sebut “bisnis
terkutuk” itu. Kadang-kadang sampai terjadi perkelahian antara mereka dan para
tukang pukul yang berusaha melindungi para pengunjung yang ingin berdialog
dengan hantu.
Penduduk menjadi resah karena kenyamanannya terganggu. Akhirnya mereka lapor
pada Pak RW yang rumahnya bersebelahan tembok dengan tetangga pemilik hantu.
Pak RW langsung bertindak. Rupanya ia juga sudah lama kesal.
“Memelihara hantu itu perbuatan yang terkutuk. Apalagi mencari nafkah,
memperkaya diri, membeli mobil, membangun rumah loteng sehingga menutup
pemandangan rumah tetangga, dari hasil menjual jasa bertemu dengan hantu, itu
perbuatan kriminal. Kita harus memboikot perilaku asosial itu. Boikot!”
Pernyataan Pak RW terdengar oleh wartawan . Langsung dikibarkan di koran lokal.
Masyarakat jadi ramai. Mereka ingin tahu apa yang dimaksudkan dengan boikot.
Apakah itu berarti tetangga itu akan dikucilkan dari lingkungan. Atau diusir?
Atau hanya sekadar digertak.
Dilalah seruan boikot itu membuat rumah yang memelihara hantu itu
semakin ramai dikunjungi. Yang semula menganggap itu dagelan, karena penasaran
akhirnya datang. Mereka beli tiket. Membawa oleh-oleh seperti yang lain. Dan
setelah jumpa dengan hantu, meninggalkan amplop. Ada juga yang datang kembali,
seperti ketagihan ketemu hantu.
Para mahasiswa pun meningkatkan kegiatannya. Mereka mendirikan posko dan gencar
memberi informasi kepada para tamu. “Sudah waktunya dunia mistik, klenik dan
semacamnya disikat habis. Manusia Indonesia harus hidup rasional, realistis dan
bekerja kalau mau maju. Jangan meminta pertolongan hantu.”
Omzet rumah hantu itu melonjak. Tetangga pemilik hantu kebanjiran duit. Tukang
pukulnya bertambah. Mereka sudah diperlengkapi dengan walkie-talkie dan
pakai motor dalam menyambut dan mengamankan tamu-tamu yang mau diskusi dengan
hantu.
“Sudahlah hentikan protes dan demo,” kata Bu Amat menasihati Ami. “Lihat
hasilnya, malah hantunya semakin laris dan pemiliknya tambah kaya.
Jangan-jangan nanti kalian dituduh kerja sama, menolong mengiklankan dagangan
hantunya!”
Ami terkejut.
“Amit-amit, kami mau memberantas irasionalitas dari negeri ini, mana mungkin
kami membantu orang yang memperdagangkan hantu?”
“Ibu mengerti. Tapi protes-protes kalian sudah membuat pengunjungnya tambah
banyak. Nanti kalau ada wartawan dari Jakarta, kalian bisa dituduh sudah
kongkalikong. Perjuangan kalian yang suci akan ternoda, Ami!”
Ami marah. Bersama kawan-kawannya dia mendesak Pak RW untuk mengambil tindakan.
Pak RW lalu mengumpulkan warga dan sekali lagi menyerukan: boikot. Tak cukup
hanya di lingkungan sendiri, para mahasiswa mengajak Pak RW menghadap yang
berwenang.
Lalu tetangga yang memelihara hantu itu datang lagi ke Pak Amat, curhat.
“Pak Amat,” katanya panik, “maaf beribu maaf, saya tidak paham, mengapa saya
dicaci-maki dan difitnah seperti ini? Boikot itu kan hukuman keras yang berat
sekali. Itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan yang lebih mengherankan saya,
kenapa Pak RW yang mengatakannya? Kalau Ami dan adik-adik mahasiswa itu, saya
mengerti, karena itu merupakan aspirasi kaum muda yang kelebihan energi. Tapi
seorang RW yang bertugas mengayomi warganya, kok sudah mengucapkan sanksi
sosial yang sangat keji seperti itu. Boikot itu kan bukan main-main, Pak.
Padahal hasil dari usaha memelihara hantu kan sudah saya sumbangkan, untuk
memelihara jalan, kebersihan dan juga pendirian sekolah? Kenapa saya dihujat,
Pak Amat?” Amat tak sanggup menjawab. Dia lama terdiam. Akhirnya hanya bisa
menatap. Tetangga itu merasa tetapan itu memberinya angin.
“Betul, Pak Amat, saya punya catatan. Kalau dijumlahkan, sejak memelihara
hantu, saya sudah menyumbang hampir Rp 50 juta kepada Pak RW untuk dimanfaatkan
buat lingkungan kita. Itu semuanya saya dapat dari mereka yang berkunjung mau
ngobrol dengan hantu. Tetapi kenapa saya dikutuk terus oleh pejabat yang saya
hormati seperti Pak RW? Lho, Pak Amat tidak keberatan kan saya memelihara
hantu? Ini kan wiraswasta yang tidak memberikan dampak polisi. Ya kan, Pak
Amat? Setuju Pak Amat?”
Amat manggut-manggut. Sebenarnya tidak berarti membenarkan, hanya bermaksud
menunjukkan ia paham jalan pikiran tetangganya itu. Tapi tetangga itu seperti
dapat angin.
“Orang seperti Pak Amat ini, yang saya hargai objektivitas, kenetralannya yang
tanpa pamrih, punya partisipasi besar pada perjuangan. Pak Amat saja tidak
protes, kok Pak RW yang saya harapkan akan melindungi saya sebagai salah
seorang warganya, kok ngomong boikot. Lho saya bukan orang yang supersensitif
yang tidak bisa menerima kritik. Sama sekali tidak. Saya orangnya terbuka kok.
Pak Amat lihat sendiri kan, itu bukan kritik, saya sudah jadi korban, itu
cercaan, fitnah, saya dijelek-jelekkan. Kenapa? Karena saya dapat keuntungan?
Tapi saya sudah menyumbang Rp 50 juta kan? Bagaimana pendapat Pak Amat? Apa saya
harus menghentikan memelihara hantu? Ini kan sumber penghidupan saya sekarang?
Sumber pemasukan buat lingklungan juga! Bagaimana Pak Amat?”
Amat menggeleng-geleng tak tahu harus menjawab bagaimana. Tapi tetangga yang
punya usaha hantu itu menganggap gelengan itu sebagai dukungan.
“Ya hanya Pak Amat yang bisa saya ajak bicara. Hanya Pak Amat yang mendukung
saya… Perkara tidak suka, boleh saja. Tapi kita kan sudah merdeka dan hidup di
alam demokrasi. Boleh dong saya juga punya pendapat dan kebebasan berusaha. Kok
diboikot? Tindakan saya bener kan Pak Amat.”
Amat mengangguk, tapi bukan membenarkan. Dia sudah mulai tahu bagaimana harus
menanggapi. Dia menatap tetangga yang memelihara hantu itu dengan pandangan
bahwa dia sudah mendengar semua keluhannya, tapi bukan berarti dia setuju.
Mereka berpandang-pandangan. Ketika Amat mau membuka mulut, tiba-tiba tetangga
itu meraih tangan Amat dan menjabatnya sangat erat.
“Terimakasih, Pak Amat. Pak Amatlah satu-satunya yang orang yang sudah
memberikan kritik pada saya. Yang lainnya itu hanya fitnah orang yang iri
karena tidak kebagian. Terima kasih!”
Tetangga itu cepat-cepat pergi. Tapi esoknya dia langsung menghentikan bisnis
memelihara hantunya, sehingga lingkungan aman kembali. (*)
Jakarta, 26 Pebruari 2011
5."2011"
“AKHIR tahun
membawa banyak hal yang sama. Misalnya harapan bahwa tahun mendatang akan lebih
baik. Tapi biasanya, setelah datang, ternyata juga sama. Tak ada perubahan.
Kemajuan hanya harapan. Hanya perasaan-perasaan kita yang berubah. Barangkali
memang di situ peluangnya.”
Aku terkejut. Aku menoleh kanan daan kiri. Siapa yang sudah mengatakan itu.
Ternyata tidak ada orang. Itu pikiran-pikiranku sendiri setelah merenungi
berbagai kejadian yang sudah lewat. Setelah puluhan tahun bergulir, tapi
nasibku tidak bergerak. Aku merasa seperti dipaku ke atas dinding beton.
Dengan muka kuyu kutatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja yang
kemarin. Foto-foto semuanya sama. Tak ada yang berubah. Barangkali hanya cicak
dan tokek yang silih berganti karena mati. Lainnya seperti abadi. Sehingga
timbul pertanyaan. Apakah tahun benar-benar berganti atau hanya berulang
kembali.
Wajahku melusuh di meja makan. Istriku jadi khawatir.
“Pusing, Pak?”
Aku mengangguk.
“Mau dipijit?”
“Ini bukan masuk angin tapi pikiran kacau.”
Istriku manggut-manggut.
“Kalau begitu jalan-jalanlah keluar rumah, tenangkan pikiran.”
Aku setuju. Setelah ganti pakaian, aku keluar rumah. Tapi setelah sampai di
jalan, aku bingung, tak tahu mau ke mana. Waktu itu muncul Pak Manuel yang
hendak pergi ke gereja.
“Mau ke gereja, Pak Manuel?”
“Betul, Pak. Bapak sendiri mau ke mana?”
Aku menjawab malu.
“Tidak ke mana-mana, mau makan angin saja, menghilangkan perasaan sumpek.”
“Kalau sumpek jangan makan angin, nanti tambah pusing.”
Aku ketawa.
“Saya cuma tak habis pikir, Pak Manuel, kok tidak ada yang berubah. Tiap tahun
kita ingin ada perbaikan, tapi akhirnya selalu kecewa. Ternyata tidak ada masa
depan. Kita seperti naik mobil yang bannya kejeblos. Tambah digas,
roda muter makin kencang tapi tetap di situ-situ juga. Sama sekali tak
bergerak. Hidup ini seperti macet. Ya kan, Pak Manuel?”
Manuel manggut-manggut.
“Begini, Pak, kalau Bapak sedang naik mobil yang kejeblos,
sebenarnya Bapak tidak berjalan di tempat, tapi Bapak sedang masuk ke dalam
tanah lebih dalam, sampai dapat pijakan yang cukup kuat untuk mendorong mobil
keluar dari lumpur. Bapak mungkin terlambat, tapi bukan tidak ada gunanya.
Sebab kalau tidak kejeblos lumpur, siapa tahu, mungkin, mobil
Bapak yang ditabrak truk yang nyelonong hambruk karena keberatan muatannya itu.
Bersyukurlah! Bapak sebenarnya sedang diselamatkan!”
Aku tersenyum, tapi jadi berpikir.
“Pak Manuel!”
Tapi Manuel tidak menunggu. Lelaki yang aktif di gerejanya itu sudah
sampai ke tikungan dan berbelok tanpa menoleh. Aku jadi merinding.
“Apa itu benar-benar Pak Manuel atau hanya pikiranku yang kacau?”
Cepat aku berbalik pulang, batal cari angin. Aku langsung menghampiri istriku
yang sedang menata makan malam.
“Sudah makan angin, Pak?”
“Nggak jadi….”
“Kenapa?”
Lantas kuceritakan pertemuanku dengan Pak Manuel.
“Pak Manuel?”
“Ya.”
“Bukannya Pak Manuel sudah kembali ke Flores tahun lalu?”
Aku terperanjat.
“Masak?”
“Ya, sudah kembali ke Flores. Kecuali kalau dia sudah datang lagi!”
Aku jadi penasaran. Cepat aku keluar rumah lagi, ngecek ke
rumah Pak Manuel. Di depan rumahnya aku disapa.
“Bapak ke gereja, Pak.”
Aku menoleh. Itu Yozef anak bungsu Manuel.
“He, kamu sudah kembali? Katanya sudah pindah ke Flores.”
“Sudah kembali lagi, Pak.”
“Kapan?”
“Baru tadi.”
Aku bengong. Kutatap anak itu.
“Kamu sudah besar sekarang.”
“Ya, Pak. Saya mau cepat-cepat mau masuk tentara.”
“Ya? Kenapa?”
“Mau memperbaiki dunia!”
Aku bengong. Kembali kuplototi anak itu tajam. Sekarang aku yakin bahwa semua
itu tidak nyata. Itu bagian dari pikiranku yang kacau.
“Setuju kan, Pak?!”
Aku menggeleng.
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Karena bukan senjata yang bisa mengubah dunia ini.”
“Terus apa?”
“Perasaan. Perasaan kita. Semua boleh tidak berubah. Semua boleh sama. Tapi
kalau perasaan kita berubah, semua yang sama itu dengan sendirinya akan ikut
berubah. Hanya perasaan kita yang mampu mengubah semuanya ini. Perasaan kita.
Dan hanya kita sendiri. Bukan senjata!”
Yozef tak menjawab, aku cepat berbalik pulang. Sampai di rumah, baru aku merasa
perasaanku menjadi terang. Tak perlu ada lampu. Kalau perasaan terang,
segalanya akan terang.
Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran yang sama sekali berubah.
Sampai di dalam rumah, aku menoleh ke sekeliling. Dinding, meja, potret-potret
di atas tembok tidak ada yang sama. Semuanya terasa baru. Lalu aku cium bau
gorengan tempe yang masih mengebulkan asap di atas meja. Itu bukan tempe yang
bertahun-tahun lalu aku kunyah, itu tempe baru. Dan ketika kemudian aku
mengunyahnya satu, kurasakan kenikmatan yang belum pernah kukecap sebelumnya.
“Tak ada yang benar-benar sama. Semuanya berubah, kalau pikiran kita sehat.
Tempe ini bukan tempe yang kemaren, tapi tempe baru yang belum
pernah aku rasakan. Karena perasaanku mengubahnya. Nikmat sekali!” kataku
sambil mencomot lagi dua potong tempe sekaligus.
Istriku memandang takjub.
“Dari tadi pagi Bapak diam-diam saja kalau diajak ngomong.
Tiba-tiba saja sekarang ngoceh ngomong yang aneh-aneh. Salah!
Itu bukan tempe. Itu kan krupuk udang, tahu!”
Aku terkejut. Kutatap baik-baik apa yang sedang aku makan. Memang itu bukan
tempe, tapi kerupuk udang. Tapi itu tidak mengurangi kenikmatannya. Ya.
Ternyata apa yang kupikirkan seharian di akhir tahun ini, terjawab. Yang
terpenting dari segalanya adalah perasaan.
Lalu aku mengangguk.
“Betul! Tapi selama kita masih punya perasaan, hidup ini akan berubah!”
Istriku tak menjawab. Ia menganggap tidak mendengar apa-apa.
Malam hari setelah semua orang tidur, kulihat seakan tahun 2010 sedang
menanggalkan pakaian kerjanya untuk diserahkan pada 2011. Aku cepat bersimpuh
dalam pikiranku lalu berdoa.
“Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan negeri ini? Apa yang harus kami
lakukan untuk membuat negeri, bangsa dan rakyat yang usianya jalan 66 tahun ini
dewasa. Percaya pada diri, mampu mempergunakan seluruh kekayaannya untuk
kebahagiaan seluruh warga, serta dihormati oleh bangsa dan negara-negara lain,
bukan karena takut, tapi karena cinta?”
“Aku tidak minta apa-apa kepada-Mu ya Tuhan, aku hanya mencari titik pandang,
tempat aku mendengar kembali suaraku ini. Karena perhatian-Mu sudah lebih dari
cukup. Adalah kami yang menjadi pangkal, sebab dan seluruh nasib kami ini.
Adalah kami yang harus tidak hanya berpikir, merasa dan berharap tok,
tetapi harus segera berbuat untuk memilkul dan mengubah segala yang kurang
pantas ini, sampai terjadi apa yang kami mimpikan.”
“Tetapi apa sebenarnya yang kami mimpikan? Apakah mimpiku, harapanku sama
dengan yang ditumbuhkan 220 juta batok kepala orang lain di sekitarku?”
Esoknya aku merencanakan akan bertanya pada siapa saja yang kutemui. Apa
sebenarnya yang menjadi impian mereka. Jangan-jangan mimpi itu tidak sama, tapi
berbeda, bahkan bertentangan. Dan itulah yang menjadi pangkal semua
keruwetan ini.
“Kalau Bapak tanya Ibu,” jawab istriku yang pertama kali kujadikan sasaran,
“aku hanya ingin supaya kita semua selamat. Kurang lebih itu biasa, namanya
juga hidup. Asal kita jangan hanya saling menyalahkan dan merasa lebih tahu
padahal yang paling tahu itu adalah orang lain yang selalu kita tentang karena
partainya lain.”
Aku tertawa. Aku heran sejak kapan istriku itu jadi suka politik. Kemudian
kucecer anakku. Sebagaimana biasa anak muda, dia menjawab acuh, gagah, dan
pongah.
“Sebenarnya semua ini adalah proses panjang dalam menyadarkan kita bahwa kita
tidak lagi dijajah. Kita sudah merdeka. Tetapi di dalam kemerdekaan, kita belum
siap untuk tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Bahkan kita kaget, karena
apa yang kita miliki sebelum merdeka, ternyata kini sudah tidak ada. Misalnya
tidak ada yang benar-benar mengurus kita. Semua orang berlomba mengurus dirinya
sendiri. Kita sedang dalam belajar merdeka. Seperti kata professor Ben
Anderson, bayak orang menganggap merdeka itu adalah saat untuk membagi kue warisan.
Akibatnya yang terjadi sekarang setelah lepas dari penjajahan adalah bentrokan
antara kita dengan kita, karena semua ingin mendapat kue warisan yang
lebih banyak. Harusnya bukan nafsu membagi warisan, tapi nafsu memberi yang
dihidupkan. Seperti kata Kennedy, pertanyaannya bukan apa yang bisa diberikan
negara kepadamu, tetapi apa yang bisa kamu berikan kepada negara!”
Jawaban itu mempesonaku. Aku lebih bersemangat lagi untuk mendengar pendapat
orang lain. Tapi ketika mau melangkah ke tetangga, anakku mencegah.
“Jangan cuma mendengar pendapat orang. Pendapat Bapak sendiri bagaimana?”
Aku senyum.
“Pendapatku tidak penting.”
“Penting! Jangan nanti baru berendapat setelah mendengar pendapat orang lain.
Itu namanya nyontek. Atau Bapak tidak punya pendapat? Mau seperti
bunglon?”
“Lho jangan sembarangan. Bapak punya pendapat.”
“Ya apa?!”
Aku jadi mikir.
“Tapi pendapat pribadi Bapak yang sejujur-jujurnya!”
“Lho memang itu tujuannya bapak bertanya-tanya.”
“Jangan cuma bilang ingin ada persatuan, kesadaran kebangsaan, keadilan,
kebenaran, keselarasan, kepemimpinan yang transparan, hukum yang hidup dan
berjalan, peradilan yang berwibawa, demokrasi dan sebagainya dan sebagainya.
Itu sudah klise. Sudah banyak dikatakan orang. Bahkan juga sudah diulang-ulang
oleh para ahli-ahli. Saya mau tahu apa keinginan Bapak sejujurnya sebagai warga
negara. Jangan takut. Tidak ada yang mendengar dan tidak akan dihukum kalau
hanya mengatakan kejujuran. Tapi katakan atas nama sumpah!”
Aku terkejut.
“Kenapa pakai sumpah?”
“Harus! Sebab ini soal kejujuran. Sumpah! Bapak mau apa?”
Aku bengong.
“Jangan berpikir. Sebab kalau Bapak berpikir, artinya Bapak mau cari selamat
saja. Katakan saja sejujurnya. Nggak ada orang lain di sini!”
Kemudian istriku muncul.
“Hanya ada Ibu. Tapi Ibu kan bukan orang lain. Katakan saja
terus terang. Bapak inginnya apa? Bagaimana?”
Aku menoleh pada istriku.
“Anakmu ini sudah gila. Masak aku disuruh bersumpah untuk mengatakan aku ingin
apa?”
Ternyata istriku mendukung anaknya.
“Lho, Bapak kan sudah nanyain kami,
kenapa mengelak kalau ditanyain? Ibu juga mau dengar apa jawaban
Bapak.”
Aku terpaksa ketawa.
“Boleh ketawa. Tapi ini sumpah! Harus sejujurnya!”
“Apa, Pak?”
Aku menarik napas panjang.
“Aku ingin kita….”
“Ingat sumpah, Pak!”
Aku tertegun. Lalu bicara dengan hati-hati.
“Aku berharap negeri kita ini….”
“Awas, ini sumpah!”
Aku hampir saja marah, merasa dipermainkan. Aku ini kepala keluarga, kok didikte
oleh anggota keluarga? Tapi tak ada senyum sinis yang biasa ngintip di sudut
bibir anakku. Ia serius. Istriku juga sama. Aku jadi terdakwa.
Waktu itu muncul perasaan aneh. Seakan untuk pertama kalinya setelah setengah
abad aku memandangi wajah anak dan istriku. Kulihat apa yang tak pernah
kulihat. Entah bagaimana kudapatkan kacamata yang sama sekali lain. Lalu
kutemukan apa yang tak pernah dan tak ingin kulihat. Apa yang selalu kulewati
dan lupakan. Apa yang selalu kuhindari dan aku tunda.
Tiba-tiba saja aku menemukan uban terserak di kepala istriku. Kerutan di leher
dan di sudut matanya. Wajahnya yang polos tapi tertikam. Di balik kepolosan itu
tertekan berbagai keinginan yang tak terkabul. Alangkah rentan kulit pipi yang
dulu merah itu. Kini ia kusut dan tak mampu lagi menutupi apa yang menjadi
kekecewaan dan hasratnya yang tak terpenuhi.
Sementara anakku yang belum mandi, karena sedang membersihkan kamar-kamar,
terasa kampungan. Jauh sekali dari wajah-wajah cantik di layar sinetron
Indonesia. Berbeda dengan gadis-gadis generasi baru Indonesia yang sempurna
gizi. Walau tubuhnya berisi dan semampai, tetapi tidak ada kebebasan dan
keceriaan di matanya. Belum menikah, ia seperti sudah mendapat beban memikul
dunia. Itu bukan generasi baru yang bebas, tetapi anak muda cacat yang
digondeli berbagai kesulitan yang sebenarnya bukan tanggungannya.
Mendadak aku menjadi sedih dan kejeblos. Aku ingin menghapus semua
itu. Membebaskan keluargaku dari ketaklukan pada nasib buruk. Menyulap rumahku
yang berdebu, kumuh, yang bagaikan gudang kotor yang tak selayaknya bagi
seorang warga negara di negara yang sudah merdeka dan kaya lagi.
Mendadak aku ingin memiliki rumah yang tak hanya tempat pulang, tapi sebuah
istana bagi orang yang menang. Kenapa aku tidak ikut mengenyam keuntungan jalan
raya dengan memacu mobil mewah di atasnya? Aku ingin tak hanya memandang hotel
dan gemerlapan gaya hidup di real estate mewah, tapi juga ikut
mengecap dan memilikinya. Aku tak mau hanya mengibarkan bendera tanda merdeka,
tetapi ikut berkibar.
Sambil mengeruk isi dada, lalu aku merasa perutku mual. Karena tak berhasil
menahannya lagi, lalu begitu saja aku muntah.
“Aku ingin menjadi konglomerat. Orang yang berkuasa dan ditakuti. Aku ingin
menjadi wakil rakyat, semua dapat semua prioritasnya. Jangan hanya bintang
film, artis, dan pelawak-pelawak itu saja yang menikmati gaji 40 jutaan
sebulan. Aku ingin menjadi pejabat, bupati, walikota, gubernur, menteri, duta
besar dan juga presiden. Aku ingin punya bukit, tambang, dan mega proyek. Aku
ingin membahagiakan anak cucuku sampai tujuh turunan. Aku ingin sukses, unggul,
berkuasa, dan lebih dalam segala hal dari orang lain yang kalah. Aku ingin
lebih merdeka, lebih bebas, lebih nyaman, dan lebih berkuasa dari orang lain.
Aku ingin bebas dari segala kesulitan dan beban batin karena aku sudah merdeka.
Aku ingin, ingin apa saja yang belum kumiliki. Aku ingin segala yang tak ada….”
Tiba-tiba istriku menghapus air matanya. Tapi tetes yang berjatuhan di pipinya
tidak terbendung. Ia pun mengisak. Anakku memalingkan mukanya seperti tak tega
melihat itu. Lalu ia menjauh.
Sementara aku tak berhasil berhenti. Mulutku terus bicara.
“Aku ingin anak dan istriku tidak pernah lagi menangis dan selalu bangga
kepadaku. Karena aku kepala rumah tangga yang sejati. Aku ingin menjadi
pahlawan dalam hidup meraka yang tidak tergantikan. Dan karena aku tak mampu
mendapatkan semua itu, maka aku ingin, memimpikan semua itu siang malam.
Padahal apa yang kurang? Aku sudah berusaha sekuat tenagaku. Aku sudah
berjuang, tidak pernah berhenti sedetik pun. Tapi ternyata yang kudapat tidak
satu persen pun dari harapanku. Aku hanya lelaki manula yang penuh dengan
harapan, keinginan, impian, yang lebat setiap detik, sehingga pohon kehidupanku
semakin ringkih dan hampir hambruk, tak sanggup memikul. Aku tak mampu berbuat
apa-apa. Aku hanya seekor cacing….”
“Sudah, Pak!”
“Maafkan aku, Bu.”
Kudekati istriku.
“Harusnya kamu kawin dengan laki-laki lain yang pasti akan memberikan semua
itu, bukan dengan aku. Tapi kalau kamu tidak menikah dengan aku, aku akan
brengsek. Nasibku akan konyol. Kalau tidak ada kamu yang menemaniku selama ini,
mengingatkan akau agar tetap di jalan yang benar ini saja, barangkali sudah
lama aku ada di penjara.”
“Sudahlah, Pak!”
Diam-diam aku ikut menghapus air mata sebelum sempat keluar. Waktu itu anakku
menghampiri lagi.
“Bukan hanya Bapak, itu keinginan semua orang sekarang. Saya kira keinginan
semua orang Indonesia. Entah kenapa kita bersama-sama menjadi orang yang tidak
tahu diri. Semua kita. Tidak terkecuali siapa pun. Hanya ada yang mampu
menutupi, ada yang tidak. Ada yang kelihatan gagah dan bijak, tapi sebenarnya
dalam hatinya sama saja. Jadi Bapak tidak perlu lagi menanyakan kepada siapa
pun apa harapan mereka. Kalau mau berdoa, berdoa saja, mudah-mudahan kita bisa
melewati masa yang sulit ini.”
Aku menggeleng.
“Bapak tidak akan berdoa lagi. Sudah cukup. Yang perlu sekarang berbuat.”
Istriku menoleh dan berhenti menghapus air matanya.
“Ya, betul itu. Berbuat. Tapi tidak usah yang neko-neko seperti
yang Bapak bilang tadi. Kalau mau, kalau masih kuat, ambil saja sapu bersihkan
halaman di belakang. Cukup! Tidak perlu jadi pejabat atau konglomerat,
memangnya gampang. Kalau toh ketiban rezeki nomplok, sebesar
itu, belum tentu Bapak kuat, kalau mentalnya tidak siap.”
Sembari membuang seluruh kesedihannya istriku kembali ke dapur. Waktu itu
anakku tersenyum lantas mengangguk ke arahku.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih?”
“Ya. Terima kasih telah mengembalikan Bapak saya sebagai suami Ibu saya dan
Bapak saya.”
“Memangnya selama ini bukan?”
Ami mengangguk.
“Bukan! Sebagaimana umumnya semua orang lain. Kemaren-kemaren Bapak
bukan diri Bapak yang sebenarnya.”
“O ya? Lalu kamu sendiri?”
“Saya juga begitu. Semua kita sama!”
Aku berpikir.
“Kalau itu betul, tapi berapa lama kita bisa teatap jadi diri kita?”
Anakku mengangkat pundaknya.
“Ya beberapa detik saja cukup. Karena sebagian besar sejarah kita adalah
sejarah orang yang lupa.”
Aku tertegun. Mungkin hanya beberapa detik dalam hidup kita yang panjang ini,
kita benar-benar mampu jadi diri kita. Tapi lumayan. Yang penting kebenaran itu
masih mau datang. Walaupun barangkali tak pernah bisa kita miliki selamanya,
karena hidup bergerak. Karena kita ditakdirkan harus terus mengejarnya. Terus
saja mengejarnya. Dan tidak perlu mendapatkannya. Karena mengejar saja sudah
cukup. Mengejar jauh lebih indah daripada mendapatkannya.
“Kok senyum-senyum sendiri?” tanya istriku tiba-tiba.
Aku menoleh. (*)
Jakarta, 16 Desember 2010
6."Maaf"
PADA hari
raya Idul Fitri muncul tamu yang tak dikenal di rumahku. Aku pura-pura saja
akrab, lalu menerimanya dengan ramah tamah. Terjadi percakapan. Mula-mula
sangat seret, sebab aku sangat berhati-hati jangan sampai kedokku terbuka. Di
samping itu, diam-diam aku berusaha keras untuk membongkar seluruh kenangan.
Setiap bongkah aku bolak-balik, mencoba menyibak, siapa kira-kira dia, tetapi
sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang karena satu dan lain sebab aku lupakan?
Orang yang keliru menyangka aku temannya? Penipu atau orang sakit jiwa?
Setengah jam pertama lewat, tetapi masih
tetap gelap. Cangkir teh tamu itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi
menawarkan apakah boleh menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan
bahwa kalau itu sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya.
Tetapi tamu itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak
memberatkan.
Aku berseru memanggil Taksu, yang memang tidak ada di rumah. Tentu saja Taksu
tidak keluar-keluar. Yang muncul adalah istriku yang sudah hendak jalan ke tetangga.
Ia mengerti apa yang dimaksudkan suaminya, lalu mengangguk sopan, membawa
cangkir masuk. Tetapi kemudian keluar dengan sebuah gelas penuh teh, mungkin
supaya tidak perlu bolak-balik lagi. Aku membuang muka karena kecewa. Apa boleh
buat sudah telanjur. Ternyata istriku juga menyodorkan setoples kacang sebelum
kemudian pamit pergi ke tetangga.
Mau tak mau aku terpaksa memainkan kehadiran kacang itu. Ternyata dengan kacang
kapri percakapan menjadi lebih renyah. Aku mulai mendapat informasi bahwa tamu
itu sudah menjalani perjalanan yang panjang sebelum menemukan rumahku. Ia
menyebut-nyebut kapal laut, kereta api, dan kemudian pesawat terbang. Aku lalu
menduga orang itu datang dari Jakarta. Tidak ada kereta api yang sepanjang itu
di pulau lain.
Lalu aku ingat pada beberapa kenalanku yang tinggal di Jakarta. Barangkali ini
salah satu anggota keluarga Ikra atau Soegianto. Ia datang pasti karena
mendapat rekomendasi dari mereka. Dengan harap-harap cemas aku menunggu kalau
salah satu nama temanku itu melompat dari mulutnya. Tapi setengah jam lagi
berlalu, itu tak terjadi. Tamu itu, setelah memuji kegurihan dan kerenyahan
kacang yang katanya paling enak dari semua kacang yang pernah dicicipinya, ia
malah banyak bertanya tentang kesehatan jasmaniku.
Apa aku sudah mulai punya keluhan asam urat atau darah tinggi. Mungkin diabet
atau jantung berdebar-debar. Apa aku masih rajin olahraga orhiba. Belum punya
pantangan makanan? Masih berani makan sate kambing dan duren? Bagaimana kalau
kopi? Berapa kali minum kopi sehari? Dan merokok?
Ketika mendengar aku tidak merokok dengan penuh perhatian ia menanyakan
bagaimana aku bisa menghindar dari rokok yang menjadi alat pergaulan itu.
Apakah aku memang tidak merokok sejak awal, tetapi nampaknya itu mustahil,
karena merokok sudah jadi identitas semua pemuda yang aktif. Jadi bagaimana
caranya aku keluar dari cengkeraman rokok yang menjadi salah satu pembunuh
kejam itu.
Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat yang berusaha untuk membebaskan
dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan karena cengkeraman nikotin itu
tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia tak sungguh-sungguh ingin
berhenti merokok. Ia nampak menikmati ceritanya sendiri yang selalu gagal lagi,
gagal lagi bercerai dengan rokok.
Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku tidak pernah merasa takut, karena sudah
melakukan dosa? Bukan dosa yang dilakukan dengan sengaja tapi dosa-dosa yang
tak diketahui, semacam kekhilafan atau kekurangtahuan.
Aku terkejut. Terpaksa lebih berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai curiga, sehingga
berusaha agar lebih banyak mendengar daripada bicara. Tapi celakanya orang itu
menganggap aku sangat tertarik dan tekun mendengar. Sambil tak henti-hentinya
mengunyah kacang, ia menceritakan ada beberapa tingkat dosa yang biasa
dilakukan oleh manusia tanpa disadari oleh pelakunya.
Pertama, katanya, dosa bagi yang membiarkan perbuatan berdosa dilakukan.
Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam saja tidak berusaha menghalangi pencuri
itu melakukan praktik jahanamnya merugikan orang lain, orang yang melihat itu
berarti setuju dan ikut mencuri. Hukumannya sama saja.
Yang kedua, dosa yang tidak peduli terhadap orang-orang yang sudah melakukan
dosa. Tidak pernah berusaha untuk memberikan teguran atau bimbingan agar orang
yang berdosa itu sadar pada perbuatannya. Jangan-jangan pendosa itu melakukan
dosanya karena tak tahu itu perbuatan dosa. Bagi yang tahu tapi membiarkan saja
orang itu sesat, hukumannya sama. Orang itu berarti ikut membantu melakukan
perbuatan dosa.
Dan, yang ketiga, dosa bagi yang tidak mau memaafkan mereka yang berdosa karena
ingin menghukum agar pendosa itu kapok. Seorang yang berbuat dosa terlalu
besar, mungkin sudah tertutup mata hatinya, sehingga ia tidak melihat perbuatan
itu dosa. Jadi bagaimana mungkin dia akan insaf. Sementara itu, seseorang yang
berbuat dosa terlalu besar, mungkin sadar perbuatannya itu tidak termaafkan.
Jadi ia pasti malu datang untuk minta maaf karena ia sendiri sadar perbuatannya
itu sulit dimaafkan.
Nah, kata tamu misterius itu, bagi yang tahu kondisi orang itu, dan
membiarkannya tetap berada dalam kegelapan dosa, berarti yang bersangkutan juga
berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa lebih berat, sebab orang yang tak
mengetahui dan orang yang tak berdaya itu tindakannya tidak lagi terkendali,
karena ia seperti orang yang tidak berkemampuan. Sebaliknya, orang yang berdaya
yang tidak punya kesulitan bertindak untuk mencegah dosa itulah yang akan
menanggung dosanya.
Sampai di situ, aku sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran. Kacang di toples
tinggal separo. Sudah hampir tiga jam aku mendengar tamu yang tidak punya
perasaan dan mungkin sinting itu, menyita waktuku. Padahal sudah dua kali aku
sempat tertidur ketika ia menguraikan teori-teori tentang dosa, tetapi setiap
kali aku terbangun, orang itu masih terus di situ. Makan kacang dan bicara.
Lalu aku putuskan hendak berdiri. Tapi dia lebih cepat bangkit dan menahan aku
di tempat duduk. Tidak, katanya, sudah cukup kunjungan saya kali ini. Terima
kasih atas penerimaan Pak Amat yang begitu baik, sekarang saya mau melanjutkan
perjalanan lagi, katanya sambil menangkap tanganku. Aku tak sampai hati
mengelakkan tangan, apalagi ketika orang itu mencium tanganku, lalu bergegas
pergi.
Aku tetap duduk di kursi, tak sudi mengantarkan, untuk menunjukkan rasa kesal.
Ketika istriku pulang, ia terkejut melihat suaminya bengong di kursi seperti
ketika ia tinggalkan tiga jam yang lalu.
“Kenapa Pak? Kok dari tadi bengong melulu. Masak makan
kacang sampai setengah toples, nanti bibirnya lumpangan lho.
Mau minum lagi?”
Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar siapa yang tadi bertamu.
“Ayo, Bu, kita ke rumah Pak Bimantoro untuk mengucapkan selamat hari raya!”
Istriku tercengang.
“Lho, bukannya dia musuh kita yang sudah memfitnah Bapak korupsi uang
warga yang mau dipakai untuk membangun sekolah?”
“Betul. Dan sekarang sudah terbukti itu bohong! Dia pasti malu besar. Dia orang
berpendidikan tinggi, pasti dia tidak akan berani minta maaf karena ia tahu
fitnahnya yang kejam itu sukar dimaafkan. Kita ke sana saja, jangan biarkan dia
berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
Aku cepat mengganti baju dan sandal.
“Ayo, Bu!”
Istriku tak membantah, hanya penasaran.
“Kenapa Bapak jadi berubah pikiran? Bukannya Bapak yang kemarin mati-matian
menolak keras waktu diajak untuk silaturahmi maaf-maafan ke situ?”
“Ya. Tapi tadi aku kedatangan tamu. Dia bilang tolonglah orang yang tidak
berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak
berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa. Ayo, Bu!”
Istriku tambah heran.
“Tamu siapa? Memang tadi ada tamu?”
“Sudah, kok ngomong terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam.”
Dalam perjalanan, istriku terus bertanya-tanya. Apa yang sudah menyebabkan aku
berbalik pikiran. Menurut dia, sudah betul apa yang aku putuskan. Menurut
istriku, orang kaya itu adalah teroris yang berbuat seenak perutnya sendiri
saja. Tanpa punya bukti dia dengan seenak perutnya main tuduh mengatakan aku
sudah makan uang warga. Dan itu menyangkut nilai sampai setengah miliar.
Padahal uang itu tidak hilang, tapi dipinjamkan oleh bendahara pada warga yang
memerlukan atas persetujuan panitia pembangunan sekolah itu sendiri. Dan orang
kaya itu termasuk anggotanya, tapi tidak pernah hadir dalam rapat. Belum
apa-apa ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar. Maksudnya jelas, ingin
menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih menjadi caleg. Akibatnya
masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas kesalahannya itu ia sama
sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh warga yang berusaha memfitnah dia.
Dia berkoar-koar lagi di mana-mana mengatakan sudah diacuhin warga.
