Aku tak boleh letak banyak-banyak sekali video kerana nanti sukar nak buka dan tonton kembali. Jadi aku letak kat sini pula beberapa cerpen yang aku akan delete jika aku perasan ia sudah aku letak sebelum ni. 


Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
oleh Hanna Fransisca

Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit menuju ke arah laut, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karangkarang yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih laut Hindia, dari Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar, dan awan awan biru—semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk kesetiaan cinta pada Sulaiman.

Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian kepada tanah tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan.

Ada merah api cinta yang semerbak di sana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai kain pelepai setelah dicipta berhari-hari. Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu ia selalu akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.

“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu. Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku. Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”

000

Setiap puncak Krakatau menyembul saat gelombang laut surut di pagi hari, maka akan terlihat ribuan walet terbang berputar-putar mencari kehangatan perpaduan kepundan dan matahari—yang kehangatan udaranya mungkin tidak akan pernah diketemukan di benua manapun. Lalu menjelang sepenggalah hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan bergerak cepat memintas selat menuju teluk Lampung dan Teluk Semangka. Di sanalah surga dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang.
Dari rantai makanan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari, yang mencipta gairah untuk syarat berkembang-biak—ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun—tersedia secara alamiah sepanjang hari. Seiring waktu bergeser, hingga senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergerombol berlesatan menuju pulau Tabuan, menunggu gelap sempurna. Lantas gerombolan hitam itu akan memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil, dan bergerak bercericit menuju berbagai arah mata angin: Kota Agung, Kalianda, dan Bandar Lampung.

Di kota-kota beraroma pantai itulah, mereka menemukan sarang. Istana tempat terlelap di malam hari, yakni rumah-rumah gelap, lembab dan nyaman, berupa gedung-gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak berjendela.

Hamparan ratusan kotak beton di seantero kota-kota itu, adalah jebakan cerdik yang dibikin oleh manusia untuk memindahkan mereka dari kehidupan lepas di pantai-pantai berkarang sepanjang Bukit Barisan Selatan. Sesungguhnyalah, walet adalah makhluk yang mencintai kenyamanan, kemudahan, dan jalan pintas yang praktis. Mereka tentu tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir tentang kebebasan. Maka bermigrasilah, setiap hari ratusan hingga ribuan walet memadati jebakan-jebakan nyaman yang dibuat untuk diburu. Diburu sarangnya, yang kelak diperjualbelikan sebagai barang ajaib dengan harga teramat tinggi.

Migrasi walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak ternilai, adalah juga berarti migrasi manusia (para pemburu walet) yang bergelombang datang dari berbagai pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota kemudian terbentuk, menjadi bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para pelancong yang akhirnya menetap—kawin dan beranak-pinak. Maka begitu jugalah sejarah kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa pesona kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan perempuan matang di usia remaja—seorang anak saudagar besar dengan bakat cemerlang.

Zhu mengawali sejarah dengan melakukan perjalanan jauh dari pulaunya, Kalimantan Timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik: kota berteluk hangat di Selat Sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah rahasia besar di hadapan ayahnya, Zhu Miau Jung, “Ada ratusan ribu walet memadati puncak gunung tengah laut di Selat Sunda. Ada teluk di ujung timur pulau Sumatera, yang memanjang dengan tebing-tebing karang menuju deretan Bukit Barisan. Ada kota-kota beraroma pantai. Ada beberapa orang berhasil membuat jebakan rumah bagi ribuan walet yang malang!”

Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak tanah yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan keahlian yang tidak diragukan. Ya ya ya, dialah perempuan dengan aroma laut yang berpadu keindahan teratai. Dialah perempuan dengan masa depan gemilang, dari kegigihan dan keuletan. Dialah yang sejak lahir dididik sebagai pemburu walet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar Zhu Miau Jung—pemburu walet paling terkenal lantaran ketajaman instingnya.


Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda, bahwa hanya dialah yang bisa mengerti bahasa burung! Nyaris seluruh pedagang besar di Nusantara Timur percaya. Maka ketika berita keajaiban tentang Selat Sunda tiba, ia tertantang untuk mendorong putri satu-satunya pergi. “Bukan lantaran usiaku telah mulai tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukkan tak pernah mengenal umur. Tapi kau harus harus segera menetapkan pilihan hidupmu. Pergilah, Zhu, kau sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap walet-walet itu, dan letakkan dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama besar ayahmu, untuk nama baik leluhurmu!”

Ada deraian hujan pada matanya sempit, membuat setiap orang yang dijumpainya tunduk dengan senang hati. Keramahan pada rambutnya panjang berkibar, kesopanan pada putih kulit seterang bulan, dan lesung pipitnya yang berkali membikin lelaki mabuk lantaran rindu. Zhu Ni Xia, menjadi terkenal seantero mata angin.

Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali singgah untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari walet menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang: tempat menukar damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan kain dan gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu menjabat tangan Zhu dengan hormat, dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga Zhu.
“Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”

000

Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung, membakar atap dan dinding—puluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihan turun lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada ladangladang kopi. Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan bambu cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak sama, dan tak sudi untuk pergi.

Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah lembah, “Celaka.
Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati, seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak, dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan gemetar menjalar, melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang langsung siaga.
“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini pertanda celaka!”
Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa nyawa dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus, hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah memiliki tautan hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai membelah leher.

Mereka akan pergi dengan langkah lamban, dan anak-anak seringkali menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “Pergilah wahai barisan gendut, menuju hutan, bersama angin, menyongsong hujan....”


Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan gajah yang mati akan menuntut balas dari negara. Sudah terlalu lama kampung ini berurusan dengan negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh berkata: “Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”

Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa pergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang, untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus.

Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali singgah untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari walet menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang: tempat menukar damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan kain dan gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu menjabat tangan Zhu dengan hormat, dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga Zhu.
“Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”

000

Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung, membakar atap dan dinding—puluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihan turun lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada ladangladang kopi. Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan bambu cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak sama, dan tak sudi untuk pergi.

Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah lembah, “Celaka.
Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati, seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak, dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan gemetar menjalar, melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang langsung siaga.
“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini pertanda celaka!”
Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa nyawa dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus, hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah memiliki tautan hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai membelah leher.

Mereka akan pergi dengan langkah lamban, dan anak-anak seringkali menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “Pergilah wahai barisan gendut, menuju hutan, bersama angin, menyongsong hujan....”

Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan gajah yang mati akan menuntut balas dari negara. Sudah terlalu lama kampung ini berurusan dengan negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh berkata: “Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”

Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa pergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang, untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus asa, aku sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”

Tapi mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul, lalu suara-suara jeritan, teriakan dan entah—barangkali kematian. Gelap aku menerabas pepohonan, menyeret tangan Nyiwar–ibuku. Berkelebat di pekat hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari. Entah berapa waktu telah hilang digerus perih dan lapar, dan kesakitan. Hingga tiba di kampung yang entah, sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini.
“Tolong bukakan gerbang. Katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”

NOTA AKU (sila beritahu jika aku silap): 1. kain pelepai = kain tapis atau kain tenunan untuk hiasan dinding 2. perih = pedih atau susah payah melakukan sesuatu 3. rajutan = siratan atau jalinan berbentuk jaring 4. berkelit = mengelak dengan cepat 5. berkelindan = berhubungan atau bergabung erat menjadi satu 6. walet = burung layang-layang 7. kepundan = kawah gunung berapi 8. gesit = giat atau cekatan 9. melesat = tercampak atau terpelanting jauh 10. bercericit = suara mersik dan contohnya kicauan burung-burung 11. beton = konkrit 12. jebakan = perangkap 13. keuletan = ketabahan atau kecekalan 14. tertantang = dicabar 15. petualang = pengembara, bangsat atau orang mendapat sesuatu secara tak jujur 16. lumpung = kepuk atau tempat menyimpan hasil tanaman seperti padi 17. bambu cetik = alat muzik dibuat daripada buluh yang dinamakan juga sebagai angklung 18. menempel = melekat 19. lamban = lambat atau tak cergas 20. bergeming = diam atau tak bergerak 21. menerabas = menerobos, menembusi atau merempuh 22. karet = getah dan oleh itu istilah-istilah, contohnya, ban karet = tayar getah, permen karet = chewing gum manakala jam karet = jam tak betul atau jarum-jarumnya selalu lambat

[Aku ambil cerpen di atas ini dari lets-sekolah.blogspot.com. Ia sebenarnya adalah salah satu cerpen yang dimuat dalam sebuah buku teks Bahasa Indonesia.]









Mbah Danu

oleh Nugroho Notosusanto

WAJAHNYA kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.

     Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringkik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan-perempuan serumah dan tetangga-tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit seolah-olah percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma jadi macan gadungan.

     Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti berita radio, Mbah Danu sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang. Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu datang membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya.

     Dia tembusi badan dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk Jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.

     “Ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikarnya ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.

     “Ngeoooong!” keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.

     “Mampus engkau sekarang!” seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.

    “Minggat! Ayo minggat!” teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.

     “Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuung!!” tangisnya menggaung.

      “Minggat! Minggat! Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-penntas mengalir masuk ke rumah itu untuk menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.

     “Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuuh!”pekik Nah seperti manusia biasa.

     “Minggat! Minggat! Ayo minggat!!” jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan kanan dan menggenggam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya 1 /2 meter.

     “Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” Tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba merangkak.

     Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.

     “Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah,” katanya dengan suara mmeur yang lembut. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu.”

     Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.

     “Ha! Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama 5 menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.

     Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar. akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah Danu meraba-raba tubuh pasiennya kemudian ia melepaskannya dan tegak pada lututnya

     “Setan-setan sudah lari dari badanmu. Nah.” katanya tenang. “Engkau telah sembuh.” Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.

     “Tidurlah saja dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulutnya pada dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan ke luar untuk meminum kopinya.

     Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawanya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr. Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu. 

     “O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja; akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angina berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr. Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.

     “Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakkan rahimmu?!”

     Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.

     Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi, ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau; sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.

     “Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.

     Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.

     Dokter Umar Chattab heran.

     “Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.

     “Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”

     Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.

     Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati. Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan puntung sigaret.

     “Kita telah berbuat sebaik mungkin,” kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.

     “Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.

     “Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lagi.

     “Inna li’llahi wa inna illahi raji’un,” kata Nyonya Salyo.

     Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya. Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. La menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.

7-7-1954

Kisah, Th. II No.9, September 1954























Keadilan

oleh Putu Wijaya 

Jawa Pos 7 Okt 2012

Ada suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali. Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau plastik ala koktail bergantungan dengan pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat anak-anak selalu memburunya. Kadang-kadang tidak untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membeli es pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat sampai malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.

Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut alun-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir semua anak-anak yang sedang main layangan menolehkan kepalanya. Yang punya duit langsung lari sambil menggulung tali layangannya. Tak terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia sedang memper hatikan seorang juragan ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya, lalu merasakan ada uang di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah Pak Sersan.

“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”

“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti dapat.”

“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.

“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”

Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.

“Merah,” teriak Pak Sersan.

Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.

“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu itu.” Anak-anak tertawa lagi.

Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es puter nampak ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es puter ke atas koktail itu. Pak Sersan langsung menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.

Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang minta diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.

“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.

“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat. Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya keras-keras. Tapi, akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan muncul sambil mengacungkan pistolnya.

“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”

“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.

“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.

“Bukan saya, Pak!”

Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam. Anak-anak ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba menetralisir keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri berbicara.

“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”

Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.

“Tidak! Bangsat ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es pudengnya keluar masuk kampung kita, anak-anak tidak akan punya kebiasaan beli es sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih teriak-teriak minta es, kalau terdengar kelenengannya lewat. Dan, dia tahu sekali itu. Minggat! Sebelum aku tembak kamu. Aku sudah banyak bunuh Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”

Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya. Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi sebelum Pak Sersan keluar lagi.”

Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat lalu berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”

“Ya.”

“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu gelas kristal.”

Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan tangannya.

“Ayo bayar.”

Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan nyawa orang itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu melangkah, tapi orang itu tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak tapi tangannya terluka.

“Bayar!”

Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih tua. Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangkit lagi. Tapi rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi tidak.

Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu abad merdeka citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat berbeda-beda.

“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat.

Catatan: Cerpen ini diciptakan Putu Wijaya di tengah perawatan intensif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Cerita dituturkan Putu secara lisan, kemudian diketik salah seorang kerabatnya. Dia mengalami pendarahan otak yang mengakibatkan tangan dan kaki kirinya tak bisa digerakkan.





















Babi

oleh Putu Wijaya

Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tangannya selalu keseleo dan menulis kata “babi”. Ia jadi dongkol sekali. Ia telah mengunjungi seorang ahli ilmu jiwa, tetapi tidak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang ke depan seorang ulama, tetapi ia hanya diasihati seupaya beristirahat. Padahal, ia yakin benar bahwa mungkin sekali ia sedang berubah untuk menjadi gila.