“Sekarang bukannya minta maaf, dia malah bikin rumahnya open house,
supaya kita semua rame-rame datang ke situ maaf-maafan,
seakan-akan kita semua yang salah. Itu kan memutar balik
soal. Ngapain kita meladeni orang yang sesoprenia?”
“Untuk menunjukkan bahwa kita berjiwa besar?”
“Ah itu namanya jiwa kecil. Seperti kita semua ngiler mau makan enak dan ambil
bungkusan, paling juga dia dapat dari sponsor!”
“Bungkusan apa?”
“Aku baru datang dari rumah tetangga yang barusan ke sana. Tiap orang yang
datang ke situ pulangnya dibawaain tas plastik berisi suvenir.
Tahu apa isi tas itu? Barang-barang contoh rokok, sampo, sabun, ciki-ciki
racun, dan paket mie baru yang pasti dia dapat dari sponsor!”
Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di depan rumahnya. Mau membatalkan tidak bisa
karena penyambut tamu mempersilakan kami masuk. Silakan masuk, silakan masuk,
Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Ternyata di dalam rumah sepi. Mungkin tidak ada yang sudi datang. Hanya aku dan
istriku. Mau balik langkah, sudah telanjur masuk. Terpaksa dilanjutkan. Muka
istriku sudah mulai masam. Aku mencoba berjiwa besar.
“Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan
negatif. Ini hari untuk saling memaafkan.”
“Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya mau dipanasin dulu?”
“Tidak usah, tidak usah.”
Istriku tidak mau makan. Tapi piring sudah diulurkan. Terpakasa aku terima.
Makanan begitu berlimpahan, mewah dari catering kelas satu. Aku merasakannya
sebagai semacam penghinaan kepada kemiskinan yang berserakan di mana-mana.
Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam rumah itu, tidak dibagikan saja kepada
mereka yang lebih membutuhkan?
Pelayan yang meladeni kami menghampiri.
“Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja. Kalau nanti ada yang mau dibawa
pulang, pesan Ibu mangga, kotak plastiknya ada di atas meja itu.
Atau perlu saya bantu.”
Aku tak menjawab, hanya senyum-senyum. Tapi istriku melabrak dengan sinis.
“Terima kasih. Tapi tuan rumahnya ke mana kok nggak nongol?”
Pelayan itu tersenyum.
“O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta maaf, keluar sebentar untuk bersilaturahmi
karena sudah seharian di rumah. Tapi sebentar lagi beliau akan datang. Silakan
menunggu sebentar.”
Sebentar apaan, ini sudah satu jam, bentak istriku. Ngapain kita
kemari? Darahnya sudah mulai naik. Aku setuju, kunjungan dengan niat suci dan
luhur itu ternyata sebuah kesalahan.
Kemudian ada dua tetangga yang memang punya reputasi tukang jilat muncul.
Mereka heran melihat kami. Setelah basa-basi, mereka langsung mengganyang
makanan. Kemudian membungkusnya, lebih banyak dari yang sudah mereka makan.
Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan akan bersilaturahmi pada yang lain.
Istriku langsung mau ikutan. Aku berkeras menahan.
“Kedatangan kita kemari mau menunjukkan kepada dia bahwa meskipun kita
sebenarnya yang pantas dimintai maaf, tapi kita sudah datang kemari karena dia
sendiri tidak punya nyali untuk minta maaf. Ini sebuah pembelajaran moral
kepada dia!”
Tapi setengah jam kemudian, ketika tuan rumah belum juga nongol, akhirnya kami
pergi diam-diam. Begitu pelayannya menyelinap ke belakang, kami buru-buru
kabur.
“Alhamdulillah!” kata istriku lega, seperti lepas dari tekanan batin, “meskipun
di situ makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak mau masuk lagi. Ini penghinaan!
Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia akan tambah sombong sekarang.
Lihat, nggak ada orang yang datang ke situ, karena semua punya
harga diri. Kita saja yang coba-coba datang karena jiwa kita yang besar,
akhirnya dihina seperti ini!”
Aku tak menjawab, karena setuju. Tapi karena aku setuju, istriku justru tambah
marah lagi. Sepanjang jalan dia terus marah.
“Orang kaya tidak pernah peduli apalagi mengerti apa yang sebenarnya terjadi
pada orang lain. Dia tidak akan mau melihat kesalahannya, karena matanya sudah
penuh berisi tuduhan-tuduhan yang mengatakan kita yang salah. Tidak akan ada pikiran
malu, apalagi mau minta maaf sama kita. Dia pikir dengan uangnya itu, semua
bisa diatur. Dan memang bisa. Lihat itu penjilat-penjilatnya yang datang tadi.
Mereka menyangka kita ini mau ikut-ikutan menjilat. Malu!”
Begitu sampai di teras rumah, aku tidak tahan lagi. Aku banting kantong plastik
itu ke meja. Isinya terburai berserakan. Belum puas, aku tendangi lagi isinya.
Mie, rokok, permen, dan ciki-ciki racun hancur berantakan. Salah satunya
tertendang masuk ke pintu depan yang terbuka.
Tiba-tiba anakku Taksu muncul.
“Pak dari mana aja?”
“Bapak kamu baru saja membuktikan kekonyolannya!”
“O ya? Tumben!”
“Habis sudah aku dipermalukan.”
“Kenapa?”
“Bapak kamu mau menolong bangsat yang tidak berani datang minta maaf karena
keder lantaran dosanya sudah kelewatan itu, eh nggak tahunya
masuk perangkap dan dipermalukan habis. Rumahnya kosong!”
“Siapa?”
“Setan kaya yang….”
Taksu mengangkat tangan sambil memotong.
“Bapak sudah ditunggu tiga jam.”
“Ditunggu? Ngapain, kan Bapak silahturahmi?”
“Udah tak bilangin begitu, tapi di situnya ngotot mau nungguin!”
“Siapa sih?”
“Saya Pak.”
Tiba-tiba di depan pintu muncul orang kaya itu.
Darahku tersirap. Di belakangnya muncul istri dan kelima anaknya. Sekeluarga
lengkap. Aku bengong. Sementara aku ke rumahnya dan menunggu sambil
memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan menunggu dengan sabar hanya
untuk minta maaf.
Orang kaya yang barusan aku maki-maki itu mendekat, langsung menjabat tanganku
erat. Minta maaf atas segala kesalahannya dan memeluk. Istrinya menyusul. Lalu
anak-anaknya satu per satu mencium tanganku dengan hormat, pasti sudah diberi
instruksi orang tuanya.
Wajah istriku meledak gembira. Sumpah serapahnya kontan senyap. Apalagi
kemudian para tetangga keluar dari rumahnya, menyaksikan silaturahmi itu dan
sekalian ikut salam-salaman. Taksu diam-diam dengan gesit mengumpulkan suvenir
yang berceceran di mana-mana itu lalu melenyapkannya ke belakang. Hari itu
menjadi hari perdamaian yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh rasa benci dan permusuhan itu diselesaikan
oleh hari raya. Bayangkan kalau hari yang begitu perkasanya menendang semua
permusuhan yang setahun mapat, tak ada? Boleh jadi lebih banyak lagi baku
hantam di dunia yang haus darah ini. Hari raya adalah mahakarya. Aku memejamkan
mata dan bersyukur.
Waktu itu, tamu itu kembali. Ia menjatuhkan badannya di kursi sebelum sempat
aku tegur.
“Aku tak bisa menemukan alamatnya,” katanya sembari memejamkan matanya yang
lelah, “Mungkiin dia sudah pindah atau sudah tak ada. Bagaimana kalau aku
nginap saja di sini?”
Begitu selesai ngomong dia sudah mendengkur pulas. Aku terkesima. Kutunggu
beberapa saat, barangkali dia tersentak bangun dan tentu saja lebih baik pergi,
karena sudah larut malam. Tapi dadanya turun naik teratur. Ia sudah jauh.
Kucium rasa lelah yang kental meruap dari tubuhnya, tanda sudah menjelajah
perjalanan maraton.
“Sudah larut, kendaraan yang terakhir akan berangkat,”bisikku.
Tapi ia sama sekali tak berkutik. Kemudian istriku keluar dari dalam rumah
menegur.
“Tidur, Pak, sudah malam.”
“Ya, sebentar lagi.”
“Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
Dengan berat hati aku berdiri.
“Ayo!”
“Ya, ya! Tapi dia bagaimana?”
“Apa?”
“Nggak!”
Istriku tidak mau pergi sebelum aku benar-benar masuk. Setelah itu dia menutup
pintu dan menguncinya. Dalam hati aku berkata: meskipun kita tidur bersama
setiap malam selama bertahun-tahun, tapi yang ini tidak akan kamu mengerti,
Sayang.
Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.
“Aku kawin hanya dengan satu laki-laki!”
Aku terpaku. Siapa bilang perempuan tidak mengerti, hanya tidak semua yang
mereka katakan. (*)
Jakarta, 27 Agustus 2010
7.”Merdeka"
MENJELANG pertempuran
terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit, bersiap. Mengumpulkan
tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang
sudah berlangsung ratusan tahun ini.
Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di pangkuanku
senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak aku pedulikan
lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami
harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh
berhenti.
Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang mungkin
tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya
meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api,
komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi.
Waktu itulah sebuah tangan menepuk
pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua
bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton.
Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan
urat-uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak
sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar
hotel berbintang sembilan yang sensual.
“Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.
Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang menyengatkan
listrik ribuan voltase itu.
“Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu sebentar aku
ganggu?”
“Pesan apa?”
“Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang.”
“Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang sudah
bertahun-tahun tidak sempat tidur.”
“Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya akan melihat
sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan kepingin menaiki tiang itu
untuk mengibarkan bendera.”
“Betul, memang begitu.”
“Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas ditiup
oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan debu-debu
kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan sakit.”
“Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan berarti
apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir. Begitu rona merah menebarkan api di
langit, pertempuran yang tidak seimbang ini akan memusnahkan kami semua. Tapi
tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus rela dikorbankan.”
“Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk mengalami
apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk mati?”
“Untuk merdeka.”
“Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi, kalau
Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang lakukan.”
“Kenapa?”
“Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi jadi jalan
dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap jengkal tanah di
seluruh tubuh kota. Jalan layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat
melihat pagi dan senja merah, karena langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa
pembangunan. Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki dan sepeda,
semua direbut oleh kendaraan mewah punya para konglomerat. Kehidupan ini bukan
milik rakyat, tapi para pemimpin, ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai
yang nenjadi selebriti karena teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa
cerdas, tetapi tak pernah berpihak kepada kemanusiaan. Uang adalah dewa yang
paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang dengan segala macam cara.
Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi, ilmu
pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku diminta
menyampaikan ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan sempat meletus
itu, karena senjata-senjata kuman sudah terlebih dahulu akan mematuk nyawa
Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!”
Setan mengulurkan sebuah cek.
“Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi
dengan satu syarat.”
“Aku harus meletakkan senjata? Tidak!”
“O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar janji
seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian tembakkan.
Karena itulah gunanya senjata itu diberikan. Tapi jangan menembak ke arah
depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di depan, tetapi di samping dan di
belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri. Tembak semuanya itu, bersihkan
musuh-musuh dalam selimut yang sudah membuat enam puluh lima tahun merdeka itu
lebih neraka dari apa yang ada sekarang.”
Aku tercengang.
“Menembak ke dalam diriku sendiri?”
“Ke samping dan ke belakang juga.”
“Tapi, itu bunuh diri.”
“Bukan. Itu pembersihan rohani!”
“Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.”
“Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.”
Aku terkejut.
“Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan sedih.”
Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke pelukanku.
Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman lengket itu
membuat tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah lengan-lengan gurita yang
mengurung dan membelit sukma sehingga aku ringsek total.
Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke kantung
bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku, sehingga dalam
ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku terpanggang di
dalam api setan. Aku melambung dilalap kenikmatan yang belum pernah kualami.
Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak apa yang
dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan kehormatannya,
apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa syarat.
Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu panjang dan
seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan menyerah. Aku ingin
berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.
Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun, aku
terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran darah. Wajahnya begitu
dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang menetes dari lubang peluru di
dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu lemah, sehingga aku menempelkan
telingaku untuk mendengar.
Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar, katanya, lalu
langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah menjadi lautan mayat.
Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku sendiri yang luput karena sudah
bermimpi atau memang aku disisihkan supaya katut menang, karena setan sudah
memilih.
Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah ditempelkan
setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan datang, aku angkat
senjata. Tapi mana senjataku. Tanganku kosong, senjata entah di mana. Aku
berteriak histeris, tapi suaraku ditelan kebekuan kalah. Aku berontak. Aku
angkat tanganku, tapi tidak bisa, tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas
menjerit minta pertolongan.
Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak tiang.
Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah merdeka. Rakyat
bebas. Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi kegembiraan. Aku terlempar ke 65
tahun yang akan datang di tahun 2010. Terima kasih Tuhan!
Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung gundul.
Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan. Bencana alam
menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar, gunung meletus, sumur
bumi muncrat menenggelamkan kota dalam kubangan lumpur. Demam berdarah, flu
babi, narkoba, kemiskinan, korupsi, gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat
kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan
menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar setan tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak ada
gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang berkuasa.
Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak punya masa depan.
Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para konglomerat,
petualang-petualang politik dan para elite yang melihat kehidupan dari balik
teori-teori akademisnya yang abstrak.
Setan tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua
kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku, Taksu,
berdiri di depanku dan berbisik.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para
penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus
menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku
buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang
bebas dan merdeka.”
Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.
“Apa? Coba ulangi!”
Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata. Kalimat-kalimat
itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk langsung ke hulu hatiku.
Jantungku yang robek dijahitnya kembali. Sedang hulu hatiku yang tertutup
dibukanya lebar-lebar agar udara yang segar berembus masuk mencuci pikiranku
yang sumpek.
Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar dari pingsan.
Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh dengan harapan.
Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja merasukiku. Itu pemaknaan
yang baru terhadap kemerdekaan yang membuat horison menjadi berbeda. Luas, tak
terbatas, dan siap untuk ditempuh sekali lagi. Luar biasa!
Aku tatap anakku dengan kagum.
“Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia begitu?”
Taksu membuka HP.
“Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB.”
“Waduh, hebat sekali dia!”
“Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela.”
“Pemimpin Afrika Selatan itu?”
“Betul!”
“Wah, wah, wah! Hebat!”
“Yang hebat Nelson Mandela!”
“Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang hebat mengerti
makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan yang luar biasa, dewasa, dan
mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia sekarang
yang hatinya penuh benci, dengki, marah, dan berangasan!”
Taksu ketawa mengejek.
“Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu
setinggi langit. Buat aku sih biasa-biasa saja. Kuno!
Kata-kata mutiara bisa dibuat seratus biji dalam satu menit, tetapi bukan itu
yang kita perlukan. Kita memerlukan tindakan. Indonesia di usia 65 sudah
inflasi kata-kata mutiara. Sekecil apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret
dari kata-kata yang hanya akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang! Good-bye!”
Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson Mandela
sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan lapang dada.
“Sekarang aku mengerti,” gumanku ketika istriku lewat mau ke dapur.
Seperti aku harapkan, dia berhenti.
“Mengerti apa?”
“Apa sejatinya makna kemerdekaan.”
“Apa?”
“Bebas.”
“Memang dari dulu begitu kan? Masak baru tahu?
Makanya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami bangsa
Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai
pemindahan kekuasan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya.”
“Dan apa sejatinya makna kebebasan?!”
“Apa?”
“Melupakan!”
Istriku terkejut.
“Melupakan? Masak?”
“Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya Nelson Mandela
sudah membuktikan itu. Tak mungkin orang besar dari Afrika Selatan itu mampu
bertahan disekap puluhan tahun di penjara, padahal usianya sudah uzur, sehingga
ketika dibebaskan dia masih sehat jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin
sebagai presiden pertama Afrika Selatan!”
Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para
penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus
menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku
buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang
bebas dan merdeka.”
Dewi, istriku, manggut-manggut.
“Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?”
“Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!”
“Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita
juga harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena
itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia berdiri paling depan
kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi karena dia
membuka makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa
sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak seperti
kita sekarang di Indonesia ini yang sibuk membenci orang lain, meskipun memang
pantas dibenci!”
Istriku termenung.
“Jadi Bapak setuju pada Mandela?”
“Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya
kita yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak kita, si
Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang tadi membacakan
pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku seperti mendapat
pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya kata-kata, tetapi cukup bisa
mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni. Pikiranku seperti dicuci bersih,
plong sekarang oleh kebenaran yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak tempe-tahu
atau ikan asin tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan
sambat lagi. Perasaanku jadi tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari
Mandela. Batu pun rasanya sekarang enak!”
“Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.”
“Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari
penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener,
semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja, yang
baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?”
“Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?”
“Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah
dipuja-puja. Dia juga manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang kemerdekaan dan
kebebasan itu sangat agung, perlu, harus, wajib, dan mesti kita laksanakan,
kalau mau mengubah keadaan baik di Indonesia maupun di batin kita sendiri. Kita
harus menjadi manusia yang merdeka, bebas, sehat, dan waras!”
Dewi menganguk-angguk.
“Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan kebebasan
Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau tidak
disosialisasikan! Ini ibadah!”
Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap dengan
kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret dan
arif-bijaksana itu.
Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku tularkan
konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua orang. Yang
menyenangkan, hampir semua, setelah diberi penjelasan, keplok tangan, sepakat
menganggap Nelson Mandela sudah memasok rumusan penting untuk membuka citra
baru tentang apa itu merdeka.
Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan dan beduk
tanda buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu nyruput teh manis
panas yang sudah dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada yang lebih indah dari
seteguk teh panas manis di ujung puasa. Perutku langsung gemeletuk minta diisi.
Tapi ketika membuka tutup meja makan aku terkejut.
Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.
“Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu
kali aku sudah makan tempe-tahu dan ikan asin, masak aku mesti
makan semuanya itu sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum?
Mana pecel lelenya?”
Istriku cepat datang.
“Kenapa, Pak?”
“Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap hari. Mana
pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele?
Aku kan minta pecel lele?”
“Ya!”
“Mana?”
“Tapi?”
“Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele,
bukan tempe-tahu dan ikan asin! Pecel lele!”
“Ya, Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang….”
“Pecel lele!”
“Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah plong, bersih,
merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi enak!”
Aku tertegun.
“Aku bilang begitu?”
“Ya, Bapak bilang begitu!”
Aku terhenyak.
“Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu. Nggak ada
masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja enak!”
Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu dan ikan
asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang aku lahap
tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat. Peluh berleleran dari kepalaku.
Istriku takjub seperti tak percaya.
“Bener nikmat?”
Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.
“Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita tunda,
karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia motor baru.
Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh tetangga-tetangga, karena memang
sudah lama betul belum dikembalikan.”
“Tidak bisa!”
“Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!”
“Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah ketemu
tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu, setiap
aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup masuk, seperti ada
hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini aku jadi segan keluar rumah.
Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan merdeka lagi, tadi aku datangi mereka
dan bilang pada semuanya, ya sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja semua.
Jadi, sekarang aku sudah bisa tenang lagi seperti kata Nelson Mandela.”
Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras batu.
Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.
“Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaan. Tapi seberat-beratnya
berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya hidup sesudah
merdeka!”
Jakarta, 19 Agustus 2010
8."Bola"
AKU merayakan
kemenangan Spanyol dengan membeli sebuah bola. Dengan bangga kuserahkan bola
itu kepada anak-anak yang suka main bola merecoki jalanan sambil berpesan:
“Dulu Argentina, Italia, dan sekarang Spanyol, sempat kalah dalam pertandingan
mereka yang pertama di Piala Dunia, tapi berkat ketangguhan dan perjuangan
habis-habisan sebagai sebuah tim, akhirnya mereka menjadi juara dunia. Hebat
kan?! Nah, ternyata dengan menonton sepak bola, kita tidak hanya menghibur
diri, tetapi belajar meneguhkan mental. Coba apalagi yang dapat kalian pelajari
dari begadang sebulan penuh nonton piala dunia, sampai pilek-pilek begitu?!”
Anak-anak itu bersorak, lalu rebutan menjabat tanganku. Mereka mengacungkan
jempol dan memuji-muji. Ada yang langsung mengangkatku sebagai pembina, lalu
menuntut supaya aku membelikan mereka seragam, karena mereka akan bertanding.
“Bapak paling hebat, Bapak satu-satunya yang memihak anak-anak muda. Mereka
yang lain cuma bisa maki-maki mengumpat kami bandit, karena kami main bola di
jalanan. Padahal kami kan main di pinggir jalan, nggak ada
yang main di tengah jalan. Ya kalau mau supaya kami main di lapangan, bikinkan
lapangan dong!”
Aku kecewa. Bukan itu yang aku harapkan. Ternyata petuahku tidak terlalu
diperhatikan. Anak-anak itu lebih suka hadiahnya.
Sampai di rumah aku sambat.
“Sebagus apa pun pelajarannya, tapi kalau yang menerima otaknya batu, tidak
akan ada gunanya. Mubazir semua! Payah!”
Istriku heran.
“Maksudnya?”
“Ya begitulah mereka itu. Diajak rembugan, nggak ada
yang ngarti! Bagaimana bisa hebat kalau tidak pakai otak? Main bola
itu kan bukan sekadar menyepak bola, tapi pakai taktik, strategi, pakai
perhitungan. Memerlukan kecerdasan! Nggak cuma kekuatan.
Ngawur! Lihat Spanyol!”
“Siapa mereka?”
“Anak-anak kampung yang suka main bola di jalanan itu!”
Istriku terkejut.
“Lho, sejak kapan Bapak bergaul sama anak-anak itu? Bukannya Bapak yang dulu
memelopori kompleks supaya ngusir mereka supaya jangan main bola di jalanan?”
“Memang. Main bola kok di jalanan itu gila. Membahayakan diri dan mengganggu
lalu-lintas. Itu namanya asosial. Main bola di lapangan dong. Itu
ada tanah kosong di belakang rumah Pak Haji, kalau dibersihkan kan bisa
dijadikan lapangan. Pak Haji yang punya tanah juga sudah menawarkan sendiri.
Dia seneng kok tanahnya dipakai sebelum dibangun . Daripada jadi semak belukar
dan sarang ular seperti sekarang ini?!”
Istriku manggut-manggut.
“Lho kamu kok manggut-manggut?”
“Habis Bapak sudah ketularan perilakunya
pemain politik. Dulu marah-marah sama mereka, sekarang malah bergaul. Aneh!”
“Mereka harus mengerti apa arti kemenangan Spanyol. Jangan hanya menangnya saja
dilihat. Ngapain kita ikut seneng-seneng padahal orang lain yang menang. Ya,
karena kita mendapat pelajaran! Spanyol itu menang, bukan karena yang paling
keras menendang bola, tapi karena taktiknya pas. Jadi main bola itu tidak hanya
pakai kaki!”
“Pakai apa?”
“Otak!”
Istriku ketawa cekakakan. Tapi lalu pergi. Padahal aku sedang kepingin
menerangkan panjang lebar pelajaran apa saja yang bisa ditarik dari Piala
Dunia. Rasanya tidak ada yang mengerti apa sebenarnya makna main bola. Mereka
pikir otak ditaruh di rumah kalau sudah beraksi di lapangan hijau.
“Kenapa perempuan ditakdirkan tidak suka nonton bola, Ami?” kataku menyalurkan
rasa dongkolnya kepada cucuku.
Ami yang sedang baca buku menoleh.
“Kakek masih kesel ya, Argentina dan….”
“O tidak. Kakek sudah seneng, Spanyol menang. Mereka juga mempraktikkan sepak
bola indah. Sepak bola itu seni, Ami. Banyak yang bisa kita pelajari dari sepak
bola.”
“Misalnya?”
“Disiplin, bekerja sebagai sebuah tim, menahan emosi, mengatur strategi.”
“Dan main di jalanan, mengganggu lalulintas!”
“Nah itu dia! Itu sepakbola yang tidak pakai otak. Mereka hanya pakai kaki.
Main bola hanya untuk kesenangan tok. Itu sepak bola hiburan. Sepak bola yang
sebenarnya itu serius. Sepak bola itu adalah ilmu!”
“Ilmu menendang bola ngenain kepala, supaya Ami jatuh lagi
dari motor?! Udah ah! Ami mau baca. Cukup satu orang saja yang gila bola dalam
rumah. Satu bulan Ami susah tidur karena Kakek teriak-teriak di depan televisi
seperti orang kesurupan!”
Aku tidak mau berantem dengan cucu. Lalu duduk menyepi di teras.
Waktu itu, tetangga lewat. Darahku berdesir, karena tetangga itu membawa sebuah
bola. Entah kenapa ia yakin sekali, itu adalah bola yang sore tadi aku
hadiahkan kepada anak-anak jalanan itu.
Aku pura-pura menyapa.
“Dari mana Pak, malam-malam?”
Tetangga menoleh dan tersenyum.
“Baru pulang kerja Pak. Tadi ribut dengan anak-anak itu.”
“Ada apa?”
“Mereka main bola lagi di jalanan. Padahal sudah beberapa kali bolanya ngenain kepala
orang naik motor, sampai pengendaranya jatuh babak-belur. Putri Bapak juga
pernah kena batunya kan?”
Aku mengangguk lemah.
“Betul!”
“Akhirnya bolanya saya rampas!”
“O ya? Kenapa?”
“Habis tadi giliran kepala saya jadi sasaran tadi! Motor saya masuk selokan,
jadi terpaksa dibawa ke bengkel. Untung saya tidak apa-apa!” Aku tak berani
lagi bertanya.
“Saya dengar dari mereka bolanya dari Bapak. Betul?”
Aku tak bisa mengelak.
“Ya, ya, saya kasih mereka bola, supaya mau bikin lapangan di tanah kosong itu
dan berhenti mengganggu lalu-lintas di jalanan.”
Tetangga itu lalu menghampiri sambil mengulurkan bola.
“Hadiah Bapak tidak salah. Bapak pasti tidak berniat yang bukan-bukan dengan
hadiah ini. Memang betul, masih lebih baik mereka main bola daripada kecanduan
narkoba. Yang salah adalah kita yang tidak pernah menyediakan tempat bermain
buat anak-anak itu, sehingga mereka main di jalanan. Tetapi masalahnya, main
bola bukan lagi mengajarkan mereka menjunjung kejujuran, tapi suka akting
meniru-niru pemain-pemian bola itu yang pinter memancing supaya dapat free-kick atau
penalti. Masak terang-terangan, mereka tendang ke kepala saya, tapi mereka
sumpah-sumpah bilang motor saya yang salah jalan. Ya saya memang melawan arus,
sebab saya mau pulang, rumah saya kan memang di sini, mereka tahu itu. Lha
mereka itu bilang saya ganggu mereka. Padahal mereka yang selama ini sudah
ganggu kita. Jalan kan untuk motor, bukan buat main bola!”
Aku terpaksa manggut-manggut.
“Ini bolanya Pak, kalau mereka datang, pasti mereka akan datang, jangan katakan
saya sudah kembalikan bolanya ke Bapak. Biar mereka bicara sama saya. Kalau
mereka minta maaf dan menyadari kesalahannya, silakan bolanya kalau mau
dikembalikan! Supaya jadi pelajaran!”
Dengan perasaan tak enak, aku terpaksa menerima bola itu. Dan betul saja,
seperti yang diperkirakan tetangga, tengah malam, anak-anak itu muncul. Mukanya
sedih.
“Pak, mohon maaf malam-malam mengganggu.”
“Ada apa?”
“Bola yang Bapak berikan pada kami itu, Pak!”
“Kenapa?”
“Pecah digilas stoom, Pak.”
Aku menghelas napas. Benar kata tetangga itu. Yang dipelajari anak-anak itu
dari main bola adalah aktingnya. Sialan.
Setelah pikiranku tenang, aku terpaksa ikut berakting.
“Kalian semua tahu, apa sebabnya stoom yang mestinya hanya
ngurus jalan-jalan rusak yang harus diaspal itu, kok ujug-ujug melindas bola
baru kalian itu sampai pecah?”
Anak-anak itu heran. Mereka pandang-pandangan satu sama lain. Tak menyangka
dapat pertanyaan seaneh itu.
“Tidak tahu kan?”
Anak-anak itu tersenyum.
“Tidak.”
“Nah! Bola kalian digilas sampai pecah, supaya kalian datang ke rumahku mengadu
seperti sekarang ini, bukan hanya sekadar laporan bola baru yang aku hadiahkan
kepada kalian itu sudah hancur. Tapi karena aku memang belum mendengar apa
jawaban kalian, kenapa Spanyol menjadi juara dunia?
Semuanya nonton kan?”
“Nonton Pak.”
“Kalau begitu kalian pasti tahu bahwa Spanyol menang bukan karena dia yang
paling pinter main bola. Siapa yang bisa meragukan kepintaran pemain-pemain
Brasil dan Argentina? Kaki mereka sudah seperti tangan saja. Tapi main bola
tidak hanya menendang bola. Main bola juga memerlukan jiwa seorang pemain bola
yang bener. Tahu kalian, apa sebenarnya jiwa pemain bola yang sejati?”
“Memanfaatkan serangan balik, Pak!”
“Salah!”
“Kekompakkan, Pak!”
“Tidak cukup!”
“Mempergunakan kelengahan lawan!”
“Tidak hanya itu!”
“Kepercayaan diri, Pak!”
“Boleh tapi belum sempurna!”
“Kematangan juara, Pak!”
“Semua itu benar tapi bukan intinya! Intinya adalah inti dari apa yang
dimaksudkan sebagai sport, sejak olahraga itu itu disebut sport.
Intinya adalah sportivitas. Kejujuran! Spanyol menjadi juara karena dia yang
paling tangguh di dalam membela kejujuran. Sepak bola adalah pendidikan untuk
menjadikan manusia jujur. Mengerti?”
Anak-anak itu tertawa. Itulah yang aku tunggu-tunggu. Bagaikan Arjuna ketika
membunuh Niwatakawaca, aku langsung membetot.
“Kalian boleh ketawa! Itu menunjukkan bahwa kalian lebih tidak tahu lagi apa
sebenarnya sepak bola itu! Percuma main bola kalau tidak tahu apa sejatinya
arti main bola. Lebih baik pulang sekarang, renungkan apa yang sudah aku
katakan tadi. Nanti kalau sudah mengerti apa maknanya, boleh datang ke mari
lagi, pintu rumahku selalu terbuka.”
Anak-anak itu terpesona.
“Maksud, Bapak?”
“Ya itu tadi. Cari inti apa yang aku katakan tadi. Main bola itu bukan hanya
menendang bola, tapi mengasah pikiran dan juga perasaan. Tanpa itu, Spanyol
tidak akan pernah jadi juara. Hanya mencoba memanfaatkan kelemahan dan
kelemahan lawan, itu bukan sport, itu namanya judi.
Untung-untungan. Main bola seperti itu, tidak ada gunanya untuk pembentukan
karakter bangsa. Negara membiayai olahraga main bola dengan menyisihkan
miliaran belanja negara yang berasal dari cucur-keringat rakyat, untuk apa,
kalau bukan untuk membina negara dari dalam rohani rakyatnya. Pembangunan fisik
saja akan membuat bangsa ini timpang, para pajabat korup dan hukum tidak
bergigi!”
Tiba-tiba istriku keluar.
Aku menyangka dia muncul untuk menghidangkan minuman. Ternyata perempuan yang sudah
40 tahun menemaniku tidur setiap malam itu, keluar sambil membawa bola
anak-anak muda yang dirampas tetangga itu.
Tanpa berkata sepatah pun, dia meletakkan bola itu di meja, kemudian pergi. Aku
kontan mati langkah. Seluruh kecapku berantakan. Anak-anak itu bersorak. Mereka
mengambil bola itu, lalu lari keluar tanpa bilang apa-apa lagi. Aku tak bisa
mengatakan apa-apa lagi.
“Habis, aku bosan dengar Bapak ngasih kuliah sama anak-anak itu!” kata istriku
kemudian di tempat tidur. “Kok bicara tentang kejujuran, kejujuran, kejujuran,
padahal sendirinya tidak jujur! Sudah jelas anak-anak itu bohong, bagaimana
mungkin bola dilindas stoom. Semua juga tahu, bola itu dirampas
tetangga kita, karena menghantam kepalanya sampai dia jatuh dari motor, karena
anak-anak itu main bola di jalanan. Kenapa tidak bilang terus-terang saja apa
adanya. Jangan main bola di jalanan? Apa kebohongan mesti dilawan dengan
kebohongan?!!”
Aku sebenarnya malas menjawab. Tapi mulutku bicara.
“Aku kan hanya mau mengajarkan agar anak-anak itu jangan berbohong!”
“Dengan berbohong?”
“Berbohong demi kebaikan itu perlu!”
“Bohong tetap saja bohong! Bohong itu tidak bisa dihubungkan dengan kebaikan.”
“Tapi itu kata-kata orang besar!”
“Betul! Tapi kalau yang mengatakannya orang besar, tidak apa, sah! Apa Bapak
sudah merasa diri orang besar sehingga bohong itu jadi betul?!”
Mulutku tidak mau menjawab lagi. Istriku nampak sedang dalam keadaan yang tidak
ingin dibantah.
“Ingat! Bapak bicara sama anak-anak jalanan. Kalau mau melarang mereka, pakai
bohong-bohongan, mereka lebih pinter lagi. Betul tetangga kita itu! Kalau mau
melarang main bola di jalanan, pakai tindakan tegas, ambil saja bolanya. Jangan
pakai berunding ke sana-ke mari, anak-anak jalanan itu bukan tempat
perundingan. Salah urus itu namanya!”
Aku memekakkan telingaku. Lalu duduk di teras rumah menyepi.
Pagi-pagi tetangga menghampiri.
“Pak, semalam anak-anak itu datang dan minta maaf. Silakan Bapak kalau mau
memberikan bola itu lagi kepada mereka. Saya sudah merasa puas mereka sudah
belajar mengakui kesalahannya. Namanya juga anak-anak muda. Kalau tidak nakal
sedikit, bukan anak muda.“
Aku hanya menjawab dengan senyum. Dua atau tiga hari lagi, kepala tetangga itu
akan kena bola lagi, yang sengaja ditendang oleh anak-anak itu. Kalau dia jatuh
lagi dari motornya, bukan hanya bola itu yang direbutnya, anak-anak itu pasti
akan dihajarnya.
Aku benar-benar kecewa.
“Tak ada yang benar-benar nonton bola piala dunia dan mengerti mengapa Spanyol
menang,” kataku pada Ami. “Semua orang menganggap kemenangan adalah tanda
kejagoan. Hanya aku yang tetap melihat olahraga bukan pertandingan kehebatan,
tetapi arena pemeliharaan kejujuran yang sudah semakin punah di dunia ini
karena digoreng politik dan dagang.”
Seperti biasa, Ami juga tidak peduli.
Untuk menjaga agar pikirannya tidak rusak, aku membuang jauh-jauh masalah bola.
Aku tidak peduli lagi apakah anak-anak itu akan terus mengacau main bola di
tengah jalan. Biarin saja berapa banyak lagi pengendara motor yang akan jatuh
disodok bola. Peduli amat ada anak nanti yang mati ditabrak truk karena ngejar
bola.
Tapi aneh, sore itu jalanan yang biasa ribut oleh pekik anak-anak setan itu
jadi sunyi-senyap. Hanya suara motor satu dua. Tapi makin sore, suara kendaraan
mulai ramai. Dan pada pukul 18.00 jalanan jadi riuh-rendah. Erangan mesin,
knalpot dan pekik klakson riuh-rendah.
Rupanya melihat tidak ada lagi anak-anak main di jalanan, arus lalu-lintas yang
selalu padat mulai mengambil jalan pintas, mengalir ke jalan depan rumahku.
Udara pun kontan bau dan kotor. Kebisingan itu terus berkelanjutan makin marah
sampai larut malam.
“Ya Tuhan, kalau begini, kita panggil anak-anak itu lagi, jangan main di tanah
kosong milik Pak Haji, main di jalan raya saja!” kataku menghasut tetangga,
“Mereka lebih paham dari kita, kenapa Spanyol menang!” (*)
Jakarta, 14 Juli 2010
9.Putu
Wijaya"Rasa"
MEMANDANGI koran,
melahap foto doktor termuda Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27
tahun, mataku tidak berkedip. “Cantik, badannya bagus, senyumnya mempesona,”
gumanku memuji. “Kalau aku masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung
melamar.”
Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, “Begitu ya? Bagaimana kalau
ditolak?” Aku mengangguk.
“Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum di
Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah
jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!”
Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari tanganku.
“Seorang wanita adalah sebuah cahaya,”
kataku selanjutnya menggembungkan pujian, “Hanya cahaya yang bisa membuat
negeri ini bangkit dari kegelapan. Begitulah arti kehadiran perempuan. Jadi
bukan hanya memikirkan mobil, rumah mewah dan duit untuk berfoya-foya, tetapi
membangun negeri. Mengembalikan kembali greget para pemimpin negara yang sudah
bangkrut moralnya seperti sekarang. Jadi banggalah menjadi perempuan, Ami!”
Tak ada jawaban. Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar.
“Anakmu selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya.
“Habis Bapak sih tidak punya perasaan!”
“Tidak punya perasaan bagaimana?”
“Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?”
“Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima kenyataan!”
“Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban. Karena istriku terus
ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku muring-muring.
“Aneh! Aku tidak mengerti! Ini rumahku. Masak aku tidak boleh
memuji kalau memang ada orang cantik yang pintar. Biasanya orang cantik kan
bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang pintar, tapi jarang yang cantik.
Karena kecantikan dan kepintaran seperti air dan minyak, sulit digabung. Itu
fakta! Boleh tidak suka, tapi itulah realita!”
Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut esok paginya setelah Ami ternyata tidak
nampak sarapan. Pintu kamarnya terkunci. Berarti ia bolos ke kampus.
“Anakmu kenapa, Bu?”
“Pasti sakit!”
Aku tak percaya. Aku ketuk pintu kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa dia perlu
kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban. Ya, orang sakit atau hanya
pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak akan mau menjawab kalau ditanya. Aku
cepat pergi ke apotek dan membeli obat maag.
“Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku terpaksa singgah sambil
curhat.
“Pak Iskan, situ juga punya anak gadis kan?”
“Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya dengar
sudah hampir lulus sarjana?”
“Ya. Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya
memuji perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!”
Tukang warung itu, ketawa.
“Kok pakai memuji orang lain, putri Pak Amat kan cantik
dan pintarnya bukan main?”