            Akhirnya ia datang ke dokter bedah.

            “Dokter,” ujarnya dengan terharu, “saya sudah memutuskan untuk berpisah dengan tangan ini. Ideologi kami tidak sama lagi. Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang. Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakannya. Saya minta dokter sudi memotong tangan ini.”

            Dokter itu seorang yang penuh pengertian. Ia mendengarkan dengan tenang, seakan-akan ia sudah seringkali memotong tangan orang tanpa alasan-alasan medis. Ia hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan emotong yang kanan atau yang kiri. Pemilik tangan itu sendiri yakin bahwa tangan kanannyalah yang telah berontak, karena itulah  yang dipakai untuk menulis.

            “Jangan terburu nafsu,” kata dokter, “Kita jangan melupakan faktor-faktor sampingan. Kalau tangan Saudara ini memang telah nekat untuk menganut ideologi yang berbeda, tak akan mungkin ia bertindak dengan serampangan. Saya khawatir kalau ia hanya sekadar pancingan.”

            Penderita itu tercengang.

            “Maksud dokter?”

         “Maksud saya adalah bahwa, janganlah Anda begitu cepat untuk terpancing. Berpikirlah sejenak dan renungkan apa yang hendak Anda lakukan. Jangan berkata-kata lagi. Anda relaks saja dahulu. Saya akan berikan waaktu seperempat jam. Kemudian saya akan kembali. Sesudah itu, kita pastikan aoa yang akan kita lakukan. Ketahuilah. Tak ada yang sulit untuk dilakukan. Saya sudah memotong ribuan tangan orang. Saya berani melakukan itu semua. Saya Cuma tak kuat kalau pada akhirnya saya harus berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa yang saya katakan?”

            Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut.

            Selama seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah laku tangannya. Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus berpisah. Lalu dibukanya jam tangannya. Dibukanya cincinnya. Semua barang-barang itu dipindahkannya ke tangan kiri. Sesudah itu ia duduk dengan tenang.

            Waktu dokter datang, ia segera mengulurkan tangan kanannya. “Saya kira tak ada jalan lain harus dipotong dokter,” ujarnya. Dokter memandangi tangan itu dengan hati-hati.

            “Ada sesuatu yang lain pada tangan ini sekarang,” ujarnya.

            Penderita itu tertawa.

            “Tentu saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot.”

            “Kenapa?”

            “Kan tangan ini mau dipotong?”

            “Lalu di mana jam dan cincin itu?”

            Penderita itu mengulurkan tangan kirinya.

            “Di sini dong!”

            Dokter itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya. Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil alat untuk memotonya. Penderita itu tentu saja terkejut.

            “Dokter mau memotong tangan kiri saya?”

            “Ya.”

            “Kenapa?”

            Dokter meletakkan telunjuknya di mulut, “sst!”

            Penderita itu menggeleng.

            “Kenapa mesti sst?”

            “Sudahlah diam dulu, ini politik!”

            “Politik bagaimana?”

            Dokter mendekatkan mulutnya ke telinga penderita itu, lantas berbisik, “kelihatannya saja tangan kanan Saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri Saudara. Ini politik. Tangan kiri Saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. Sementara Saudara menulis ia menutup muka saudara, lalu menggosok tulisan itu menjadi, menjadi apa biasanya yang dia tulis?”

            “Babi.”

            “Ya babi.’

            “Tapi Dokter.”

            “Oke, mari kita coba sekarang!”

            Dokter itu kemudian mengambil kertas dan pulpen.

            “Sekarang coba tulis nama Anda.”

            Penderita itu menggeleng. Dokter menepuk-nepuk pundaknya.

            ‘Jangan takut, ini bukan eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga Saudara rela untuk menolong tanga kiri itu. Ayo coba!”

            Ia segera menggenggamkan pulpen itu di tangan kanan penderita.

            “Tulislah sekarang nama Anda!”

            Penderita itu menggeleng.

            “Kenapa?”

            “Nggak mau!”

            “Ayo coba dong, jangan seperti anak kecil!”

            Dokter itu membujuk-bujuk. Akhirnya orang itu mau juga menulis. Tapi ia kelihatan terpaksa sekali. Ia memejamkan matanya. Tangannya bergerak dengan lambat. Tetapi jari-jari tangan itu tampak kaku. Urat-uratnya keluar. Dokter itu memperhatikan dengan takjub. Ia seperti melihat sebuah pertempuran. Tetapi ia seorang yang sabar.

            Hampir sepuluh menit lamanya, baru tanga itu berhasil menulis : ANWAR. Dokter itu menarik nafas dengan lega sekali. Ia menoleh ke pasiennya, Orang itu tampak berkeringat. Seluruh mukanya basah. Matanya masih terpejam. Dokter itu segera mengambil sapu tangan. Ia mengusap muka pasiennya.

            Ia juga sempat mengambil air dan memberi minum penderita itu. Aneh sekali matanya masih tetap tertutup. Dokter kemudian menepuk-nepuk pundaknya.

            “sudah, sudah, semuanya sudah selesai. Sekarang buka matanya.”

            Penderita itu membuka matanya perlahan-lahan. Ia tampak lelah sekali. Dokter lalu mengambil kertas dan menunjukkan kepada orang itu. Ia tersenyum simpul.

            “Coba baca,” kata dokter dengan bangga.

            Pasien itu diam saja.

            Dokter segera menyalakan lampu, sehingga kertas itu jadi lebih terang.

            “Coba baca dong,” kata dokter dengan nada kemenangan.

            Pasien itu masih diam-diam saja.

            “Ayo baca!”

            Pasien itu tampak memusatkan pikirannya ke atas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek.

            “Babi!”

Gres: 17 Cerita Pendek karya Putu Wijaya




















Eyang 

oleh Putu Wijaya

Dan Lebaran pun datang lagi. Persoalannya belum bergerak. Harga kebutuhan pokok naik. Masyarakat panik. Heboh mudik. Korban jiwa di jalanan bikin galau dan arus balik dapat dipastikan akan tetap kacau.

Aku sendiri punya persoalan buntu, yang tak bisa dipecahkan. Walau sudah setengah mati banting tulang, hasilnya hanya cukup untuk bayar uang pangkal sekolah anak-anak.