Aku tertegun.
“Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, Pak!”
Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya jantungku terpukul. Setelah beli tablet
kunyah untuk maag, aku bergegas pulang. Ternyata pintu kamar Ami sudah terbuka.
Hanya saja waktu aku masuk, kosong. Aku langsung ke dapur.
“Ami mana Bu?”
“Ke rumah temannya. Kenapa?”
“Lho, bukannya sakit?”
“Katanya sudah baikan.”
Aku manggut-manggut. Aku taruh obat maag itu di atas meja belajar Ami. Koran
berisi foto doktor termuda itu tergeletak di atas buku-buku Ami. Seakan-akan
sengaja dipamerkan untuk aku yang akan melihatnya. Langsung saja aku ungsikan,
supaya jangan memicu persoalan lebih jauh.
Menjelang makan malam, ternyata Ami belum pulang. Aku mulai was-was.
“Kok Ami belum pulang, Bu?”
“Ya kan belajar di rumah temannya!”
“Tapi ini sudah malam.”
“Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.”
“O ya? Menginap di ruman teman?”
“Memang.”
“Kenapa?”
Istriku membentak. “Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi tidak kaget. Tapi hanya Tuhan yang tahu,
bagaimana perasaan seorang bapak kalau anak perawannya larut malam belum
pulang.
“Sakit kok belajar di rumah teman. Mestinya temannya yang
kemari. Aku susul saja ya?!”
“Jangan! Memang kenapa?!”
“Masak anak gadis nginap di rumah teman?”
“Apa salahnya? Memangnya zaman Sitti Nurbaya? Ami itu bukan anak-anak lagi Pak.
Dia sudah bisa mandiri. Biar saja belajar di situ supaya dapat nilai A plus,
nanti kan bisa jadi doktor.”
Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah jelas
sekarang, Ami ke rumah temannya untuk melarikan perasaannya yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi sebal,
kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku tidak pernah lupa
Ami bukan anak kecil lagi tapi perempuan dewasa. Kenapa aku selalu
memperlakukannya sebagai anak-anak yang harus selalu dilindungi?
Tengah malam.
Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi menjemput. Tapi
di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami menginap di rumah
temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya istriku sudah tidur.
Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai hati membangunkan. Lagi pula
buat apa membangunkan macan tidur.
Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah Rani.
Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat bapaknya
datang.
“Ngapain ke mari Pak?”
“Mau jemput kamu.”
“Ami belum selesai belajar.”
“Tapi ibu kamu sakit!”
Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku jadi iri.
Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit itu bapaknya. Tapi
sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak. Dan aku tidak pernah
menyesal jadi seorang bapak.
Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.
“Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”
“Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang.
Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.
“Bapak kok minta maaf sama aku?”
“Ya. Harus!”
“Kenapa?”
“Aku salah!”
“Apa salah Bapak?”
“Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan kolonial,
jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung perasaanmu. Bukan
maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan. Seperti kata pepatah, burung
terbang di langit dicari, burung di tangan dilepaskan. Kuman di seberang lautan
nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
“Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.”
“Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.”
“Salah alamat bagaimana?”
“Bapak menyangka saya sudah tersinggung?”
“Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti hanya
muak pada kelakuan Bapak yang kurang menghargai kamu. Bapakmu ini memang
laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang tua untuk merangsang
anaknya maju biasanya dengan cara membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang
warung itu, sebaliknya daripada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya Bapak
bangga pada kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!”
Ami tertawa.
“Salah alamat, Pak!”
“Salah alamat bagaimana?”
“Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”
“Ah?”
“Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja
makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”
Aku terpesona.
“Jadi ibu kamu?”
“Ya!”
Aku bengong.
“Ya sudah kalau begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus sampai pagi,
supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi di situ. Biar Bapak
pulang!”
“Tapi ibu?”
“Ibu kamu tidak tidak apa-apa. Bapakmu ini yang sakit!”
Ami tersenyum.
“Ayo Ami kita kembali ke rumah Rani.”
“Tidak usah!”
“Tapi kamu harus belajar supaya dapat A plus!”
“Ami sudah selesai ujian.”
“O ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?”
“Di suruh ibu!”
Aku terhenyak lagi.
“Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon. Kalau dijemput Bapak jangan mau!”
“O begitu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?”
“Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat pulang dan langsung pulang, jangan pakai
singgah di warung Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah menunggu.”
Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti kukira, tapi
dia menunggu di teras rumah.
“Bapak harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi Bapak seperti
itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan perasaannya itu, karena dia
terdidik untuk menyimpannya. Tidak seperti Ami dan perempuan-perempuan sekarang
yang memang harus berani mengutarakan perasaan, karena zaman sudah berubah.
Bapak pulang saja, sudah ditunggu.”
“Kamu?”
“Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya ketawa
sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon. Perasaanku kacau.
Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya tak ada yang sudah
kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu
banyak, tapi jangankan perasaan istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku
murid yang tak pernah naik kelas.
“Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!”
Ami mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan Rani
dan melambai.
“Besok saya nginap lagi semalam!”
“Jangan!”
“Itu perintah ibu!”
Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal aku.
Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak ada lagi di teras. Mungkin dia
tahu aku datang karena bunyi motor itu. Seperti anak muda yang baru kali
pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku melangkah pulang. Kenapa begitu banyak
rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru karena tak pernah benar-benar tahu
itulah aku jadi terus ingin tahu dan mengejarnya. Goblok banget kalau selama
ini aku merasa sendirian. Itu di situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku
menunggu. Bagaimana aku tidak akan mencintainya. (*)
Jakarta, 9 Pebruari 2010
(buat
sahabatku Iskan)
10."2010"
TAK terasa
2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi?
“Kalau boleh memilih, lebih baik para koruptor, manipulator tertidur pulas
semuanya. Negara kita akan aman. Ketimbang banyaknya para dermawan yang rajin
menyumbang bencana alam ataupun kemiskinan, yang akhirnya jadi dagelan, karena
semua jatuhnya bukan ke tangan korban yang sebenarnya!” kata seorang tetangga.
Saya manggut-manggut.
“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir,
segala bencana yang menimpa kita itu sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab
saya, “Bayangkan, dengan adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para
cendekiawan kita, para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata,
jadi terlatih untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”
Tetangga itu ganti manggut-manggut.
“Memang dalam ilmu persilatan, pendekar-pendekar dari Shaolin itu berlatih
dengan cara disiksa! Tapi bangsa ini kan bukan pendekar silat. Jangankan main
silat, memainkan lidah saja tidak mampu karena tiap hari sudah kena tipu. Yang
kita perlukan di tahun 2010 adalah kiamatnya kejahatan, matinya semua koruptor
dan manipulator, termasuk pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya dirinya
sendiri! Supaya rakyat banyak bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan
terus dikubur!”
Tanpa peduli reaksi saya tetangga itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang dan
menjual kembali obrolan itu di rumah.
“Jadi kita wajib mensyukuri juga segala rongrongan yang sudah terjadi, karena
berkat itulah kita menjadi dewasa. Lihat saja, kalau tidak ada pencuri yang
membobol rumah kita, kita tidak akan pasang terali besi, sehingga ketika
tetangga-tetangga habis disikat oleh pencuri, satu-satunya yang selamat adalah
rumah kita ini,” kata saya berpidato di depan siapa lagi kalau bukan istri.
Tapi seperti biasa, istri saya sama sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa
mencari anak saya.
“Bagaimana pendapatmu, Ami?”
“Tentang apa?”
“Apa yang kamu harapkan akan terjadi di tahun 2010?”
“Hanya satu!”
“Apa?”
“Bapak beli mobil!”
Saya kecewa.
“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu juga sudah terperangkap pada kebutuhan
materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu payah, Ami!”
Ami tertawa.
“Habis yang ditanya harapan.”
“Memang! Tapi jangan salah! Harapan itu bukan mimpi. Itu namanya ngelamun.
Harapan itu keinginan keras untuk mewujudkan sesuatu yang ada hubungannya
dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk kepentingan diri sendiri, thok!”
Saya hampir saja memberi kuliah panjang lebar, keburu istri saya muncul dari
rumah tetangga.
“Bapak kok belum berangkat juga?”
“Ke mana?”
“Ya nengok tetangga yang diopname itu. Nanti dia keburu pulang!”
“Orang sudah mau pulang buat apa lagi ditengok?”
“Justru harus ditengok sebelum pulang. Itu yang disebut silahturahmi. Kalau
terlambat, nanti didahului keluarganya yang sudah siap-siap mau jemput. Ayo
cepetan ke situ, sebelum dia pulang. Dulu kan dia yang paling rajin nengok
waktu Bapak sakit?! Cepet!”
Saya terpaksa buru-buru ganti pakaian, lalu keluar rumah.
“Naik apa?”
“Naik ojek saja. Nanti orangnya keburu pulang!”
Istri saya mengulurkan ongkos ojek.
“Cepet!”
Saya menyambut uang itu, lalu terbang. Tapi di mulut jalan yang biasanya ramai
tukang ojek, sama sekali sepi. Setengah jam saya menunggu, tak satu pun hidung
tukang ojek yang nongol. Karena tidak sabar, akhirnya saya naik angkot.
Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar berhenti, seperti anjing yang tiap
beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan macet. Bahkan angkot sengaja masuk
ke terminal dan antre di belakang angkot-angkot lain untuk menjaring penumpang
yang dengan malasnya turun dari bus.
Hampir dua jam saya baru sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke kamar yang
menurut istri saya dihuni tetangga kami, orangnya sudah pergi. Di tempat
tidurnya sudah ada pasien lain.
“Baru saja pulang, Pak,” kata perawat.
Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang. Saya langsung ke rumah tetangga yang
sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi. Kata yang jaga rumah, semua baru saja
berangkat ke rumah sakit untuk menjemput. Amat membingungkan. Setelah dicek
dengan teliti, ternyata kamar yang tadi saya masuki salah.
Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, saya
terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan heran, perawat yang sama memberi
keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”
Dengan amat sangat kesal saya keluar dari rumah sakit. Untuk mengobati hati
saya yang luka, saya tidak segera pulang. Pulang juga tidak ada gunanya, hanya
akan didamprat istri. Saya coba menenangkan otak dengan jalan-jalan ke mal.
Meskipun dihina banyak orang bahwa mal-mal yang balapan –bahkan maksa-maksa–
berdiri di semua kota sudah membunuh pasar tradisional, nyatanya pusat
perbelanjaan itu menjadi hiburan buat rakyat jelata.
Tapi, tak disangka-sangka, ketika masuk restoran mau makan ayam goreng buatan
Amerika, saya berpapasan dengan tetangga yang sakit itu. Ia kelihatan lebih
sehat dari orang sehat. Saya tak habis pikir, orang sebugar itu kok masuk rumah
sakit.
“Pak Amat mau ke mana?”
“Habis dari rumah sakit, mau nengok Anda. Tapi katanya baru saja pulang. Sudah
sembuh ya?”
Dia tertawa.
“Belum.”
“Belum kok sudah gentayangan di mal?”
“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah sakit yang paling baik untuk cuci mata dan
cuci otak di samping cuci kantong. Ya kan, Pak?”
Dia tertawa lagi dan mengguncang tangan saya.
“Jadi?”
“Saya mau pindah ke rumah sakit lain. Di situ tidak betah. Perawatnya
judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah sakit, saya pingin makan burger. Sudah
dua minggu ini makan daging busuk yang direndam air comberan. Mana ada makanan
enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”
“O, begitu?”
“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya sekali, jadi harus dinikmati. Buat apa
kita banting tulang cari uang melulu. Jadi kalau uangnya sudah didapat mesti
dibanting balik supaya bisa kita cari lagi. Ya kan, Pak!”
Dia tertawa lagi. Waktu itu saya mulai yakin bahwa dia memang sakit.
“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”
“Ya. Mau pindah rumah sakit. Seminggu di situ saya mules-mules dan muntah terus
habis makan.”
“Jadi sekarang mau ke rumah sakit mana?”
“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”
“Pulang?”
“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah makan burger. Terima kasih sudah nengok!”
Dia mengguncang tangan saya lalu pergi. Saya menatap takjub. Makanan cepat yang
sering dikutuk sebagai sampah dan racun itu, ternyata sudah bikin dia sehat.
Saya jadi merasa diri saya bego.
“Banyak sekali yang sudah berubah,” komentar hati kecil saya, “orang ke rumah
sakit tidak karena sakit lagi, tapi karena mau istirahat dan dapat pelayanan
yang manis dari para perawat yang sudah terlatih untuk memanjakan pasien. Rumah
sakit sudah jadi bisnis rumah bersenang-senang.”
Langit sudah dimerahkan ketika saya kembali ke rumah. Istri saya tidak ada.
Kata Ami sudah sejak tetangga itu pulang, ibunya ngerumpi di tetangga. Saya
melanjutkan termangu-mangu dan ngobrol dengan perasaan saya.
Ami jadi penasaran.
“Bapak kenapa?”
“Kamu percaya tidak, Ami?”
“Apa?”
“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat untuk mendapat
kemanjaan buat orang-orang yang berduit.”
“Memang.”
Saya tercengang.
“O ya, jadi kamu setuju?”
“Bukan setuju atau tidak. Faktanya memang begitu!”
“Tapi kamu setuju atau tidak?”
“Kenapa mesti setuju atau tidak? Saya tidak dalam posisi itu!”
Saya menatap anak saya. Lalu saya bertambah yakin bahwa dia memang makhluk lain
yang datang dari planet lain. Bukan sejenis saya atau istri saya.
“Kok Bapak melotot begitu?”
“Kamu aneh!”
“Saya atau Bapak yang aneh?”
Kami saling memandang. Dan saya tahu kami memang sama-sama merasa aneh. Dan itu
tidak ada kesepakatan. Saya selalu membiarkan perbedaan itu mengapung di antara
kami yang menjadi pembelajaran kami setiap hari dalam banyak hal. Dari sana
saya mulai banyak memahami berbagai hal.
Tidak seperti biasanya, saya mencoba berdamai.
“Kalau begitu, Bapak sekarang mengerti mengapa harapanmu pada tahun 2010 itu
hanya mobil.”
“O begitu?”
“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan lagi kendaraan mewah, seperti waktu Bapak
muda. Waktu muda Bapak menganggap mobil adalah kendaraan dewa-dewa. Siapa yang
punya mobil berarti dewa. Mobil adalah status sosial. Tapi sekarang mobil hanya
alat transportasi. Kelengkapan bekerja, seperti alas kaki atau sepeda yang
sangat penting karena kecepatan adalah tuntutan masyarakat kota yang serba
bergegas.”
Ami ketawa.
“Salah.”
“Salah?”
“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk mancing, supaya Bapak ingat kembali pada
cita-cita Bapak yang sudah mulai luntur.”
“Cita-citaku yang sudah luntur?”
“Persis!”
“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah luntur!”
“O ya? Apa cita-cita Bapak yang tidak pernah luntur itu?”
Saya terkejut lalu segera mulai membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama. Ami
kontan mengejar.
“Apa coba?”
Saya masih memilih-milih. Kemudian istri saya muncul. Rupanya ia sudah
mendengarkan sejak tadi, lalu langsung menolong saya menjawab.
“Hidup harus diabdikan pada kepentingan bersama!”
Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya. Istri saya tersenyum. Dia kembali berhasil
memberikan saya tamparan yang telak. Padahal, kendati memang saya yang
melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya datang dari dia juga. Dialah yang
sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah ini, terus mencari peluang untuk
meningkatkan kenyamanan hidup dengan dalih masa depan yang lebih baik. Tak
peduli itu bisa mengganggu kenyamanan orang lain.
“Bapak yang baru kembali dari rumah sakit itu memergoki Bapak tadi di mal makan
ayam goreng Amerika ya?”
Saya tertawa.
“Bukan dia, aku yang memergoki dia makan burger. Orang sakit kok makan makanan
sampah di mal!”
“Itu dia. Makanya dia masuk rumah sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”
Saya tidak meneruskan percakapan itu. Saya tidak perlu menang di dalam rumah. Yang
penting istri tersenyum dan anak tertawa, itu kebahagiaan saya. Besoknya saya
jumpai tetangga.
“Saya kira Bapak betul,” kata saya mencoba membuka percakapan yang tertunda
sebelumnya.
Tetangga itu tercengang.
“Apanya yang betul?”
“Ya. Kita tidak perlu dermawan. Cukup asal para koruptor, manipulator dan
pemimpin-pemimpin palsu itu tidur, negeri kita pasti akan aman.”
Tetangga itu memperhatikan saya dengan sinis.
“O, jadi itu sebabnya Bapak belum mengembalikan edaran sumbangan warga itu?”
“Ah? Edaran sumbangan apa?”
“Edaran sumbangan dari warga untuk diberikan kepada para satpam sebagai hadiah
tahun baru atas pengabdian mereka 24 jam bertugas tiap hari itu?”
Saya tertegun.
“Ya Pak?”
Akhirnya saya terpaksa menjawab.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sebab itu akan mengajarkan mereka moral pengemis. Bukan etos kerja
profesional. Mereka harus bangga sebagai petugas keamanan, sebab itu profesi
mereka dan mereka profesional. Jangan hanya bekerja untuk menunggu kita
mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan sebagai sumbangan. Itu
pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan pekerjaannya yang berat berjaga
24 jam tiap hari. Buat mereka bangga pada pekerjaannya dan menjadi
profesional!”
Tetangga saya hanya manggut-manggut. Nampak kagum. Dia pasti tidak ingat, yang
dulu, pertama dan paling getol menolak kenaikan gaji satpam adalah saya. Karena
saya lihat mereka semua pemalas. Kebanyakan tidur bahkan sering meninggalkan
gardu jaganya kosong.
Sebelum tetangga itu sadar bagaimana caranya menjawab dengan telak, saya
langsung ngacir untuk menutupi rasa malu. Ketika melintas di depan gardu
satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada keenam satpam yang kebetulan
sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50 ribuan. Supaya meredam api
amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti masuk ke telinga mereka.
Sambil menunggu kehadiran 2010 saya selalu berpikir bahwa tak ada obat yang
mujarab. Semua memerlukan proses. Banyak lubang yang akan terus bertambah,
kalau yang kita sumbat hanya satu-satu. Mesti semuanya. Dan itu memerlukan
waktu, sebab kita semua sekarang memandang dari kaca mata yang berbeda-beda.
“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang diramalkan suku Maya yang keseramannya
sudah dibayangkan oleh film yang nyaris dilarang MUI itu, memerlukan kesabaran
kita. Boleh banyak berharap, tetapi banyak khawatir juga perlu, supaya
berimbang sehingga kita tetap awas,” komentar hati kecil saya.
Istri saya mendengar, lalu ngomel, seperti biasa.
“Sabar itu tidak berarti diam. Itu namanya malas. Sabar itu adalah tahan
banting sembari terus mencari peluang untuk membuat istrimu selalu senyum,
anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan para tetangga menyapa ramah!”
Anak saya juga nimbrung.
“2010 tak akan jadi datang, kalau kita hanya mau menerima separonya. Mesti
diterima penuh. Total. Tidak berarti menerima itu setuju atau tidak setuju,
tapi berani menghadapinya lalu menyelesaikannya secara jantan!”
Saya mencoba tertawa.
Di tahun 2010, apakah matahari masih akan terbit setiap hari di timur dan
tenggelam di barat? Apakah malam tetap silih bergantian dengan siang? Adakah
hal-hal yang baik masih saling berselipan dengan yang buruk? Akankah hidup
kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado? Berbagai unsur tersaji, tinggal
siapa dan bagaimana menyantapnya. Semuanya dikembalikan kepada manusia yang akan
mengisinya.
Kepada setiap orang apa ada kesempatan menuliskan riwayat hidupnya. Bahwa
menolak dan pasrah tidak berarti akan dituliskan, tetapi sudah merakit sendiri.
Bahwa manusia selalu mendapatkan peranan dan menjalankan peranan. Bahkan
kematian dan kemusnahan pun tidak memutuskan riwayatnya.
Kearifan lokal mengatakan ada itu tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010 sudah
datang sebelum datang. Dan sudah pergi sebelum kita alami. Kita tak pernah tahu
hanya peran pembantu yang tak mampu mengubah nasib. Kita adalah para penulis
yang mencipta dan meletakkan sendiri bagaimana cerita akan berjalan atas
kehendak-Nya.
Tiba-tiba HP saya ada SMS:
“Kecemasan itu perlu untuk membatalkan yang tidak kita kehendaki mungkin
terjadi. Baik Djojobojo, Nostradamus atau suku Maya, mereka sudah memahaminya.
Ramalan adalah sebuah kearifan lokal untuk membalikkan takdir menjadi nasib
yang ditulis oleh manusia, tetapi semuanya juga atas kehendak-Nya.”
Siapa yang sudah mengirim pesan itu?
“Aku,” bisik 2010.
Saya pikir, tak ada kata akhir, selama kita masih mau berpikir. (*)
Jakarta, 16 Desember 09
11."Kartini"
Subuh
hari pintu rumah Amat digedor. Seorang tetangga muda muncul di depan pintu
dengan muka berbinar-binar.
“Pak
Amat, anak saya sudah lahir, selamat dan sehat.” Darah Amat yang tadinya sudah
naik langsung surut.
“Bagus! Selamat! Anak pertama kan?!
“Betul Pak Amat. Tolong!”
“Tolong?”
“Kasih nama. Saya belum punya nama.”
Amat cepat berpikir. Hari Kartini baru saja lewat. Ia langsung menggapai.
“Beri nama Kartini!”
Bapak muda itu terpesona. Amat langusng cepat mengguncang tangannya.
“Tak usah nama yang muluk-mulul, apa artinya nama, biar anak itu sendiri uang
mengubah namanya,. Siapa pun kamu sebut dia, kalau dia dididik dengan baik, dia
akan jadi sejarah yang berguna bagi otang banyak. Selamat!”
Anak muda itu masih bengong, tapi Amat tidak memberinya kesempatan bertanya
lagi, langusng menutupkan pintu lagi.
“Lagi asyik-asyiknya, ada saja yang ganggu. Masak subuh-subuh begini nanya
minta nama segala, “kata Amat sembari masuk kamar menghampiri Bu Amat. “Kalau
belum siap punya anak, kenapa bikin anak. Masak nama saja bingung, Nanti kalau
beli susu, periksa dokter, pasti lebih bingung lagi. Sudah sampai di mana kita
tadi, Bu?”
Bu ternyata sudah tidur pulas kembali. Amat kecewa berat.
Tapu besoknya Bu Amat malah marah-marah.
“Bapak keterlaluan!”
“Lho, bukannya Ibu yang keterlaluan! Baru ditinggal sebentar sudah ngorok
lagi!”
“Masak ngasih nama anak orang Kartini.”
“Lho, memang kenapa? Ibu Raden Ajeng Kartini kan orang besar. Tokoh sejarah.
Nama itu bukan soal sepele. Memberi nama anak harus dengan cita-cita, akan jadi
apa anak itu kelak. Ibu Kartini kan sudah berjasa membangkitkan kaum perempuan
di Indonesia supaya percaya diri. Dia itu hebat, Bu!”
“Memang. Tapi tidak semua orang yang namanya Kartini bisa seperti RA Kartini!”
“Makanya yang namanya usaha itu penting, jangan hanya bergantung dari nama tok.
Itu namanya klenik. Nama sakti juga kalau pendidikannya tidak becus jadi
sampah. Lihat itu anak tetangga kita namanya Gajah Mada, mau bapaknya supaya
jadi orang besar, eh nyatanya cumakusir dokar.”
“Mendingan Gajah Mada. Jelas. Kok Kartini!”
“Lho tidak bisa dibandingkan begitu, Bu. Sebesar-besar Gajah Mada, orang Sunda
benci sama dia. Sementara Kartini, walau pun hanya bangsawan Jawa, tapi
perjuangannya sangat berarti untuk membebaskan kaum perempuan di seluruh
Indonesia yang sampai sekarang nasibnya masih di bawah telapak kaki lelaki!”
“Betul! Tapi kalau anak laki diberi nama Kartini, itu namanya sudah sinting!”
Amat terkejut.
“Lho, jadi anaknya laki-laki?”
“Sejak 5 bulan lalu dokter sudah bilang lelaki. Kok kasih nama Kartini?”
Amat bengong. Ia cepat memakai sandal dan bergegas ke rumah tetangga itu. Anak
muda itu sudah hampir hendak berangkat ke klinik bersalin membawa perlengkapan
untuk istri dan anaknya.
“Terimakasih Pak Amat.”
Amat jadi salah tingkah. Dengan malu dia mengulurkan tangan minta maaf.
“Maaf, Bapak tidak tahu. Aku memberikan nama sembarangan. Jangan pakai nama
itu!”
“Tidak apa Pak Amat. What is a name. Saya berterimakasih sekali Pak Amat tidak
marah digedor subuh begitu. Namanya bagus.”
Amat bingung.
“Lho jangan ngasih nama anakmu Kartini!”
“Tapi Raden Ajeng Kartini kan pahlawan Pak Amat. Saya harap nanti anak saya
akan berguna kepada bangsa seperti Kartini.”
“Jangan! Kenapa mesti kasih nama Kartini!”
“Itu kan pemberian dari Pak Amat?”
“Jabis aku kan tidak tahu,. asal nyeplos saja!.”
Anak muda itu tertawa.
“Nama Kartini itu bagus, Pak!”
“Jangan!”
Anak muda itu tertawa lagi lalu pergi..
“Aku kira dia tersingung dan menyindir. Masak aku kasih nama anak lakinya
dengan nama perempuan,” curhat Amat malam hari di meja makan.
“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan,”kata Bu Amat, “anak itu sudah
kaulan, apa pun nama yang diberikan oleh orang pada anaknya akan dia pakai.
sebab sudah 11 tahun menikah belum punya anak.”
Amat terperanjat.
“Jadi dia serius akan memberi nama putranya Kartini?”
“Iya iyalah!”
Amat tak jadi makan. Ia merasa bersalah. Ia menunggu di depan rumah sampai
larut malam. Ketika anak muda itu pulang dari klinik, ia langsung menyapa.
“Gus, Kartini tadi datang menemui Bapak.”
Anak muda itu terkejut.
“Siapa Pak?”
“Raden Ajeng Kartini.”
Anak muda itu tersenyum. Amat langsung mencecer.
“Boleh lanjutkan perjuanganku, bebaskan perempuan-perempuan Indonesia dari
penindasan, kata RA Kartini. Merdekakan kaumku agar mendapat perlakuan setara
dengan kaum lelaki. Tetapi tidak perlu menjadi lelaki. Hakekat perempuan tetap
perempuan, lelaki tetap lelaki, karena itu laki perempuan akan bertemu untuk
saling melengkapi. Kalau kamu menjadikan perempuan lelaki dan lelaki itu
perempuan, kamu sudah menodai perjuanganku!”
Anak muda itu mengangguk
“Saya mengerti maksud Pak Amat.”
“Kalau begitu jangan kasih nama anakmu Kartini!”
“Tidak bisa Pak, sudah dicatatkan dalam akte kelahirannya.”
“Tapi kamu tidak boleh mengubah anak lelaki menjadi perempuan!”
“Anak saya perempuan Pak, bukan lelaki seperti yang diramalkan oleh Dokter.”
12."LAKI-LAKI
SEJATI"
Seorang
perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah
menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya
baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing.
Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil
pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan
cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh,
nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami
dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan
ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu
perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun
dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung
menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup
siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak
hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka
senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau
sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa
ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah
mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari
buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu
akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu
tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya
zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga
sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran
walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang
meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi
harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan
antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi
yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata.
Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti
sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah
kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita
bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus
kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana
laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang
berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak
melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan
ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong,
karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki
sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat
laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam
kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki
sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan
laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh
gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa.
Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang
lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting,
karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan
sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi
pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman,
menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah
hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan
toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau
punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau
jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan
seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki
sejati!
Kalau begitu apa dong?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat,
mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas
dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu
dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup
yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan
perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.
Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh!
Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh
sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati
lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar
erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta
kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki
seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu,
Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan.
Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan
malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi
bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi
tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku
kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan
ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku
akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk
merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan
merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama
berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang
tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal
dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya.
Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak
laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja,
tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku.
Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus
anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah
dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni,
mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi
ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih
merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan
mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada
harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja.
Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu
itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada
bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk
seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang
diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah
mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara!
Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat
banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil
Gibran!
Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat
hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada
kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia
terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik
R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi
itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang
indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut
menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi
melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati,
bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja,
sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya,
bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli
seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai
oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu
memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang
terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga
sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah
segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu
anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena
seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia,
setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa
pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun
kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang
laki-laki yang sejati! ***
Denpasar, akhir 2004
13."GURU"
Anak
saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami
berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu
jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu?
Betul?!" Taksu mengangguk.
"Betul Pak." Kami kaget.
"Gila,
masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak
percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu
nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang
barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju.
Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi.
Saya mulai bicara blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu
terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di
desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh
globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang
mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka
gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti?
Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih
menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang
gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti
apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun
tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol
besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan
dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari
tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos
jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu
cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu?
Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito
dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih
saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh
sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya
untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak
dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak.
Saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang
perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah
salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja
sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua
dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar
bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi
mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan
kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri
membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami
tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban
yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak,"
katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang
mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian
orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang
mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh!
Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang
sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak
guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab.
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri,
negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak
orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang
seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi
tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya
orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal
anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah
setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja
kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa
gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu
adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang
meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena
tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa
hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan
yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang
tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.
"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia
waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat,
ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak
mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos
terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha
melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak
zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak
harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang
suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah,
mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang
saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri
memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi
kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang
tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya
datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil
kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya
kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau
memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan
saya serahkan, nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu.
"Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat
Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi,
singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil
sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab
itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu,
mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan,
dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada
bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo
nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru!
Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali
menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes.
Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir.
Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci
itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan
sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan
saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya
itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya
cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan
masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan
depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri
langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam
teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan
yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti
akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak
apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira
Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa
melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah
kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi
guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil
mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu
sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas
meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata
dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa
kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!"
teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu
lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh,
berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang.
Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau
mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori
pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi
kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan
ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang
lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main,
kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah
naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang
gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang
ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus
menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa
melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini.
Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang
hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang
mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta
bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya
sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta
tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru,
tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa?
Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi
guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi
guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai
dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan
dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk
bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang
menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk
menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa
kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah
kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil
siap-siap hendak pergi.
"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja
menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu
akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat
gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa
yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata
istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika
kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri
saya kalap.
Saya bingung.
"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih
anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak
sama anak dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu
itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami
berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan
akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu
kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah
Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu
seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost
itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya
secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu.
Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci
BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di
dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau.
Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya
kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya
memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia,
padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi
ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa
cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian
menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya
berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan.
Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya
saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga
semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul
beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor
barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke
berbagai wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi
anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan
negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika
Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi
bergengsi.
Mataram, Jakarta, 22-10-01
Jakarta, 31-12-01
14."JENGGO"
Putra
tunggal Pan Jenggo mau masuk ABRI. Pan Jenggo dengan bangga mengumumkan itu
pada para tetangga. Ia sendiri mengaku pernah gagal masuk ABRI karena matanya
jereng sebelah.
”Maka Jenggo sekarang harus jadi ’balas dendam’ saya!” kata Pan Jenggo.
Tetapi, istrinya sendiri tak setuju. Men Jenggo lebih sreg, Wayan Jenggo
membantu jaga warungnya. Karena itulah sumber utama nafkah keluarga.
”Saya sendiri sudah kena rematik, susah untuk meneruskan ngurus warung.
Sementara bapak kan seniman pengangguran yang merasa berdagang itu pekerjaan
jahat. Ia memang suka perang, tapi sebatas nonton film. Sejatinya ia penakut.
Itu sebabnya ia memaksa anaknya jadi pahlawan.”
Men Jenggo lantas konsultasi ke Bu RT. Meminta petunjuk bagaimana caranya
supaya suaminya berhenti memaksa Jenggo memanggul senjata.
”Saya setuju dengan Bu RT, menjadi pahlawan itu bisa dengan banyak cara. Jaga
warung sumber nafkah keluarga, misalnya. Atau jadi warga yang baik, tidak
ikut-ikutan narkoba. Kenapa harus jauh-jauh mencari kepahlawanan kalau di depan
mata saja sudah ada wadahnya?”
Bu RT langsung lapor suaminya.
”Saya heran, Pak, Jenggo itu kan orangnya lemah-lembut. Jangankan berperang,
bunuh nyamuk pun ia tidak mau, kalau tidak terlalu perlu. Bagaimana bisa
memanggul senjata, lihat, memanggul pacul kalau masyarakat lagi kerja bakti
saja, ia sering diketawain, karena kelihatan kikuk!”
”Betul.”
”Kenapa Pan Jenggo mau anaknya jadi tentara?”
”Supaya Jenggo jadi laki-laki sejati!”
”Maksud Bapak?”
”Aduh, ibu masak tidak tahu, Jenggo itu kan banci!”
Bu RT tertegun.
”Jadi Pan Jenggo mau menterapi anaknya supaya jadi laki-laki normal dengan
memaksanya memanggul senjata?”
”Betul! Tapi mana mungkin banci diterima jadi tentara!”
Bu RT menarik napas lega. Karena itu berarti Jenggo akan selamat dan bisa jaga
warung ibunya. Tetapi, setelah berpikir, ia terkejut.
”Tapi, kalau Jenggo ditolak jadi tentara, apa itu tidak akan membuat Pan Jenggo
kecewa dan Jenggo sendiri minder, Pak? Karena naga-naganya Nak Jenggo sendiri
juga begitu bersemangat akan bisa panggul senjata?!”
”Ya, itulah!”
”Kalau begitu, cepat dong temui Pan Jenggo. Ajak ngomong, kasih masukan.
Kasihan. Mereka kan keluarga baik-baik dan cs kita!”
Pak RT tak menjawab. Tapi esoknya ia menemui Pan Jenggo.
”Bagaimana? Jadi memasukkan Wayan jadi ABRI, Pak?”
Beda dari sebelum-sebelumnya,
Pan Jenggo menunduk sedih. Ia tak bisa berbohong kepada Pak RT.
”Kelihatannya, tidak mungkin, Pak RT.”
”Kenapa?”
”Pak kan tahu sendiri. Anak saya Wayan itu banci.”
Pak RT terkejut sekaligus trenyuh. Ia tak menduga sahabatnya itu akan ngeceplos
begitu blakblakan. Ia hampir tak tahu harus bilang apa.
”Jadi batal?”
”Ya iyalah, daripada malu karena ditolak, lebih baik mundur teratur. Kecuali
kalau nanti dapat koneksi.”
”O, jangan. Dimulai dengan yang tidak baik, hasilnya hanya akan remuk!”
Pan Jenggo termenung.
”Betul, hanya masalahnya Wayan sendiri juga sudah ngebet sekali jadi tentara,
Pak RT.”
Pak RT heran, nyaris tak percaya.
”Masak? Jenggo sendiri yang ingin jadi tentara? Bukannya dulu Pak yang sudah
mendesaknya?”
Pan Jenggo menghela napas panjang, lalu menatap.
”Mula-mula memang begitu, Pak RT. Saya ini kan lacur. Punya anak hanya satu,
kok banci. Nanti siapa melanjutkan keturunan? Saya terpaksa cari second opinion
ke balian. Dia nyuruh saya memasukkan Wayan jadi tentara, supaya jadi jantan.
Istri saya yang pertama-tama menentang. Saya tidak peduli. Eh, lama-lama dia
menyerah juga. Entah konsultasi dengan siapa, dia mendadak setuju dengan
anjuran dukun. Dia izinkan saya memaksa anaknya jadi tentara, supaya jadi
laki-laki sejati. Sudahlah sekarang terserah Bapak, saya pasrah, katanya. Mau
diapain saja Wayan, yang penting Wayan tidak ngambul, lari dari rumah seperti
Sobrat itu. Istri saya berbalik begitu mungkin karena melihat sekarang tidak
ada kemungkinan Perang Dunia Ketiga akan meletus. Jadi tidak ada bahayanya anak
kami jadi tentara. Asal nanti setelah jadi ABRI, Wayan harus ikut di barisan
musik saja. Pegang alat kecret-kecret asal-asalan juga tidak apa-apa, yang
penting bukan bedil. Tidak dibunuh dan tidak membunuh. Begitu, Pak.”
”Wah, ibu pintar juga, taktiknya!”
”Ya, saya jadi terharu juga. Baru ingat, bahwa daripada jadi pahlawan tapi
mati, anak semata wayang lebih baik hidup, Pak RT. Meskipun nanti pangkatnya
balok terus sampai tua, tidak naik-naik karena tidak pernah ikut berperang.
Tapi kemudian kembali ada masaalah. Ada lagi yang bilangin saya, anak tunggal
tidak diperkenankan masuk militer. Betul itu, Pak RT?”
”Saya kira itu masuk akal.”
”Nah, itu bikin masalah baru. Bagaimana kalau Wayan ketahuan anak tunggal?
Terpaksa lagi saya putar otak, lalu memutuskan: sebelum ditolak, lebih baik
mundur teratur daripada hancur-lebur. Tapi begitu saya mau mundur, istri saya
marah, mendesak: Jenggo harus masuk militer!!”
Pak RT kaget
”Masak?”
”Ya!”
”Kenapa?”
”Katanya, anaknya sendiri yang menangis-nangis supaya diizinkan jadi
tentara. Bahkan mengancam akan bunuh diri kalau dilarang.”
Pak RT tertegun. Ia tak berani melanjutkan percakapan. Merasa itu sebagai
bagian dari misteri perempuan, ia mendesak istrinya bertanya-tanya kepada Men
Jenggo.
”Apa betul, Wayan mengancam akan bunuh diri kalau dilarang masuk jadi tentara,
Bu?”
Menurut Bu RT, betul.
”Sebenarnya saya juga mula-mula tak percaya juga, Pak. Baru setelah Men Jenggo
menunjukkan surat ancaman yang ditulis Jenggo, saya percaya. Surat itu
ditandatangani dengan cap jempol berdarah.”