Sempat ada cucunguk yang menawarkan bagaimana mendapat SKM, dan KGS—kartu yang bisa menolong mengurangi beban. Tapi apa daya hati kecil menolak. Akhirnya kesombongan itu terkumpul membuat bangkrut di puncak Ramadhan.
Sementara, orang suka-ria jor-joran merayakan Hari Kemenangan, kami sekeluarga teriris kesunyian. Untungnya tak ada anak-anak yang ngomel. Mungkin ibunya sudah berhasil mencuci otak mereka. Paling tidak untuk menyakiti hati bapaknya yang sudah keok.
Namun penderitaanku tetap tidak berkurang. Walau tidur berhimpitan di dipan kecil, dengan ibunya anak-anak, sudah sebulan aku tanpa keindahan—sesuatu yang selalu aku bangga-banggakan sebagai benteng milikku yang terakhir.
Tetapi menjelang malam takbiran. Hummer 3 milyar milik Bos berhenti depan rumah. Aku meloncat bagai chipansee menghampiri. Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar-bugar, aku sudah menyapa:

”Sore Bos, minal aidin walfa izin. Maaf lahir batin!”

Dia membalas lalu tertawa.
”Jadi sudah pasti, besok?”
”Pasti Bos, sudah ketok palu.”
”Oke. Tapi kalian tidak ke mana-mana seminggu ini, tidak mudik kan?”
”Untuk apa harus mudik, Bos, kalau hati kami sudah di situ hambur-hambur duit aja!”
Dia tertawa lagi.
”Oke, kalau begitu tolong titip Eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke China, katanya untuk apa ke sana, orang Tionghoanya malah banyak ke Jawa. Nginap di hotel nggak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di rumah kalian ini yang sudah dikenalnya. Oke?!”
Aku belum sempat menjawab, pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi kopor besar perlengkapannya.
”Salam walaikum…”

Aku sampai lupa membalas sapa Eyang, kepalaku seperti kejatuhan batu. Gila, untuk makan sekeluarga saja masih pertanyaan! Bagaimana kalau mesti menjamu Eyang yang hanya doyan makan masakan Eropa dan buah-buahan impor itu?
Kesalahanku berikutnya, ini sulit aku maafkan. Ketika Bos merogoh sakunya untuk mengeluarkan dompet, menalangi biaya mengurus. Eyang, dengan sigap aku kunci sikunya, sambil senyum TST menunjukkan tak ada masalah:
”Beres Bos, jangan ragu-ragu, kami akan jaga beliau, Bos berangkat saja. Kapan?”
”Ini sekarang langsung ke Cengkareng!”

Aku masih bisa tersenyum. Bangsat memang. Aku selamanya terlambat memantau kemalangan. Barangkali memang itu bakat dasar pecundang. Tak mampu membaca proses, jadi semua harus dijalani. Baru setelah Hummer itu lenyap, dan istriku berbisik di telinga sembari senyum berarti: ”Dikasih berapa?” Baru aku nyahok. Rasanya dunia kiamat.

Enak saja itu orang-orang besar berkoar: bahwa uang bukan segalanya. Nyatanya uang tiap detik tanpa harus dibuktikan lagi, adalah segala-galanya.
Tak paham bahaya apa yang sedang terjadi, istriku menyambut Eyang dengan hangat. Anak-anak semua dikerahkan untuk memanjakan Eyang. Orang tua yang berusia 90 tahun itu, diperlakukan sebagai berlian, layaknya seorang dewa. Dengan berbagai alasan aku menyelinap ke kamar. Setengah mati aku obok-obok almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual. Akhirnya aku terpaksa merelakan jam tangan Rolex, suvenir Bos sendiri, ketika ia studi banding ke Hong Kong.

Membawa Rolex itu, aku menyelinap ke pangkalan ojek. Aku bujuk si Kardi menjualnya cepat.
”Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”
Kardi menguras tas pinggangnya, ada sekitar 60 ribu.
”Di kantung celana dalammu, Bro! Hayo bantu aku. Ini soal harga diri!!”
Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam itu. Besok soal besok.

Ketika kembali ke rumah, istri dan anak-anakku nampak kelimpungan. Aku jadi cemas.
”Eyang hilang, Bang!” kata istriku ketakutan, ”Tadi lagi semua beres-beres untuk menetapkan kamar beliau, kami lupa memperhatikannya. Jangan-jangan beliau tersinggung. Setelah kamarnya siap, beliau kabur!”
”Padahal tadinya Eyang ikut membersihkan kamar,” lapor salah satu anakku. ”Eyang bahkan ngelap meja sambil menyanyi, Apa Apanya Dong! Dia yang merancang bagaimana mengaturnya, di mana harus meletakkan kopornya. Tapi tiba-tiba hilang! Jangan-jangan dia sudah pulang lagi!”

Aku cepat ambi-alih kendali. Anak-anak disebar ke tetangga menyelusuri jejaknya. Ada yang mencari ke rumah Bos. Aku sendiri lapor ke kantor polisi. Istriku gentayangan bertanya-tanya pada siapa saja di jalanan. Hasilnya nol.

Dengan tangan hampa, pukul 22.00 WIB kami memutuskan kembali ke rumah. Malam takbiran sudah digelar. Lalu-lalang dan suara petasan heboh. Kami semua lelah, gerah, lapar dan cemas.
Seperti kalah perang, kami masuki rumah. Aku mencoba menghubungi Bos lewat SMS, berharap dia masih di bandara. Tapi seperti sudah kuduga, HP-nya dimatikan. Rasanya aku makin tolol saja.
Tiba-tiba dari ruang makan ada teriakan.
”Hee, ayo buruan! Nanti keburu dingin semua!”
Kami semua terkejut, lalu bergegas ke meja makan. Di situ menunggu Eyang dengan meja penuh makanan. Kami takjub. Bau sedap mengacau otak kami.
”Ayo serbu saja, kalian sudah 30 hari kelaparan, kan?!”

Tanpa menunggu komando kedua, kami menyerbu. Seperti piranha kami sikat habis yang ada di meja. Dalam sekejap, ludas tandas semua.Eyang memperhatikan kami makan dengan kagum. Matanya yang bersinar itu berkaca-kaca. Ia kelihatan begitu terharu pada kerakusan kami.

”Eyang belum pernah melihat orang menghargai makanan seperti kalian,” kata Eyang sambil menepuk pundak anak-anakku, ”Dada ini rasanya plong, hidangan tidak ada sisanya. Besok di samping dipesankan lagi yang lebih enak, Eyang juga akan masak resep tradisional warisan leluhur Eyang. Setuju?!”
Kami menjawab serentak, ”Setuju!”