Pak RT terperanjat.
”Cap jempol berdarah?”
”Ya.”
”Darah asli atau tinta merah atau darah ayam?”
”Katanya darah asli tangan Jenggo sendiri!”
”Katanya? Jadi surat ancaman itu, Ibu tidak lihat sendiri alias hanya omongan
Men Jenggo.”
”Tapi kata Men Jenggo, sudah pasti itu darah Jenggo asli. Sekarang sebaiknya
Bapak cepat bertindak. Orang begitu kan susah dikendalikan kalau sudah emosi.
Cepat, Pak, jangan sampai terlambat, mereka kan warga kita.”
Akhirnya Pak RT langsung menemui Jenggo. Ia tak merasa mampu bicara dengan
ibunya. Karena dengan Jenggo, ia bisa tembak langsung.
”Coba lihat jempolmu, Wayan.”
Jenggo menunjukkan jempol kanannya yang ditensoplas. Pak RT mengangguk.
”Jadi betul kamu mengancam mau bunuh diri kalau dilarang jadi tentara?”
Jenggo tak berani membantah.
”Betul, Pak.”
”Kenapa?”
”Saya ingin jadi pahlawan.”
Pak RT menahan tertawa.
”Pahlawan?”
Tiba-tiba suara Jenggo menanjak.
”Ya! Apa salahnya orang banci jadi pahlawan?!!”
Pak RT betul-betul kaget. Tak menyangka anak yang lembut itu bisa galak. Seakan
kesabarannya telah habis. Hatinya yang tampak luluh membuat Pak RT sedih.
Protes Jenggo, lamat-lamat bagai salak anjing di kejauhan di malam sepi. Tak
berdaya. Tak ada yang peduli. Tapi, itu justru menimbun simpati. Entah sudah
berapa tebal marah, tangis, rasa terhina yang ditahan-tahannya.
Beberapa lama Pak RT membisu. Ia tak mampu menggoyang keharuannya. Sebab ia
kenal Wayan sejak bayi. Anaknya lucu, manis, dan baik budi. Kini ia sudah mulai
terluka oleh lingkungan yang tak bisa menerimanya.
Akhirnya Pak RT minta maaf.
”Maaf Wayan, bukan itu maksud, bapak. Tidak seorang pun berhak melarang siapa
pun yang ingin menjadi pahlawan. Kalau itu memang cita-citamu, itu cita-cita
yang luhur. Kejarlah, berjuanglah dengan seluruh jiwa-ragamu jadikan kenyataan.
Berhasil atau gagal itu bukan masalah. Berjuang habis-habisan itulah makna
kepahlawanan yang sesungguh-sungguhnya!”
Jenggo menundukkan kepalanya seperti terlalu berat. Bibirnya bergetar.
”Kenapa anak tunggal ditolak jadi tentara, Pak RT”
Pak RT tak bisa menjawab.
”Apalagi banci!!!?”
Suara Jenggo bergetar perih.
”Banci tidak mungkin jadi pahlawan, Pak RT! Orangtuaku sudah salah kaprah!”
Tiba-tiba Jenggo menarik belati yang disembunyikan di pinggangnya. Pak RT
tersirap.
”Wayan, jangan!”
Terlambat. Jenggo sudah mengayunkan belati itu, menikam tangan kirinya. Trak!
Mantap betul. Di balik tubuhnya yang lembut itu ternyata tersimpan tenaga
lelaki sejati.
Pak RT menjerit dalam hati sambil memejamkan mata. Ia merasakan darah tumpah
mengguyur meja.
Ketika Jenggo mengisak Pak RT memaksa matanya terbuka. Belati itu menembus
meja, di antara telunjuk dan ibu jari Jenggo. Tidak ada darah.
Pak RT mengusap dada. Waktu Jenggo menarik kembali belati dari meja, seperti
hendak mengulang menikam, Pak RT langsung memeluk.
”Jangan, jangan. Bapak mohon, jangan! Jangan!”
Jenggo bersikeras hendak mengulangi tikamannya. Pak RT akhirnya membentak.
”Jangan!!!!”
Suara keras dan tegas Pak RT membuat Jenggo senyap. Pak RT terus menyerang
dengan beringas.
”Tidak ada orang berhak memaksa orang lain, anak kandungnya sendiri sekalipun,
untuk jadi pahlawan! Siapa bilang kamu bukan pahlawan? Setiap orang adalah
pahlawan untuk dirimu sendiri, tahu?!!”
Jenggo menangis.
”Tahu?!!”
Jenggo terisak-isak.
”Jenggo!! Kamu tak perlu jadi pahlawan! Kamu sudah pahlawan, ngerti?!!”
Jenggo mengangkat mukanya. Bibirnya gemetar. Sambil bercucuran air mata ia
berbisik.
”Pak RT, tolong bilang pada orangtuaku, aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku
tidak mau jadi pahlawan! Biar aku begini saja. Aku sudah cukup!!”
Jenggo menelungkup, seperti memasukkan tangisnya ke meja. Perlahan-lahan dan
lembut, Pak RT mengambil belati di tangan Jenggo, lalu
mengungsikannya keluar.
”Ada apa, Pak?” sapa Bu RT, menegur suaminya yang pulang membawa belati.
Pak RT tak menjawab. Ia menyimpan belati itu ke kotak berisi beberapa senjata
tajam, yang sebelumnya ia lucuti dari beberapa pemuda yang lain.
Subuh esok harinya, ketika keluar rumah hendak menyiram kebun, Pan Jenggo
muncul. Ia menyapa Pak RT dengan ramah.
”Pak RT, Wayan sudah bulat tekadnya sekarang. Ia bilang ia sudah meyakini mau
jadi pahlawan. Tapi saya pikir-pikir lagi, bukan hanya dia, saya juga harus
jadi pahlawan.”
Pan Jenggo mengulurkan tangan untuk bersalaman. Pak RT menyambut heran. Ia baru
melihat Pan Jenggo memakai seragam Go-Jek ketika mendorong motornya ke jalan.
Subuh masih terlalu muda. Langit belum merah, banyak orang masih tidur. Tapi
ada suara klatak-klitik di samping. Waktu Pak RT menoleh, tampak Jenggo mulai
buka warung. Kehidupan rupanya sudah bergerak.
15."MOKSA"
Telepon
berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi
sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik
kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta
ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet
Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan
tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil
meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya
hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi
pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100
ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas
untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma
mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan
semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja
dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat
yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali
menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S.
Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih
penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua.
Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak
jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak
bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku
sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang
semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja
kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit
100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih
praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak
sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup
wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat
suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia
bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari
ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali
tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan
cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa
yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan
sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan
tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan
gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya
pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang
itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu
dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata
masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu
memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat
seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada
satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu
diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran
air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya
sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat
kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada
kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat
menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari.
Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum
obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke
dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal
sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi
untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang
anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya
tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado,
buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari
ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah
cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan
banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh
mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima
kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau
menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga
hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di
daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang.
Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena
sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa
saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci
mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus
resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya
akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu
saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi
Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul
meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai
praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya.
Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke
rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke
pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah
malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah
menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping
bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai
rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa
ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa
pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat
beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali
Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia
paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu
Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia
memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu
nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang
saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak
supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja,
semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus
ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat
sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu
orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi
di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan.
Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100
ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter
kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu.
Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya
Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan
mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan
kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa
Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia
ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang.
Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan
mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja
menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga
sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka
tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa
sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia
dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan
sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani
anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa
diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa
secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu
terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap
sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas
siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya
serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu
berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di
pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan
Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak
kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa
uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia
berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi
bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa
kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau
memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak.
Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya
anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah
diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat
kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri
bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak
itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih
berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak.
Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi.
Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak
yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat,
kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi
ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena
tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang
hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi.
Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir
dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita
itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu
mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik
dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba
tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata
yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang
paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan
memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya
gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan
Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya.
Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua.
Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya.
Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya
sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga
terlebih dahulu percaya. ***
16."Valentine"
Ami
heboh membongkar-bongkar almari. Dia mencari baju yang berwarna pink.
Setidak-tidaknya yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna itu
menjadi tiket masuk. Warna lain akan ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari
panitia yang berwarna pink. Tapi harganya selangit.
“Buat apa beli kaus oblong 200 ribu, kan pakainya juga hanya sekali,”kata Ami
terus membongkar.
Bu Amat ikut membantu Ami mencari-cari, sampai-sampai terlambat menyiapkan
makan malam. Amat langsung protes.
“Kenapa sih pakai ikut-ikutan valentin-valentinan. Itu kan bukan budaya kita!”
Ami dan ibunya tidak peduli.
“Mana makannya? Nanti maag-ku kumat!”
Bu Amat tak mendwengar. Ia terus membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi
makin dia kesal, makin Ami dan Bu Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia
salin pakaian, lalu keluar rumah.
“Ke mana Pak?”
“Mau ikut valentine!” kata Amat tanpa menoleh.
Amat ke tukang sate di tikungan. Dia mau makan enak. Tapi ternyata tidak
jualan. Orangnya kelihatan mau berangkat kundangan. Dia tersenyum melihat Amat
datang.
“Mau ke situ juga Pak Amat?”
“Ke situ ke mana? Mau cari makan ini. Kenapa tutup?”
“Kan hari besar pak Amat.”
“Ah sejak kapan tukang sate ikut-ikutan valentine?”
“Bukan. Saya mau ke tempat Yuk Lee, kan ada makan-makan. Pak Amat mau ke situ
juga kan?”
“Lee?”
“Ya”
“Sejak kapan di situ diundang Yuk Lee?”
“Ya namanya juga silaturahmi Pak Amat. Tidak perlu undangan. Kalau kita tahu ya
harus datang. Saya kan langganan tetap dia dulu waktu masih jualan kue. Ayo
ikutan.”
“Ah, mau cari makan ni!”
“Makan di situ saja, pasti enak semua! Yuk Lee pasti seneng kalau Pak Amat
datang. Ayo Pak!”
Tukang sate itu menstater motornya.
“Ya sudah, ikut sampai di alun-alun, nanti turun di situ, makan ketupat!”
Amat naik ke boncengan. Tapi kemudian tidak turun di alun-alun, sebab asyik
ngobrol. Tahu-tahu sudah sampai ke rumah Lee.
“Lho kok jadi ke sini?” kata Amat kaget.
Tukang sate hanya nyengir. Amat hampir saja mau kabur, tapi Lee muncul. Dia
berteriak menyapa tukang sate. Waktu melihat Amat dia langsung datang dan
mengguncang tangan Amat.
“Terimakasih pak Amat, terimakasih sudah datang. Tumben ini. Mimpi apa saya Pak
Amat mau datang? Kebetulan semua pada sedang makan ini. Ayo cepetan masuk, Pak
Amat. Jangan di luar, ke dalam saja!”
Amat dan tukang sate dibawa masuk ke dalam rumah. Ternyata dalam rumah lebar
dan mewah. Padahal darii luar kelihatan sederhana. Lee memang kaya-raya, tapi
tidak pernah pamer menunjukkan kekayaannya. Dia mulai dari jualan kue. Tiap
hari istri dan anak-anaknya keliling. Lama-lama meningkat. Dasar ulet, sekarang
tokonya ada lima. Mobilnya banyak. Tapi hubungannya dengan orang-orang yang
dulu menjadi langganan kuenya tetap baik.
“Terimakasih Pak Amat, sudah mau datang ke rumah kami,”kata istri Lee
menyambut.
Amat kemudian diperkenalkan kepada ketujuh putra-putri Lee. Ada yanhg sekolah
di Amerika. Ada yang di Australia. Ada yang di Singapura. Ada juga yang di Hong
Kong. Yang paling besar di rumah membantu Lee.
Amat malu sekali, seakan-akan Lee tahu dia datang untuk cari makan. Mula-mula
Amat hanya sekedar nyicip. Tapi setelah melihat tukang sate dan tamu-tamu lain
makan dengan rakus, Amat jadi lupa daratan. Ia makan sekenyang-kenyangnya.
Banyak sekali tamu datang silih berganti. Lee tak sempat lagi ngobrol dengan
Amat. Dan ketika pulang, tak sempat lagi pamitan, sebab tamu semakin malam
semakin melimpah. Diam-diam Amat dan tukang sate itu meninggalkan rumah Lee.
“Heran sudah kaya raya begitu, tamu-tamunya semua kok kelas naik motor seperti
kita. Nggak ada mobil-mobil mewah ya,”kata Amat.
Tukang sate ketawa.
“Yang naik mobil nggak akan mau datang Pak Amat.”
“Kenapa?”
“Pasti malu,”
“Lho kenapa? Kan silaturahmi?”
“Nanti dikira cari Ang Pao.”
“Ang Pao?”
“Ya. Kalau buat kita sih rezeki. Orang-orang pakai mobil itu mana mau dapat
amplop begini,:kata tukang sate merogoh dari sakunya dan menyerahkan pada Amat,
”ini untuk Pak Amat!”
Amat terkejut menerima amplop itu.
“Untuk saya ini?”
“Ya untuk pak Amat.”
“Bukannya untu di situ saja.”
“Saya sudah dapat Pak Amat. Tadi istri Lee sengaja ngasih lewat saya, dia tahu
pak Amat pasti tidak akan mau kalau dikasih langsung.”
Amat tertegun.
“Gimana? Apa untuk saya saja?”
Sekarang jelas. Banyak yang datang ke rumah Lee, karena mengejar ang pao. Amat
jadi malu. Ia ingin sekali mengembalikan amplop itu. Tapi tak mungkin. Itu bisa
jadi salah paham.
“Gimana pak Amat? Untuk saya saja?”
Hampuir saja Amat mau menyerahkan amplop itu. Tapi jari tangannya merasakan
amplop itu tebal. Ia jadi merasa saying.
“Ini tradisi mereka ya?”
“Betul pak Amat. Setiap tahun saya selalu ke situ. Tahun lalu juga. Isinya
lumayan. Bagaimana itu untuk saya saja?”
“Tapi ini tradisi mereka kan?”
“Betul pak Amat.”
“Bukan soal uangnya, tapi soal tradisi kan? Kita menghormati tradisi kan?”
“Betul.”
“Ya sudah. Demi silahturahmi, saya terima ini. Terimakasih sudah ngajak ke situ
tadi.”
“Tapi amplopnya untuk saya kan?”
Amat menggeleng.
“Meskipun Lee tidak melihat, kalau amplop ini saya berikan situ, berarti saya
tidak menghargai Lee. Itu tidak baik. Jadi saya terima saja untuk silahturahmi.”
Amat lalu mengulurkan tangan. Mereka bersalaman. Tukang sate nampak gembira.
“Yuk Lee pasti senang sekali Pak Amat menerima amplop itu. Tadinya istrinya
sudah berpesan, kalau pak Amat tidak mau, ya buat saya saja. Apa buat saya saja
Pak Amat?”
Amat ketawa. Tanpa menjawab lagi dia pulang. Rasanya tubuhnya berisi. Di
kantungnya ada amplop yang menurut ketebalannya tidak akan kurang dari satu
juta. Sambil bersiul-siul, Amat masuk ke dalam rumah.
Ami kelihatan nongkrong di depan televisi bersama Bu Amat.
“Lho tidak ikut valentine?”
“Nggak ada baju pink.”
“Beli saja!”
“Duitnya dari mana?”
Amat ketawa. Dia merogoh amplop dan menyerahkan pada Ami.
“Nih. Lebihnya untuk Ibu.”
Ami dan Bu Amat melirik amplop itu dengan heran. Amat langsung saja menembak.
“Kita ini masyarakat plural, jadi harus bisa hidup saling menghargai. Itu
namanya silahturahmi,”kata Amat.
Ami diam saja.
“Coba kalau tadi ngomong begitu, Ami sudah berangkat,”kata Bu Amat, “Bapak ini
selalu terlambat!”
17."Fokus"
”Kasus
pembegalan yang diungkap tv, seperti mengembalikan kita ke zaman cerita-cerita
yang sering digelar oleh teater rakyat,” kata seorang tetangga, membuka
percakapan, di pertemuan rutin tahunan warga.
”Kita dibawa kembali ke masa ketika jalan-jalan yang sepi dan gelap, menjadi
angker. Karena bromocorah gentayangan. Tidak ada polisi yang menjaga kenyamanan
hidup warga. Adanya hanya prajurit untuk berperang demi membela negara,” sambut
tetangga yang lain.
”Jadi keselamatan negara memang terjaga, tapi keamanan rakyat tidak!”
”Itu berarti kita sudah melangkah mundur,” sambut tetangga lain lagi.
”Dan ironisnya, itu terjadi di tepi Jakarta! Ibukota negara dan jendela ke
mancanegara! Bagaimana nanti pandangan dunia kepada kita? Pasti minat untuk
invest di Indonesia berkurang drastis! Yang sudah ada pun bisa kabur!”
”Betul! Banyak orang tidak ngeh, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Akan
kemana kita dibawa oleh globalisasi?”
”Menurut paranormal, penasihat spiritual saya, yang baru pulang dari Afrika,
dia bilang....”
”Pak Jenggot?”
”Betul.”
”Wah paranormal berbobot itu! Ngapain beliau ke Afrika?”
”Katanya akhir tahun lalu, yang namanya ’kebenaran’ ada di situ. Pak Jenggot
mau mencegatnya, karena tidak ada skejulnya ke Jakarta. Jadi, Pak Jenggot mau
mengkonfirmasikan praduganya pada tahun 2015 ini.”
”Sudah?”
”Belum sempat, karena ada satu dan lain hal yang memerlukan prioritas.
Mendengar ada gesekan antara KPK dengan Polri, ia cepat-cepat pulang.”
”Terkait masalah prioritas, apa eksekusi terpidana mati yang dihimbau beberapa
suara, agar diberikan grasi, tidak dianggap prioritas?”
”O, ya, itu juga sudah pasti termasuk dalam agendanya!”
”Betul! Tapi kita sudah kebanyakan prioritas. Saya heran juga, gunung meletus,
banjir, pesawat jatuh, gesek-gesekan, semua prioritas. Apalagi yang akan
menyusul besok, ya? Segalanya datang beruntun, sambung-menyambung. Baru selesai
pemilu yang menegangkan, ada lagi, ada lagi yang lain. Yang untung tv dapat
berita panas terus. Iklan mengucur, kita hancur!”
”O ya, maaf, rumah Pak Alit denger-denger kena banjir?! Itu juga prioritas buat
kita, sebab bisa merembet ke rumah kita!”
”Jelas! Rumah saya kan juga sudah mulai digerayangi. Itu gara-gara sungai yang
di belakang kita itu, ditutup, jadi airnya meluap ke kita.”
”Kita harus protes itu!”
”Siapa yang berani? Ada rumah jenderal di situ! Mau dikarungin apa?”
”Nanti dulu! Yang begal itu sebenarnya sudah ditangkap habis belum? Ada yang
ditembak mati kan?!”
”Tembak mati saja kalau ketangkap, kata ibu dari anak yang mati ketika
pembegalan itu. Muka ibu itu tenang tapi usulnya sadis!”
”Itu lumrah-lumrah saja. Kata orang, perempuan memang bisa lebih sadis dari
lelaki!”
”Ya, itu perempuan yang Bapak kenal. Istri saya tidak!”
Semua ketawa berderai.
”Ah sama saja! Cuma ada yang kelihatan, ada yang tidak. Kata orang wanita kan
sebuah buku yang tidak pernah habis dibaca!”
”Betul, tidak, Pak Amat?”
Amat tersenyum, lalu tertawa, tapi tidak menjawab. Malahan kemudian berdiri dan
berjalan pulang. Meninggalkan pertemuan.
”Semua ngaco. Tidak ada yang bener,” gerutu Amat setelah sampai di rumah.
”Ngomong seenak perut saja. Asu tenan! Semua! Apa yang ada di perut, langsung
disemburkan. Ngumpul-ngumpul memang lebih banyak negatifnya! Pembicaraan
ngalor-ngidul tidak pernah fokus! Hanya tambah mengacaukan, mengapungkan
persoalan. Itulah wajah kita sekarang!”
”Kita?” potong Bu Amat keluar dari kamar sambil menyodorkan lis sumbangan warga
untuk perbaikan saluran air agar rumah Pak Alit bebas banjir.
Amat melirik lis itu sinis.
”Dia yang kebanjiran, karena bandel tidak mau meninggikan lantai rumahnya,
kenapa kita yang ditodong menyumbang?”
”Karena banjir itu kalau dipelihara, bisa menular ke rumah kita. Ini bukan
masalah Pak Alit saja, tapi upaya demi kepentingan kita!”
”Itu kata Pak Alit, kan!”
”Bukan! Itu keputusan rapat warga yang tidak mau Bapak hadiri!”
”Karena tahu hasilnya begini!”
”Salah! Kalau Bapak datang, hasilnya akan lain! Akan lain! Akan lain! Akan
lain!!!”
Amat tercengang.
”Akan lain?”
”Ya! Karena, jangan salah! Mereka sebetulnya sangat segan, hormat, menghargai
Bapak, yang terhitung paling senior di hunian kita ini! Mereka yakin apa yang
Bapak katakan pasti adil, waras dan betul. Tadi, apa yang Bapak katakan, tadi?”
”Apa ya, di pertemuan tadi, semua orang ngomong, ngomong, ngomong terus,
ngalor-ngidul, ngalor-ngidul, tidak ada fokus, sampai pertemuan selesai. Tidak
ada keputusan mau apa komunitas kita ke depan ini. Habis waktu untuk
menggunjingkan politik!!”
”Lho itu kan berarti semua orang mau memberikan masukan pada Bapak. Semua warga
percaya Bapak akan memilihkan mereka fokus. Ada kan yang bertanya tadi
bagaimana pendapat Bapak? Ada, tidak?”
”Ya, ada.”
”Nah itu, mereka pasti minta fokus! Mereka menunggu fokus dari Bapak! Itu
tandanya Bapak punya wibawa pemimpin. Makanya awas, jangan suka membegal
diri-sendiri. Jiwa kepemimpinanmu itu kelebihan, karunia dari Yang Maha Kuasa
di atas situ! Harus dijunjung tinggi! Paham?”
Amat bengong.
Di kesempatan berikutnya, Amat hadir lagi dengan kiat baru.
Seperti sebelumnya, percakapan terlempar ke sana kemari. Dari soal turunnya
harga bahan bakar, sampai fenomena ISIS.
Amat siap untuk memberikan fokus. Menjawab kalau ada pertanyaan. Agar pertemuan
itu bermakna. Tidak hanya sekadar menguruk sumur yang tanpa dasar.
Lima jam Amat terpental-pental oleh berbagai usul, opini, curhat, kabar-kabur
dan segala macam berita panas kutipan dari tv dan media massa lainnya.
Tengah malam Amat kembali ke rumah. Mukanya seperti penjudi yang terkuras
habis. Wajah kuyu dan kuyup oleh kecewa.
”Bagaimana hasilnya, Pak,” tanya Bu Amat sambil memijit punggung suaminya. Amat
menjawab kesal.
”Sama saja. Cuma buang-buang waktu. Ramai seperti pasar. Semua rebutan bicara.
Tapi bukan mencari solusi buat hunian kita. Walhasil buntutnya nol!”
”Bapak sempat ngomong?”
”Ngomong apa? Tidak ada fokus!”
”Kenapa tidak difokuskan?!”
”Habis tidak ada yang nanya!”
Bu Amat ketawa.
”Lho bagaimana sih Bapak! Kalau melongo saja ngapain ikut rapat!? Jangan tunggu
sampai ada yang nanya! Asal sudah ketemu celah, langsung saja diembat! Pasti
mereka akan ikut. Jadi pemimpin itu, begitu! Harus di depan mengambil
inisiatif. Belok kanan, belok kiri, melompat, kalau perlu mundur atau balik
arah! Pemimpin tidak boleh nunggu kesempatan! Justru harus bikin kesempatan!”
Amat tak menjawab. Karena terlalu ngantuk. Ia tergelincir tidur.
Tapi dalam pertemuan warga berikutnya (karena belum juga ada keputusan), Amat
mempraktekkan usulan istrinya.
Sebelum sempat warga lain buka mulut, Amat langsung ngoceh. Suaranya lantang
dan jernih.
”Saudara-saudara, jangan lupa, kita harus cari solusi untuk melindungi
anak-anak remaja kita dari ancaman narkoba dan pornografi lewat internet,
sebelum nasi jadi bubur!”
Tak ada yang menjawab. Dengan semangat berapi-api, Amat terus menembaki
kerawanan moral masa kini, membentangkan teorinya sendiri, bagaimana caranya
bilang ”tidak”. Tapi peserta rapat tidak ada yang peduli. Mereka mulai ngobrol
dengan teman-teman di sebelahnya. Akhirnya Amat terpaksa menghentikan
ceramahnya.
Hanya satu jam, pertemuan bubar. Tahun-tahun sebelumnya, pertemuan pernah baru
berakhir subuh, itu pun juga belum tentu berhasil membuat keputusan.
Amat yang terakhir meninggalkan ruangan. Ia merasa, itulah hari yang paling
menyebalkan, sepanjang sejarah rapat rutin warga yang sudah 5 tahun jalan itu.
Singkat, menyebalkan dan kosong-melompong.
Di rumah, Bu Amat terpaksa lembur memijit lagi. Bukan hanya pundak, tapi
seluruh tubuh Amat. Sembari mengantuk ia menghibur.
”Sudahlah, Pak, tak apa, kebesaran seorang pemimpin, tidak hanya ditentukan
oleh sukses dan keberhasilannya. Tetapi juga oleh segala kekalahan, kegagalan
dan kekecewaannya! Karena itu, pikir yang matang-matang. Mau jadi pemimpin atau
rakyat biasa saja?!”
”Ya sudah, jadi rakyat jelata saja.”
Namun demikian, Amat tidak kapok. Ketika diundang rapat lagi, ia datang dengan
bersemangat.
Ia ikut rebutan buka mulut, dengan berbagai isyu panas dari tv dan media massa
lain. Rapat jadi riuh dan galau. Tapi hangat, ceria dan berhasil menelorkan
keputusan.
”Bagaimana, berhasil?” sambut Bu Amat menyapa suaminya yang pulang dengan wajah
berseri-seri.
”Sip!”
”Apa keputusannya?”
”Terus menggelinding, mengalir seperti sungai.”
”Maksudnya?”
”Keputusannya singkat, padat dan tepat.”
”Apa?”
”Secara aklamasi rapat memutuskan: tidak perlu ada keputusan!"
18."Peradilan
Rakyat"
Seorang
pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior
yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu,
"aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan
keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia
menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan
agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi
ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau
perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi
dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang
kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang
cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji
ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang
dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih
muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah
kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak
pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di
lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah
membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari
buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang
keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya
masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh
sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik.
Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda
lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas
untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena
kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan
sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa
bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal
ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,"
sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga
pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan
diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku,
mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan
ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela
seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga
pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa
pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu
untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara
tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin
mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela
hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah
diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku,
aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua
sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku
tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh
menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu
dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya
tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa
alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya.
Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin
menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun,
tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke
titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela
seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan
itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi
jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku
tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan
keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior
itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah
keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena
setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat
kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk
membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang
jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer.
Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa
kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang
pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku
melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada
mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses
peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam
lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu
sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak
hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana
yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada
tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah
kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena
sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu
membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan
yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan
uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha
untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang
paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai.
Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting.
Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi
persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil
keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar
sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa
dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi
karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya
dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman.
Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan
kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya
mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut,
bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak
takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau
perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin
memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan
di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai
tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran
keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian
untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai
penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan
kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu
pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat
rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi
orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak.
Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita
itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu
banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat
indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi
orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya
ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu
dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh
negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan
memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti
dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali
seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi
lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan
gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan
kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan
kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan
mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster
raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara
muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat.
Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan
pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya
membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara
dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan
meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat
sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku
sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku.
Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang
putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada
putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat
besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang
melanda negeri kita sekarang ini?" ***
19."Ayat-ayat
Cinta"
Film
Ayat-Ayat Cinta meledak.
“Film ini diramalkan bisa mencapai 7 juta penonton,”kata seorang pengamat.
“jauh melangkahi prestasi film Indonesia lain, termasuk mengalahkan sukses Naga
Bonar. Tapi angka itu masih terlalu kecil kalau diingat penduduk Indonesia
sekarang yang katakanlah sudah 220 juta.”
“Jadi?”
“Jadi jumlah penontonnya belum perlu dirayakan. Yang perlu dirayakan adalah
bahwa Ayat-Ayat Cinta sudah membuat orang yang tidak pernah menonton film jadi
nonton film!”
“Bagaimana pula itu?”
“Lihat saja siapa penontonnya. Mereka bukan penonton yang biasa nonton
film-film setan dan hantu itu. Mereka adalah lapisan penonton baru, orang-orang
yang ingin menikmati pesan dan moralitas yang hendak disampaikanoleh film itu,
walau pun banyak yang kecewa karena novelnya konon lebih asyik!”
“Begitu ya?”
“Begitulah komentar yang pernah aku dengar dari para wanita yang beberapa kali
baca novel itu, tetapi jugta sudah beberapa kali menonton filmnya.”
“Memang apa yang baik dibaca, tidak selamanya baik ditonton. Apalagi banyak
kendala dalam pembuatannya. Kendala waktu, biaya, lokasi, seperti yang diakui
oleh pembuatnya.”
“Kemilau air sungai Nil yang begitu indah di buku tidak muncul. Kata-katanya
yang indah, niknat, sejuk, tidak keluar dalam gambar.”
“Itu mungkin karena bukunya keluar duluan. Apa yang datang belakangan selalu
terasa lebih jelek.”
“Tidak. Itu tidak betul. Meskipun bukunya keluar duluan, kalau lebih jelek akan
tetap lebih jelek. Kau jangan mengecilkan kecerdasan penonton. Mereka cukup
mampu untuk mengatakan bagus dan jelek. Para penonton kita sudah cerdas
sekarang. Mereka sudah lebih kritis. Mereka ingin yang terbaik.”
“Kebanyakan film yang diambil dari buku tidak lebih bagus dari bukunya sendiri.
Ya tidak?”
“Ya.”
“Nah, pendapat itu sendiri sudah mempengaruhi penonton. Semua orang akan
langsung mengopy itu, meskipun jelas ia melihat sendiri filmnya lebih yahud.”
“Tapi gua bukan jenis itu.”
“Kalau begitu apa yang keberatanmu terhadap film Ayat-Ayat Cinta?”
“Tidak suka saja.”
“Karena kamu lebih senang membaca dan mengikuti khayalanmu sendiri? Itu sama
dengan orang yang menikmati setan dan hantu lewat radio. Mereka lebih takut
dibandingkan dengan menyaksikan film hantu dan setan. Membayangkan sendiri itu
bisa tidak terbatas. Ah, itu kan masalah kejiwaan kamu sendiri, nggak bisa
dipakai ukuran menilai.”
“Lho aku juga tidak suka novelnya!’
“Apa?”
“Biar berjuta-juta orang memuja, biar puluhan kali cetak ulang, tapi aku bilang
novel itu tidak ada apa-apanya.”
“Gile lhu!”
“Gile apaa. Semua bilang itu novel hebat, makanya dibuat film. Coba kasih satu
alasan saja kenapa elhu tidak suka novel Ayat-Ayat Cinta! Apa?”
“Karena gua tidak doyan!”
“Kenapa? Lhu jangan sok menentang arus!”
“Bukan sok. Memang nggak doyan aja. Bukan mau menentang arus. Apa salahnya
nggak demen?”
Mereka berpandangan.
“Gua nggak ngerti! Okelah ada yang bilang filmnya tidak sebagus novelnya, tapi
menurut gue, novelnya bagus dan filmnya juga bagus! Medianya lain, tak bisa
dibandingkan!”
‘Terserah!”
“Lho jangan terserah, kita lagi diskusi ini!”
“Memang! Kita sedang diskusi!”
“Makanya kasih alasan dong! Kamu tidak bisa bilang tidak suka, tanpa alasan!”
“Kenapa tidak?”
“Ya itu dia yang namanya diskusi, elhu mesti beri alasan kalau elhu punya opini
Jangan-jangan alasan elhu salah, gua bisa benerin sekarang! Itu baru diskusi.”
“Soal selera tidak bisa didiskusi kan.”
“Bukan soal selera! Lagu keroncong memang bukan lagu jazz, tapi kita bisa
bandingkan mana di antaranya lebih baik menurut jenisnya. Mesti pakai otak
dalam menilai!”
“Aku tidak menilai pakai otak tapi rasa!”
“Apalagi rasa!”
“Maksud lhu?”
“Perasaan lhu itu pasti ada sebab-sebabnya. Kalau tidak ada sebbnya, kamu tidak
bakalan punya rasa. Orang bilang bir itu manis, karena dia sudah biasa minum.
Bagi gua bir itu rasa kencing kuda. Jadi rasa tidak begitu saja ada, tetapi
didorong kebiasaan. Nah elhu bilang film Ayat-Ayat cinta dan novelnya jelek,
kenapa?”
Yang ditanya tidak menjawab.
“Jawab dong. Ntar lagi pintu biokop 4 dibuka, gua mau nonton Ayat-Ayat Cinta.
Untuk kelima kalinya!”
“Kelima?”
“Yes! Bahkan besok untuk keenam kalinya, sebab aku diajak oleh bekas pacarku!”
“Gila! Bekas pacarmu? Mau rujuk?”
“Nggaklah. Doi juga ikutan. Kita ini kan generasi X yang tidak perlu musuhan
sama mantan. Biasa-biasa saja. Tapi kenapa lhu nggak suka sama novel dan film
Ayat-Ayat Cinta? Kasih satu alasan saja. Kalau tidak bisa satu, setengah
okelah! Gua penasaran! Kenapa? Kapan lhu baca? Di mana lhu nonton?”
“Gua belum pernah baca dan belum pernah nonton!”
“Sialan! Lhu memang ‘indonesia’ banget!”
20."Gagasan"
POHON jambu bol yang ditanam Gun itu
berusia 100 tahun. Pada ulang tahunnya, sahabat-sahabatnya datang berkunjung
untuk menyatakan rasa syukur. Yang mengherankan Gun juga hadir.
Pohon jambu itu menegur.
"Lho, empat puluh tahun lalu, pada ulang tahunmu yang ke-60, kamu bilang
kamu tak akan bisa hadir hari ini, ternyata kamu di sini sekarang."
Gun, waktu itu sudah memutih rambut dan jenggotnya, mengangguk lalu menjawab.
Sebagaimana biasanya dingin, gagap dan muram.
"Aku juga heran. Ternyata aku sudah di sini. Tapi bukan untuk mengucapkan
selamat ulang tahun. Sebab menjadi tua bukan sebuah prestasi yang bisa
dibanggakan, karena kalau orang duduk saja menunggu dia juga akan menjadi tua
dengan sendirinya."
Pohon jambu itu agak tersinggung.
"Siapa
yang sudah menunggu? Aku tidak pernah duduk. Aku selalu berdiri, tumbuh dan
melawan musim kemarau yang panjang. Melawan badai dan petir yang kurang ajar
mau melalap apa saja, karena mereka tak pernah mengenal pengertian sahabat atau
solidaritas. Mereka tak mendirikan partai atau bikin ideologi di mana aku bisa
berlindung."
"Pernah ada yang memasang penangkal petir di tubuhku, tapi dia mati waktu memasangnya.
Aku tidak mudah mencapai usia satu abad yang relatif singkat buat sebuah pohon.
Aku juga masih harus melawan orang-orang yang mau menebang ketika usiaku masih
sangat kecil, karena mereka memerlukan tanah tempatku berpijak ini untuk
dijadikan pasar swalayan. Untung ada hantu yang waktu itu indekos di sini, dia
marah lalu mencekik bangsat itu.
Sekarang orang itu sudah ikut jadi hantu. Untuk beberapa lama aku ditakuti
karena dianggap angker."
"Sempat aku jadi selebriti dan dimuat di berbagai koran ditayangkan di
setiap layar televisi karena aku dianggap punya kekuatan gaib. Media massa dan
para intelektual itu memang tidak punya kerjaan, mereka tak pernah mencangkul
di sawah, mereka menghabiskan waktunya untuk menganalisis pohon."
"Sebenarnya mereka memanfaatkanku. Aku yang capek mengadakan perlawanan, mereka
yang menikmati hasilnya. Tapi buatku aku enak saja. Toh aku jadi primadona.
Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang ajar dan
meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk menjual alat untuk
memperbesar kemaluan."
''Masak di kepala selebriti ada papan reklame untuk memperbesar kemaluan. Aku
menjadi bahan tertawa dan ejekan meskipun memang terkenal. Kamu boleh tidak
percaya, tapi sampai sekarang papan itu masih melekat di kepalaku, tertutup
oleh daundaun, karena rasa malu itu sudah menyatu dengan badanku."
"Nah, kamu mengerti sekarang, aku sudah bertahan hidup sambil terus
menghirup rasa malu itu. Apa kamu bisa membayangkan seratus tahun dengan rasa
malu setiap hari. Dan kau seenaknya mengatakan bahwa usia tua akan datang juga
meskipun berpangku tangan. Siapa yang sudah berpangku tangan? Kamu?
Aku menderita luka di dalam batin selama seratus tahun, hanya untuk sebuah
perayaan semacam ini, dan kamu tiba-tiba menyeruak dan kurang ajar mendemo aku,
menuding bahwa aku sudah tua sambil duduk-duduk. Kurang ajar kamu
Gunawan!"
Gunawan mengangguk.
"Terima kasih. Aku memang kurang ajar. Meskipun karena terpaksa."
Pohon itu tercengang.
"Kelihatannya kamu tidak mengerti apa yang aku bilang!"
"Buat apa aku mengerti," jawab Gunawan.
"Kalau begitu buat apa kamu datang ke mari?"
Gunawan melihat ke arah pohon yang rindang dan berbuah lebat itu.
"Itulah yang ingin aku ketahui, kenapa aku datang sekarang.
Bagaimana kamu bisa hidup seratus tahun dengan rasa malu itu."