Habis makan, kami pindah ke ruang depan, nonton televisi. Atas usul Eyang, anak-anak memilih mata acara, kemudian dinikmati bersama. Itu terbalik dari kebiasaan. Biasanya aku atau istriku yang berperan.
”Eyang heran, kenapa kalian tidak masak menjelang buka, air juga merah mengandung larutan zat besi begitu! Ternyata tidak ada beras lagi di dapur. Eyang pikir kalian berkecukupan, habis pakaiannya keren-keren begitu, eee ternyata itu keliru, kalian ternyata kere, he-he-he! Tapi tak apa. Biasa! Semua orang begitu! Besok semua biaya tanggungan, Eyang!”

Kami tercengang, tak percaya apa yang kami dengar. Eyang tak mencoba meyakinkan kami. Kelihatan jenis orang tak peduli. Tak suka basa-basi, ngomong hanya satu kali. Di mata kami, dia jadi seksi.
Lalu Eyang mengajak nonton siaran musik. Dan langsung ikut jingkrak-jingkrak edan. Tapi akhirnya, aku dan istriku ikutan joged. Rumah berubah jadi diskotik.

Ujung-ujungnya Eyang dan anak-anak nonton pertandingan Barcelona mempermalukan Thailand 7-1.
Aku dan istriku tercengang melihat orang tua yang lanjut usia itu, berteriak dan misuh-misuh mengikuti larinya bola. Eyang seperti ornamen yang melempas dari pola yang telah lama menindasnya. Ia begitu lepas. ”Makhluk apa ini?” bisikku. Tapi kemudian kuralat. ”Makhluk dari mana sekarang aku ini?”
Esoknya dan esoknya, menjadi hari-hari baru. Ajaib, bagaimana Eyang menyulap rumah kami dalam sekejap, dari gelap, mendadak ceria dan bersemangat.

Di luar dugaan, Eyang ternyata berlapis-lapis di bawah keriputnya. Ia yang semula terasa sebagai fosil, monster masa lalu, jebulnya menyembunyikan, memiliki kepribadian lentur.
Tua bukan lagi tanda lapuk atau rapuh. Tapi dinamis terbuka, toleran, apa ya, pendeknya menyenangkan.
Tak sebagaimana yang kami duga, kekayaannya tidak menjadikan dia pongah atau egois. Eyang onderdil canggih yang dipasang di mana pun, klop.

Anak-anak terpesona. Awalnya bingung mengapresiasi, bagaimana mungkin mereka bisa luluh dengan produk zaman baheula itu. Ternyata kenyataan bertentangan dengan teori.
Aku tak habis pikir, bagaimana Eyang bisa aktif, gesit, spontan dan ringan menghampiri kami. Khususnya anak-anak yang sering kami cap liar, bablas?
Sama sekali tanpa jarak, tanpa terasa dibuat-buat. Eyang menghampiri menjemput dan membalut kami seperti kabut menelan gunung.
Anak-anak tenggelam, lupa daratan dalam pukau Eyang. Baru pertama kali kurasakan bahwa usia, latar belakang, kondisi sosial, tidak menjegal. Tak ada yang bisa menghalangi asal manusia mau menyatu.
Pada hari keenam, Eyang mengajak kami menyewa sebuah minibus pariwisata. Lalu semua kami keliling sekitar Jakarta, mengecap situs-situs bersejarah.

Perjalanan yang menelan waktu sepanjang hari itu sangat menarik. Meskipun juga melelahkan. Tapi tak seorang pun nampak menyesal.
Pukul 19.00, kami baru sampai di rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil Hummer itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.
”Bapak mendadak pulang karena dipanggil Presiden ke istana, dalam rangka perombakan susunan kabinet,” katanya kepada Eyang, ”Saya diperintahkan menjemput Ibu.”
Eyang sama sekali tak menjawab, seakan-akan tak mendengar. Ia langsung mengerahkan anak-anak mandi, untuk kemudian nonton acara tv yang sudah mereka tunggu-tunggu.
Sopir agaknya sudah hapal watak Eyang. Ia tak mengejar Eyang, tapi mendesakku.
”Pak, tolong dibantu. Saya harus membawa Ibu pulang sekarang, Pak. Kalau tidak, Bapak nanti datang sendiri ke mari.”

Begitu dia selesai ngomong, HP-nya bunyi. Dia langsung menyodorkannya kepadaku.
”Untuk Bapak, dari Bapak.”
Aku menyambut HP.
”Halo Bos, selamat datang kembali ke Tanah Air!”
”Heee. Min! Tolong kirim sekarang juga Eyang pulang! Sekarang! Cepat!”
Aku tak sempat menjawab, karena sambungan diputuskan. Sopir mengangguk menerima HP-nya kembali. Aku merasa terjebak. Bukan jadi penting karena pegang kunci, justru sebaliknya, korban. Memang bedanya tipis.
Aku yakin, nampaknya ada sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang
tidak harus kuketahui. Aku samperin Eyang.

Di luar dugaanku, rupanya aku tidak perlu susah-payah mendesak Eyang. Meskipun itu tidak disukainya, Eyang sudah berkemas. Ia melemparkan barang-barangnya ke kopor.
Bahkan belum sempat aku buka mulut, Eyang sudah keluar kamar menyeret kopornya. Setelah bicara empat mata dengan istriku, ia menuangkan dirinya ke mobil.
Tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya tegang, dingin dan sunyi. Ia kembali memasuki perannya yang lama. Kami semua sedih melihat ia begitu saja hilang dari jangkauan.
Setelah Eyang pergi, rumah mati angin. TV tetap bising, tapi anak-anak terpaku beku. Aku dibakar lelah. Tiba-tiba aku menyadari begitu banyak yang sudah alpa kulakukan. Mengapa orang tuaku sendiri, nenek dan kakek asli anak-anakku tidak pernah kusikapi seperti Eyang?
Terbangun di tengah mimpi, tv masik heboh. Tapi anak-anak sudah kabur ke kamarnya. Di sampingku istriku sedang mengeluarkan duit dari amplop.
”Dari Eyang,” kata istriku menunjukkan uang itu.
Aku tidak tertarik.
”Abang tahu jumlahnya?”
Aku tidak peduli.
”Setengah milyar!”
Aku kaget.
”Berapa?”
”500.000.000!”
”Lima ratus juta?”
”Ya! Kata Eyang, ini duitnya sendiri yang dia tabung selama 20 tahun.”

Kantuk dan lelahku kontan hilang. Mataku terbelalak melihat mimpi itu.

”Tidak. Kita tidak bisa menerima itu!”
Istriku mengulurkan duit itu. Aku merasakan auranya panas. Itu perangkap. Aku pun mengelak.
”Tidak! Kita tidak boleh menerima itu! Jangan menipu orang tua. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Kembalikan, demi Tuhan jangan ikut bisikan setan!”

Istriku teranjat. Aku yakin dia menganggapku edan. Tapi keputusanku itu sudah final.
”Kembalikan!”
Aku terlalu capai. Tanpa daya aku tergeret ngorok. Baru ketika ada suara-suara bising keras di sekitarku aku mendusin.
Anak-anak kembali kumpul, depan tv. Mereka menonton pertandingan bola bersama Eyang.
Istriku menghampiri lalu berbisik:

”Eyang kembali lagi. Bos sendiri yang mengantarkan. Katanya Eyang merasa betah, diwongkan di sini!”
”Amplopnya?”
”Sudah aku kembalikan kepada Bos, seperti perintah Abang.”
”Bos sudah tahu berapa isinya?”
”Belum.”
”Mestinya dikasih tahu.”
”Tapi dia memberikan kita ini!”

Istriku menunjukkan 3 lembar ratusan ribu.

”Hanya 300 ribu untuk biaya ngurus Eyang seminggu?”
”Bukan seminggu. Eyang mau tinggal sama kita di sini sebulan!”
Aku terperanjat.
”Sebulan? Edan kenapa bukan seumur hidup!”
Aku banting 3 lembar ratusan ribu bangsat itu setelah BBM naik, itu hanya cukup untuk 4 kilo bawang.
Istriku menyabarkan, sambil menarik tanganku ke kamar.
”Sssstttt! Sudahlah, Bang, kan kata Abang biasanya, duit bukan segala-galanya!”
Aku terus berang ngedumel. Itu tak adil! Tak adil! Tapi tak menolak mengikutinya ke kamar. Malam itu dipan kami terasa makin sempit. Dan kami mencoba berjuang lagi membuktikan, duit bukan segala-galanya.

Harian Kompas  20 Oktober 2013





















Ibu Pergi ke Surga 
oleh Sitor Situmorang

Ibu akhirnya meninggal setelah mengidap penyakit dada satu tahun saja. Badannya yang tua dan aus pada usia 65 tahun tak tahan lebih lama menolak rongrongan kuman-kuman yang merajalela di paru-parunya. Obat tak terbeli, makanan tak tercukupi di kampung jauh di pegunungan, apalagi perawatan yang semestinya. Setelah ia meninggal, aku mengucapkan, “Syukurlah!” dalam hati. Terlalu penderitaan si tua itu.

Kebetulan saja aku dapat menghadiri saat matinya. Beberapa bulan sebelumnya, aku dua kali dipanggil dengan telegram, “Ibu sakit keras datang!” Saya datang. Ibu segar kembali. “Lihat, kau akan sehat kembali. Kau hanya rindu melihat anakmu!” kata orang menghibur hatinya, yang sudah tak segan mati. Hal itu kuketahui dari pandangnya. Bersama Bapak yang jauh lebih tua, ia tak punya apa-apa lagi di dunia untuk menjadi alasan hidup terus. Kami (dua anaknya) semua sudah merantau. Rumah besar kosong. Sawah terbengkalai. Cukup sebagian saja yang dikerjakan. Mereka mengembara dalam rumah seperti dalam ruang kubur besar, demikian kata Ibu sendiri. Orang pun tak singgah lagi. Apa hendak dipercakapkan si tua nyinyir serta istrinya yang sudah dekat mati?

Kedua kalinya saya dapat telegram. Tapi saya tak datang. Entah berdasar perhitungan apa saya menaksir dalam hati saya bahwa Ibu akan tanan hidup kira-kira 6 bulan lagi. Lalu kukirimkan sebuah baju panas. Surat Ibu, yang didiktekan pada orang lain, sebab ia buta huruf, dan ditujukan pada anakku laki-laki yang sulung berkata, “Nenek lakimu cemburu, baik kirim baju laken padanya seperti dulu!” Pernyataan tersebut diperkuat dengan cap jempol Bapak. Jas itu kukirimkan.

Lalu datanglah telegram ketiga. Semacam firasat menyuruh aku pulang. Ketika tiba di kampung seorang diri, Bapak berkata dengan kesal, “Hanya kau sendiri?”

Adikku sejak beberapa tahun tak ketahuan lagi di mana tempatnya.

Malamnya ketika makan, Bapak bertanya, “Apa kau cekcok dengan istrimu?” Lalu ia memberungut, pergi keluar. “Ongkos mahal, Pak!” kataku, tapi ia menghilang dalam gelap setelah berkata, “Kalau ibumu mati, aku pun tidak lama lagi hidup, sedang cucuku belum pernah kulihat!”

Ibu tersenyum saja.

Esoknya, setelah memperhatikan Ibu, tak terpikir ia lekas akan mati. Lalu aku menyesal sedikit karena datang juga memenuhi panggilan. Hampir aku mau pulang saja lagi ke pekerjaan di Pulau Jawa, tetapi saya tinggal. Kebetulan sudah dekat tahun baru, aritnya dekat hari Natal pula. Saya tahu, Ibu hanya suka saya berada di hari Natal di dekatnya. Bapak tidak. Tak pernah ia kukira merasakan arti ia dipermandikan jadi orang Kristen, ketiak ia sudah berusia 40 tahun dulu. Ia masih mengucapkan mantera kalau ada kejadian istimewa dengan diri atau keluarganya. Kalau kerbaunya diterkam harimau di padang bebas di gunung, ia juga mengucapkan manteranya sambil membakar ranting di malam gelap. Harimau yang rakus itu akan mati! Begitulah keyakinannya.

Tapi Ibu lain. Selain tak percaya pada takhayul, ia pengunjung gereja yang setia dan merupakan pengikut persatuan jemaat di tengah-tengah penduduk yang kebanyakan masih zakil. Ibu memang terkenal peramu obat-obatan, tapi tanpa mantera, resep buatannya hanya diludahinya.

Bapak kalau di gereja diberi juga tempat istimewa dekat pendeta, di atas kursi besar menghadap jemaat, sebab ia orang yang dirajakan, pun sebelum zending dan kompeni datang. Itu haknya dan saban ia duduk di gereja, ia duduk terkantuk-kantuk di sana sampai habis gereja.