"Kau bertanya?"
"Aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada diriku sendiri."
"Aku bisa membantu menjawab, supaya kamu tidak usah pulang dengan
terheran-heran."
"Tapi aku tidak perlu jawabanmu. Aku perlu jawabanku sendiri."
Pohon jambu bol itu penasaran.
"Sombong betul kamu! Baik. Kalau begitu sekarang aku yang tanya.
Apa jawabanmu?"
Gunawan diam.
"Kenapa kamu diam. Atau kamu belum ketemu jawabanmu?"
"Tadi belum. Sekarang setelah kamu menuduhku tidak tahu apa jawabannya,
aku sudah ketemu. Mungkin sudah ketemu."
"Apa?"
Gunawan melihat kepada pohon itu. Pohon yang 100 tahun lalu dimasukkannya ke
dalam tanah dengan harapan akan berusia berabad-abad, sekarang baru satu abad
kelihatannya sudah payah.
"Aku akan menjawab, tapi kamu berani bayar berapa?"
Pohon jambu bol itu terkejut.
"Berengsek, kalau kamu mau jualan bukan di sini tempatnya. Pergi ke kota,
daerah Glodok atau ke Gedung MPR!"
Gunawan menjawab tenang.
"Aku baru saja dari sana."
"Kalau begitu ngapain kamu datang ke mari? Apa kamu tidak laku di situ?"
"Ya."
Pohon jambu bol itu tiba-tiba tertawa. Buahnya yang lebat berjatuhan ke tanah.
Para tamu yang menjejali halaman, kontan berdiri dan berebutan mengambil
jatuhan jambu. Gunawan iuga ikut mengambil. Sebenarnya bukan karena ia takut
tidak kebagian, tapi karena jambu itu sudah menghantam kepalanya dan mengotori jenggotnya.
Ia mengendus jambu itu, lalu membelahnya.
Nampak seekor ulat menggeliat-geliat di dalam jambu itu.
Gunawan mengacungkan jambu itu ke arah pohon.
"Setiap buah yang kamu hasilkan menjadi jambu yang dibawa oleh pertapa
yang sudah dihina oleh Parikesit yang menyamar masuk istana sebagai pendeta. Di
dalam setiap buah yang kamu produksi ini ada naga Taksaka yang akan membunuh
generasi penerus Pandawa."
Pohon jambu bol itu berhenti tertawa.
"Aku tidak mengerti mitologi India. Aku tidak membaca Mahabharata."
"Itu salah kamu. Kamu pikir usia panjang saja cukup?"
"Ya dong. Buat sebuah pohon, usia panjang sudah cukup. Dengan usia
panjang, tubuhku akan semakin kuat. Akar-akarku akan semakin menancap.
Cabang-cabang dan daunku akan semakin lebat. Apa yang lebih baik dari usia
panjang, pengalaman banyak. Dengan usia panjang aku melihat, mendengar dan
mengalami lebih banyak. Aku bukan manusia, aku tidak harus berkarya seperti
kamu. Satu-satunya tugasku adalah bikin anak, menyebarkan keturunan dan mempertahankan
kekuasaan. Dan itu sudah kulakukan dengan catatan hebat sebagai penghancur
konsep Keluarga Berencana yang sudah jadi idiologi dan status sosial itu!"
Gunawan nampak bersiap-siap hendak pergi.
"He mau ke mana kamu?"
"Aku mau pulang, sebab ternpatku bukan di sini. Aku punya anak dan istri.
Aku juga punya cita-cita.
Lebih daripada itu, aku sudah mati. Manusia tidak ada gunanya hidup sampai
seratus tahun. Pablo Picasso mati dalam usia 90 tahun."
"Jadi kamu sudah mati?"
"Gagasan-gagasanku tidak pemah mati."
"Maksudmu aku?"
Gunawan memandang pohon itu.
"Kau bukan gagasan."
"Sialan. Kamu pikir aku ini apa?"
"Kamu pohon. Pohon jambu bol yang berusia 100 tahun. Mungkin akan bisa
sampai 200 tahun, kalau kamu hati-hati dan bemasib baik atau setidak-tidaknya
dilupakan takdir. Tapi hampir pasti akan ada saja yang akan mengakhiri hidup
kamu. Sebab kamu sudah menjadi terlalu besar. Kebesaran sulit dihindarkan dari
banyak dosa."
"Tapi aku pohon yang sudah ditanam oleh tangan kamu sendiri, Gun!"
"Persis. Jadi jelas kamu hanya pohon, bukan gagasan. Mungkin sebentar lagi
semua tamu-tamu yang datang ini akan mati karena dipatuk oleh naga
Taksaka!"
"Kamu bohong!"
"Aku tidak bohong, tapi mungkin aku salah."
Gunawan kemudian melangkah pergi.
"He penyair, tunggu!"
Gunawan menoleh.
"Aku bukan penyair, sudah lama aku tidak menulis sajak."
"Oke siapa pun kamu, budayawan, politikus, pemikir, reformis, pejuang hak
asasi manusia, pelopor demokrasi, CIA, nabi atau manusia hipokrit, kamu tidak
berhak pergi begitu saja setelah bikin Catatan Pinggir!"
"Kamu harus ingat, aku telah mati. Tidak ada manusia yang bisa hidup produktif
lewat usia 90. Aku bukan pohon seperti kamu!"
"Itu dia. Karena kamu bukan pohon, kamu bisa hidup meskipun sudah mati.
Sekarang aku tahu, itu sebabnya kamu bisa datang ke mari.
Kamu ternyata bukan manusia!"
Gunawan tak menjawab. Seperti Johny Goedel dia mengulang pernyataan pohon itu.
"Jadi aku bukan manusia?"
"Bukan."
"Lalu apa?"
"Apa?"
"Sebuah gagasan."
“Ini
bukan hanya masalah tari pendet. Bukan hanya masalah orang Bali. Ini harga diri
kita sebagai bangsa. Kita tersinggung! Pulau direbut, hutan dicuri, TKI disiksa
bahkan ada yang mati. Warisan budaya, tarian, bahkan masakan diklaim sebagai
milik mereka. Ini sudah melanggar hukum. Satu kali oke, kedua kali masih oke,
tapi kalau sudah berkali-kali namanya menantang. Kalau dibiarkan nanti jadi
kebiasaan. Kita bisa dianggap bangsa kelas dua yang boleh diremehkan. Tidak!
Kita harus marah! Apa mau mereka memanas-manaskan tungku yang sudah mendidih?
Mentang-mentang kaya! Sakit hati karena pernah kita ganyang? Oke sekarang kita
juga sakit hati. Dan berkali-kali! Kepala sudah beku karena coba
dididingin-dinginkan. Kita tidak tahan lagi, kita harus ganyang!”.
“Sabar!”
potong Amat menghentikan latihan pidato Ami, sebagai reaksi iklan parawisata
Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian warisan budayanya.
“Sabar?”
“Tenang!
Kita harus menyikapi semuanya dengan bijak.”
“Bapak
masih mau bijak padahal sudah habis-habisan dibajak?”
“Ya,
tapi coba lihat dari segi positipnya. Itu kan hanya iklan. Katanya yang buat
bukan orang setempat tapi dibuatkan oleh apa itu namanya, Discovery Channel?”
“Siapa
pun yang membuat, tapi itu kan dipakai sebagai promosi negara? Negara mesti
bertanggungjawab. Kecuali kalau negara menganggap perbuatan mengklaim punya
negara lain itu bukan kejahatan. Itu namanya negara pencuri!”
“Stttttt
! Tenang Ami. Jangan cepat darah tinggi! Coba lihat segi positipnya!”
“Dalam
kriminalitas tidak ada yang positip!”
“Ada!
Dengerin! Justru itu bagus. Karena turis yang dipikat untuk pergi ke sana,
lama-lama akan tahu, tari pendet itu rumahnya bukan di situ, tapi di Bali.
Kalau mau nonton pendet, jangan ke situ, tapi ke Bali. Nah, jadi itu kan iklan
gratis buat kita? Promosinya dia yang bayar, manfatnya kita yang sikat!”
Ami
melotot.
“Bapak
sudah kena virus kapitalisme! Apa-apa selalu diukur dari kepentingan dagang.
Persetan dengan keuntungan! Parawisata tidak berarti kita menjual kehormatan!
Harga diri harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan! Bangsa yang
tidak punya harga diri lagi, adalah bangsa budak? Bangsa kelas kambing! Ekonomi
kita memang lagi berantakan, pamor kita juga sedang pudar, rakyat kita miskin
hanya makan tempe dan tahu, tapi tidak berarti kita akan diam saja kalau
diinjak. Sekarang baru tarian dan lagu, lama-lama kepala kita akan diambil.
Kita sudah merebut kemerdekaan dengan revolusi berdarah, bukan dihadiahkan
seperti mereka. Kita harus bertindak sebelum terlambat!!”
“Tapi
tari pendet kan sudah lama kurang ditarikan lagi, Ami. Untuk menyambut tamu,
sudah ada tari-tari baru yang diciptakan. Untung ada iklan itu yang membuat
kita jadi ingat kembali tari pendet. Kita harus bisa mengambil hikmahnya. Kalau
tidak ada klaim Malysia atas tari pendet itu, kita mungkin lama-lama sudah
lupa!”
Ami
bengong,. Ia melihat bapaknya seperti melihat hantu.. Hanya matanya yang
memancarkan amarah yang sudah tidak tertahankan. Kemudian tanpa menjawab
sepatah, pun, dia langsung pergi. Sampai malam, ia belum kembali. Hanya
pesannya di atas secarik kertas muncul, diantar oleh temannya.
“Ami
nginap di rumah teman!”
Bu
Amat kontan melabrak suaminya.
“Ini
gara-gara Bapak!”
“Gara-gara
aku?”
“Ya!
Bapak salah!”
“Salahku
apa?”
“Bapak
melarang Ami marah sama Malaysia!”
“Aku
tidak melarang, tapi ..
“Tapi
melarang!”
“Memang.
Karena ngomongnya sudah tidak karuan. Boleh marah, tapi jangan sampai
memaki-maki begitu!”
“Kenapa
tidak. Kan sudah berapa kali kita dihina. Berapa TKW yang sudah babak belur
bahkan mati. Masak diam saja. Betul, kata Ami, sekarang baru tari-tarian, kalau
kita diam saja, nanti kepala kita akan diambil!”
“Jangan
melebih-lebihkan begitu. Lagipula kita kan punya tetangga yang mantunya orang
Malaysia. Kalau mereka dengar, anak kita marah-marah sama Malaysia, bisa-bisa
mantunya tersinggung.”
“Memang
itu maksud Ami! Makanya dia latihan pidato keras-keras di rumah. Biar mereka
dengar hati kita panas!”
“Tapi
nanti kita malah berantem dengan tetangga.”
“Biarin!
Lebih baik berantem sekarang, daripada nanti kalau sudah dendamnya makin
banyak!”
“Kalau
begitu namanya tidak bijaksana.”
“Ngapaian
bijak, kalau kita diinjak-injak. Bijak, sopan dan santun itu ada batasnya.
Kalau tidak, sama juga dengan budak. Apa kita ini budak?”
Amat
terdiam.
“Sana
jemput Ami dan minta maaf!”
Karena
Bu Amat begitu serius, Amat menyerah. Dengan menekan perasaan, dia pinjam
sepeda tetangga dan menjemput Ami.
“Ami,
Bapak disuruh minta maaf oleh Ibu kamu dan harap pulang. Tidak baik anak
perawan sebesar kamu nginap di rumah orang.”
Ami
mengangguk.
“Bapak
tidap perlu minta maaf.”
“Bapak
minta maaf dan pulanglah.”
“Tidak.
Bapak tidak usah minta maaf. Umpama seorang presiden dalam sebuah negara, Bapak
tidak boleh cepat marah kepada negara tetangga, meskipun jelas negara itu sudah
mengekspor kejahatan ke tempat kita. Karena kalau presiden marah, bisa terjadi
perang. Tapi harus ada yang marah, untuk mencegah jangan sampai kejahatan itu
berubah menjadi kebiasaan. Itu sebabnya Ami marah. Meskipun Ami punya banyak
teman-teman di Malaysia yang akan kaget karena Ami marah. Tapi kepentringan Ami
tidak ada artinya dengan kepentingan negara. Jadi Ami harus marah. Bapak memang
sudah sepantasnya bersikap bijak, karena tetangga kita mantunya Malaysia, jadi
kita harus menghormatinya, karena kita adalah bangsa yang santun. Kita bukan
bangsa penjahat!”
Amat
tertegun.
“Jadi
kamu mengerti, mengapa Bapak bersikap bijak?”
“Mengerti
sekali. Bapak tidak boleh ikut marah. Nanti kita bisa berkelahi dengan
tetangga. Cukup Ami saja yang marah! Ini masalah strategi!”
Amat
manggut-manggut.
“Bagus.
Kalau begitu kamu dewasa Ami. Bapak bangga sekali. Sekarang mari kita pulang.”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena
Ami marah. Kalau Ami pulang, mantu tetangga kita, orang Malaysia itu akan tidak
percaya bahwa kelakuan negaranya sudah membuat harga diri bangsa kita
tersimnggung. Ini bukan hanya masalah tari pendet, bukan hanya masalah orang
Bali, tapi harga diri bangsa Indonesia!”
“Tapi
bagaimana kalau dia tidak peduli?”
“Itu
dia! Memang mereka tidak pernah peduli! Mereka selalu menganggap persoalan kita
adalah persoalan sepele. Itulah yang membuat Ami darah tinggi!”kata Ami sambil
menutup pintu keras-keras.
Jakarta
23-8-09
22."Rendra"
“Kebudayaan
Jawa adalah kebudayan kasur tua!” kata Rendra dengan tandas dalam sebuah
diskusi di Yoga pada akhir tahun 60-an, kata seorang budayawan yang diwawancari
di televisi itu.
“Banyak
orang tersinggung dan kaget. Itu bukan saja terlalu berani tetapi juga
kurangajar. Kebudayaan Jawa yang tinggi, berciri kontemplasi dan melahirkan
monumen yang mencengangkan dunia seperti Borobudur, Prambananan, buku Nagara
Kertagama, Arjuna Wiwaha dan sebagainya itu, bagaimana mungkin hanya sebuah
kasur tua?”
“Burung
merak dari Solo yang lahir pada 1935 itu kemudian dianggap sebagai orang gila
yang besar mulut. Mentang-mentang baru pulang dari Amerika, tak seenak perutnya
ia bisa menilai jawa yang begitu dihormati oleh semua orang.”
“Apakah
itu yang kemudian menyebabkan Rendra, penyair Ballada Orang-Orang Tercinta itu
kemudian diusir dari Yogya ke Jakarta? Tidak. Sama sekali tidak. Ia justru
mengeluarkan seruan yang mengejek para seniman yang sudah ramai-ramai hijrah ke
Jakarta, mengejar nama dan duit. Ia berseru, berjanji, mirip sebuah sumpah, ia
akan terus bertahan di Yogya. Menampik budaya kota, hidup dekat dengan
lingkunganserta alam. Dan hadir untuk menunjukkan eksistensi pedalaman.”
‘Tetapi
kenapa bidan Bengkel Teater yang tersohor karena ciptaannya yang bernama teater
mini-kata itu, tiba-tiba kemudian boyongan ke Jakarta. Ia menghuni sebuah
kawasan luas di pinggiran kota Depok. Dalam sebuah wilayah lengkap dengan sawah
serta kolam. Bahkan memiliki sebuah pemakaman keluarga yang juga terbuka bagi
para seniman. Di situ terbaring maestro piñata artistik Rujito dan miskus yang
melejit tiba-tiba menjadi sebuah legenda, si maniak kopi, Si tak
gendong-gendong: Mbah Surip Karena ia mengambil tafsir baru.
Mempertahankan
tradisi itu, bukan kulitnya, tapi isinya. Hidup di kota pun penting, asal
jiwanya tetap jiwa yang alami. Bahkan itu perlu bagi orang kota yang sudah
habis-habisan terkena polusi. Ia ke Jakarta untuk menyelamatkan Jakarta!”
“Mas
Willy, begitu panggilan akrabnya, tidak kemudian menjadi manusia terkutuk yang
dikeluarkan oleh orang yang merasa dirinya orang jawa. Ia bahkan mendapat
kemulyaan di malam purnama yang indah, malam Jum’at, menjelang bulan Ramadhan.
Dan kepergiannya dihadiri oleh ribuan orang yang mengalir memadati seluruh
pelataran kawasan Bengkel Teater sehingga membuat jalanan pun macat.”
“Kenapa?
Karena ternyata di balik kata-katanya yang pedas, yang membuat telinga merah,
di balik apa yang dimaksudkannya dengan kebudayaan kasur tua, tersimpan niat
yang mulia. Dia ingin membebaskan tradisi dari virus-virus jahat, yang dalam
perjalanannya menembus zaman sudah dititipkan oleh kekuasaan dan tangan-tangan
jahil. Ia ingin membebaskan tradisi dari asesoris dan muatan temporer yang
membuat tradisi menjadi beban berat dan menyiksa bahkan melukai para pewaris.
Ia ingin mencuci kembali tradisi, sehingga esensinya, rohnya
yang bernama kearifan lokal bersinar kembali dengan gemilang!”
“Si
Burung Meraklah yang kemudian memberi tafsir baru terhadap apa yang disebut
nrimo, pasrah, gotong-royong dan sebagainya yang sudah diselewengkan menjadi
tempat menyembunyikan kemalasan alias didaur-ulang. Dengan memberikan tafsir
baru, ia membuat seluruh kebijakan, ilmu hidup yang diturunkan oleh tradisi
Jawa menjadi dinamis, alias tidak melempem. Ia membuat tradisi Jawa tidak lagi
kolot, melempem, tetapi bernas, aktual dan menyelamatkan para pewarisnya dari
benturan-benturan zaman.”
Amat
terkejut. Ia memandang orang yang bicara di di layer kaca itu dengan mata tak
berkedip. Tak sabar. Ia kemudian mencecer.
“Maksud
Bapak, mas Willy sudah membuat kebudayaan jawa kembali pada kearifan lokalnya?”
“Persis!”
“Almarhum membuat kebudyaan jawa menjadi dinamis?”
“Betul Pak Amat.”
“Seperti desa-kala-patra bagi orang Bali?”
“Itu maksud saya! Seratus untuk pak Amat!”
Amat terpekik.
“Yes!”
Tak puas hanya memekik, Amt kemudian menggebrak meja.
“Betul! Makanya dia dinamakan Burung Merak!”
Bu Amat bergegas datang.
“Sabar
Pak, sabar. Telat satu menit saja sudah main pukul meja!” kata Bu Amat
meletakkan kopi yang dipesan suaminya. “Jangan suka marah, main drama seperti
pemain-pemain sioentron itu. Yang wajar-wajar saja.”
Amat
memegang tangan istrinya yang mau kembali ke dapur, sambil menunjuk ke
televisi.
“Lihat
Bu, begitu banyak orang datang dalam pemakaman mas Rendra. Dia itu pantas
mendapat bintang Maha Putra!”
“Betul,
dengan semua perbuatan, tindakan serta pemikirannya, Mas Willy adalah orang
yang mengajarkan kepada kita untuk bersikap berani melawan, “kara wajah di
televisi itu lagi.melanjutkan, “dia memberikan toladan untuk berani
mengemukakan pendapat, bersikap kritis kepada penguasa yang sudha bertindak
sewenang-wenang, karena tidak mengoyomi rakyat dan memikirkan kesejahteraan
bangsa, tetapi menumpuk keuntungan untuk dirinya sendiri. Mas Rendra mengajak
kita untuk berani berkata jujur. Ia seorang pahlawan!”
Bu
Amat nyeletuk.
“Kalau
dia memang pahlawan, kenapa tidak dimakamkan di makam pahlawan?”
“Makam Pahlawan? Dia tidak akan mau!”
“Kenapa?”
“Karena dia tidak mau terikat oleh kehormatan. Dia pasti lebih senang
lepas-bebas di dalam masyarakat, sehingga bisa bergaul dengan semua orang.”
“Itu
kan kata Bapak!”
Bu
Amat kemudian ngeloyor kembali ke dapur. Amat tercengang.
“Ya
itu kataku. Itu memang kataku. Aku berkata untuk almarhum, sebab dia sudah
tidak mampu lagi berkata. Apa salahnya kita menafsirkan apa yang akan
dikatakannya, setelah orangnya tidak ada? Apa salahnya akuyang akan mengatakan
apa yang hendak dikatakan oleh Michael Jackson, Mbah Surip dan Mas Rendra. Kita
harus mengungkapkan apa yang tidak bisa lagi dikatakannya. Betul tidak?’ tanya
Amat kemudian kepada Ami ketika Ami kembali dari kampus.
Ami mengangguk acuh tak acuh.
“Itu
namanya penafsiran, Pak.”
“Memang.
Kita kan harus menafsirkan apa yang sudah dilakukan dan diperbuat oleh
almarhum, karena almarhum sendiri sudah tidak sanggup berkata? Orang-orang yang
berbicara di televisi itu semua begitu, ketika mengomentari Mbah Surip dan mas
Willy. Kita harus memberikan tafsir! Masak tidak boleh?”
“Siapa
yang melarang?”
“Ibumu!”
“Apa salah Ibu melarang?”
“Karena Bapakmu tidak mau ada orang berkata lain!” damprat Bu Amat yang muncul
kembali sambil membawa pisang goreng.
“Katanya Mas Rendra yang meninggal itu seorang Empu yang mengajarkan
murid-muridnya untuk memberi tafsir baru. Kenapa kalau Ibu memberi tafsir baru
pada tafsirnya, dilarang?”
“Yes!” teriak Ami tiba-tiba.
“Itu artinya dia orang besar. Orang besar kalau meninggal selalu membuat kita
yang ditinggalkannya berpikir. Bertengkar juga berpikir. Jadi Jacko, Mbah Surip
dan Mas Rendra itu memang orang hebat. Titik. Ayo sekarang ganti channel
tv-nya. Itu ada tembak-menembak dengan teroris yang diduga Nurdin Top! Bukan
maunya orang besar saja yang harus diperhatikan, mauku juga!”
Jakarta
7 Agustus
23."BOM"
Giliran
Amat menangis di depan televisi. Ia meratapi korban terorisme yang sudah
meledakkan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Hotel, di Jakarta. Pagi 17
Juli yang tenang dan indah sejak berlangsungnya Pemilu 09 yang damai dan
mendapat banyak pujian dari mancanegara, kontan buyar.
Pasar
modal tertegun walau pun tak sampai guncang. Presiden SBY yang memberikan
pidatonya pun sempat terdiam, bagai menahan kepedihan untuk tidak menangis,
mengingat ekonomi yang sudah membaik dan kedamaian yang mulai tumbuh menjadi
rontok. Bahkan klab sepakbola Manchester United yang direncanakan datang hari
Sabtu dan menginap di hotel yang terkena bom, membatalkan laganya dengan PSSI
All Star.
“Aku
heran masih ada saja orang yang menginginkan negeri kita ini kacau,”kata Amat
kepada para tetangga yang bergunjing di tepi jalan.”Aku heran ada orang yang
tega membunuh manusia lain dengan tanpa peduli. Bukan hanya sembilan nyawa yang
sudah jadi korban, seperti yang aku dengar di televisi, tetapi ribuan bahkan
jutaan. Orang-orang itu punya anak, istri, keluarga, famili dan negara. Aku
yang jauh dari Jakarta dan tidak kenal kepada korban, merasa ikut kehilangan,
karena kematian itu berarti juga kematian perdamaian, ancaman langsung kepada
nyawa kita!”
Para
tetangga manggut-manggut. Seorang pemuda menjawab.
“Itulah
politik, Pak Amat.”
“Politik?”
“Ya.
Apa yang terjadi tidak bisa dilihat dari apa yang kejadian di depam mata kita
saja, Pak Amat. Harus dihubungkan dengan sebab musababnya yang paling jauh dan
tujuannya yang paling jauh. Dan mungkin sekali bagi orang yang kurang
pengetahuan seperti kita, hubungan itu sama sekali tidak ada. Bukan karena tak
ada, tapi karena kita sudah tidak mampu merasakan, karena tidak melihatnya.”
Amat
terkejut.
“Maksudnya?”
“Ya
sudah saya katakana tadi, ini politik.”
Amat
penasaran. Dia mulai marah.
“Artinya
apa kalau itu politik?”
“Tidak
perlu ada artinya. Ini hanya untuk mengingatkan orang untuk kembali kepada apa
yang sudah dilupakan!”
“Apa
yang sudah dilupakan?”
“Keadilan
dan kebenaran.”
“Keadilan
siapa? Kebenaran siapa?”
“Keadilan
dan kebenaran mereka yang dilupakan!”
“Dengan
cara menempuh jalan yang tidak adil dan tidak benar?”
“Bukan
jalannya yang harus dinilai, tapi tujuannya Pak Amat!”
“Itu
namanya menghalalkan segala cara!”
“Itu
kan kata Pak Amat.”
“Jadi
Anda setuju hotel Marriot dan yang satu lagi itu di bom? Anda sutuju Bali dua
kali dibom?”
Mata
Amat berapi-api. Orang itu tidak menjawab. Dia buru-buru pergi.
“Teroris!”
umpat Amat. “Anarkhis!”
Tangan
Bu Amat lalu membelai pundak Amat.
“Sudah
Pak, jangan terlalu dijiwai nanti bludreknya kumat!”
Amat
menarik nafas panjang.
“Aku
heran, kenapa orang bisa dicuci otaknya sampai segalanya menjadi
terbalik-balik. Masak dia menyuruh kita melupakan bom yang membunuh orang ini,
lalu melihat sebab awalnya yang tidak kita tahu, lalu memikirkan tujuan
akhirnya yang kita juga tidak tahu. Jangan-jangan dia sendiri juga tidak tahu!”
“Ya
namanya juga otaknya sudah dicuci!”
“Gudang
dicuci memang bisa kosong. Pakaian dicuci pemutih juga bisa kehilangan warna.
Tapi masak manusia yang sudah diisi oleh pendidikan, susila, budi pekerti
bahkan agama, bisa dicuci? Sebersih-bersihnya dicuci pasti nuraninya masih ada!
Kecuali memang orangnya sakit!”
“Ya
itu dia. Makanya mereka milih-milih siapa yang harus dicuci. Tak semua otak
bisa dicuci!”
“Tapi
ternyata sekarang semua orang bisa dicuci oltaknya, Bu! Bukan hanya yang buta
huruf saja, yang doktor pun bisa dicuci. Jadi kita memang sudah kehilangan
nurani. Kita semua sudah memasuki zaman kaliyuga! Kita semua sudah edhan!”
Bu
Amat menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memanggil Ami.
“Coba
tenangkan bapakmu Ami, pikirannya sudah ngelantur lagi.”
Ami
melirik bapaknya. Mata Amat masih terus tertancap ke layar kaca mengikuti
laporn sekitar Bom Marriott 2. Kadang-kadang dia ngomong sendiri.
“Ayolah
Ami, jangan biarkan bapakmu begitu!”
“Habis
Ami harus ngapain?”
“Ya
ajak bapakmu jangan melihat segala sesuatu dari buruknya saja, ambil segi
baiknya.”
Ami
terperanjat.
“Segi
baiknya? Apa ada segi baiknya dari tindakan terorisme membom hotel dan membunuh
orang yang tidak bersalah? Ibu kok jadi ikut-ikutan jadi korban cuci otak?!”
Sebaliknya
dari menemani bapaknya, Ami lalu masuk ke kamar mandi dan men yanyikan lagu
Slank dengan seenaknya
“Inikah
demokrasi, setiap orang boleh berbuat seenak perut sendiri …. . .. “
Bu
Amat tertegun.
Waktu
Bom Bali yang pertama dia sangat terguncang. Takut, ngeri, merasa terancam dan
berhari-hari tidak enak makan. Pada kejadian Bom Bali Kedua, ia memang masih
tertekan, tapi segalanya kemudian menjadi biasa. Setelah itu, mendengar cerita
bom dan terorisme di manap-mana, ia sama sekali tenang. Seakan-akan semuanya
itu memang bagian dari asesoris kehidupan politik.
Ketika
muncul berita Bom Marriot 2, ia sempat terdiam sebentar. Matanya menancap ke
televisi. Tapi kemudian ia tidak merasakan apa-apa lagi, karena banyak hal lain
yang masih harus diperhatikan. Kematian si Raja Pop Michael Jackson masih
hangat. Banyak peristiwa aneh di sekitar Pemilu 09 yang menyangkut para caleg
gagal, masih seru. Perhatiannya pada Bom Marriot 2 memang jadi kurang – untuk
tidak mengatakan sama sekali tidak ada.
Ia
tidak tahu mengapa ia menjadi seperti beku. Mungkin karena begitu banyak yang
sudah terjadi sejak menjelang reformasi. Penculikan. Orang hilang. Bencana
alam. Korupsi. Manusia makan mayat. Ibu membunuh anaknya. Anak dijual oleh
ibunya. Teror dan bom di mana-mana.
Dulu,
suami atau anaknya sakit saja ia sudah menangis. Mendengar orang menyanyikan
Indonesia Raya di saat pengibaran bendera pada upacara peringatan 17 Agustus,
ia bisa mengucurkan air mata.
“Hidup
semakin keras, manusia menjadi semakin tabah. Kalau tidak begitu, kita semua
akan kalah,”bisik Bu Amat menjawab pertanyaannya sendiri.
Tiba-tiba
terdengar Amat mengumpat di depan televisi.
“Kurang
ajar! Bangsat!!”
Sebuah
pikiran mendadak menukik ke dalam kepala Bu Amat. Ia terkejut dan jadi gemetar.
Benarkah ia menjadi lebih baik? Apa betul dengan menjadi lebih keras orang
bertambah kuat? Apakah air mata, tangis dan haru itu tanda kelemahan? Benarkah
berhenti menangis. membutakan mata kepada apa yang ada di sekeliling adalah
kiat untuk hidup selamat.
Bu
Amat terpesona. Ia cepat-cepat menilai kembali dirinya. Melihat di mana ia
sedang berdiri. Lalu ia melihat dirinya di atas sebuah bukit. Di puncak bukit
yang bergetar. Sebentar lagi ia akan melayang turun dan terhempas ke lembah
yang hgelap di sana.
“Kurang
ajar! Bangsat!” terdegar umpat Amat lebih keras.
Bu
Amat tersentak.
“Aduh,
jangan -jangan aku sendiri yang sudah kena cuci otak, karena menganggap semua
bom-bom itu sudah biasa,”bisik Bu Amat dengan terkejut.”Jangan-jangan aku yang
sudah dimatikan rasa oleh cuci otak itu!”
Perlahan-lahan
Bu Amat mendekati suaminya yang masih terus melotot di depan televisi. Ia
lupakan dulu curhat La Toya, kakak perempuan Michael Jackson yang merasa yakin
adiknya mati dibunuh. Ia lupakan dulu Bom Bali 1 dan 2 yang menelan ratusan
korban. Ia lupakan tsunami yang sudah melalap lebih dari seratus ribu manusia.
Ia hanya memandang ke satu titik. Layar kaca. Bom Marriott 2.
Bu
Amat melihat darah. Anggota badan manusia berserakan. Kepala, tangan, kaki,
semua terpisah dari tubuhnya. Isi perut terburai. Memang bukan 200 atau seratus
ribu, tapi hanya sembilan. Tapi itu darah dan isi perut yang sesungguhnya.
Ia
merasa darah dan isi perutnya sendiri yang terburai. Kepala, tangan dan kakinya
yang terputus dari badan. Begitu saja rasa ngeri, takut dan putus asa setrentak
menggebrak dan mematahkan seluruh benteng pertahanan yang sudah membuatnya
beku.
Tak
kuasa lagi menahan diri, Bu Amat menjerit.
“Tolooooongggggggggggg!”
Jakarta
17 Juli 09
Menjelang
jam 08, bom meledak di Hotel Marriott dan Ritz Carlton Hotel.
24."Pornography"
Jadi
begitulah. RUU PORNOGRAPHY lolos di DPR. Banyak orang bersedih.Tetapi yang lain
berpesta, seakan-akan segala kebejatan berhasildiberantas. Di rumah, anakku Ami
nampak kesakitan. Ia bahkan tak maupergi ke kampus padahal ada tentamen.
Aku
terpaksa menghibur.
“Beginilah
resikonya hidup dalam alam demokrasi Ami. Yang menangadalah yang lebih banyak,
meskipun belum tentu lebih bener. Jaditabahlah hadapi kenyataan.”
Ami
mengangguk. Tapi wajahnya tambah berat.
“Sudah
Ami, terima saja. Orang yang menang adalah orang yang beranimenerima kenyataan.
Kalau kamu bisa menerima kenyataan kalah ini, kamubukan pihak yang kalah.
Sedangkan orang yang menang suara, padahalbelum tentu mereka benar, apabila tak
belajar dari yang kalah, kenapakamu dan teman-teman kamu begitu menentang RUU
itu, mereka adalahorang yang kalah. Karena mereka hanya memikirkan kemenangan,
bukanmemikirkan keselamatan negeri dan seluruh rakyatnya yang 220 juta
jiwadengan panutan budaya yang berbeda-beda.”
Kepala
Ami semakin berat. Bahkan matanya nampak berkaca-kaca. Lalu airmatanya jatuh
berderai. Aku jadi cemas.
“Sudah
Ami. Kalau begini caranya kamu menerima kekalahan, sebentarlagi bukan air mata
kamu saja yang jatuh tetapi juga kepala kamu. Dankalau sampai kepala kamu
biarkan jatuh, artinya kamu tidak hidup lagidengan otak tetapi rasa
semata-mata. Perasaan itu baik, memang baik.Rasalah yeng menyelaraskan kita
sehingga kita bisa membangun harmoni.Tetapi keselarasan itu sendiri perlu
laras. Kalau tidak, rasa kamusendiri juga tidak laras.
Kamu
memerlukan kepalamu untuk mengarahkan,mengerem, meredam perasaan agar jangan
berkelebihan. Karena kehidupanini seperti gado-gado yang penuh dengan berbagai
bumbu dengan rasayang berbeda-beda. Kamu harus mencampur dengan cermat dan
menakarnyaawas. Kalau tidak hidupmu akan menjadi pedes, asin, pahit
ataukemanisan. Manis itu memang enak, tapi kalau berlebihan akan membuatmuak.
Sudah cukup! Seratus butir air mata sudah lebih dari cukup untukmeratapi
kemenangan RUU Porno ini, jangan ditambah-tambah lagi!”
Tapi
Ami justru menangis semakin pilu. Ia tersedu-sedu. Air matanyatidak lagi hanya
menetes, tetapi menyembur. Seluruh pipinya banjir.Bukan hanya itu.
Ingusnya ikut berleleran.
Aku
panik. Aku menarik handuk yang membelit di kepala dan meletakkandi tangan Ami.
Dengan handuk itu Ami mengusap air matanya. Tetapisemakin diusap, air mata itu
semakin membanjir.
“Waduh,
kalau begini caranya menghadapi kekalahan kamu akan semakinkalah dan mereka
yang sudah menang akan semakin menang. Jadisebenarnya bukan kebenaran kamu di
dalam menentang RUU itu yang kalah,tetapi kamu sendiri. Kamu sendiri sekarang
yang membunuh sendirikebenaran yang kamu perjuangkan itu. Karena walau pun
sekarangdinyatakan kalah, sesungguhnya kebenaran yang kamu perjuangkan
tidaksalah.
Karena
tanpa ada RUU Pornography pun sebenarnya kita sudah bisamemberantas
pornography, asal saja kita mau bertindak dan aparatpelaksana yang bertugas
untuk itu rajin, tegas, desiplin dan tidakangin-anginan atau kucing-kucingan
melakukannya, karena Undang UndangHukum Pidana, Undang-Undang Popok Pers,
Undang-Undang Penyiaran sudahmemberikan kita hak bahkan kewajiban untuk
memberantas kecabulan yangditontonkan arau diperjualbelikan di ruang publik.
Jadi Ami, kamusebenarnya tidak kalah, kamu hanya ditunda menang, tahu!”
Handuk
kecil itu tak mampu lagi menahan kucuran airdari mata Ami. Iaterpaksa
memerasnya seperti mengeringkan cucian. Aku terkejut.
“Aduh
Ami, ternyata kamu tidak bisa diajak berunding. Kemenangan itutidak harus
kelihatan. Kemenangan yang sebenarnya nampak sebagaikekalahan, sehingga orang
yang sebenarnya kalah tidak akan marah,tetapi malah gembira dan merasa bahwa
sebenarnya merekalah yang menangpadahal mereka itulah pecundangnya. Bayangkan!
Bayangkan!”Ami menutup mukanya dengan handuk. Aku rengutkan handuk itu.
“Kamu
ini sedang meratapi kekalahan atau sedang menikmati kekalahan?Ayo lihat
kenyataan. Dengerin! Lihat! Bagaimana mau memberantaskecabulan kalau memberikan
definisi saja gagap. Undang-undang iniseperti orang memberikan pisau tumpul
kepada seorang anak yang disuruhmembersihkan lemak dari daging-dagingnya. Dia
tidak akan mengiris, diaakan mencocok-cocok, lalu membanting, akhirnya dia
tidak bisa mengiristetapi mencacah dan kemudian menggigit sampai daging itu
remuk, karenamemang itulah tujuannya.
Hancur
luluh jadi satu! Mono kultur! Kalaudaging itu sudah remuk akan mudah untuk
digiling sebab dia memangbukannya mau mengiris daging tapi membuat bakso.
Makanya jangandilawan sekarang nanti dia tambah buas. Bisa-bisa kamu yang
dibakso.Biarkan saja, karena pisau itu sudah di tangannya. Baru kalau diagagal
nanti, kita beritahu pisaunya yang salah. Lagi pula lemak yangdipisahkan itu
bukan mau dibuang tetapi di tempatkan pada tempat yangsemestinya dan dibuat
supaya berguna. Karena tidak semua kolesterolitu jahat. Mengerti?”
Ami
mengangguk.
“Bagus,
kalau kamu mulai mengerti sekarang, dengar. Di balik setiapkegagalan selalu ada
janji. Dengan kekalahan ini kamu akan belajar,tidak cukup suara keras, tidak
cukup mata melotot, tetapi dalamberjuang harus memakai taktik dan strategi.
Mengalah juga adalahsebuah taktik dan sebuah strategi. Jadi terimalah kekalahan
inisebagai awal kemenangan yang baru.”
Ami
memandangku seperti bertanya.
“O
caranya? Caranya bagaimana mengubah kekalahan dengan kemenangan?Gampang.
Ikutlah rayakan kemenangan mereka ini dengan berteriak lebihkeras. Ganyang
kecabulan! Seret wanita-wanita yang bergoyangmempertontonkan tubuhnya lempar ke
penjara. Dera mereka yang menjualkecabulan. Masuki rumah penduduk semua,
bongkar laci dan almari,bahkan singkap sprei dan kasurnya, jangan-jangan mereka
menyimpanpornography.
Tak
hanya itu. Selidiki apa isi kepala orang. Tidak hanyayang kelihatan di ruang
publik, yang tersimpan dalam rumah pribadibahkan dalam ruang pikiran pun harus
diusut. Kalau ada yang cabul,setidak-tidaknya kita anggap cabul, seret, denda
milyardan danjebloskan ke penjara. Dan kalau ternyata orangnya adalah
pemimpin,apalagi pemuka, hukumannya sepuluh kali lipat!”Ami tiba-tiba berhenti
menangis.
“Jadi
dengan kata lain, Ami sayang, kita kacaukan kemenangan merekaAmi. Seperti yang
mereka usulkan. Sebagai anggota masyarakat kitaboleh ikut campur berpartisipasi
memberantas kebaculan. Dan karenabatasan cabul kebetulan kabur, spiel dan
flewksibel yang kita sebutkecabulan itu bukan saja ketelanjangan badan, juga
ketelanjanganrohani.
Kalau
ada orang berbuat semena-mena hanya untuk kepentinganpribadi, golongan dan
kaumnya sendiri tanpa mempedulikan kebhinekaanseperti yang dipesankan oleh pita
di kaki Burung Garuda Lambang negaraPanca Sila, maka orang itu adalah tokoh
pornograpghy yang juga bisadiseret, didenda dan dihukum. Mari kita balikkan
arah RUU Pornographyini bukan untuk menentang kebhinekaan tetapi
merayakan kebhinekaan.Jadi kita dukung RUU Pornography!”
Tiba-tiba
saja aku tertawa puas, seperti menemukan akhir yang indahdari pencarianku yang
sudah begitu panjang. Ya Tuhan aku temukan sudutterang di dalam kegelapan ini.
Kaum perempuan yangb selama ini sudahjadi korban dan bulan-bulanan mesti m
encari sendiri jalan terangnya.Dan aku dapatkan sekarang! Aku
habiskan semua semburan ketawaku.
Ajaib,
mata Ami pun berhenti meneteskan air. Mukanya mulai berseri.Lalu dia
mengangkat tangan mengajakku tos. Dengan gembira akumenyambut hangat
kebangkitan anakku tepat pada peringatan 80 tahunSumpah pemuda dan 100 tahun
kebangkitan nasional.
Terimakasih
Mama, bisik Ami sembari kemudian memeluk dan menciumku.
“Terimakasih,
Mama sudah membantu melewatkan sakit perut Ami karenadatang bulan.”
25."mmk"
SEORANG
anak bertanya kepada neneknya:
"Nenek,...
itu apa?"
Perempuan
tua itu ternganga. Sebelum dia sempat membuka mulut, pertanyaan itu berkembang.
"Nenek
punya... tidak?"
Orang
tua itu kontan shock. Tetapi cucunya terus juga bertanya.
"Sekarang
Nenek punya berapa ...?"
Karena
tak kuat menahan kekurangajaran itu, nenek itu langsung pergi meninggalkan
cucunya. Ia mengungsi ke rumah tetangga.
Ketika
anak dan menantunya pulang, ia langsung melapor sambil menangis.
"Anakmu
kurang ajar. Pengaruh film, televisi, pergaulan bebas, dan narkoba sudah
membuat dia bejat. Ajari anakmu moral, jangan hanya dikasih duit! Mau jadi apa
dia nanti kalau sudah besar? Setan?"
Menantu
nenek, ibu anak itu langsung mencari anaknya. Tanpa bertanya lagi anak itu
langsung diberinya hukuman.
"Kamu
sudah kurang ajar kepada nenek, mulai sekarang duit uang makan kamu dikurangi,
sampai moral kamu lebih baik. Kamu harus belajar menghormati orang tua. Orang
tua itu adalah asal muasal dan cikal bakal kamu, kamu sama sekali tidak boleh
membuat orang tua marah. Sekali lagi kamu kurang ajar, ibu kirim kamu ke desa!
Tidak usah membela diri!"
Anak
itu tidak berani menjawab. Tetapi ketika keadaan menjadi lebih tenang, dia
menghampiri bapaknya, lalu kembali menanyakan
pertanyaan
yang belum terjawab itu.
"Pak,
-- itu apa?"
Bapak
anak itu terkejut. Cangklong yang sedang diisapnya sampai terlepas. Tetapi ia
mencoba tenang, lalu menjawab dengan taktis diplomatis:
"Rambut
adalah mahkota semua manusia..... itu adalah mahkota wanita. Tempat dari mana
kamu keluar dan ke mana nanti kamu akan masuk. Jadi ia mengandung pengertian
sakral. Karena itu kamu tidak boleh mengutak-atik. Kamu harus
menghormatinya. Dan,berhenti menanyakan itu, karena itu tidak untuk dikupas
tetapi dirasakan. Paham?!"
Anak
itu tidak paham. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia mendekati ibunya
yang sedang menerima tamu. Ibunya langsung mengangkat tangan.
"Tidak
bisa!"
Anak
itu tertegun.
"Aku
tidak minta duit. Aku hanya mau tanya, apakah – ibu besar? Sebab, kalau tidak
besar bagaimana nanti bisa keluar masuk? Kira-kira ukurannya berapa
meter?"
Merah
padam muka perempuan itu. Sedangkan tamunya, ibu-ibu pejabat tak bisa
menahan diri lalu tertawa sampai terkencing-kencing."
Anakmu
sakit jiwa, karena kamu kurang perhatian. Kamu terlalu sibuk
bekerja
dan menganggap mendidik anak itu hanya kewajiban perempuan. Ini dia akibatnya
sekarang!"
kata
ibu anak itu menyalahkan suaminya.
"Sekarang
sebelum terlambat, lebih baik kamu bawa dia ke dokter jiwa.
Kalau
tidak akan jadi apa anak ini! Akan jadi apa negeri ini kalau generasi mudanya
sudah kurang ajar dan krisis moral?"
Bapak
anak itu tidak setuju dengan istrinya. Ia mencoba untuk melakukan pendekatan
lain. Ia membawa anak itu ke kebun binatang.
"Kamu
bertanya apa itu mmk?"
bisiknya
kepada anaknya.
"Nah,
itu dia yang namanya mmk!"
Bapak
anak itu menunjuk kepada binatang-binatang yang ada di depannya.
Ada
kuda, badak, harimau, gajah, monyet."
"Itu
yang namanya mmk. Mengerti?!"
Anak
itu terdiam. Tetapi bukan karena mengerti. Ia bertambah bingung. Dalam
perjalanan pulang ia kembali bertanya.
"Apakah
mmk itu manis sehingga sering dijilat-jilat?"
"Bangsat!"
teriak
bapak anak itu di dalam hati.Ia membatalkan pulang, langsung membawa anaknya ke
dokter jiwa.
"Dokter,
anak saya ini sudah bejat. Tolongdiperiksa apakah dia sudah d apat gangguan
jiwa. Sebabsegalanya sudah kami penuhi dengan berkecukupan. Sandang,
pangan, bahkan sekolah yang terbaik dan
termahal
kami berikan. Mengapa dia jadi tumbuh seperti setan begini?"
Dokter
jiwa itu lalu memanggil anak itu masuk ke dalam kamar periksa.
Dua
jam kemudian dia keluar.
"Bagaimana
Dok?"
"Saya
kira anak Bapak sehat walafiat."
"Maksud
saya jiwa dan moralnya?!"
"Ya,
bagus. Saya hanya ada nasihat kecil."
"Apa
Dok?"
"Semua
anak sampai usia tertentu seperti sebuah cermin. Dia merefleksikan dengan
objektif apa yang ada di sekitarnya. Anak adalah pantulan langsung dari
lingkungan dan orang tuanya. Jadi.... "
"Jadi
apa Dok?"
"Anak
itu masih punya ibu?"
"Ada
di rumah, kenapa Dok?"
"O,
bagus kalau begitu. Jadi sebaiknya, sebelum saya melanjutkan pemeriksaan kepada
anak itu, saya anjurkan supaya Bapak dan Ibu saya periksa terlebih dahulu.
Makin cepat makin baik, sebelum menginjak ke stadium berikutnya."
Kontan
bapak anak itu pergi.
"Dokter
gila!"
umpatnya
sambil membawa anaknya pulang.
"Dasar
mata duitan, anak gua yang bermasalah, gua yang mau dikobel-kobel. Kenapa bukan
para elite politik yang sudah bikin kisruh negara ini saja yang mereka tuduh
sebagai penyebab krisis moral anak ini. Gelo!"
Suhu
politik memanas. Para elite politik berperang. Dolar melambung tinggi.
Persoalan itu untuk sementara dibekukan. Tapi, beku tentu saja tidak berarti
sudah berakhir. Pertanyaan itu masih terus berkecamuk di kepala anak itu.
Di
sekolah, menjelang peringatan Hari Proklamasi ke-56, ketika guru sedang
menceritakan tentang hakikat kemerdekaan, anak itu terus dikejar-kejar oleh
pertanyaan tersebut.
"Kemerdekaan
adalah sikap jiwa,"
kata
ibu guru menerangkan kepada murid-muridnya.
"Bila
kemerdekaan kita diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
jangan
dikira itu terjadi begitu saja. Cita-cita kemerdekaan sudah berlangsung puluhan
tahun. Secara sporadis meledak di sana-sini yang dikategorikan sebagai
pemberontakan oleh kolonial. Akhirnya mendapat
kesimpulan
pada tahun 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan, akhirnya mulai
mendapatkan perumusan pada 1928, pada saat ada ikrar Sumpah Pemuda. Jadi
kemerdekaan itu anak-anak, bukan hanya sebuah teriakan kebebasan, tetapi sebuah
proses penyadaran tentang kemandirian. Dengan merdeka berarti nasib kita
terletak di tangan kita sendiri. Dengan merdeka pada 17 Agustus 1945, tidak
berarti kita jadi langsung kaya raya dan bahagia. Dengan merdeka kita justru
menjadi melihat kemiskinan dan keterbelakangan kita. Kita melihat tanggung
jawab kita. Dengan merdeka kita terikat oleh berbagai aturan yang kita buat
sendiri untuk membatasi kemerdekaan kita agar bisa hidup bersama-sama. Merdeka
adalah mendisiplinkan diri kita sendiri supaya bisa bekerja dan bersaing. Kalau
tidak ada batasan-batasan, negeri ini akan jadi rimba dan memberlakukan hukum
rimba, siapa kuat dia yang kuasa. Siapa yang kuasa dia yang makan. Jadi,
kemerdekaan bukanlah kesempatan untuk berbuat sewenang-wenang. Kemerdekaan
adalah pengorbanan karena itu merupakan penyadaran kepada aturan-aturan dan
ketidakbebasan, yang kita sepakati dengan rela."
Bu
guru selesai. Ia memandang seluruh kelas.
"Ada
yang belum jelas? Siapa yang mau bertanya?"
Anak
itu langsung mengacungkan tangannya.
"Ya
kamu. Apa yang belum jelas?"
"Saya
mau tanya, Bu."
"Ya
boleh. Menanyakan apa?"
"Mmk
itu apa?"
Bu
guru terhenyak. Seluruh kelas yang semula tidur tiba-tiba terbangun. Kemudian
terdengar suara riuh rendah oleh ketawa. Kelas berubah menjadi pasar.Bu
guru mengetokngetokkan penghapus papan tulis ke mejanya dengan keras.
"Tenang!!!"
Anak-anak
langsung mengunci mulutnya. Bu guru kemudian bertanya lagi.
"Apa?"
"Saya
mau tanya, mmk itu apa??"
Mata
bu guru yang cantik itu terbelalak. Seluruh kelas yangtadinya cekakakan,
sekarang tiba-tiba tegang. Bu guru menghampiri anak yang bertanya itu. Ia
memandang tepat ke arah matanya. Anak itu gugup lalu menundukkan mukanya.
"Ini
pelajaran sejarah kemerdekaan dan kamu bertanya tentang...."
"Mmk."
Seluruh
keras bertambah tegang.
Terdengar
bisik-bisik. Bu guru cepat melayangkan matanya ke seluruh keras sambil melotot.
Semua murid menunduk menyembunyikan dirinya. Tak seorang pun kelihatan mau
hadir. Hanya anak itu yang masih mengangkat kepalanya.Bu guru menghampiri anak
itu, lalu menatap tajam seperti menusuk jiwanya.
"Jadi
itu yang buat kamu belum jelas?"
"Ya."
"Kamu
bertanya karena kamu tidak tahu atau?"
"Karena
saya bingung."
"Kamu
bingung karena kamu ingin tahu?"
"Karena
jawabannya tidak tegas sehingga tidak jelas."
Pensil
ditangan bu guru jatuh ke lantai. Bu guru berjongkok. Seluruh
anak-anak
di dalam kelas, berdiri, menjulurkan kepalanyadan melihat apa yang jatuh.
Tiba-tiba bu guru berdiri lagi sambil mengangkat roknya. Dari pinggang sampai
ke bawah ia telanjang bulat.
"Mmk
itu ini!"
katanya
dengan tegas sambil menunjuk ke arah alat kelaminnya. Seluruh kelas meledak.
Anak-anak perempuan menjerit dan menangis. Yang laki-laki meloncat, lari
ketakutan keluar kelas. Sedangkan anak yang bertanya itu seperti disiram air
panas. Seluruh tubuhnya tegang dan kemudian basah. Peristiwa itu dicatat
sekolah sebagai huru-hara yang memalukan. Ibu guru yang cantik itu langsung
dipanggil oleh Kepala Sekolah, lalu diskors. Para orang tua murid protes.
Mereka menuntut supaya bu guru itu dipecat. Dan malammalam, rumah bu guru itu
berantakan karena dilempari batu. Surat kaleng dan telepon gelap dengan ancaman
mengerikan menghujani rumahnya. Akhirnya Bu Guru MMK itu dipecat. Tapi sebagian
masyarakat, berdasarkan polling yang dilakukan oleh media massa, menganggap
hukuman itu belum setimpal. Mereka menuntut supaya guru yang bejat itu hengkang
dari permukiman mereka. Dan, ketika yang bersangkutan akhirnya boyongan pindah
ke kota lain, karena tidak mau mengganggu ketenteraman, di luar kota
mobilnya dicegat. Dia dirampok, diperkosa, dan kemudian dicampakkan ke tepi
jalan dalam keadaan tidak bernyawa. Di sebuah desa kecil yang terpencil dan
sunyi, kini ia terbaring bisu, di bawah batu nisan yang tak bernama. Anak yang
bertanya itu, bersimpuh sambil memegang sekuntum bunga. Di sampingnya, kedua
orang tuanya berdiri menemani.
"Terima
kasib Bu Guru. Karena keberanian dan kejujuranmu, sekarang anak kami tidak
bertanya lagi. Tetapi alangkah mahalnya kebenaran, kalau hanya untuk
menjelaskan satu kata saja, diperlukan sebuah nyawa."
26."Cantik"
Gubernur
marah besar. Panitia pemilihan Ratu Kecantikan 2008 dipanggil. Mereka dicecer
dengan berbagai pertanyaan. Mengapa dari 9 wanita tercantik pilihan masyarakat
tidak seorang pun adalah putri daerah?
“Kalau
begitu apa gunanya ada pemilihan Ratu Kebaya, Ratu Dangdut, Ratu Kaca Mata,
Ratu Mercy, Kontes Mirip Bintang, Miss ini-itu yang setiap bulan diadakan di
mall-mall sampai salon-salon kecantikan kagetan kayak jamur di musim hujan? Apa
betul putri daerah kita tidak ada yang cantik. Berarti kebanyakan mereka semua
akan jadi perawan tua, karena pria kuta lebih mengagumi putri-putri dari luar
sana? Ini tragedi!”
“Tapi
ini kan hanya kegiatan hura-hura yang informal Pak?”
“Memang!
Tapi masak bintang-bintang Hollywood itu yang dibilang cantik. Itu kan karena
kalian hanya lihat di film. Film itu sudah penuh dengan tipuan gambar. Baik
kameranya, tata lampunya dan sudut pandangnya sudah direkayasa sedemikian rupa
sehingga kerbau pun kalau dirancang seperti itu akan keliahatan aduhai. Coba
kalau kalian lihat kenyataannya. Tulang-tulangnya yang besar, kakinya yang
berbulu, kulitnya yang sepereti mayat dan bau kejunya yang mana tahan, kalian
akan menyesal sudah sesat memilih idola. Realistis sedikit! Jangan terus
bermimpi! Putri-putri daerah kita semuanya cantik. Hanya karena kalian lihat
setiap hari saja, kecantikannya kalian lupakan. Seperti gajah yang tak nampak
karena adanya di pelupuk mata. Kalian harus belajar menghargai milik sendiri!”
Panitia
tidak berani menjawab. Gubernur sedang asyik dengan kemarahannya. Kalau
dipotong bisa parah.
“Coba
apa kreteria kalian menentukan kecantikan sampai bintang-bintang film yang
doyan gonta-ganti pasangan itu dianggap yang paling cantik. Apa kecantikan
wajah itu diukur dari panjang hidung atau keberaniannya memperlihatkan badan
sehingga mengundang nafsu. Bagaimana dengan kecantikan kepribadian dan moral
serta kecerdasan. Apa itu bukan bagian dari kreteria yang menetapkan seseorang
itu cantik?”
“Kami
tidak memberikan kreteria, Pak. Itu terserah mereka yang mengirimkan jawaban.”
“Jadi
ngawur?”
“Bukan
Pak. Kami hanya tidak memberikan batasan apa itu kecantikan. Karena ukuran
kecantikan itu kan subyektif, jadi kami serahkan pada para pembaca saja.”
“Itu
namanya tidak bertanggungjawab!”
Panitia
bingung.
“Maksud
Bapak, kami harus bertanggungjawab?”
“Ya
dong! Sebagai warganegara yang baik, saudara harus bisa mempertanggungjawabkan
kontes yang saudara adakan!”
“Kalau
itu sudah, Pak. Kami sudah umumkan jumlah suara yang masuk. Urutannya jelas.
Kami akan segera memilih pemenang di antara pemilih dengan cara memilih kartu
pos mereka pada malam selamatan ulang tahun media kami.”
“Bagaimana
kalau satu orang mengirim 1000 kartu pos?”
“Boleh
saja, Pak, asal mereka menempel juga stiker yang ada di majalah kami.”
“Kalau
begitu, bisa saja 9 perempuan tercantik itu bukan tercantik berdasarkan pilihan
rakyat kita semua, tapi pilihan beberapa orang yang mau kirim kartu pos dan
mampu membeli majalah Anda?”
“Memang
begitu, Pak!”
“Umumkan
dong!”
“Untuk
apa Pak?”
“Ya
itu tanggungjawab saudara sebagai penyelenggara!”
“Tidak
perlu, Pak, sebab mereka sudah tahu.”
“Tidak
bisa! Saudara harus mengumumkan bahwa 9 wanita tercantik ini bukan pilhan kita,
tapi pilihan yang mengirim jawaban saja. Dan karena yang mengirim jawaban hanya
beberapa ribu, tidak mencerminkan jutaan warga kita, berarti kemenangan mereka
palsu. Mereka bukan 9 wanita tercantik.”
“Memang
bukan, Pak!”
“Kalau
begitu umumkan dong!”
Pertemuan
selesai. Gubernur tak ada waktu lagi untuk berdebat, sebab harus terbang ke
luar negeri menghadiri sebuah Festival yang diselenggarakan oleh negara
sahabat. Para panitia segera berunding. Kemudian pihak perusahaan mendesak agar
himbauan Gubernur dilaksanakan, karena menyangkut keselamatan majalah.
Setelah
mempertimbangkan masak-masak, panitia mengambil jalan tengah. Keputusan
pemenang dibatalkan, karena dianggap ada indikasi sudah terjadi kekisruhan
akibat kurangnya kriteria. Pemilihan akan akan diulang. Sebagai kompensasi,
hadiah yang rencananya diberikan kepada para pemilih, dilipatgandakan..
Ada
protes, tetapi tidak terlalu berarti. Lomba pun dimulai kembali. Pilihan
dibatasi sebatas orang-orang cantik di dalam negeri. Kriterianya pun
dicantumkan dengan jelas. Bukan hanya kecantikan phisik yang terpakai, tetapi
juga kecantikan kepribadian. Beberapa kreteria juga menggiring calon pemilih
untuk memilih ratu-ratu hasil pemilihan berbagai kontes di daerah.
Hasilnya
amat mengagetkan. Dari sembilan wanita tercantik di dalam negeri, ternyata lima
di antaranya adalah wadam. Memang cantik tetapi sebenarnya lelaki Guberbur yang
baru pulang dari luar negeri terkejut. Di bandara, ia sudah ngomel di depan
para wartawan, karena merasa tidak puas.
Panitia
kembali diundang berdialog.
“Kenapa
saudara sampai membiarkan 5 wanita adam masuk ke dalam 9 wanita cantik di
negeri ini?”
Panita
ketawa.
“Jangan
ketawa ini serius!’
“Peserta
mungkin mulai sadar bahwa pemilihan yang kami lakukan adalah pemilihan
main-main, Pak!”
“Tidak
ini tidak main-main. Ini cerminan dari perasan mereka yang sejujurnya.”
“Kalau
itu betul, Pak. Karena tidak formal dan tidak ada sanksi apa-apa, para pemilih
itu mengungkapkan apa adanya. Saya kira karena kriterianya bukan hanya elemen
phisik tetapi juga kepribadian, pilihan mreka kami anggap wajar, Pak. Mereka
yang terpilih memang sangat professional.”
“Profesional
apaan! Itu pilihan yang salah. Itu cerminan bahwa masyarakat kita sedang
sakit!”
Panitia
mengangguk.
“Kok
memngangguk?”
“Saya
kira itu ada benarnya, masyarakat kita sedang sakit!”
“Tidak!
Masyarakat kita masyarakat yang sehat, bukan masyarakat yang sakit. Saudara
yang sudah membuat mereka sakit. Saya minta keputusan ini dicabut. Tidak boleh
ada wadam yang dipuji sebagai 9 wanita cantik. Ini salah kaprah!”
Panita
bengong.
“Maksud
Bapak kami harus mengulangi pemilihan ini sekali lagi?”
“Tidak
usah! Tapi ganti pemenangnya dengan ini!”
Gubernut
mengeluarkan secarik kertas dari kantungya.
“Cabut
nama-nama itu dan gantikan dengan nama-nama ini! Kita bukan masyarakat yang
sakit!”
27."SUAP"
Seorang
tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan dirinya, dia menyatakan
keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional,
peserta yang mewakili daerahnya dimenangkan.
“Seniman
yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”katanya memujikan, “keluarganya
memang turun-temurun adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu
adalah pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia
bekerja sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah
melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami
yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih
sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta
orang yang terancam kebutaan, tbc, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap
Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama,
memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.”
Saya
langsung pasang kuda-kuda.
“Maaf,
tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan
berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus
atau tidak.”
“Tapi
bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan
bermanfaat bagi manusia?”
“Betul.
Tapi meskipun membela kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan
bagus, atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang
kurang bagus tetap tidak akan bisa menang.”
Orang
yang mau menyuap itu tersenyum.
“Bapak
mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?”
“Sama
sekali tidak!”
“Ya!”
Lalu
dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung
merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek
itu membuat darah saya beku.
“Kalau
wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan
ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”
Saya
bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.
“Kalau
ragu-ragu silakan menelpon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di
belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak
percaya kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”
Saya
memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.
“Anda
tidak percaya kepada kami?”
“Bukan
begitu.”
“Jadi
bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu?
Berapa yang Anda mau?”
Saya
tak menjawab.
“Satu
milyar? Dua milyar? Lima milyar?”
Saya
terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.
“Kita
transparan saja.”
Saya
gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan
padat.
“Kami
tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah
uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan
ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius
memperjuangkan kemanusiaan.”
Dia
mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya
sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak
berani bergerak, walau pun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa
kira-kira uang di dalam amplop itu.
“Silakan.”
Tiba-tiba
saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi
batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa
itu sebagai semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan
sebuah amplop yang lain.
“Maaf,
bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang
tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya
mendapat satu tanda tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda
lebih suka menelpon, saya hubungkan sekarang.”
Cepat
sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat
mencegah.
“Hallo,
hallo …… .”
Saya
memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja
tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4
tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi
sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian
mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.
“Ade,
jangan!”
Tapi
amplop itu sudah dilarikan keluar.
“Adeee
jangan!”
Saya
bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan
itu.. Merasa dikejar anak saya berlari. menyelamatkan diri.
“Ade
jangan!”
Anak
saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya
berkejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.
“Ade
jangan itu punya Oom!”
Terlambat.
Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika
saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan
dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama
sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam
menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu
memerlukan keberanian mental. Baik menerima mau pun menolaknya.
Kedua
amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan
saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu
terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak
terjamah.
Pata
tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada
kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi
tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk
menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, mplop itu
harus ditemukan.
Dengan
berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya
sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap
lekuk dasar kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya
memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari
gini, siapa yang tidak perlu uang?
Ketika
istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.
“Bang!
Tamunya mau pulang!”
Cemas,
gemas dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala
saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur
geli. Istri saya bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa
melihat bapaknya begitu konyol.
“Eling
Dik, eling,” kata seorang tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.
“Abang
kenapa sih?” tanya istri saya galak dan penuh malu.
Saya
tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan
dua amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau
dikembalikan. Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.
Untuk
menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.
Diinjak
pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama
sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak
pernah muncul lagi.
Saya
termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak
dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak
segera menolak, karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan
peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau
bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili lagi.
Dan
kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam
punya keinginan menerima. Aduh malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin
ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah
ikhlas pun sering difitnah sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling
tidak mampu melawan naswibnya. Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan
masih diposisikan semacam tanda kasih.
“Sudah
jangan kayak orang bego, cepetan madi dulu, bau!” bentak istri saya.
Saya
terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur
badan, baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya
keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah
masuk ke dalam daging.
“Cepat
mandinya, bungkusannya sudah ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor
pintu.
Darah
saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.
“Mana?”
Seorang
anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya
kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal
karena dia tidak rela Ade saya strap.
“Terimakasih!”
kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk
persen.
“Limapuluh
ribu?” teriak istri saya memprotes.
Lalu
ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.
“Masak
ngasih anak limapuluh ribu, yang bener aja!”
“Tapi
.. .”
“Ah
sudah! Tidak mendidik!”
Saya
tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu
ia melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti
membeli makanan chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong..
Kedua
amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah
dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi
tahan air. Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.
“Apa
itu?” sodok istri saya ingin tahu.
Saya
cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia
tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang,
akhirnya saya akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang
lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si
Ade. Dia sudah terlalu capek hidup dalam kampung kumuh. Sudah lama dia
menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum
mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak ada
masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.
Saya
naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya
tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil
mengambilnya. Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan
mengembalikan, kalau orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk
menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak, saya tidak pernah mimpi akan
menjadi pelaku suap.
Tapi
sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki
saat penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata
sepakat. Dengan sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan
dukungan oleh penyuap daerah itu.
Terus-terang
saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena
suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua
apalagi ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua
orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.
Satu
bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang
cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya
sembunyikan dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu
saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci
untuk mengubah masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi.
Kemiskinan terasa tidak begitu menggasak lagi, didekat senjata yang bisa
membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa
dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui memang uang mampu
menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.
Sayang
sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang.
Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga,
pikiran saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang
banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang juga tidak memprotes keputusan yang
diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua juri juga sudah disodori amplop
seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang diterima baik,
adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya atau
kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki
penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.
Pada
bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan.
Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah
tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang
di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina
dan malu.
Akhirnya
setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan
nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti
nanti makan suap. Tapi sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga
dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang
lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian.
Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum, daripada dihukum sebab kena suap
tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.
“Baiklah,
hari ini kita memasuki sesuatu yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu
sambil menunjukkan kedua amplop uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa
ini adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali.
Bukan salah kita. Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli
motor, kita sendiri makan tahi sampai mati. Ini!”
Saya
terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak
saya nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.
“Ayo
dibuka saja!”
Istri
saya tiba-tiba menunduk dan menangis.
“Lho
kok malah nangis.”
“Abang
jangan salah sangka begitu.”
“Salah
sangka bagaimana?”
“Jangan
menyangka yang tidak-tidak.”
“Yang
tidak-tidak apa?”
“Aku
tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua
sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan
apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk
menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang
lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”
Dia
berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.
“Jangan
memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.”
Dia
menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia
melirik kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam
menunjuk dengan telunjuknya.
Saya
menghela nafas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru
bertambah. Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar
saya sendiri nanti yang masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya
lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua lantai sudah hampir rampung. Suara
motornya kedengaran yang nyaring melengking menusuk malam, membuat saya panas.
Tiba-tiba
terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa
itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering
saya belai itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada
belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.
Tangan
saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan
bernafsu, barang yang sempay saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti
muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya
tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan
kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya
kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam
itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya
supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin
dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak
tamat.
Dengan
gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin
ketika anak saya lari-lari berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah
direbut oleh tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika
saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan
mengganti. Itu kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang.
Tidak ada lagi perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah
jadi semacam kiat dan keberanian.
Dengan
kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah
tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancutkan.
Motornya juga saya hajar.
“Bangsat!
Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak
menikmati! Bajingan!”
Hampir
saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu
dan kemudian menghajar saya habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat
apa-apa. Hanya telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit
histeris anak saya.
28."Pahlawan"
Seorang seniman mendapat penghargaan.
Tetapi tidak seperti di masa-masa yang lalu, hanya berupa piagam dan uang
seupil. Ia ditimpa doku yang lebih besar dari yang diterima Susy Susanti ketika
menggondol emas untuk bulutangkis di Olimpiade Dunia. Lima milyar.
Rakyat
terpesona. Tak menyangka seni bisa menelorkan rizki sehebat itu. Sudah cukup
bukti dunia seni kering, banyak seniman mati sebagai kere. Menjadi seniman
sudah dicap semacam kenekatan. Lebih dari 90 persen lamaran seniman ditolak
oleh calon-mertuanya, kecuali ada komitmen mau banting stir cari pekerjaan lain
yang lebih produktif.
Masyarakat
seniman berguncang. Angin segar itu membuat profesi seniman naik daun. Tapi
berbareng dengan itu hadir pula dengki. Mengapa baru sekarang terjadi? Dan
mengapa jatuhnya kepada Dadu, yang langganan ngutang di warung tapi ogah bayar
itu?”
“Apa
tidak ada pilihan yang lebih baik? Masak pemalas begitu dikasi hadiah. Ntar
juga habis dipakai minum dan nyabo. Itu kan tidak mendidik. Cari dong kandidat
yang lebih layak. Masak di antara 220 juta jiwa ini tidak ada yang lebih
keren?”
“Jurinya
ada main!”
Dadu
tidak peduli. Dengan tenang-tenang saja, ia menyiapkan penampilannya yang layak
pada malam penerimaan hadiah. Ia ngutang beli jas dan dasi. Langsung itu jadi
bahan omongan.
“Sialan,
dulu ngaku alergi sama hadiah dari pemerintah. Sekarang baru diuncal duit gede
ngibrit tak peduli nasib rakyat! Dasar penjilat! Pengkhianat! Mata duitan!”
Dadu
sama sekali tidak goyah oleh sindiran itu.. Ia malah menganggapnya sebagai
publikasi gratis. Hadiah itu diterimanya dengan senyum lebar. Wajahnya
terpampang di halaman depan koran. Kelihatan bangga dan yakin pantas menerima
kehormatan. Suara-suara penentangnya menjadi bertambah lantang.
“Kita
sudah dibeli semua! Tidak ada lagi yang punya harga diri! Banci!”
Di
situ Dadu baru naik darah.
“Bangsat!”
teriaknya mencak-mencak. “Sejak kapan mereka berhak mengkomando siapa aku ah?
Sejak kapan aku harus jadi budak dan menyerah dicocok-hidung oleh setan-setan
yang mau menjadikan aku pahlawan itu! Aku ini si Dadu, anak miskin yang tidak
mampu beli celana dalam. Makan juga nembak melulu! Aku bukan pahlawan
kemiskinan yang menentang kemapanan. Aku bukan tentara bayaran yang mau
bertempur untuk memuaskan mereka yang mau mengadu aku dengan pemerintah! Aku
milik diriku yang yang akan aku pertahankan sampai titik darah penghabisan. Aku
tidak akan terpancing oleh segala hasutan, provokasi, gerpol dan teror itu. Aku
lakukan apa yang aku yakin baik aku lakukan. Persetan sama kalian semua! Jangan
ganggu kemerdekaanku anjing! Kalian binatang semua!”
Nyamuk
pers senang sekali Dadu kalap. Mereka segera merubung untuk memancing Dadu
mengumpat lebih liar. Kalau ada yang berkelahi berita akan laku keras. Untung
pacar Dadu mengingatkan.
“Sabar
Bang. Hadiah baru diterima, darah abang jangan naik. Kalau struk atau kena
serangan jantung, lima milyar tidak ada gunanya.”
Dadu
tertegun.
“Tapi
aku marah. Kenapa aku dipancing jadi pahlawan. Kenapa bukan mereka saja yang
menjadikan dirinya pahlawan. Aku berhak menikmati hadiah ini.”
“Memang.”
“Coba
dia yang jadi aku. Tidak usah lima milyar, lima juta juga sudah akan
menyembah!”
“Tidak
usah ngomong begitu!”
“Kenapa?”
“Sebab
itu yang memang mereka mau!”
“Jadi
mereka senang kalau aku marah?”
“Persis!”
“Kalau
begitu biar aku marah saja terus supaya mereka puas dan berhenti mengganggu
kita!”
“Tak
mungkin!”
“Mengapa
tidak?”
“Sebab
mereka menginginkan kamu menjadi seorang pahlawan!:
Dadu
tercengang.
“Itu
dia yang aku tentang!”
“Jangan.
Itu jangan ditentang. Jadilah seorang pahlawan!”
“Aku
tidak sudi!”
“Dengerin
dulu! Mau denger tidak?!!”
Suara pacar Dadu mulai keras sehingga Dadu terpaksa diam. Tapi dia masih
menggumam.
“Aku
tidak mau jadi pahlawan kesiangan!”
“Tidak
usah. Tapi jadilah pahlawan, dengan cara kamu!”
“Maksudmu?”
“Jadilah
pahlawan tetapi tidak dengar cara seperti yang mereka mau. Jadilah pahlawan
menurut cara kamu sendiri!”
“Memang
itu yang aku lakukan!”
‘Tidak!
Dengan marah kamu masih menjadi pahlawan dengan cara yang mereka mau!”
Dadu
menyimak.
“Maksudmu
bagaimana?”
“Terima
penghargaan itu, karena itu sebuah pengakuan yang terhormat, tetapi kembalikan
hadiahnya, karena lima milyar itu sudah membuat banyak orang merasa dirinya
begitu miskin, sehingga mereka mengaum meminta kamu menolaknya!”
Dadu
terdiam.
“Bagaimana?”
Dadu
memejamkan matanya.
“Bagaimana?”
Dadu
membuka mata dan menatap pacarnya sambil berkata lirih dan tenang.
“Ternyata
kita berbeda.”
“Berbeda?”
“Ya.
Aku mengingin penghargaan itu karena mereka sudah memberikannya. Dan aku juga
menginginkan duit 5 milyar itu sebab aku memang berhak mendapatkannya! Aku sama
sekali tidak tertarik menjadi pahlawan, sebab aku manusia biasa! Aku tetap akan
menerima sebab aku berhak menjadi diriku!”
Mereka
berpandangan. Tiba-tiba pacar Dadu memeluk erat sambil berbisik.
“Kamu
benar-benar seorang pahlawan!”
29."Kebebasan"
Ada anak perempuan yang tiba-tiba
mengurung dirinya. Dia sama sekali tidak mau keluar rumah. Bahkan di dalam
rumah ia lebih banyak mendekam di kamar. Hal ini mencemaskan keluarga dan
menimbulkan curiga tetangga.
“Kalau tidak bunting tetapi tidak
ketahuan siapa lakinya, mungkin itu tanda-tanda mau gila,”analisa seorang
tetangga.
Keluarga langsung mengadu kepada yang berwajib..
“Kami
sudah difitnah, Pak. Kami bersumpah anak kami masih perawan. Dia siap
membuktikan dengan pemeriksaan laboratorium. Tidak mungkin anak kami melakukan
tindakan bejat. Jiwa-raganya sehat. Anak kami waras, bahkan IQ-nya tinggi
sekali. Dia hanya memutuskan tidak mau keluar rumah lagi sebab dia mau
merdeka.”
Petugas
yang mencatat pengaduan itu bingung.
“Mau
merdeka?”
“Ya.”
“Tapi
kita sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945!”
“Itu
kemerdekaan politik, Pak. Anak saya mau merdeka di dalam berekspressi.”
Petugas
berhenti mencatat. Dia berpikir, lalu permisi ke belakang. Di belakang ia
berunding dengan teman-temannya. Petugas lain, lebih senior, lalu muncul,
menggantikan bertanya.
“Bapak
tadi mengatakan bahwa kita belum merdeka?”
“Bukan
begitu, Pak. Saya mengatakan bahwa anak saya tidak keluar rumah, karena dia
ingin merdeka di dalam berekspresi.”
“Silakan.
Kita kan sudah merdeka.”
“Tapi
itu tidak akan bisa dilakukan di luar rumah, Pak, sebab akan dituduh mengganggu
kebebasan orang lain. Kami bisa diswiping.”
Petugas
itu berpikir. Akhirnya bertanya dengan curiga.
“Tergantung
dari apa yang mau Bapak lakukan!”
“Berekspresi
saja, Pak.”
“Ya
apa itu?”