Pada hari kedua saya datang, pendeta berkunjung ke rumah. Karena Ibu tidak dapat ke gereja di malam hari Natal, jemaat akan merayakan hari Natal di rumah kami! Ibu setuju, dan mengangguk seperti menerima hal yang sewajarnya.

Aku merasa keberatan karena sesuatu, tapi tak berkata. Sebelum itu, sudah beberapa kali orang berhari Minggu di rumah kami rupanya. Hal itu terasa bagiku seakan-akan upacara kematian. Aku teringat akan khotbah-khotbah yang dulu di masa kanak. Pandang yang melongo dari jemaat dan Bapak yang terkantuk-kantuk. Nyanyian parau dan sumbang dan bau daki orang tak mandi semestinya. Obrolan sesudah gereja di depan gereja, demikianlah kenanganku. Hal itu dulu tentu tak kurasakan demikian. Sebab buat kanak-kanak, pekarangan gereja penuh hal-hal yang menarik. Pohon kemiri yang rindang, kebun penuh pohon buah-buahan: jambu, nangka, manga, di pekarangan pendeta banyak tebu. Dan di malam hari Natal, aku selalu dapat lilin yang tersisa. Hal itu keistimewaan yang direlakan oleh anak-anak lain.Ketika hendak pulang, pendeta mengajak aku iku ke rumahnya. Karena tak ada yang dapat dilakukan di dusun lembah yang begitu sepi, aku ikut. Lagi aku ingin juga melihat gereja yang dulu yang sudah tak kulihat sejak lepas dari sekolah dasar kira-kira dua puluh tahun yang lalu.

Jalan menuju gereja melalui tegalan dan jalan kampung. Pendeta bertanya, “Mengapa Tuan tak ke gereja ketika kemari beberapa bulan yang lalu? Tuan lebih seminggu di sini ketika itu, bukan?”

Pertanyaan itu kuelakkan dengan bertanya ini dan itu tentang keadaan penduduk. Ia bertanya tentang keadaan di Pulau Jawa, di Jakarta, kemungkinan perang di Formosa. Apa kabinet masih akan tahan lama? Semua pertanyaan itu saya jawab sekadarnya. Akhirnya, kami sampai di pekarangan gereja. Pada kesan pertama, aku heran betapa kecilnya gereja dan rumah pendeta. Pekarangan tidak seluas dulu agaknya. Pohon kemiri ternyata tidak setinggi dulu, seperti menara gereja dengan ayam penunjuk arah mata angin yang digunting dari kaleng tipis di atasnya. Masih yang dulu! Itulah gereja kayu tua: betapa kumuh! Kami masuk ke dalam gereja yang juga masih dipergunakan sebagai sekolah, hanya sekarang lebih banyak bangku dan di sudut pekarangan telah didirikan bangsal darurat.

Gereja kecil dan bangsal darurat itu memuat 300 orang murid dengan tenaga empat guru. “Satu yang berijazah,” kata pendeta.

Kuperhatikan dinding gereja yang penuh ditempeli gambar anak-anak sekolah sendiri. Jauh di atas di sudut dinding melekat gambar: kerbau membela gembalanya terhadap harimau. Gambarku.

Istri pendeta memanggil. Ia sudah menyediakan kopi. “Sebentar!” balas pendeta dan suaranya membahana pada lereng bukit yang mengapit lembah. Setelah pendeta mengunci pintu gereja, anjingnya datang menjilat kaki saya: kesepian yang tetap.

Ketika menghirup kopinya, pendeta berkata dengan hormat, “Tuan hendaknya membaca Injil di malam hari Natal nanti! Ibu tentu gembira sekali kalau Tuan melakukan hal ini.”

Sambil memandang gambar kepala Kristus di salib yang sobek-sobek tergantung di dinding di depan saya, saya berkata, “Lebih baik jangan, Tuan Pendeta! Biarlah orang tua-tua yang melakukannya.”

“Orang tua-tua mengatur jemaat membakar lilin, membaca nyanyian, mengatur anak-anak sekolah. Kor harus dipimpin. Kami telah melatih lagu kesukaan Ibu: Di Tangan Tuhan!”

Aku tak suka, tapi aku diam. Pendeta rupanya menganggapnya tanda setuju.

“Kue-kue disediakan juga buat anak-anak. Sihotang telah bermurah hati memberi sumbangan besar. Tuan masih ingat dia?”

Aku pulang dengan perasaan hampa dalam dada. Terbayang orang berkumpul di rumah. Bagaimana dan di mana Ibu akan ditaruh? Ia tak dapat duduk lama-lama. Berbaring kiranya?

Ketika sampai di rumah, Ibu kujumpai sedang menyediakan minuman susu kental yang kubawa, sendirian jongkok di lantai ruangan tengah.

Tibalah malam Natal. Bapak sudah siang-siang mengenakan pakaian yang bersih. Ia duduk sendirian di sudut ruangan dalam yang besar sambil menumbuk sirihnya di lesung kecil dibuat dari perak.

Dua gadis yang tak kukenal sedang membenahi Ibu dan meletakkannya di atas bale-bali, lalu Ibu ditaruh dekat dinding agak jauh dari tempat duduk bapak. Pohon Natal yang diambil dari hutan telah tersedia di sudut. Lilinnya belum dibakar.

Setelah Ibu terbaring baik, kedua gadis itu pergi. Mereka juga hendak berbenah. Upacara akan dimulai kira-kira satu jam lagi. Aku pergi ke kamarku duduk di kursi termenung. Sekali-kali Ibu terbatuk, menyeling suara lampu petromaks.

Aku termenung. Barangkali setengah jam, tak tahu aku. Ketika sadar kembali, aku tak mendengar batu Ibu, juga tidak suara lesung sirih Bapak. Tentu ia sudah mengunyah dengan mulutnya yang tak bergigi lagi. Suara lampu petromaks makin keras. Aku keluar dari kamar, memandang Bapak sebentar, lalu Ibu yang telentang di atas bale-bale ditutupi dengan kain. “Ia tertidur,” pikirku, lalu aku mendekatinya. Kuperhatikan wajahnya dengan mata dan pipinya yang cekung-cekung. Lalu dadanya.

“Seperti dada ayam,” pikirku. Tiba-tiba kusadari dadanya tak bergerak. Kuraba keningnya, lalu kubuka kelopak matanya. Ibu telah mati! Perasaan syukur yang ganjil tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkonganku. Kupandang ke arah Bapak, tapi ia ini tak tahu apa-apa. Bagaimana mengatakan hal itu? Orang akan datang berpesta segera: kututupi wajah Ibu dengan kain dan sebentar lagi kedengaran orang datang. Pendeta dan orang tua-tua: jemaat pun masuk, mengambil tempatnya di lantai, duduk bersila dengan khidmat, mula-mulai di sudut-sudut, hingga terisi, bersila dengan segan-segan menyerak ke tengah ruangan.