“Berbicara,
berbuat, berpikir, bertingkah-laku, berpakaian, mengeluarkan pendapat dan
sebagainya, Pak.”
“Silakan.
Selama itu tidak mengganggu ketertiban dan hak-hak orang lain, Bapak bebas
melakukannya. Bahkan mengganggu pun silakan, asal itu hanya terjadi di dalam
pikiran Bapak saja.”
“Bukan
saya, Pak. Anak saya. Saya melaporkan apa yang menimpa anak saya.”
“Di
mana dia sekarang?”
“Di
rumah, Pak.”
“Sakit?”
“Sama
sekali tidak, Pak.”
“Kenapa
tidak datang sendiri melapor ke mari?”
“Sebab
dia konsisten dengan pendapatnya, Pak. Di luar rumah tidak bisa merdeka lagi
berekspressi sekarang, karena akan dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Jadi
dia sudah beberapa bulan ini berkurung rumah. Tapi itu pun tidak bisa, karena
dia difitnah dikatakan bunting atau gila. Belakangan saya dengar ada yang
menghasut, kalau gila harus dimasukkan ke Rumah Gila, kalau tidak akan
mengganggu masyarakat.”
“Jadi
ada pihak-pihak yang menekan Bapak supaya memasukkan anak Bapak ke Rumah Sakit
Gila?”
“Arahnya
pasti ke situ, Pak.”
“Konkritnya
Bapak kemari mau mengadukan ……. ?”
“Fitnah,
Pak!”
Petugas
itu melihat ke mesin ketik. Setelah membaca ia mengeluarkan kertas dari ketikan
itu sambil ngedumel.
“Kalau
begitu ini salah. Jadi Bapak sudah ditekan oleh massa untuk mengirimkan anak
bapak ke Rumah Sakit Gila!”
“Bukan,
bukan begitu, Pak.”
Petugas
tertegun.
“Jadi
bagaimana?”
“Saya
datang untuk meminta perlindungan. Berikanlah hak pada anak kami yang tidak
ingin keluar rumah. Sebab dia ingin bebas mengekspresikan dirinya di dalam
rumah. Dengan tidak keluar rumah, sebenarnya anak saya kan mau memelihara
kebebasan orang lain di luar rumah? Mestinya mereka berterimakasih, tetapi
kenapa anak saya malah difitnah?”
Petugas
itu menarik nagas panjang. Mengeluarkan rokok. Setelah beberapa kali hisap, ia
meletakkan rokoknya, lalu permisi, masuk ke kamar atasannya. Tak berapa lama
kemudian, atasannya muncul. Masih muda dan cakap.
“Selamat
pagi, Pak, ada persoalan apa?”
Senyum
dan keramahan petugas yang rupanya orang nomor satu di pos meluluhkan. Bapak
yang mengadu itu. Ia langsung berpikir, kalau ada pemuda semacam itu melamar
putrinuya, dia akan menyerah tanpa syarat.
“Ada
masalah apa?”
“Anak
saya difitnah, Pak.”
“Difitnah
bagaimana?”
“Difitnah
bunting dan gila karena tidak keluar rumah, Pak.”
“Kenapa
tiak keluar rumah?”
“Sebab
dia merasa sekarang kemerdekaan sudah diartikan seenaknya oleh orang lain,
sehingga kemerdekaan itu membuat orang lain tidak merdeka. Padahal kita kan
sudah setengah abad merdeka, Pak. Anak saya merasa kebebasan berekspresinya
terancam di luar rumah, jadi dia berkorban, tidak mau keluar rumah. Malah
diserang oleh massa. Saya datang untuk mendapatkan perlindungan.”
Pejabat
muda itu mengangguk.
“Putri
Bapak itu seniman?”
Bapak
yang mengadu itu mengeluarkan dompetnya, lalu menarik foto anak gadisnya.
“Anak
saya ini, Pak.”
Semua
tercengang melihat foto seorang gadis yang cantik dan sensual.
“Wah
putri Bapak cantik sekali. Wajar masyarakat protes, kenapa orang secantik itu
tidak mau keluar rumah lagi.”
Muka
Bapak yang melapor itu tiba-tiba pucat. Ia lama terdiam. Kemudian dia seperti
baru bangun tidur, buru-buru permisi dan membatalkan pengaduannya.
“Ternyata
kita selalu bisa melihat segala sesuatu dari sudut yang lain. Itu sebenarnya
makna kebebasan,”bisiknya dengan sungguh-sungguh pada putrinya.
30."Babi"
Setiap
kali hendak menulis namanya sendiri, tangannlya selalu keseleo dan menulis kata
“babi”. Ia jadi dongkol sekali. Ia ltelah mengunjungi seorang ahi ilmu jiwa,
tetapi tidak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang ke depan
seorang ulama, tetapi ia hanya diasihati seupaya beristirahat. Padahal, ia
yakin benar bahwa mungkin sekali ia sedang berubah untuk menjadi gila.
Akhirnya
ia datang ke dokter bedah.
“Dokter,”
ujarnya dengan terharu, “saya sudah memutuskan luntuk berpisah dengan tangan
ini. Ideologi kami tidak sama lagi. Daripada saya bosok dan
diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang. Saraf saya tak kuat lagi
untuk menerima pemberontakannya. Saya minta dokter sudi memotong tangan ini.”
Dokter
itu seorang yang penuh pengertian. Ia mendengarkan dengan tenang,
seakan-akan ia sudah seringkali memotong tangan orang tanpa alasan-alasan
medis. Ia hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan emotong yang kanan atau yang
kiri. Pemilik tangan itu sendiri yakin bahwa tangan kanannyalah yang telah
berontak, karena itulah yang dipakai untuk menulis.
“Jangan
terburu nafsu,” kata dokter, “Kita jangan melupakan faktor-faktor sampingan.
Kalau tangan Saudara ini memang telah nekat untuk menganut ideologi yang
berbeda, tak akan mungkin ia bertindak dengan serampangan. Saya khawatir kalau
ia hanya sekadar pancingan.”
Penderita
itu tercengang.
“Maksud
dokter?”
“Maksud
saya adalah bahwa, janganlah Anda begitu cepat untuk terpancing. Berpikirlah
sejenak dan renungkan apa yang hendak Anda lakukan. Jangan berkata-kata lagi.
Anda relaks saja dahulu. Saya akan berikan waaktu seperempat jam. Kemudian saya
akan kembali. Sesudah itu, kita pastikan aoa yang akan kita lakukan.
Ketahuilah. Tak ada yang sulit untuk dilakukan. Saya sudah memotong ribuan
tangan orang. Saya berani melakukan itu semua. Saya Cuma tak kuat kalau pada
akhirnya saya harus berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa
yang saya katakan?”
Penderita
itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut.
Selama
seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah laku
tangannya. Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus
berpisah. Lalu dibukanya jam tangannya. Dibukanya cincinnya. Semua
barang-barang itu dipindahkannya ke tangan kiri. Sesudah itu ia duduk dengan
tenang.
Waktu
dokter datang, ia segera mengulurkan tangan kanannya. “Saya kira tak ada jalan
lain harus dipotong dokter,” ujarnya. Dokter memandangi tangan itu dengan
hati-hati.
“Ada
sesuatu yang lain pada tangan ini sekarang,” ujarnya.
Penderita
itu tertawa.
“Tentu
saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot.”
“Kenapa?”
“Kan
tangan ini mau dipotong?”
“Lalu
di mana jam dan cincin itu?”
Penderita
itu mengulurkan tangan kirinya.
“Di
sini dong!”
Dokter
itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya.
Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil
alat untuk memotonya. Penderita itu tentu saja terkejut.
“Dokter
mau memotong tangan kiri saya?”
“Ya.”
“Kenapa?”
Dokter
meletakkan telunjuknya di mulut, “sst!”
Penderita
itu menggeleng.
“Kenapa
mesti sst?”
“Sudahlah
diam dulu, ini politik!”
“Politik
bagaimana?”
Dokter
mendekatkan mulutnya ke telinga penderita itu, lantas berbisik, “kelihatannya
saja tangan kanan Saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri Saudara. Ini
politik. Tangan kiri Saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin
kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. Sementara Saudara menulis ia menutup
muka saudara, lalu menggosok tulisan itu menjadi, menjadi apa biasanya yang dia
tulis?”
“Babi.”
“Ya
babi.’
“Tapi
Dokter.”
“Oke,
mari kita coba sekarang!”
Dokter
itu kemudian mengambil kertas dan pulpen.
“Sekarang
coba tulis nama Anda.”
Penderita
itu menggeleng. Dokter menepuk-nepuk pundaknya.
‘Jangan
takut, ini bukan eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga Saudara rela
untuk menolong tanga kiri itu. Ayo coba!”
Ia
segera menggenggamkan pulpen itu di tangan kanan penderita.
“Tulislah
sekarang nama Anda!”
Penderita
itu menggeleng.
“Kenapa?”
“Nggak
mau!”
“Ayo
coba dong, jangan seperti anak kecil!”
Dokter
itu membujuk-bujuk. Akhirnya orang itu mau juga menulis. Tapi ia kelihatan
terpaksa sekali. Ia memejamkan matanya. Tangannya bergerak dengan lambat.
Tetapi jari-jari tangan itu tampak kaku. Urat-uratnya keluar. Dokter itu
memperhatikan dengan takjub. Ia seperti melihat sebuah pertempuran. Tetapi ia
seorang yang sabar.
Hampir
sepuluh menit lamanya, baru tanga itu berhasil menulis : ANWAR. Dokter itu
menarik nafas dengan lega sekali. Ia menoleh ke pasiennya, Orang itu tampak
berkeringat. Seluruh mukanya basah. Matanya masih terpejam. Dokter itu segera
mengambil sapu tangan. Ia mengusap muka pasiennya.
Ia
juga sempat mengambil air dan memberi minum penderita itu. Aneh sekali matanya
masih tetap tertutup. Dokter kemudian menepuk-nepuk pundaknya.
“sudah,
sudah, semuanya sudah selesai. Sekarang buka matanya.”
Penderita
itu membuka matanya perlahan-lahan. Ia tampak lelah sekali. Dokter lalu
mengambil kertas dan menunjukkan kepada orang itu. Ia tersenyum simpul.
“Coba
baca,” kata dokter dengan bangga.
Pasien
itu diam saja.
Dokter
segera menyalakan lampu, sehingga kertas itu jadi lebih terang.
“Coba
baca dong,” kata dokter dengan nada kemenangan.
Pasien
itu masih diam-diam saja.
“Ayo
baca!”
Pasien
itu tampak memusatkan pikirannya ke atas kertas itu. Mukanya tampak lebih
banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca
kertas itu dengan suara yang menggeledek.
“Babi!”
31."Surat
dari Kartini"
Pulang
dari menghadiri peringatan Hari Kartini, anak saya terkejut. Ada surat di atas
meja. Bukan soal suratnya, tetapi siapa yang mengirimkannya.
“Mia, ada surat dari Raden Ajeng Kartini buat kamu!” teriak istri saya dari
dapur.
Sambil berusaha mencopot gelungan yang memberati kepalanya, anak saya merobek
amplop surat.
“Baca keras-keras, Ibu ingin dengar isinya,” teriak istri saya lagi lebih
keras.
Belum berhasil menarik sanggul yang seperti raket pingpong di belakang
kepalanya, anak saya membuka kebaya dan jarik yang membuatnya terbuntal seperti
lemper.
“Ayo baca!”
Mia mulai membaca sambil menyelonjorkan kakinya yang pegel karena memakai hak
tinggi.
“Cucuku …”
“Yang keras!”
“Cucuku, setiap tahun kamu sudah mengenakan sanggul raksasa warisanku yang
membuat lehermu jadi salah urat, karena keberatan. Badan kamu juga tersiksa
karena lima jam dibuntal seperti bantal guling.”
Anak saya tertawa.
“Jangan ketawa! Apa katanya?” teriak istri saya sambil nongol dari dapur.
Mia melanjutkan membaca.
“Pakaianku kamu tiru. Lagu pujian kamu nyanyikan keras-keras. Ibu kita Kartini,
putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Wahai Ibu kita Kartini, putri
yang mulia, sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia.”
“Jangan nyanyi! Baca saja?!”
Anak saya berhenti menyanyi.
“Dia bilang kita hanya memuja-muja pakaiannya tetapi lupa kepada
perjuangannya.”
“Baca!”
“Cucuku, jangan hanya ulang tahunku yang dirayakan, tapi praktekkan, wujudkan
semua cita-citaku yang sampai sekarang belum tercapai. Aku memperjuangkan
emansipasi untuk kaum wanita, supaya kaum perempuan tidak lagi dibelenggu
gerak-gerikmu dengan alasan menjaga kepribadian, padahal sebetulnya itu adalah
siasat laki-laki untuk membuat kita bodoh!”
“Betul!” teriak anak saya memberi komentar.
“Terus baca!”
“Tapi setelah lebih dari seratus tahun, ternyata cita-citaku masih tetap hanya
impian. Apa kamu kira perempuan Indonesia sudah mendapat kebebasan? Sudah
mendapatkan hak-hak yang setara dengan pria? Tidak cucuku!”
“Betul!” puji Mia dengan bersemangat.
“Jangan kasih komentar, baca saja!”
Tak bisa menyembunyikan rasa senangnya, anak saya membaca dengan suara lebih
keras.
“Jangan dikira kalau perempuan sudah boleh bersekolah sudah ada kebebasan.
Belum. Jangan dikira kalau perempuan sudah bebas memilih jodoh, berarti sudah
merdeka. Tidak! Jangan dikira karena kamu pakai celana panjang, sudah ada
kesetaraan. Belum! Pakaian kamu beli mahal-mahal, tapi perut kamu umbar sampai
udel kamu ke mana-mana berkeliaran. Itu pemborosan. Sekali bergaya satu minggu
masuk angin…”
Anak saya berhenti membaca.
“Ayo, baca terus!”
Tapi anak saya tak mau meneruskan. Dia melipat surat itu dan mau melemparkannya
ke meja.
“Kenapa berhenti?”
Anak saya tidak menjawab. Istri saya keluar dari dapur. Mia melipat surat itu
dan melemparkannya ke atas meja.
“Kok dilemparkan. Apa terusannya?”
“Tidak usah. Aku tahu siapa yang menulis surat itu!”
“Bukan soal siapa yang menulisnya, tapi apa isinya. Coba teruskan baca!”
Tapi Mia tidak mau meneruskan membaca. Mukanya kelihatan sebal. Ia
merenggut-renggut sanggulnya yang tidak mau copot. Tetapi semakin ditarik,
sanggul itu semakin membelit seperti jatuh cinta kepada kepalanya.
Istri saya meraih surat Kartini yang belum selesali dibaca itu. Lalu meneruskan
membacanya.
“Kebebasan tidak berarti kebablasan,” baca istri saya dengan lantang. “Dengan
kebebasan jangan dikira kamu bisa ongkang-ongkangan seenak perutmu. Bapak kamu
kerja lembur, nyapu, ngepel, mencuci, membersihkan sepeda, dan nyemir sepatu
kamu karena kamu tidak mau membantu! Itu bukan kebebasan tetapi kemalasan!”
“Sudah!” teriak anak saya sambil menutup telinga.
“Tapi ini betul Mia!”
“Kalau pun betul, tapi betul saja tidak cukup alasan untuk membuat aku
mendengarnya!”
“Kenapa?”
“Sebab aku sudah tahu! Semua anak muda di mana-mana juga seperti itu! Itu
biasa. Itu bukan kemalasan, tapi proses kami dalam mencari diri! Ibu harusnya
mengerti sebab Ibu pernah muda! Jangan hanya bisa mencela! Aku tahu siapa yang
menulis surat kaleng itu!”
Anak saya meraih surat itu dan mau merobeknya. Tapi istri saya cepat merebut.
“Jangan!”
“Ngapain mendengarkan caci-maki begitu?!”
Istri saya tertawa.
“Kamu gitu saja sudah tersinggung! Bukan hanya kamu, Ibu juga menerima surat
dari Raden Ajeng Kartini.”
Anak saya yang sudah melangkah hendak ke kamar tertegun.
“Ibu? Ibu juga menerima surat dari Kartini?”
“Ya.”
“Mana?”
Istri saya menggosokkan tangannya yang berminyak ke kain, lalu merogoh ke balik
kutang. Ia mengeluarkan sebuah amplop. Berbahagialah orang yang menulis surat
kepada perempuan yang masih rajin memakai baju kutang. Maksud saya
berbahagialah surat itu.
Istri saya menunjukkan nama pengirim surat itu di amplop. Kemudian ia merobek
dan mengeluarkan isinya. Dengan memberikan jarak, sebab ia tidak membawa kaca
mata, ia mulai membaca.
“Anakku, di zaman kamu hidup sekarang ini, nasib perempuan tidak seperti di
abad ke sembilan belas. Sekarang perempuan tidak lagi hanya berkutat di dapur,
di sumur, dan di kasur menemani suaminya tidur. Sekarang perempuan sudah boleh
mengejar karir. Ada yang jadi wartawan, sopir taksi, kondektur, satpam, polisi,
tentara, dokter, insinyur, menteri, bahkan ada yang sudah bisa jadi presiden.”
Istri saya berhenti membaca dan menoleh pada anak saya.
“Benar, kan?”
“Benar saja tidak cukup, tapi berapa orang bisa jadi menteri, berapa orang bisa
jadi presiden, dan apa betul suaminya tidak ikut-ikutan mempergunakan kekuasan
dari belakang?”
Istri saya pura-pura tidak mendengar lalu membaca dengan suara lebih keras.
“Tapi, lihat itu Kepala Desa yang menyombongkan dia berhasil mengumpulkan
sembilan orang istri di bawah satu atap rumahnya dengan semuanya merasa
bahagia. Lihat itu TKW yang sudah dipuja-puja sebagai pahlawan pengumpul
devisa, ternyata pulang dari mancanegara babak-belur seperti Nirmala Bonar.
Lihat, ada perempuan dipotong tangannya oleh suaminya gara-gara cemburu buta!
Di mana letak kesetaraan?”
“Betul, kan?” kata istri saya kembali menoleh anaknya.
Mia tak menjawab. Mukanya sinis.
“Sekarang yang ramai bukan perjuangan kesetaraan tetapi kesesatan dan
keblingeran mengartikan kebebasan. Dulu, laki-laki yang banyak meninggalkan
perempuan, sekarang perempuan sudah bisa menceraikan suami. Ada ibu tega
meninggalkan anak-anaknya, bukan untuk mengejar kesempatan, tapi mengejar
lelaki lain yang kantungnya lebih tebal. Ada ibu menjual anaknya sendiri
sebagai pelacur….”
Suara istri saya semakin lirih.
“Lho, kenapa dibaca dalam hati!” protes anak saya.
“Mata Ibu berair karena tidak pakai kaca mata.”
Anak saya meraih surat yang ada di tangan ibunya lalu membaca keras-keras.
“Ada perempuan yang tidak tahu berterima kasih, tidak bisa mensyukuri hidup,
mengejek keterbatasan suaminya. Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan
orang lain. Suaminya kurang aktiflah, kurang bisa melobbylah, kurang lihai
merebut kesempatanlah, kurang memuaskan dalam….”
“Itu tidak usah dibaca!”
“Tapi ini betul, Bu!”
“Ya, tapi itu kan oknum!”
Anak saya mau meneruskan membaca, tapi istri saya merebut surat itu.
“Katanya harus dibaca, yang penting kan isinya!”
“Tidak semuanya harus dibaca, Ibu sudah tahu isinya!”
“Belum tentu. Mungkin Ibu tidak berani menerima kenyataan!”
Istri saya kesal. Tapi anaknya tidak takut. Itu bedanya anak muda dengan orang
tua. Anak muda meskipun malas, tetapi jujur. Orang tua terlalu banyak
pertimbangan dan penakut.
Istri saya langsung membuka kembali surat yang semula sudah dilipat dan
langsung membacanya. Mungkin ia tidak mau dituduh anaknya suka berpura-pura.
“Perjuangan perempuan yang sebenarnya adalah perjuangan untuk mencapai
persamaan yang benar-benar harmonis, jadi bukan membalikkan posisi. Dulu
perempuan dipoligami, sekarang perempuan jangan mau main poliandri! Musuh
perempuan bukan hanya kaum laki-laki, tetapi kaum perempuan yang salah kaprah!”
Istri saya menoleh.
“Kalau ini betul dan penting!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri!”
“Itu juga betul?”
“Nanti dulu, harus dilihat apa sambungannya!”
“Ya, sudah teruskan!”
“Musuh perempuan adalah juga dirinya sendiri, sama dengan lelaki dan seperti
juga manusia normal pada umumnya.”
Istri saya manggut-manggut.
“Kalau ini baru betul!”
“Terus?”
“Musuh perempuan adalah dirinya sendiri ….”
“Itu sudah tadi.”
“Tapi ini diulangi sampai dua kali. Musuh perempuan adalah dirinya sendiri,
karena perempuan memiliki kebiasaan untuk lebih peduli kepada perasaannya
sendiri. Terutama para ibu.”
“Betul!”
“Jangan nyeletuk, ini belum selesai! Umumnya para ibu karena sangat khawatir
pada keselamatan dan masa depan anak gadisnya, jadi bersikap over protektif
alias kejam —ini harusnya bukan kejam tapi keras.”
“Lho, surat orang kok dikoreksi?”
“…. sehingga gampang terjadi ketegangan, akibatnya sering bertengkar dengan
anak perempuannya yang mulai besar dan juga suaminya dalam soal-soal kecil dan
melupakan soal besar yang lebih penting dipikirkan!”
Anak saya tertawa.
“Diam!”
Mia mencoba menahan tertawanya tapi tidak bisa. Istri saya kesal dan memasukkan
surat itu ke dalam amplop lalu membantingnya ke meja.
“Ibu tahu apa tujuan surat ini!”
“Tapi kan belum selesai dibaca, bagaimana Ibu tahu?”
“Seorang Ibu tahu apa yang…”
“Ibu belum tahu?!”
“Ya.”
“Jangan begitu, berilah kesempatan surat itu bicara.”
“Nggak!”
“Kalau Ibu tidak mau membaca, biar aku membacanya.”
“Nggak!”
“Dalam hati saja.”
“Aku tahu siapa yang menulis surat kaleng itu!”
Istri saya marah sekali, lalu berbalik hendak kembali ke dapur. Setelah ibunya
pergi anak saya menggapai surat itu dan mulai membacanya dalam hati. Beberapa
saat kemudian dia tersenyum lalu tertawa.
“Apa katanya!” teriak istri saya yang nongol kembali dari dapur sambil membawa
pisau.
Anak saya menoleh.
“Ibu mau dengar?”
“Nggak!”
“Tapi ini betul!”
Mata istri saya membelalak. Dia menghampiri anaknya dengan kesal dan membentak.
“Apa yang betul?”
Anak saya tidak takut. Dia tidak pernah takut kalau merasa betul. Itu perbedan
antara anak-anak di masa saya muda dibandingkan anak-anak sekarang. Mereka
mungkin bukan kurang ajar, tetapi lebih berani memperjuangkan kebenaran yang
memang selalu menakutkan orang tua.
Tak peduli ibunya marah, anak saya membaca dengan suara keras.
“Anakku, aku mengajarkan kaum perempuan bukan hanya menyadari hak-haknya tetapi
juga kewajibannya. Berani tidak berarti kurang ajar. Bebas tidak berarti lepas.
Kalau perempuan ingin dihormati dan dihargai, perempuan juga harus menghormati
dan menghargai. Kalau pendapatan suami kurang jangan diejek, kalau suaminya
sakit jangan dituduh malas, kalau suaminya perlu kemanjaan harus diladeni,
kalau suami benar dan istri salah, istri harus mau dan berani mengaku salah
lalu minta maaf.”
“Betul!” kata anak saya dengan spontan sambil melirik ibunya.
Istri saya terkejut dan sekarang benar-benar marah.
“Apa yang kamu bilang betul!?”
Mata istri saya yang sudah lelah bekerja seharian kelihatan membara. Anaknya,
anak saya, anak kami, keder juga.
“Apa yang kamu bilang betul, ah? Ibu kamu ini tidak bisa menghargai bapak
kamu?”
“Bukan!”
“Kalau begitu, kenapa betul?”
“Tapi….”
“Tapi apa!”
“Memang betul.”
“Betul apa!!!!!!”
“Betul dugaanku.”
“Dugaan apa! Jangan belat-belit! Dugaan apa? Ibumu tidak bisa mensyukuri?
Ah?!!!!”
Anak saya menarik napas.
“Dugaanku betul, yang menulis surat ini pasti bapak.”
Istri saya menurunkan pisau yang secara tak sengaja terangkat karena emosinya
memuncak.
“Kalau itu, memang betul!”
“Tidak salah lagi, surat kaleng ini ditulis oleh bapak!”
“Pasti!”
Ibu dan anak klop. Keduanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari-cari bapaknya.
Waktu itu saya sedang ada di beranda membaca koran. Pikiran saya terjepit oleh
kelakuan Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan yang sudah menjadi warga
negara Amerika. Ia membantai 33 mahasiswa Institut Politeknik Virginia. Di
antara korban ada Partahi Mamora Halomoan Lumbantotuan (35 tahun), mahasiswa
Indonesia lulusan Unpar.
“Bapak curang!” teriak anak saya sambil menarik koran yang saya pakai
menyembunyikan muka.
“Curang?”
“Ya! Apa Bapak pikir perempuan itu lemah? Perempuan itu emosional? Perempuan
itu ringkih seperti barang pecah-belah. Bapak pikir kami tidak mampu menerima
kritik? Itu tahayul lelaki!”
Anak saya dan istri saya seakan-akan hendak melumat saya.
“Siapa bilang kalian lemah?”
“Habis, ini! Kenapa harus menulis surat kaleng seperti ini?!” kata anak saya
sambil menjulurkan kedua surat dari Kartini itu. “Kalau Bapak punya unek-unek
kan bisa bicara blak-blakan kepada kami? Masak menulis surat kaleng! Ini
namanya tidak kesatria. Katanya Bapak bekas pejuang!”
Saya mengamati kedua surat Kartini itu.
“Apa susahnya bicara terus-terang, kita kan serumah. Kita kan satu tim. Mengapa
mesti pakai memukul lewat belakang begini? Ini tidak fair, Pak!”
Saya diam saja, sebab tidak ada gunanya menjawab karena keduanya mau
menumpahkan unek-unek.
“Kami tidak pernah tidak menghargai Bapak. Bapak saja yang tidak bisa membaca
bahasa kami. Kami selalu mengerti dan memperhatikan Bapak, menurut kemampuan
kami tentunya. Jangan menuntut kami memanjakan Bapak seperti raja-raja, sebab
kita kan orang miskin. Kita orang kebanyakan. Dan Bapak juga bukan raja,
meskipun Bapak laki-laki! Kasihan Ibu disindir-sindir terus! Kasihan saya
dong!”
Anak saya hampir menangis. Saya tak bisa lagi berdiam diri.
“Dengerin, bukan hanya kalian, Bapak juga sudah menerima surat dari Raden Ajeng
Kartini,” kata saya sambil berdiri, lalu cepat pergi ke kamar.
Saya kembali dengan kacamata baca dan selembar kertas. Langsung saja saya geber
dan baca di depan mereka.
“Ini surat Raden Ajeng Kartini kepada Bapak. Dengerin. Anakku, jangan terkejut
menerima surat Ibu ini. Ibu terpaksa menulisnya karena Ibu melihat perjuangan
menegakkan emansipasi bagi kaum perempuan sudah semakin membingungkan. Kalian,
para lelaki selalu ketakutan dan menuduh, mengira kalau perempuan diberikan
kesetaraan, keleluasaan, dan kebebasan, perempuan akan mijah dan menjadi kuda
liar. Itu kecurigaan yang dibuat oleh ego lelaki yang takut kehilangan
kekuasaan. Mengapa kalau ada perempuan sesat satu saja, seluruh kaum perempuan
dicap ternoda. Sedangkan laki-laki, sudah jelas terkutuk, masih diangkat jadi
pejabat! Itu tidak adil. Yang bejat itu kan oknum. Jangan salah! Kalau kaum
perempuan mendapat haknya sekarang itu bukan karena kebaikan hati lelaki atau
jasa lelaki. Bukan. Jangan sampai lelaki menyangka sudah menyedekahkan
kebebasan pada kami. Tidak. Itu milik kami kok yang sudah lama diperkosa dan
kalian kuasai. Malah kalian lelaki harus malu besar sebab baru mengembalikannya
kepada kami sekarang. Kewajiban seorang lelaki, menemani perempuan sebagai
mitra di dalam keluarga yang setara hak, kecerdasan, kesempatan, di samping
juga kewajiban-kewajiban. Menghargai perempuan tidak perlu dengan memuja,
karena perempuan bukan berhala seperti patung yang minta disembah. Perempuan
memiliki hati dan perasaan yang memerlukan pengertian. Bukan materi, bukan
kehormatan, bukan kebanggaan, bukan kemenangan, apalagi kekuasaan yang akan
membahagiakan perempuan, tetapi kepercayaan yang diberikan dengan ikhlas.
Kewajiban lelaki adalah mencari, menemukan, dan membuat pintu hati perempuan
terbuka. Dan itu hanya bisa dengan cara menghargai! Tapi sorry, kebanyakan
lelaki belum lulus itu. Kelas satu saja belum naik-naik sampai tua bangka
seperti sekarang!”
“Betul!” potong istri saya sembari tertawa dan bertepuk tangan. “Baguslah kalau
Raden Ajeng Kartini menulis begitu kepada Bapak, biar nyahok! Jadi sekarang
Bapak mawas diri, mengerti, siapa dan di mana letak kesalahannya! Ya kan Mia?!”
“Memang betul. Masuk akal. Cukup logis, bagus, dan sampai maksudnya,” kata anak
saya menambahkan. “Tetapi bagus dan betul saja tidak cukup. Misi yang baik jadi
kurang nilainya kalau disampaikan dengan surat kaleng yang tidak jantan seperti
ini. Maaf, Pak, tadi kami sudah keliru menuduh Bapak yang sudah menulisnya.
Mungkin surat ini ditulis pacar Mia, atau siapa tahu Ibu Kartini sendiri. Siapa
pun dia, kita hargai pikiran-pikirannya yang positif.”
Anak saya tertawa. Mukanya ceria. Istri saya juga. Apa yang lebih membahagiakan
dari itu buat seorang lelaki? Keduanya kembali ke ruang dalam meninggalkan saya
sendirian. Begitu mereka masuk ke pintu, saya cepat melipat kertas kosong yang
saya baca tadi. ***
32."DOR"
SEBUAH BANGKU.
BEBERAPA ORANG TUA DUDUK-DUDUK DIBANGKU ITU BERJEMUR SEPERTI MENUNGGU
GILIRANNYA UNTUK MATI. KEDEKAT ORANG–ORANG ITU, MUNCUL SESEORANG MEMEGANG
BUNTALAN PANJANG. IA MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG TUA ITU. ORANG-ORANG TUA ITU
MENYISIHKAN SEDIKIT TEMPAT. ORANG ITU LALU DUDUK. IA MELETAKKAN DI PANGGKUANNYA
BARANG YANG TERBALUT KORAN ITU. IA NAMPAK SAKIT-SAKITAN TAPI SEDANG BERSIAP
UNTUK MELAKSANKAN TUGASNYA. KEMUDIAN IA MULAI BICARA KEPADA ORANG-ORANG TUA
ITU, SEAKAN – AKAN ITU SUDAH SERING DILAKUKANNYA. ORANG –ORANG TUA ITU
MULA-MULA ACUH TAK ACUH DAN DINGIN TETAPI LAMA-LAMA PENUH PERHATIAN
MENDENGARKAN.
Seperti setiap
orang miskin yang lain aku punya cita-cita. Seperti yang dianjurkan oleh Bung
Karno, aku gantungkan cita-cita setinggi langit. Aku panggil dalam mimpi. Aku
gunjingkan setiap kali. Kemudian aku kejar. Aku kejar sampai babak-belur, jatuh
bangun, nafasku sering tercekik. Tapi apa lacur, tanganku tidak memegang
apa-apa. Bahkan menyentunya pun tak sempat.
Seperti
kebanyakan orang lemah yang lain, aku bingung ketika sampai dipinggir kali
besar yang deras dan terjal, karena tak ada jembatan. Apa daya tidak ada alat
penyeberangan. Sementara aku tak punya keberanian untuk meloncat
untung-untungan karena tenagaku terbatas, aku tidak percaya aku mampu sebab aku
tidak bisa berenang.
Seperti puluhan
juta orang lain yang gagal, aku membuat keputusan yang tidak aku sukai. Aku
angkat tangan dan melambai kepada cita-cita yang tak mampu aku wujudkan itu.
Air mataku lepas dari kelopak sambung-menyambung seperti kerikil. Kakiku
luka-luka. Di dalam bathinku ada borok yang membuat aku amat malu.
Seperti
orang-orang kalah yang lain, aku berbalik. Pulang kembali kerumah tapi dirumah
rasanya amat kosong, miskin dan hina. Setiap kali mata aku tutupkan, hatiku
hancur. Hidup sudah berakhir, tapi aku mesti melanjutkannya. Dalam keadaan yang
tak berdaya itu, aku jadi menyerah. Pasrah karena tidak ada lagi jalan lain.
seperti sepotong pecahan kayu aku ikuti aliran sungai yang membawaku ke tepi
laut.
Aku membunuh
cita-citaku lalu menjadi satpam dalam pabrik-pabrik milik seorang bangsat
besar. Gajiku besar. Setiap hari aku memakai pakaian seragam. Membawa
tugas-tugas yang tidak boleh dipertanyakan. Melaksanakan seluruh kebijaksanaan
yang sudah digariskan. Menjadi seekor anjing pengawal yang harus menggonggong
apa saja yang merongrong. Dan memegang sebuah senjata, untuk mengamankan
seeluruh tugas-tugas tersebut. Aku diperintahkan menembak, membunuh
sungguh-sungguh bukan sekedar menakut-nakuti.
Ketika anakku
lahir, cita-cita yang sudah aku kubur itu kembali lagi. Kata orang, anak
menjadi perpanjangan usia kita. Dengan anak, kita memiliki sebuah galah, untuk
menjangkau buah ranum. Dengan anak ditangan aku tumbuh lagi. Nyawaku ditarik
untuk melindungi, membesarkannya dan menjadikannya manusia berguna. Cita-cita
yang menggoda kembali itu tidak kubiarkan menjamahku. Aku persilahkan dia
datang untuk anakku. Anak itu aku persiapkan baik-baik. Makanannya diatur.
Pendidikannya diluruskan. Lingkungannya diperbaiki. Masa depannya dipersiapkan.
Tidak sebagaimana orang tuaku dulu, yang tidak membantu mempersiapkanku
mencapai cita-cita karena tidak mampu. Aku latih anakku, bukan saja untuk
menggantunngkan cita-citanya lebih tinggi dari langit, teapi juga untuk
meloncat, menerkam dan merebut cita-cita itu. Ia harus garang melompati sungai
yang tak berhasil kusebrangi. Dia harus menjadi manusia yang sukses
Aku tuturkan
kepadanya dongeng –dongeng kejayaan orang besar. Baaimana Hannibal menaklukkan
pucak Alpen. Bagaimana gajah mada mempersatukan nusantara. Bagaimana Oom Lim
Sioe Liong bisa berhasil menjadi orang kaya raya. Bagaimana pak habibie menjadi
orang terkemuka dengan puluhan jabatan. Bagaimana pak Harmoko menjabat menteri
penerangan sampai tiga kali sekaligus merangkap ketua umum Golkar.
Tapi tidak hanya
itu. Aku juga berterus-terang menceritakan kegagalan-kegagalanku sendiri.
Kenapa aku sampai tumbang, padahal cita-cita sudah tergantung begitu tinggi.
Setiap hari aku
ajarkan kepadanya bahwa kerja, kerja, kerja adalah nomor satu. Bahwa belajar,
belajar, belajar, juga nomor satu. Semua yang bagus-bagus nomor satu. Meskipun
nasib juga nomor satu. Anak itu tidak boleh bernasib seperti aku, bapaknya. Dia
harus menembus nasib. Dia harus melesat meninggalkan rumah kami yang kumuh dan
hina. Dia harus menjadi seorang pahlawan.
Setiap malam
kalau sudah sepi dan anak itu tidur pulas, aku dan istriku memandanginya dengan
takjub. Memang benar, anak itu adalah harta karun. Ia telah membuat aku
bersemangat lagi bekerja meskipun usia sudah menjadi manula. Dia seperti
matahari di dalam rumah kami.
Barangkali
sebenarnya anak itu tidak terlalu bodoh. Tidak terlalu ringkih, seperti aku,
bapaknya. Ia mungkin hanya tidak sanggup untuk menanggung semua mimpi-mimpi
yang terlalu besar itu untuk menjadi kenyataan. Karena ia sendiri memiliki
mimpi. Dan mungkin sekali mimpinya itu amat berbeda bahkan bertentangan dengan
mimpiku. Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah menanyakannya. Ia juga tidak
pernah mengatakannya. Ia hanya memandang kepada aku, dengan mata kosong,
acuh-tak acuh dan mungkin sekali benci atau jijik.
Ketika ia rontok
dari sekolah, seharusnya aku mulai sadar bahwa ia bukan seorang pahlawan.
Tetapi waktu itu, aku lebih banyak menyalahkan guru. Aku anggap bukan anak itu
yang bodoh, tetapi gurunya yang malas. Sistem pendidikannya yang buruk sehingga
sehingga membuat seorang jenius sudah mati kutu. Lalu aku datangi sekolah itu.
Guru-gurunya aku sumpahi habis-habisan. Demi keselamatan anakku, aku cabut dia
dari sekolah itu lalu aku didik sendiri di rumah.
Tetapi apa yang
terjadi kemudian, payah. Jabatanku yang terus bertambah, tanggungjawabku yang
makin njelimet, waktuku yang selalu habis dalam tugas,
membuatku juga jadi orang yang tidak mampu. Meskipun aku bisa membebaskan anak
itu dari sekolah, aku tidak berhasil mengisinya dengan pengetahuan. Aku terlalu
sibuk. Akhirnya anak itu dididik oleh lingkungannya. Oleh kawan-kawanya
sendiri.
Aku masih ingat
sekali, seperti baru kemaren sore, pada suatu pagi, aku dijemput ke tempat
pekerjaan oleh istriku. Ia menangis tersedu-sedu. Lalu melaporkan bahwa anak
itu, sudah menjadi haram jadah. Ia berguru kepada bandit-bandit mantan penghuni
penjara Nusa Kambangan. Ia menjadi bandit bandar obat terlarang. Tak
segan-segan merampok, membunuh, dan memperkosa.
Aku langsung
diam disarangnya. Aku menceritakan kepadanya bahwa tidak semua pekerjaan adalah
pekerjaan, pekerjaan yang membawa keruntuhan moral, kebejatan akhlak, dan
kematian orang lain, adalah kejahatan. Dan semua bentuk kejahatan bukanlah
pekerjaan, tetapi dosa.
Anak itu hanya
tertawa. Ia sudah sakit. Jiwanya sudah terganggu. Semakin diberi nasihat, ia
semakin sesat.
Aku marah lagi
kepada guru-guru. Kepada sekolah yang sudah tak berhasil mendidik anakku. Aku
datangi sekolah itu dan menunjukan kepada semua orang, bahwa itulah akibat dari
satu sistem pendidikan yang ngawur. Meskipun diam-diam didalam hati, aku
membantah sendiri apa yang sudah aku katakan. Karena seandainya aku tidak
memasukan anakku kesekolah itu, mungkin ia sudah lebih awal bejat.
Aku frustasi.
Kini anakku bukan lagi harapan, tetapi hukuman. Aku sudah dikhianati oleh
cita-citaku sendiri. Aku dimakan dari dalam sedikit demi sedikit. Aku tidak
boleh membiarkan semua itu. Aku tidak boleh melepaskan cita-cita yang tiba-tiba
menghampiri sendiri setelah lenyap. Aku tidak boleh membiarkan anak itu menjadi
kecoa, karena aku bapaknya. Sebagai orang tua aku bertanggungjawab untuk
menjadikannya pahlawan. Aku harus menjadi juru selamatnya.
Aku ingin kamu
menjadi orang bukan binatang. Jadilah sekali ini saja seorang yang bisa
kubanggakan dalam hidupku. Sesudah itu, terserah apa yang ingin kamu lakukan,
karena hidupmu adalah milikmu. Aku tidak minta kamu kembali kesekolah. Aku
tidak minta kamu pergi ke psikiater lagi. Aku tidak akan minta kamu menuruti
semua kata pak guru. Aku hanya minta besok, kamu datang kedepan pabrik tempat
untuk kerja. Berdiri didepan kantor bersama buruh-buruh yang lain. besok akan
terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran, untuk menentang upah dibawah upah
minimum yang selama ini sudah dipraktekan perusahaan.
Datanglah
kesana. Ikutlah bersorak bersama orang-orang itu, untuk menuntut kebijaksanaan
baru. Teriakan apa saja yang mereka teriakan, walaupun kamu tidak mengerti.
Serukan keadialan bersama-sama mereka disitu, lebih keras dari mereka, walaupun
kamu tidak tahu apa itu keadilan. Tunjukan kepada orang lain, bahwa kamu itu
berguna. Kamu mampu menentang bapakmu. Sekali ini saja supaya aku bangga.
Esok paginya ia
muncul bersama-sama orang-orang yang berdemonstrasi untuk menegakan hak-hak
azasi itu. Sebenarnya bukan untuk memenuhi permintaanku, tetapi justru untuk
menghinaku. Aku lihat dari jendela pabrik, ia berdiri didekat tukang rokok
tersenyum dan tertawa-tawa. Ditangannya lintingan ganja yang berkali-kali
disedotnya dengan nikmat. Aku yakin ia sudah dalam keadaan teler berat.
Sementara disekitarnya para buruh pabrik yang sedang memperjuangkan hidup
matinya dengan beringas mengangkat tangan dan menyerukan yel-yel yang
memaki-maki kesewenang-wenangan perusahaan dan pemilik pabrik yang sudah
menginjak-injak nasib mereka puluhan tahun. Dengan garang mereka menentang para
petugas yang menghadang dengan senjata terhunus. Sekali-sekali anakku mengangkat
tangan dan meneriakan kata-kata kotor.
TERDENGAR SORAK
SORAI ORANG-ORANG YANG BERDEMONSTRASI. GEGAP GEMPITA DENGAN YEL-YEL YANG
DAHSYAT.
LELAKI TUA ITU
MENUNGGU SAMPAI KERAS BENAR. KEMUDIAN PERLAHAN-LAHAN IA MEMBUKA BUNGKUSAN YANG
DIBAWANYA. TERNYATA SEBUAH SENAPAN. IA MEMASUKAN PELURU KEMUDIAN MEMANDANG.
SKALI LAGI BERDOA.
Ya Tuhan, aku
minta ampun kepadamu Tuhan. Aku lakukan semua ini untuk kebaikannya. Aku terima
seluruh dosa-dosaku untuk semua ini. Tetapi izinkanlah aku menjadikan anak itu
seorang pahlawan.
YEL ITU SEMAKIN
GEGAP GEMPITA. KEMUDIAN IA MEMBIDIK. SETELAH TEPAT BENAR IA MELEPASKAN
TEMBAKAN. DOR. MENDADAK SEMUANYA SEPI. IA MEMBUNGKUS SENJATANYA LAGI, LALU
BERDIRI. SEMUA BENGONG MENATAPNYA. IA MENARIK NAFAS. SEBELUM PERGI, IA
BERBISIK.
Tembakan itu
luput, melempas membunuh tukang rokok. Karena itu aku tidak berhasil menjadi
pahlawan seperti yang diharapkannya.
ORANG ITU PERGI.
ORANG-ORANG TUA ITU MENOLEH SATU SAMA LAIN, SEPERTI MENCOCOKAN PERASAANNYA,
TETAPI TIDAK MENGATAKAN APA-APA, KEMUDIAN MEREKA MEMPERHATIKAN ORANG ITU
MENJAUH. DIANTARANYA ADA YANG MELAMBAI. ADA JUGA YANG MENANGIS, SEAKAN-AKAN
BERCERITA TENTANG USAHANYA YANG GAGAL.
Jakarta,
17-7-1995
33."dokter"
Banyak
yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar
rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke
rahim ibu? Virus influenza, HIV, flue burung sampai sekarang masih dicari
obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.
Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven
Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih
dulu mau konsultasi ke dukun.
Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah
langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum
infuslah yang sudah membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus
atau tidur di hotel bintang lima, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat
kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat
tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi
keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami
tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa ke mari pakai taksi! Uang kami sudah
banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa ke mari nampaknya dia sudah tidak ada!”
“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia
Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular
itu dari perutnya!”
“Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab
orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter jangan ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong
kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah susah Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat bertindak!”
Saya disumpah untuk menjalankan praktek sesuai dengan ethik kedokteran. Tetapi
di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa
yang mereka minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan
orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di
perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menegak
ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata
kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang
sudah terlambat bertindak.
“Kalau pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat.”
“Terlambat bagaimana?!”
“Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya bersatu dengan
darah. Di bawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke Puskesmas
yang fasilitasnya brengsek ini. Dokter tidak bertanggungjawab!”
“Dokter harus bertindak!”
“Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya bisa menulis surat kematian
pasien supaya bisa dibawa pulang!”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat.
Dia harus terus hidup! Dia kita bawa ke mari untuk maksud supaya dia bisa
sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan
keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh
mati!”
“Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”
“Makanya kau harus berusaha terus Dokter!”
“Berusaha bagaimana lagi?”
“Panggil! Kejar sekarang!”
“Kejar ke mana?”
“Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter
cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasri bisa disusul!”
“Disusul?”
“Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”
Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu
kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan
senjata kalau nantinya harus berkelahi.
“Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya
saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu,
asal habis jam kantor!”
“Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini
dokter atau mantri?!”
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di
sekitar Puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis,
berdoa dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan
jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya
lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran
itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga
karena terlalu capek.
Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin
tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya
meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya
tidak berpikir lagi seperti seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di
kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya
buka pintu.
“Bagaimana?”
“Tenang!”
“Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!”
“Saya sudah berusaha..”
“Dan hasilnya?”
“Lumayan.”
“Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang
birokrat yang suka menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?”
“Berhasil.”
Mereka tercengang.
“Jadi dia hidup lagi?”
“Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?”
“Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia ke mari!”
“Saya sudah mencoba.”
“Terus hasilnya?”
“Itu, ” kata saya menunjuk pada mayat.
Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar
mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya
tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang.
Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang
harus dilakukan.
“Ayo!”
Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak
percaya apa yang sedang mereka lihat.
“Jadi dia hidup lagi?”
Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa..
“Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?”
“Dan mengapa bau?”
“Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur.”
“Tidur?”
“Ya.. Tidur untuk selamanya.”
“Apa?!!!!”
“Tapi dia meninggalkan pesan.”
“Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!”
Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang
gaji itu.
“Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku
yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku
istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali, puluhan tahun berjuang
menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!”
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi
kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya
tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia
mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya,
ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang
itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang
sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak.
Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang
meninggal itu dengan tertib keluar dari Puskesmas untuk dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin mengatakan, bahwa saya sudah berhasil membeli
kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan
itu dari kaca-mata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga
tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang
berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat bagi mereka itu, dengan
bahasa yang mereka pahami.
“Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya
tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke Puskesmas. Tidak
melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal
memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin
juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan-perasaan mereka,
karena saya tidak menganggap kebenaran kota sayalah yang paling benar.”
Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam
situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah
ke dunia yang sama sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap,
lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai
dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah
menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat
dan berdosa kepada almamater saya.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah
berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke Puskesmas. Kalau saya tolak, bisa
jadi konflik, karena saya sudah terlanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan
membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi, saya akan berhadapan dengan
kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.
Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus
merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah
namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya
cepat sekali bangkrut.
Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya.
Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara itu kondisi kesehatan di daerah
terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya
dibawa ke Puskesmas, minta agar saya mengobatinya.
Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak
percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan
lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan
dirinya di balik keluguan. Strategi “orang bodoh” untuk membunuh lawan pintar
yang lebih kuasa dengan halus.
Pada suatu malam, muncul di Puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh
dengan luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuhnya. Rombongan pengantarnya
banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman Puskesmas
“Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas., “kata
putra kepala suku, “Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa
supaya dibawa ke mari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai
dia mati, berarti kami kalah dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan
seluruh warga kami!”
Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana
saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di
sekitar Puskesmas dengan senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang
terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali
hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit
tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan
itu.
Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di
samping itu akhir hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa
sekali, karena saya memang bukan dukun yang sebenarnya.
Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya
sudah berpura-pura jadi dukun, agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi
ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu
mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak
kepala suku beserta seluruh prajurinya yang berang itu menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan kecewakan kami Dokter!
Saya tidak berani menjawab.
“Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat
binatang perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena
kebakaran, gempa, banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan
sampai kalah dan menanggung malu.
Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran . Dia tidak boleh mati
karena senjata lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik
kami musnah daripada menanggung malu karena kalah!”
“Saya paham itu.”
“Kalau begitu hidupkan lagi Bapa.”
“Saya sudah berusaha.”
“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!”
“Tapi .. “.
“Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun
kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa
artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?”
“Ya itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!”
“Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa
saya itu lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua
akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?”
“Apa?”
“Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya
asal bisa menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang Dokter!”
“Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin.”
“Tapi kau Dokter kan?!”
“Betul.”
“Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa bapa kami tidak? Apa bedanya?
Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu
menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara bendera, tidak seperti
orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat uang dari negara, tapi
cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa dibiarkan mati? Ayo
Dokter!”
Saya tidak sanggup menjawab.
“Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?”
“Tidak.”
“Kalau begitu hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa
orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang
berjuang untuk negara tidak? Tolong Dokter!”
“Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat
diberantas.”
Anak kepala suku itu kaget.
“Maksud Dokter Bapaku mati?”
Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung
keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong
seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata
seperti hendak mencencang apa saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai
meloncat lari menyelamatkan diri.
Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung
tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati,
saya tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan
gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di
laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan
pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil
posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu
mencintai hidup walau betapa pun brengseknya. .
“Diam!!!!” teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas,
tetapi cepat saya gapai lagi, itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala
suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
“Jangan tembak!!!”
Dengan gemetar saya tunjukkan tiang bendera itu.
Anak Kepala Suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi
merah-putih kecil yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalau entah
darimana datangnya keberanian, saya berbisik.
“Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!”
Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain
pun tegang. Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah
lemas. Saya tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah.
Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan
menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera
kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.
“Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!” serunya.
Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita. Kemudian
dengan khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk
dikebumikan.
Sejak itu bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke
Puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalau
pun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi Puskesmas tidak
pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah
saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun, saya hanya ingin mencintai
saudara-saudara saya itu.
34.”Balikui”
Suara
Pembaruan, Edisi 11/03/2002
Di
hadapan sekitar tiga ratus mahasiswa di Hunter College, New York, Wayan harus
bercerita tentang Bali. Claudia Orenstein, pengajar teater Asia di perguruan
tinggi negeri itu, meminta Wayan tampil sekitar satu jam. "Boleh ngapain
saja. Menari, menyanyi, menjelaskan sesuatu, membaca cerpen, yah apa sajalah,
asal Bali," kata Claudia. Wayan jadi ngeper. Pertama bahasa Inggrisnya
berantakan.
Membaca
ia bolehlah, tetapi berbicara di depan orang-orang yang berbahasa Inggris, ia
bisa mati kutu. Di samping itu, apa yang mesti diceritakannya tentang Bali.
Dalam daftar buku wajib para mahasiswa tercantum buku yang sudah komplet
menjelaskan Bali. Di antaranya buku Kaja-Kelod yang ditulis oleh Doktor I Made
Bandem dan Doktor Fritz de Boer. Beberapa malam Wayan nyap-nyap. Ia mencoba
membongkar-bongkar slide yang dibawanya. Itu bisa mengisi waktu sekitar
seperempat jam. Kemudian mungkin ia akan memutar video pertunjukan sendratari
Ramayana, kecak dance atau legong keraton.
Selanjutnya
ia dapat menunjukkan beberapa gerakan tari Bali. Sisanya menjawab pertanyaan
kalau ada. Tapi begitu berdiri di podium, melihat ratusan pasang mata
menatapnya, ia jadi kelengar. Tidak hanya mata Amerika, juga ada mata Hong
Kong, Jepang, Thailand, Filipina, bahkan terselip satu dua mata orang
Indonesia. Rencana Wayan buyar. Semuanya berantakan.
"Saya
minta maaf karena bahasa Inggris saya, bahasa hancur lebur. Tetapi barangkali
karena itu saya terpilih berbicara di depan Anda semua. Karena paling tidak
saya bisa menjadi tontonan konyol," kata Wayan membuka kelas
Para
mahasiswa langsung tertawa berderai. Wayan terkejut. Ia tambah kecut hati,
karena pengakuan jujurnya ditertawakan. "Waduh saya jadi grogi, maaf
mungkin saya harus permisi ke belakang dulu," kata Wayan sambil menoleh
kepada Claudia yang ikut duduk di deretan mahasiswa, menembakkan kamera untuk
dokumentasi. Para mahasiswa tertawa lebih keras.
Wayan
jadi bingung. Akhirnya ia nekat. "Tapi kalau saya ke belakang, saya takut
Anda ikut semua. Jadi lebih baik saya tahan saja, mudah-mudahan saja tidak
kebablasan di sini di depan Anda." Para mahasiswa semakin seru ketawa.
"Maaf saya tidak melucu." Beberapa mahasiswa bertepuk tangan gembira.
"Lho sungguh. Sebagai orang Bali, saya tidak pintar berbicara, apalagi
dalam bahasa Inggris. Terus-terang, sebenarnya tak ada yang perlu saya
bicarakan kepada Anda. Anda sudah tahu semuanya.
Coba
apa yang tidak Anda ketahui? Tidak ada. Justru yang tidak saya ketahui, banyak
sekali. Misalnya, lho kenapa Anda semua harus mendengarkan cerita orang yang
tidak tahu seperti saya. Sebetulnya saya yang lebih pantas mendengarkan cerita
Anda. Orang Bali yang harus banyak belajar dari orang Amerika."
"Lihat saja dari kepala sampai ke kaki, saya sudah mencoba jadi orang
Amerika. Saya memakai celana jins buatan Amerika. Sweater saya ini juga saya
beli di loakan di sini. Dan tadi saya baru makan Burger King. Apalagi saya
sekarang mencoba bicara dalam bahasa Inggris yang membuat saya sudah stres
selama satu minggu. Tapi saya kok jadi tambah Balikui rasanya. Lucu kan?"
Wayan tertawa, menyangka apa yang dikatakannya lucu.
Tapi
tak ada mahasiswa yang ikut tertawa. Wayan jadi berkeringat. "Ya, terus
terang saya sudah habis-habisan mencoba menjadi orang Amerika. Tetapi sudah dua
bulan di sini, makan, berpakaian, berbicara dan hidup seperti orang New York,
tetap saja saya tidak pernah bisa berhasil jadi orang Amerika. Ternyata sekali
saya lahir sebagai orang Bali,
saya
sudah dikutuk jadi orang Bali. Apa pun yang saya coba lakukan, berbohong atau
menipu sekali pun, tetap saja masih bernapas, berjalan, berpikir, bekerja,
tidur, pacaran, bahkan berak sekalipun, saya tetap berak orang Bali." Para
mahasiswa tertawa. Wayan kembali heran.
"Jadi
bukan pakaian, bukan makanan, bukan juga pikiran yang membuat saya menjadi
orang Bali, tapi takdir. Dan saya tidak bisa memilih takdir. Saya dipilihkan.
Saya pernah mencoba mengusut apa saja takdir saya itu yang menjadikan saya
berbeda dengan Anda semua orang Amerika, termasuk juga Anda yang berasal dari
belahan dunia yang lain. Tapi saya tidak berhasil menemukan jawabannya. Saya
hanya punya contoh. Waktu saya mendarat pertama kali di Amerika, bahkan datang
pertama kali di New York sini, selama satu minggu, bahkan sampai satu bulan
saya sulit membedakan kalian satu sama lain.
Nampaknya
kalian orang Amerika sama semua. Padahal rambut, tinggi, potongan badan,
kelakuan, pakaian, nama serta usia dan watak kan lain-lain. Tapi sebaliknya
juga terjadi pada turis Amerika yang datang ke Bali. Selama satu minggu atau
sebulan, semua orang Bali buat mereka sama. Wayan semuanya.
Jadi
kalau begitu, pertanyannya adalah: apa yang sama pada semua orang Bali?"
Beberapa orang mahasiswa bergerak, siap menulis di atas catatannya. "Maaf
jangan ditulis, jangan percaya pada saya, siapa tahu saya bohong atau menipu
kalian," kata Wayan. Para mahasiswa tertawa cekakan.
Wayan
kembali berkeringat. "Orang bilang, orang Bali itu balikui," lanjut
Wayan, "artinya lugu, polos begitu. Dalam bahasa Inggrisnya apa ya? Apa ya
Claudia?" Claudia mengucapkan satu kata. Tapi Wayan tak mendengarnya.
Namun para mahasiswa mencatat. "Banyak orang mencoba belajar kesenian
Bali, tari Bali, gamelan Bali dan sebagainya, dengan meniru pakaian, langkah,
gerak dan agemnya," kata
Wayan
menyambung, "tetapi meskipun secara matematika sudah persis, benar begitu,
selalu saja hasilnya kaku. Belajar gamelan dan tari Jawa juga sama saja begitu.
Tidak pernah pas. Kadang berlebih-lebihan, kadangkala kurang. Masalahnya, saya
kira karena mereka mencoba mendekati dari bentuknya. Ya tidak akan pernah klop.
Karena itu, mempelajari Bali, mengajarkan Bali, sebaliknya juga mempelajari
Amerika dan mengajarkan Amerika, yang selama ini dimulai dari bentuknya saja,
harus dihentikan. Takdirnyalah yang harus dipegang. Baru kalau itu dipahami,
tanpa belajar pun Anda semua bisa menjadi penari Bali, dan tahu tentang
Bali." Claudia memberi isyarat pada Wayan dengan menunjuk jam tangannya,
tanda waktu sudah berlalu. Para mahasiswa berdiri siap-siap untuk pergi.
Wayan
kontan berkeringat. "Lho, saya belum sempat lagi mulai, kok waktunya
keburu habis? Ya sudah, maaf saja, sekian dulu," kata Wayan menyesal,
sambil memandang Claudia seperti orang kalah perang. Para mahasiswa bertepuk
tangan.
Jakarta,
17-5-02
35."Gagasan"
POHON
jambu bol yang ditanam Gun itu berusia 100 tahun. Pada ulang tahunnya,
sahabat-sahabatnya datang berkunjung untuk menyatakan rasa syukur. Yang
mengherankan Gun juga hadir.
Pohon jambu itu menegur.
"Lho, empat puluh tahun lalu, pada ulang tahunmu yang ke-60, kamu bilang
kamu tak akan bisa hadir hari ini, ternyata kamu di sini sekarang."
Gun, waktu itu sudah memutih rambut dan jenggotnya, mengangguk lalu menjawab.
Sebagaimana biasanya dingin, gagap dan muram.
"Aku juga heran. Ternyata aku sudah di sini. Tapi bukan untuk mengucapkan
selamat ulang tahun. Sebab menjadi tua bukan sebuah prestasi yang bisa
dibanggakan, karena kalau orang duduk saja menunggu dia juga akan menjadi tua
dengan sendirinya."
Pohon jambu itu agak tersinggung.
"Siapa yang sudah menunggu? Aku tidak pernah duduk. Aku selalu berdiri,
tumbuh dan melawan musim kemarau yang panjang. Melawan badai dan petir yang
kurang ajar mau melalap apa saja, karena mereka tak pernah mengenal pengertian
sahabat atau solidaritas. Mereka tak mendirikan partai atau bikin ideologi di
mana aku bisa berlindung."
"Pernah ada yang memasang penangkal petir di tubuhku, tapi dia mati waktu
memasangnya. Aku tidak mudah mencapai usia satu abad yang relatif singkat buat
sebuah pohon. Aku juga masih harus melawan orang-orang yang mau menebang ketika
usiaku masih sangat kecil, karena mereka memerlukan tanah tempatku berpijak ini
untuk dijadikan pasar swalayan. Untung ada hantu yang waktu itu indekos di
sini, dia marah lalu mencekik bangsat itu.
Sekarang orang itu sudah ikut jadi hantu. Untuk beberapa lama aku ditakuti
karena dianggap angker."
"Sempat aku jadi selebriti dan dimuat di berbagai koran ditayangkan di
setiap layar televisi karena aku dianggap punya kekuatan gaib. Media massa dan
para intelektual itu memang tidak punya kerjaan, mereka tak pernah mencangkul
di sawah, mereka menghabiskan waktunya untuk menganalisis pohon."
"Sebenarnya mereka memanfaatkanku. Aku yang capek mengadakan perlawanan,
mereka yang menikmati hasilnya. Tapi buatku aku enak saja. Toh aku jadi
primadona. Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang ajar
dan meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk menjual alat untuk
memperbesar kemaluan."
''Masak di kepala selebriti ada papan reklame untuk
memperbesar kemaluan. Aku menjadi bahan tertawa dan ejekan meskipun memang
terkenal. Kamu boleh tidak percaya, tapi sampai sekarang papan itu masih
melekat di kepalaku, tertutup oleh daundaun, karena rasa malu itu sudah menyatu
dengan badanku."
"Nah, kamu mengerti sekarang, aku sudah bertahan hidup sambil terus
menghirup rasa malu itu. Apa kamu bisa membayangkan seratus tahun dengan rasa
malu setiap hari. Dan kau seenaknya mengatakan bahwa usia tua akan datang juga
meskipun berpangku tangan. Siapa yang sudah berpangku tangan? Kamu?
Aku menderita luka di dalam batin selama seratus tahun, hanya untuk sebuah
perayaan semacam ini, dan kamu tiba-tiba menyeruak dan kurang ajar mendemo aku,
menuding bahwa aku sudah tua sambil duduk-duduk. Kurang ajar kamu Gunawan!"
Gunawan mengangguk.
"Terima kasih. Aku memang kurang ajar. Meskipun karena terpaksa."
Pohon itu tercengang.
"Kelihatannya kamu tidak mengerti apa yang aku bilang!"
"Buat apa aku mengerti," jawab Gunawan.
"Kalau begitu buat apa kamu datang ke mari?"
Gunawan melihat ke arah pohon yang rindang dan berbuah lebat itu.
"Itulah yang ingin aku ketahui, kenapa aku datang sekarang.
Bagaimana kamu bisa hidup seratus tahun dengan rasa malu itu."
"Kau bertanya?"
"Aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada diriku sendiri."
"Aku bisa membantu menjawab, supaya kamu tidak usah pulang dengan
terheran-heran."
"Tapi aku tidak perlu jawabanmu. Aku perlu jawabanku sendiri."
Pohon jambu bol itu penasaran.
"Sombong betul kamu! Baik. Kalau begitu sekarang aku yang tanya.
Apa jawabanmu?"
Gunawan diam.
"Kenapa kamu diam. Atau kamu belum ketemu jawabanmu?"
"Tadi belum. Sekarang setelah kamu menuduhku tidak tahu apa jawabannya,
aku sudah ketemu. Mungkin sudah ketemu."
"Apa?"
Gunawan melihat kepada pohon itu. Pohon yang 100 tahun lalu dimasukkannya ke
dalam tanah dengan harapan akan berusia berabad-abad, sekarang baru satu abad
kelihatannya sudah payah.
"Aku akan menjawab, tapi kamu berani bayar berapa?"
Pohon jambu bol itu terkejut.
"Berengsek, kalau kamu mau jualan bukan di sini tempatnya. Pergi ke kota,
daerah Glodok atau ke Gedung MPR!"
Gunawan menjawab tenang.
"Aku baru saja dari sana."
"Kalau begitu ngapain kamu datang ke mari? Apa kamu tidak laku di situ?"
"Ya."
Pohon jambu bol itu tiba-tiba tertawa. Buahnya yang lebat berjatuhan ke tanah.
Para tamu yang menjejali halaman, kontan berdiri dan berebutan mengambil
jatuhan jambu. Gunawan iuga ikut mengambil. Sebenarnya bukan karena ia takut
tidak kebagian, tapi karena jambu itu sudah menghantam kepalanya dan mengotori
jenggotnya. Ia mengendus jambu itu, lalu membelahnya.
Nampak seekor ulat menggeliat-geliat di dalam jambu itu.
Gunawan mengacungkan jambu itu ke arah pohon.
"Setiap buah yang kamu hasilkan menjadi jambu yang dibawa oleh pertapa
yang sudah dihina oleh Parikesit yang menyamar masuk istana sebagai pendeta. Di
dalam setiap buah yang kamu produksi ini ada naga Taksaka yang akan membunuh
generasi penerus Pandawa."
Pohon jambu bol itu berhenti tertawa.
"Aku tidak mengerti mitologi India. Aku tidak membaca Mahabharata."
"Itu salah kamu. Kamu pikir usia panjang saja cukup?"
"Ya dong. Buat sebuah pohon, usia panjang sudah cukup. Dengan usia
panjang, tubuhku akan semakin kuat. Akar-akarku akan semakin menancap.
Cabang-cabang dan daunku akan semakin lebat. Apa yang lebih baik dari usia
panjang, pengalaman banyak. Dengan usia panjang aku melihat, mendengar dan
mengalami lebih banyak. Aku bukan manusia, aku tidak harus berkarya seperti
kamu. Satu-satunya tugasku adalah bikin anak, menyebarkan keturunan dan mempertahankan
kekuasaan. Dan itu sudah kulakukan dengan catatan hebat sebagai penghancur
konsep Keluarga Berencana yang sudah jadi idiologi dan status sosial itu!"
Gunawan nampak bersiap-siap hendak pergi.
"He mau ke mana kamu?"
"Aku mau pulang, sebab ternpatku bukan di sini. Aku punya anak dan istri.
Aku juga punya cita-cita. Lebih daripada itu, aku sudah mati. Manusia tidak ada
gunanya hidup sampai seratus tahun. Pablo Picasso mati dalam usia 90
tahun."
"Jadi kamu sudah mati?"
"Gagasan-gagasanku tidak pemah mati."
"Maksudmu aku?"
Gunawan memandang pohon itu.
"Kau bukan gagasan."
"Sialan. Kamu pikir aku ini apa?"
"Kamu pohon. Pohon jambu bol yang berusia 100 tahun. Mungkin akan bisa
sampai 200 tahun, kalau kamu hati-hati dan bemasib baik atau setidak-tidaknya
dilupakan takdir. Tapi hampir pasti akan ada saja yang akan mengakhiri hidup
kamu. Sebab kamu sudah menjadi terlalu besar. Kebesaran sulit dihindarkan dari
banyak dosa."
"Tapi aku pohon yang sudah ditanam oleh tangan kamu sendiri, Gun!"
"Persis. Jadi jelas kamu hanya pohon, bukan gagasan. Mungkin sebentar lagi
semua tamu-tamu yang datang ini akan mati karena dipatuk oleh naga
Taksaka!"
"Kamu bohong!"
"Aku tidak bohong, tapi mungkin aku salah."
Gunawan kemudian melangkah pergi.
"He penyair, tunggu!"
Gunawan menoleh.
"Aku bukan penyair, sudah lama aku tidak menulis sajak."
"Oke siapa pun kamu, budayawan, politikus, pemikir, reformis, pejuang hak
asasi manusia, pelopor demokrasi, CIA, nabi atau manusia hipokrit, kamu tidak
berhak pergi begitu saja setelah bikin Catatan Pinggir!"
"Kamu harus ingat, aku telah mati. Tidak ada manusia yang bisa hidup produktif
lewat usia 90. Aku bukan pohon seperti kamu!"
"Itu dia. Karena kamu bukan pohon, kamu bisa hidup meskipun sudah mati. Sekarang
aku tahu, itu sebabnya kamu bisa datang ke mari. Kamu ternyata bukan
manusia!"
Gunawan tak menjawab. Seperti Johny Goedel dia mengulang pernyataan pohon itu.
"Jadi aku bukan manusia?"
"Bukan."
"Lalu apa?"
"Apa?"
"Sebuah gagasan."
36.”Pengusaha Idealis”
Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Putu
Wijaya (Halaman 30-35)
Suara
Karya, Edisi 09/21/2003
Seorang
pengusaha muda Indonesia (mestinya dia menjadi anggota HIPMI) mencoba merebut
peluang dengan gayanya yang sangat khas. Ia menemui seorang pengusaha asing
yang konon ingin menanam modal besar-besaran di Indonesia. "Saya tahu saya
ini nekad," kata pengusaha muda itu. "Saya tahu Anda akan mengatakan
tak punya referensi tentang diri saya. Saya tahu Anda akan melemparkan proposal
yang saya bawa ini ke keranjang sampah, sebelum Anda memeriksanya.
Saya
tahu ini semuanya akan sia-sia. Sebab Anda sebelum datang ke Indonesia pasti
sudah punya banyak pilihan. Ini semuanya, seperti biasanya, hanya sebuah
sandiwara. Tapi tak apa. Tak ada salahnya untuk mencoba."
Taipan
dari mancanegara itu tersenyum. Ia menjabat tangan sang pengusaha muda dengan
hangat. "Anda terlalu curiga," jawabnya dengan ramah.
"Kecurigaan
yang sangat tipikal seorang anak muda dinamis yang memiliki energi yang besar.
Tapi apakah juga itu berarti potensi yang besar?"
Sang
pengusaha muda tersenyum kecut karena merasa kena job. Tapi ia tidak kalah
gesit. Ia langsung putar otak dan menjawab dengan kalimat-kaliamat yang
tersusun baik. "Soal potensi, itu tergantung siapa dan bagaimana
melihatnya. Seorang yang luar biasa seperti Anda -- saya yakin referensi yang
saya baca tentang Anda seratus persen akurat -- tak akan menghabis-habiskan
waktu Anda yang sedikit, untuk menerima seorang yang tidak potensial.
Kesempatan
yang Anda berikan untuk bertemu ini, buat saya, sudah merupakan satu kehormatan
besar.
Karena
itu berarti bahwa potensi saya diperhitungkan. Tapi silakan koreksi saya kalau
salah."
Taipan
itu tertawa.
"Jangan
terlalu yakin pada asumsi Anda, sebelum ada bukti-bukti konkrit. Saya selalu
mencoba untuk realistik, menomorsatukan fakta dan data, karena pekerjaan saya
adalah angka-angka.
Dunia
yang kering di mana keterlibatan emosional sangat tidak diperlukan, sebab dapat
menghancurkan semuanya. Itu motto saya.
Tapi
jawaban Anda amat imfresif. Setidak-tidaknya saya bertambah yakin saya
berhadapan dengan seseorang yang bisa saya ajak bicara. Itu sudah merupakan
awal yang baik." Mereka masih berdiri berhadapan.
"Sekarang
yang pertama sekali yang akan saya tanyakan," lanjut Taipan mancanegara
itu, "berikan saya satu alasan yang bagus, mengapa saya harus mengorbankan
waktu saya untuk Anda, sementara banyak sekali orang lain yang sekarang antre
ingin menjadi partner saya."
Pengusaha
muda itu mengangguk.
"Oke.
Pertama sekali, tentu saja karena saya punya sebuah proposal yang bagus. Tapi
itu memerlukan waktu untuk menjelaskannya.
Lagipula
Anda pasti sudah punya sikap skeptik, karena sebuah proposal memang selalu
penuh dengan bullshit.
Walhasil,
proposal yang saya bawa ini, betapa pun kerennya, pasti tidak ada gunanya. Tapi
ada satu hal lain, yang saya miliki, yang harus menjadi pertimbangan Anda.
Anda
dan bukannya orang lain, meskipun secara finansial mereka lebih kuat. Anda
lihat saja saya langsung. Terus terang, saya memang tidak memiliki sumber dana
yang kuat, meskipun tidak berarti sama sekali tidak memiliki.
Tapi
apa yang lebih potensial dari kejujuran? Saya kira Anda mengerti apa yang saya
maksudkan. Dan saya tidak usah menjanjikannya, karena saya biasa
melaksanakannya."
Taipan
itu tersenyum mengerti. "Excellence," pujinya.
Sang
pengusaha muda melanjutkan kenuturannya.
"Kedua.
Saya masih muda, berjiwa progresif. Saya juga agrewsif dalam merebut
peluang-peluang usaha. Dan saya memiliki idealisme yang tidak dimiliki
pengusaha-pengusaha besar lain yang sudah mapan.
Mereka
bekerja untuk menumpuk uang, untuk menjadi lebih kaya. Saya bekerja, dengan
cita-cita untuk ikut membangun negeri saya agar makmur seperti negeri Anda,
setidak-tidaknya memiliki GNP yang layak dalam satu dasawarsa berikut ini.
Saya
kira itulah tipikal partner yang Anda butuhkan untuk investasi Anda yang amat
berbahaya itu. Kenapa saya bilang berbahaya?
Karena
terlalu besar dan bagus. Terlalu banyak musuh-musuh Anda, justru karena rencana
investasi itu begitu menggairahkan. Siapa yang tak ingin merampok atau
menggagalkan rencana Anda, karena ingin menggantikan posisi Anda?"
Taipan
itu tertawa.
Tentu
saja tertawa seorang taipan yang sulit ditebak. Lalu ia mengulurkan tangan.
"Veri
good," ulangnya sekali lagi. "Performance Anda amat impresif. Saya
punya kesan khusus untuk Anda.
Saya
yakin Anda akan menjadi pengusaha hebat di masa yang akan datang. Saya merasa
beruntung kalau masih sempat menyaksikannya."
Taipan
itu mengulurkan tangannya. Sang pengusaha muda jadi grogi, belum sempat duduk,
dia sudah diusir. Tetapi apa boleh buat, dia terpaksa menyambut.
"Anda
seorang idealis sejati," kata sang Taipan sambil mengguncang tangan anak
muda itu.
"Tapi
kalau boleh saya beri nasehat sebagai orang yang lebih tua, lebih baik kaya
dulu, baru menjadi idealis. Bukan idealis dulu. Karena idealis tidak akan
pernah membuat Anda menjadi orang kaya. Selamat siang."
Pertemuan
pun berakhir.
Sang
pengusaha muda, suka atau tidak suka, keki atau tidak keki, terpaksa ngacir.
Calon-calon
partner lain yang lebih mapan dengan penampilan yang lebih profesional dan
backing finansial yang lebih solid, satu persatu masuk, menjajakan proposalnya
dengan kiat masing-masing.
Sang
pengusaha muda pulang kandang. Ia merasa sudah gagal total. Tapi secara tak
disengaja, ia bertemu kembali dengan Taipan itu di sebuah pesta (mestinya pesta
yang diselenggarakan oleh HIPMI).
"Hallo
idealis," tegur Taipan itu terlebih dulu.
Sang
pengusaha muda sempat grogi, tapi cepat ambil posisi. "Saya sudah berhenti
jadi idealis, setelah bertemu dengan Anda beberapa hari lalu," jawabnya
kemudian tanpa ditanya. Taipan itu tetawa.
"O
ya? How come?"
Pengusaha
muda utu tersenyum. "Karena saya ingin menjadi idealis." Taipan itu
mengernyitkan alisnya. "O ya?"
"Sure!"
Taipan
itu mengangguk-angguk. Ia nampak sangat terkesan. "Oke fine. Saya belum
mendapatkan seorang partner yang cocok. Bagaimana kalau Anda besok datang ke
office saya? Bisa?"
Mestinya
pengusaha muda itu menjawab ya. Karena pucuk dicinta ulam tiba.
Tapi
ternyata dia menjawab lain."Maaf," kata pengusaha muda itu sambil
tersenyum ramah.
"Saya
kira tidak ada gunanya menjadi partner kalau kita sudah tidak sepaham dalam
filosofi dasar kita."
Taipan
mencanegara itu tercengang. Ia -- sekedar mengingatkan: diantre seabrek
pengusaha kakap yang melamar jadi partnernya -- membelalakkan mata. Semua juga
tahu, kalau seorang taipan berekspresi seperti itu, artinya fatal.
Tapi
apa yang terjadi? Taipan itu kemudian memilih anak muda itu menjadi partnernya.
Kenapa?
Kalau seorang anggota HIPMI seperti Anda tidak tahu jawabnya, kebangetan sekali. ***
Comments
Post a Comment