“Ibu tidur?” tanya pendeta sambil menyerahkan buku Injil padaku.

“Ya,” sahutku.“Baiklah! Kalau sudah sampai ke lagu kesayangannya, ia kita bagunkan nanti,” katanya.

Ia mulai mengatur jemaat. Orang tua-tua menjalankan tugasnya masing-masing. Akhirnya, ruangan dalam dalam penuh sesak, hanya sedikit tempat terluang, yaitu sekitar Bapak. Anak-anak sekolah duduk dekat bale-bale Ibu, membelakanginya, menghadapi pohon Natal di sudut.

Lilin yang berwarna-warni telah menyala dan suara “ah-ah-ah” kekaguman dan kegembiraan anak-anak kedengaran. Aku berdiri terpaku dengan Injil di tangan, dengan sikap janggal, seperti pendeta yang baru menghadapi khotbahnya yang pertama, dekat bale-bale.

Upacara dibuka dengan doa. Bapak masih menumbuk sirihnya. Lalu nyanyian. Lalu pembacaan Injil. Suarakukah itu? Jemaat bernyanyi. Aku hilang perasaan akan waktu, tapi kudengar mendengung.

“ … Setelah lahir Yesus di Baitlahim di tanah Judea …”

Pendeta datang membongkok-bongkok ke jurusan saya mengatakan supaya membangunkan Ibu. “Lagu kesayangannya akan dinyanyikan!”

Aku mengangguk dan ia pergi mengatur kornya. Sebelum mulai, ia melayangkan pandang bertanya padaku, yang kubalas dengan anggukan. Kor pun mulai, “Di tangan Tuhan!” … Kata-katanya tak dapat kutangkap. Suatu lagu yang tak pernah kukenal, lagi anak-anak dekat pintu da dekat bale-bale gelisah dan bercakap-cakap antara sesamanya. Kuperhatikan Bapak yang berhenti menumbuk sirihnya sambil memandang pohon Natal yang menyala-nyala dengan nanap.

Pendeta berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, Maha Penyayang, kepada-Mu kami serahkan ibu kami ini. Di tangan-Mu hidup dan di tangan-Mu mati, terimalah ia di dalam surga!”

Setelah lagu “Malam Kudus” dan doa penutup, upacara hampir selesai. Kue-kue dibagikan, minuman diedarkan. Pendeta dan orang tua-tua pergi duduk dekat Bapak. Ketika melintas di tengah ruangan melalui orang banyak, pendeta berkata dengan gembira ke jurusan Ibu, “Tidurlah, Bu, tak usah ikut makan kue-kue dulu, tidurlah!” Saya masuk ke kamar dan meletakkan kitab Injil di atas meja lalu keluar lagi, menjenguk, memperhatikan orang.

“Mari, duduk dekat, Bapak!” kata seorang tua-tua, “Mari bercakap-cakap. Apa saja kabar dari Jakarta?”

Saya minta maaf lalu keluar rumah. “Biarlah mereka sendiri mengetahuinya,” pikirku. Setelah beberapa waktu saya menjenguk kembali ke dalam rumah. Tak ada rupanya yang teringat akan mengganggu ibu dalam tidurnya. Demikianlah sampai orang berpulangan semua.

Sesudah semua orang pergi, pada Bapak kukatakan Ibu tak ada lagi. Ia lalu terhenti sebentar menumbuk sirihnya, berkata, “Panggil pamanmu!”

Sebelum pergi, lilin kupadamkan.Beberapa hari kemudian, setelah Ibu dikubur dengan upacara adat dan upacara keagamaan, Bapak memanggil saya.

Ia berdiri di pekarangan luas dan memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya ke sudut pekarangan. Tak tahu aku maksudnya. Setelah aku dekat ia berkata, “Kau ada uang?”

Aku terkejut karena tak tahu maksud apa yang terkandung dalam pertanyaannya, tapi akhirnya kubilang, “Berapa Pak perlu?”

“Seribu, dua ribu rupiah sudah cukup,” katanya.

“Buat apa?” tanyaku sambil mengikuti dia, dan pada ketika itu kami sampai di sudut pekarangan. Ia memegang bahuku dan sambil memandang ke danau di bawah ia berkata, “Di sini aku ingin dikubur. Kau harus membuat kuburan semen yang indah buat aku. Kalau aku sudah mati, Ibumu kau pindahkan kemari.”

Aku hanya bertanya, “Mengapa mesti di sini?”

Bapak melepaskan tangan kirinya dari bahuku. Ia berpaling memandang ke puncak gunung dan berkata, “Dari tempat ini aku dapat memandang lepas ke daratan tinggi dan ke danau.”

Aku diam.

Danau di bawah ditimpa sinar tengah hari, berkilau-kilau. Bapak berjalan meninggalkan aku. Kulihat pendeta datang.

Pendeta itu menuju tempatku dan setelah sampai berkata, “Kudengar Tuan besok pergi. Mudah-mudahan selamat saja di perjalanan!”

Kemudian, “Tuan jangan sedih! Tuan melihat betapa besar cinta penduduk dan kerabat Ibu. Tak ada orang tua yang begitu dicintai dan dihormati di daerah ini! Ia sekarang di samping Tuhan!”

“Ya,” kataku.

“Ya, saya tahu Tuan juga percaya, walaupun orang terpelajar tidak lagi suka datang ke gereja. Saya selalu yakin Tuan berpegang pada Kristus,” kata pendeta seperti pada dirinya sendiri.

“Bukankah begitu, Tuan? Mana bisa menusia tidak ber-Tuhan! Mana mungkin tak ada surga!” katanya dengan pandang seakan-akan kambing menghadap batu.

“Ya, benar, Tuan Pendeta,” kataku, “sudah barang tentu ada surga.” Lalu pendeta meninggalkan aku.

Aku pergi menuju pohon Natal yang sudah kering terbengkalai di pekarangan.

Dengan api sebuah korek api, sebentar saja ia kubakar menjadi unggun api seperti di masa kanak. Abunya terserak di halaman, dan tersebar dihembus angin ke arah danau biru di bawah.

[Dipetik dari antologi Salju di Paris, Grasindo: 1994, halaman 70-77]

Comments